Share

KARMA
KARMA
Penulis: RENA ARIANA

BAB 1

Penulis: RENA ARIANA
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-18 02:23:58

KARMA ITU PASTI ADA

Tak terasa sudah 20 tahun aku bercerai dari suamiku. Karena kesalahannya mendua akibat dibutakan oleh tahta, cinta dan harta. Hem, aku memilih berpisah darinya daripada harus dimadu. Hati ini tak mampu menerima ada perempuan lain yang meninggalkan bekas keringatnya di tubuh suamiku. Meskipun, sebesar gunung dan samudra aku mencintainya. 

20 tahun yang lalu, saat aku ingin memberi tahu padanya kalau aku tengah mengandung buah cinta kita berdua, nyatanya kenyataan pahit harus kutelan malam itu. Sebuah senyum manis harus berganti dengan senyum pahit getir. Bahkan aku pun tak mampu lagi mengucapkan sebuah kata sebagai ibarat sangking sakitnya menahan luka pilu itu. 

Flash back

"Kalau nanti Mbak Lirna tahu gimana, Mas? Masalahnya, kandunganku sudah mulai terlihat." Langkahku terhenti di depan pintu kamar saat terdengar suara Tania di dalam. Sedang apa dia di kamarku? Pikirku saat itu. Kumantapkan hati mendengar percakapan mereka. Karena ingin tahu siapa yang Tania panggil Mas. 

"Jangan sampai ketahuan dulu. Mas belum siap memberitahu Lirna. Meski Mas sendiri yakin kalau Lirna akan menyetujui jika Mas ijin menikahimu. Mas tahu, Lirna sangat mencintai Mas," jawab pria itu. Ya Allah, itu suara suami dan adikku. Bergetar tangan dan bibir ini. Beberapa kali aku beristighfar. "Astagfirullah, Astagfirullah, Astagfirullah…." 

Inikah sebuah kenyataan yang harus kuketahui? Pantas saja rasanya hati ingin sekali kembali ke rumah. Padahal aku telah berpamitan pada Mas Adrian kalau aku ingin menginap di rumah Ibu. Entahlah, hatiku terasa tidak tenang. Selain itu, aku juga ingin memberitahunya, kalau rasa pusing yang sering dirasa ternyata bawaan hamil muda. Iya, Ibu membawaku periksa ke bidan terdekat dari rumahnya dan ternyata hasilnya positif.

"Sekarang pake bajumu," ucap Mas Adrian. 

"Nggak perlu pakai baju lah, Mas. Lagipula Mbak Lirna itu 'kan sedang menginap di rumah Ibunya," balas Tania. Ya Allah, ya Robby … apa ini? …. 

"Hem, kalau begitu kita bisa puas menghabiskan malam bersama setelah beberapa hari aku tak sempat menyentuhmu," ucap Mas Adrian lagi. Apa maksudnya? Apa ini sudah menjadi kebiasaan mereka?

"Ternyata mereka … hikz … hikz …." Tega sekali kalian. 

Pikiranku salah, ternyata bukan hanya Ibunya yang merebut Ayah dari Ibuku, ternyata dia juga merebut suamiku. Tega sekali, setelah kebaikan yang aku berikan, dia membalasnya dengan cara seperti ini, dan Mas Adrian, kenapa tega melakukannya padaku?

"Mas aku ambil minum dulu di dapur haus," ucap Tania lagi. 

Krek! 

Pintu terbuka. Wajah Tania terlihat sangat terkejut melihat keberadaanku yang tengah berdiri tepat di depan pintu kamar. Segera aku mengusap air mata yang sudah luruh deras dengan sendirinya. Ku-pandang sinis tubuhnya dari atas hingga bawah yang hanya berbalut handuk.

"M-M-Mbak Lirna!" ucapnya terbata dengan bibir bergetar. Aku masih diam mematung menatapnya. Kulihat, Mas Adrian tengah mengenakan pakaiannya. Setelah itu, menyusul Tania menghampiriku yang masih berdiam diri. 

"Lirna," ucap Mas Adrian. 

Kuangkat lima jari tangan sebagai pertanda jangan lanjutkan dulu ucapanmu, aku sungguh tidak sanggup mendengarnya. Sepertinya kedua manusia yang menjijikan ini paham maksudku sehingga keduanya pun terdiam. 

Urung niatku masuk ke kamar itu, rasanya sangat menjijikan. Kaki pun dengan lunglai melangkah ke ruang keluarga lalu duduk di sofa dengan bibir yang masih terdiam dan pikiran yang entah kemana. Tak lama aku duduk, kedua manusia itu pun datang menganghampiri. Namun, kali ini Tania sudah rapi dengan pakaiannya. 

"Maafkan aku, Mbak!" Tania membuka suara dengan wajah yang menunduk. Sedikitpun, tangan ini enggan untuk menyentuh wajahnya meski sekedar untuk memberi pelajaran dengan sebuah tamparan. Jijik! Aku merasa jijik dengan perempuan yang berada dihadapanku saat ini. 

Perempuan yang kubela setengah mati saat Ibu enggan untuk merawatnya. Perempuan yang kubesarkan dengan Ibu penuh cinta semeninggalnya Ayahku dan Ibunya karena kecelakaan. Saat itu usiaku 16 tahun dan dia 13 tahun. Karena aku yang bersikeras saat melihatnya menangis di samping jenazah Ibunya, memohon pada ibu untuk membawanya bersama kami. 

Sekuat tenaga Ibu menerima anak dari istri kedua Ayahku yang menikah secara diam-diam. Bagaimana kalau Ibu tahu kalau anaknya juga melakukan hal yang sama terhadapku? Pasti Ibu sangat terluka.

"Lirna, maafkan kami." Mas Adrian menepuk bahuku. Membuatku tersadar dari lamunan. 

"Jangan sentuh aku, Mas! Aku jijik! Jangan sentuh aku!" bentakku membuat mereka terhentak. Mungkin mereka tidak menyangka dengan reaksiku. 

"Suka atau tidak suka, aku mencintai Tania!" Mas Adrian mengaku membuat hati ini bertambah sakit. 

"Tania juga mencintai Mas Adrian, Mbak!" Imbuh Tania. 

Aku terdiam hanya menatap tajam. Berulang kali ku-usap air mata yang hendak terjun dengan bebasnya.

"Tania rela kok jadi istri kedua, Mas Adrian," ucapnya. Menjijikan … sangat menjijikan!

"Lagi pula, jelas di surat itu, aku bukanlah anak kandung Ayah. Ayah menikahi Ibuku yang sudah menjadi janda dan memiliki anak!" ucapnya dengan enteng.

"Aku mencintaimu, Lirna. Tapi aku juga sangat mencintai Tania. Ijinkan, aku menikahi, Tania." 

"Aku Janji akan berlaku adil. Sekarang aku lega, karena kamu sudah tahu kebenarannya. Aku harap kamu mau menerima kenyataan ini dan menyetujui keinginanku untuk menikahi, Tania," ucapnya dengan enteng dengan wajah tanpa dosa. Sungguh aku hanya bisa beristighfar untuk menenangkan hatiku.

"Lagi pula Mas Adrian kaya dan beruang. Pasti Mas Adrian bisa berlaku adil. Mbak Lirna juga tidak akan kekurangan uang," ucap Tania meyakinkan. 

Kutuang air minum ke dalam gelas dan menyiramkannya ke wajah Tania. 

"Berdebah kau anak perempuan murahan!" makiku. Ingin rasanya aku menampar wajahnya, namun aku enggan untuk menyentuh tubuhnya.

"Apa-apaan ini, Mbak!" bentaknya. 

"Itu memang pantas untuk kamu. Perempuan menjijikan! Ternyata kamu sama dengan Ibumu yang seorang penggoda! Dulu Ibumu merebut Ayahku dari tangan Ibuku. Dan sekarang kamu merebut Suamiku! Ternyata istilah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya itu memang benar adanya!" hinaku.

"Jaga ucapanmu, Mbak! Jangan bawa-bawa Ibuku yang telah meninggal! Ibu tidak pernah menggoda Ayah! Ayah yang datang pada Ibu!" 

Cih! Pandai sekali berkilah. Mana ada orang salah yang mau mengakui kalau dia salah, terkecuali orang yang masih punya hati dan rasa malu. Pasti akan mengakui kesalahannya. 

"Mas Adrian! Aku tidak mau dimadu! Pilih antara aku dan Tania!" kali ini mataku beralih pada suamiku yang lebih banyak diam. Ibarat kerupuk, renyah di dalam kaleng. Namun, akan melempem jika di luar kaleng.

"Mas! Kamu udah janji mau nikahin aku! Inget, Mas aku sedang hamil anak kamu! Kalau sampai kamu nggak mau nikahi aku, aku akan berbuat nekat dan kamu juga bisa masuk penjara!" ancam Tania dengan raut wajah yang benar-benar terlihat takut.

"Aku mohon, Lirna. Jangan buat aku memilih. Kenyataannya aku tidak mampu memilih. Aku mencintai kalian berdua. Percaya sama aku, aku bisa berbuat adil. Lagipula Tania juga mau menjadi istri keduaku," sahut Mas Adrian. 

"Enteng sekali kamu mengucap kata itu, Mas! Kamu kira, aku akan bisa memenuhi permintaanmu karena aku sangat mencintaimu, begitu, Mas?" Mereka terdiam. 

"Hari ini cintaku untukmu sudah hilang! Hanyut terbawa luka kebencian yang kau torehkan!" tegasku. 

"Kalau begitu, aku memilih untuk menikahi, Tania," ucap Mas Adrian. 

" Dan aku akan memberimu separuh dari hartaku," lanjutnya.

"Tidak perlu, Mas. Aku tidak memerlukan hartamu! Sedikitpun, haram bagiku menyentuh sesuatu yang berasal darimu. Aku memiliki ketrampilan dan kemampuan. Itu semua akan kupergunakan untuk mencapai sebuah kesuksesan!"

" Bukan untuk mencapai hasrat apalagi untuk merebut suami orang," balasku sinis sembari melirik pada Tania. 

"Dan untuk kamu, Tania, aku berdoa sesuatu hal yang baik untukmu. Percayalah, segala sesuatu yang kau tanam akan mendapatkan balasan. Tidak sekarang tapi bisa dimasa yang akan datang. Kalian bersenang-senanglah dan nikmati hidup bahagia diatas penderitaanku!" ucapku seraya berlalu. Aku akan pergi ke rumah Ibu.

Seminggu setelahnya, Mas Adrian dan Tania datang ke rumah Ibu. Awalnya aku bingung mereka ingin apa. Namun, tiba-tiba Tania dengan angkuhnya mengeluarkan sebuah undangan pernikahan dan memberikannya pada Ibu. Ibu meminta penjelasan pada Tania. Dengan membusungkan dada, Tania pun menceritakan semua pada Ibu. Aku sudah berusaha menahan Tania saat melihat Ibu memegangi dadanya. Namun, Tania justru semakin bersemangat. Ibu yang memang memiliki riwayat jantung, seketika penyakitnya kumat. Aku segera menghampiri Ibu yang mendadak terjatuh. 

Takut!

Itu yang kurasa.

"Kamu harus bahagia, Lirna. Kamu harus kuat dan buktikan pada suami serta Adikmu kalau kamu akan bahagia melepas mereka untuk bersama" ucap Ibu sambil menggenggam erat tanganku. Menangis aku melihat Ibu yang lemah.

 

"Iya, Bu. Lirna pasti akan kuat. Tania bukan Adik, Lirna, Bu," jawabku dengan derai air mata. 

"Ashadu-Alla-Ilaha-ilalah-Waashadu-anna-m-muhamada-r-ra-su-lul-lu-lah," ucap Ibu terbata dan perlahan menutup matanya.

"Ibu!" teriakku histeris. Ya Allah, kedua orang itu  hanya menatapku. Tidak ada reaksi apapun. Allah, terbuat dari apa hatinya.

Setelah Ibu meninggal, hatiku merasa sangat hancur. Kehancuran itu bertambah ketika Mas Adrian benar-benar melangsungkan pernikahan sehari setelahnya, dan setelah itu, aku pun memutuskan pergi dari kehidupan mereka, menjauh membawa anakku yang masih dalam kandungan untuk mencari kebahagiaan …. 

Kenangan pahit masalalu....

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Alfredo Kaat
Bagus sekali cerita nya
goodnovel comment avatar
Aleeaaz
Baru part 1 dah nyesek...
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
astagfitullah hal adzim... gemes bgt bacanya. mrk berdua bukan manusia. sabar ya Lirna...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • KARMA    Bab 2

    "Mama …." Aku tersentak ketika gadisku memanggil namaku. Ia dengan sigap mengusap air mataku. "Mama kenapa nangis?" tanyanya. "Mama … hanya ingat, Nenek, Sayang," jawabku seraya menyentuh pipi dan mengecup keningnya. Terima kasih Allah, telah memberiku putri yang cantik dan berkelakuan baik. Semoga sifat baiknya tetap melekat dalam dirinya. "Ma, ada karyawan baru. Anak-anak bilang, wajahnya mirip Rara. Mana mungkin, Ma? Beda emak, beda Bapa bisa mirip. Hahhaah." Rara tertawa. "Ada-ada saja mereka, Ma," lanjutnya. "Siapa namanya?" Tanyaku penasaran. "Dila, Ma. Anak baru. Katanya si anak pemilik perusahaan. Tapi angkuhnya itu nauzubillahi minzalik. Sombong," grutunya. "Oh iya, nanti malam aku datang ke acara Pak Adrian pemilik perusahaan, Ma. Dia merayakan kelulusan anaknya. Habis wisuda katanya," ucap Rara meminta ijin. Baru saja aku memikirkan laki-laki brengsek itu. Ternyata ada juga nama yang mirip o

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-18
  • KARMA    Bab 3

    Sudah jam 23.00 malam, kenapa Rara belum juga kembali. Mataku juga sudah mulai mengantuk. Kucoba menghubungi ke nomor ponselnya tidak aktif. Membuat diriku merasa panik. Apalagi dia anak perempuan. Kebetulan aku memiliki nomor Nando, segera ku-hubungi ponsel Nando. "Allhamdullillah, terhubung." "Halo Asalamualaikum." Terdengar suara Nando di seberang telepon. "Walaikumsalam, Nando. Allhmdullillah diangkat." "Iya, ada apa, Tante?" tanyanya. "Nan, apa kamu masih sama, Rara? Kok sudah jam sebelas malam masih belum pulang ya? Tante khawatir," jawabku. Bukan apa, sebab Rara anak perempuan. Jadi wajar kalau aku sebagai Ibu sangat mengkhawatirkannya. "Waduh, aturan udah pulang diantar sama anak, Pak Adrian, Tante. Tadi acaranya juga selesai pukul 22.00," pungkasnya. "Ya Allah, kemana ya? Tante panik, Nand. Takutnya Rara dan anak Pak Adrian kenapa-kenapa. Sebab sudah larut malam begini," uc

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-18
  • KARMA    Bab 4

    Allah, apa aku mimpi? Kuperhatikan sejenak wajah mereka. Ternyata aku tidak bermimpi, mereka memang Mas Adrian dan Tania. Astagfirullah, Astagfirullah, astagfirullah …. Menangis hati ini saat melihat mereka kembali. Allah, ternyata mereka semakin sukses. 'Jangan menangis, Lirna. Jangan menangis. Kamu harus kuat. Jangan teteskan sedikitpun air mata di hadapan mereka. Tapi, bagaimana? Allah, tubuhku bergetar. "Mbak Lirna?! Ngapain kamu disini, Mbak?" tanya Tania ketus. Sementara pria di sampingnya tengah menatapku. Aku yang sadar hal itu memilih menunduk. Takut kalau sampai air mata terjun dengan begitu bebasnya. Ya Allah, sebenarnya hatiku ingin sekali menjerit. Menangis sejadinya menyebut namamu agar hatiku menjadi tenang. Tania ternyata masih mengingatku. Entah kalau Mas Adrian. "Aku mencari, Rara!" "Rara siapa kamu, Lirna?" tanya Mas Adrian. Aku harus jawab apa? "Ma," ucap Rara menghampiriku.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-18
  • KARMA    Bab 5

    POV ADRIAN "Mama, Pak Adrian, kok jalan kaki?" tanya Rara. Aku tersenyum lalu duduk di kursi kayu yang ada di depan teras rumah. "Saya ambilkan air minum ya, Pak," tawar Rara, aku pun mengangguk dan tersenyum. Sementara Lirna masih terdiam. Wajahnya begitu enggan menatapku. Seandainya dia tahu kalau aku sangat merindukannya. Ternyata kesalahanku dua puluh tahun yang lalu masih belum bisa menghilangkan rasa bencinya terhadapku. Tidak lama, Rara datang dengan empat cangkir teh hangat beserta sepiring pisang goreng. Pisang goreng makanan favoritku, Rara tahu saja. "Loh, semalam ini kok ada pisang goreng hangat?" tanyaku saat Rara meletakan-nya di meja. "Iya, Pak. Tadi Rara sengaja bikin sama Nando. Buat menyambut kedatangan, Bapak yang mau singgah ke rumah kecil Mama dan Rara," ucap gadis manis berlesung Pipit itu. Aneh memang saat ada karyawan kantor yang bilang dia sangat mirip denganku. Awalnya aku tidak percaya, namun saat mel

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-18
  • KARMA    Bab 6

    POV ADRIAN "Nando, terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah." Aku mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan untuk Aldo. "sama-sama, Pak. Saya ikhlas kok nganterin Bapak tidak usah pakai beginian segala, beneran saya ikhlas,Pak," tolak Nando. "Ambil saja, Nan. Ini untuk kamu. Uang saya banyak, ngasih kamu segitu tidak akan habis," godaku. "Udah ambil saja!" Aku terus memaksa sehingga Nando pun mengambilnya dengan terpaksa. "Terima kasih, Pak. "Kalau begitu saya pamit pulang duluan." "Iya, hati-hati di jalan!" Setelah motor Nando tidak lagi terlihat aku pun langsung masuk. Kebetulan Pak Yanto sudah membukakan pintu gerbang. "Pak! Ibu sudah menunggu dari tadi, baru saja masuk ke dalam," ucap Yanto-satpam di rumahku. "Ya Pak Yanto. Jangan lupa gerbangnya dikunci," titahku. "Siap, Pak!" balas Yanto. Bar

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-18
  • KARMA    Bab 7

    "Nando," panggilku saat tiba di ruangannya. "Iya, Pak." "Kamu tahu dimana, Rara?" Nando hanya menggeleng. Sial! Jangan sampai Lirna kembali memisahkan aku dengan Rara. Segera aku pun bergegas keluar kantor. Sampai di luar, aku langsung menaiki mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi. "Semoga kalian masih ada di sana!" lirihku sambil terus fokus berkemudi. Dua puluh menit kemudian aku telah sampai di depan rumah Lirna. Keadaan begitu sunyi. Jantungku berdegup, apa mereka akan kembali pergi dariku? Segera aku pun turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya. Sudah beberapa kali aku mengetuk hingga jariku memerah tapi tidak ada yang membuka pintu. Frutasi aku rasanya. Baru saja bisa melihat mereka setelah sekian lama. Tapi kini harus kembali kehilangan. Aku masih belum beranjak dari pintu rumah Lirna. Aku masih menyandarkan tubuhku di sana. Terduduk lemas sambil terus menjambak rambutku. "Kamu ngapain disini?" Aku

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • KARMA    Bab 8

    " apa yang harus aku katakan pada seorang penghianat? Apa yang harus aku katakan pada seorang Ayah yang tega menyakiti hati ibuku? Kau tahu, Pak Adrian? Ibuku berjuang mati-matian untuk membesarkanku!" "Jadi maksud kamu, kamu sudah tahu siapa Saya?" "Saya sudah tahu kalau anda adalah seseorang yang membuatku terlahir di dunia ini. Seseorang yang yang mampu membuat hati ibuku terluka begitu hebatnya!" "Sekarang tolong anda pergi dari sini! Kami tidak membutuhkan keberadaan anda! Ataupun belas kasihan dari anda! Dari dulu saya dan ibu saya sudah terbiasa tanpa kehadiran anda! Sekarang saya mohon anda pergi dari sini, dan jangan pernah datang lagi kemari. Bagi kami, anda sudah tiada, Pak Adrian. Anggap saja anda tidak pernah berhubungan dengan orang seperti kami. Kami tidak akan mengusik keluarga anda, begitupun sebaliknya!" tegas Rara membuatku tak mampu berbicara. "Pak Adrian yang ternyata Ayah saya, s

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06
  • KARMA    Bab 9

    POV Rara "Walaikumsalam," ucap Mama bergegas. "Mbak Lirna, saya mau ngasih tahu, itu tempat yang untuk jualan pecel ayamnya sudah rapi. Besok ataupun lusa sudah bisa dibuat jualan. Semua sudah beres seperti permintaan, Mbak Lirna. Bersyukurnya lagi, kantor yang baru jadi dibangun juga segera beroperasi. Pasti banyak yang makan siang di warung Ibu. Belum lagi orang-orang yang lalu lalang. Insya Allah rame, Mbak, warungnya," ucap Pak Jono panjang lebar. Pak Jono itu pemilik tempat yang dikontrak Ibu untuk dijadikan warung pecel ayam. Lebih enaknya lagi, bagian atasnya bisa untuk tempat tinggal kami, karena tempatnya bertingkat. Harga sewanya 20 juta per tahun Khusus tempat. Untuk biaya perlengkapan warung dan dekorasi, sekitar 20 juta. Itu sudah lengkap semua. Lokasinya sangat strategis di pinggir jalan dan juga dekat dari perkomplekan. Masakan Mama itu lezat, aku yakin pasti akan laris manis. Setelah bertahun-tahun kami menabung, allhmdullillah bisa buka

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-06

Bab terbaru

  • KARMA    Akhirnya....

    AkhirnyaPOV DilaSampai di rumah, Mas Reyhan langsung membicarakan pernikahan pada semua orang. Mama pun sangat antusias menyambutnya. "Ya Allah, akhirnya punya menantu kaya Bima," ucap Mama girang. "Wah, Reyhan lebih dari saya. Senior," ucap Bima melirik Reyhan. "Wah, jangan merendah, Bim. Saya tidak separuhnya kehebatanmu," ucap balik Reyhan. "Sudah-sudah. Kalian berdua sama-sama hebat. Bersatunya kalian akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalian harus kompak dan saling mendukung. Dila dan juga Rara juga ya," ucap Tante Lirna. "Dan Tante sama Mama juga harus selalu kompak yah. Saling mendukung," timpalku. Tak lama, hadir Arkhan dan Gara sambil bergandengan tangan berjalan melewati kami. Membuat kami yang melihatnya tertawa riang. "Ya Allah, mereka akur sekali," ucap Mama. Kami semua yang mendengar pun hanya tersenyum. "Dua calon lelaki hebat impian," batinku. "Jadi pernikahan kalian dipercepat?" tanya Mas Bima. Reyhan mengangguk mantap."Baik seminggu lagi bukan?" ula

  • KARMA    Bab 90

    "Aku benar-benar serius ingin menikah denganmu, Dil. Kenapa? Apa yang membuatmu meragukan perasaan aku?" tanya Reyhan, aku terdiam. Dia laki-laki impian. Sama seperti Mas Bima. Tampan, mapan, baik. Idaman wanita. Aku tidak perlu iri lagi. Tapi bedanya, Mas Reyhan punya masa lalu yaitu istrinya. Apa mungkin dia bisa melupakan bayang-bayang istrinya itu?"Kamu yakin, Mas? Kamu tidak akan melukai perasaanku? Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kamu pikirkan dulu. Entah kenapa, aku seolah tidak yakin kalau kamu mencintaiku, Mas," lirihku sembari mengerutkan kening.Makanan pesanan kami tiba, hingga membuat aku dan Mas Reyhan terpaksa menghentikan obrolan untuk sejenak. Setelah pelayan pergi dan makanan sudah tertata rapi di meja, Mas Reyhan menyeruput coklat hangatnya. Kemudian mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Lalu, ia kembali m

  • KARMA    Bab 89

    Malam ini Reyhan mengajakku untuk pergi makan malam berdua. Sekalian aku juga ingin berbicara banyak hal dengannya. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, sebelum pergi makan malam, Reyhan ingin pergi menemui Lingga lebih dulu. Tentu aku ikut bersamanya."Sudah siap?" tanyanya saat aku menghampiri ia yang sudah berada di halaman rumah dengan mobilnya. "Sudah, Mas. Kamu gak mampir dulu?" Aku bertanya. Reyhan menggeleng."Masuk." Laki-laki itu membukaan pintu mobil untukku. Aku pun tersenyum ke arahnya dan langsung duduk di sampingmya. "Terima kasih," kataku. Reyhan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, laki-laki itu pun mulai menjalankan mobilnya."Kita pergi ke penjara dulu ya, Rey?" Masih canggung memanggil Mas. Tapi mulai hari ini aku harus membiasakannya.

  • KARMA    Bab 88

    POV Dila ….Dua bulan berlalu. Kehidupan keluarga Tante Lirna sudah sangat bahagia. Benar-benar hidup mewah bergelimang harta. Juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus. Keluarga mereka benar-benar dijaga oleh sang maha kuasa. Kepahitan yang dialami Tante Lirna dulu, sekarang sudah berbuah manis. Mungkin setiap pasang mata melihat keluarga mereka nyaris sempurna. Karena kunci mereka, selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat. Dimiliki.Kini waktunya aku dan Mama serta Gara kembali ke Bali. Menenangkan pikiran di sana untuk sejenak. Mungkin bukan untuk sejenak. Tapi untuk seterusnya. Menghilangkan luka kecewa karena malang dalam bercinta. Harusnya aku sudah kembali sebulan yang lalu, tapi Rara dan keluarganya meminta kami untuk tinggal bangsa sebulanan lagi. Akhirnya pun, aku menurut. Sekarang juga keadaan Ma

  • KARMA    Bab 87

    Pagi ini senyum bahagia nan haru keluarga Bima tumpah ruah di dalam ruangan. Pasalnya, Rara berhasil melewati masa kritis dan bisa dipindahkan ke ruang inap. Setelah semalaman hati mereka begitu gelisah menunggu karena dokter bilang kondisi Rara semakin lemah.Rara telah melahirkan sepasang anak kembar yang begitu lucu. Wajahnya tampan dan cantik seperti Papa dan Mamanya.Cup!Bima mengecup kening Rara. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang Rara yang tengah berbaring. Wajah Rara terlihat pucat, tapi nampak jelas di wajahnya dia sangat bahagia. "Terimakasih, Sayang," ucap Bima lembut. Rara meraih tangan Bima dan mengecupnya."Sama-sama, Mas." Rar

  • KARMA    Bab 86

    "Halo?" "Apa?!" ucap Bima. "Ya udah kamu nggak usah ke rumah sakit. Di sini udah banyak yang jaga Rara. Bantu doa aja untuk Rara ya," ucap Bima kemudian mematikan sambungan telepon. "Kenapa, Bim?" tanya Papa Bima panik. "Rumah Lingga terbakar. Mamanya terjebak kobaran api yang besar. Lingga sendiri sekarang berada di rumah sakit karen shock mendengar berita tentang Mamanya," jawab Bima. Laki-laki itu memijit keningnya. "Kasihan juga kalau keluarga mereka jadi seperti ini," lirih Lirna. "Kamu kata siapa?" lanjut Lirna bertanya.

  • KARMA    Bab 85

    "Kakak tuh gimana sih? Masih dalam masa pemulihan malah keluyuran. Wajah juga masih bengkak. Heran kenapa nggak bisa ya diem di rumah?" gerutu Feri sesampainya mereka di dalam mobil."Kan Kaka pake penutup wajah. Cuma matanya aja yang nggak ditutup!" kesal Asta."Mana ada Kakak pake penutup wajah? Aneh Kakak. Orang nggak pake apa-apa. Itu kelihatan bengkaknya. Kalau kena sinar matahari bagaimana?" Feri menggelengkan kepala."Pantas saja Dila mengenaliku. Padahal seingatku, aku memakai penutup wajah juga topi. Kakak kira Kakak bisa mendekati Bima. Awalnya mau meminta nomor ponselnya. Ya deketin gitu. Pantas saja dia sama sekali tidak melirik Kakak. Gagal semuanya," lirih Asta. Feri dan Reno yang mendengar ucapan Asta geleng-geleng kepala."Ceroboh," ujar Feri."Bukan masalah ceroboh! Uang Kakak juga sudah habis. Sedangkan Kakak masih perlu untuk pergi ketemu ahli bedah. Dan itu biayanya gak

  • KARMA    Bab 84

    "Hany sudah berada di surga Allah," ucap Reyhan. Lelaki itu kembali mengingat setiap kejadian yang dilewati bersama istrinya."Maaf,Rey. Aku tidak tahu. Kamu yang sabar ya?" Sudah berapa lama?" tanya Dila mengelus punggung Reyhan."Sudah sebulan yang lalu. Dia sakit tapi dia tidak pernah menceritakan pada siapapun. Dia berobat sendirian, tanpa memberitahuku. Atau siapapun. Dia terlihat kuat di luar demi kami tidak khawatir dan takut. Tapi ternyata, senyumnya adalah senyum menahan kesakitan. Dia istri yang luar biasa. Tuhan lebih sayang padanya. Hingga saat dia pergi pun, dia masih meninggalkan kenangan luar biasa. Dua putra dan 1 putri yang begitu istimewa," tutur Reyhan."Nanti setelah ini, boleh aku melihat anakmu?" tanya Dila. Reyhan mengangguk dengan senang hati."Reyhan! Dia berhenti disana!" Dila menunjuk pada sebuah taksi yang berhenti tepat di tengah jembatan. Padahal berhenti disana sangat dilarang.&n

  • KARMA    Bab 83

    "Mas Bima!" panggil Dila. Bima pun langsung berhenti dan menengok ke arah Dila."Dila," ucap Bima. "Kamu ngapain di sini?" lanjutnya bertanya."Mas ngapain di sini? Ini siapa?" Dila balik bertanya sambil menunjuk wajah perempuan di sebelah Bima."Perempuan ini mengingatkanku pada wanita murahan yang menjijikkan itu," batin Dila sambil memandangi wajah perempuan itu. "Tadi Mas habis ke supermarket, terus pas pulang mobil Mas nyerempet Mbak ini. Mbak ini tidak lihat-lihat saat hendak menyebrang," jawab Bima.."Yang bener, Mas. Jangan macam-macam. Ngapain gak nyuruh Radit aja yang antar perempuan ini?" kesal Dila. Perempuan di sebelahnya menyeringai dan menatap Dila dengan tatapan penuh kebencian."Kamu lupa? Radit kan sedang bulan madu di Bali sama istrinya," tutur Bima."Astaghfirullah, aku lupa," batin Dila."Radit dan Sheila su

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status