POV ADRIAN
"Nando, terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah." Aku mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan untuk Aldo.
"sama-sama, Pak. Saya ikhlas kok nganterin Bapak tidak usah pakai beginian segala, beneran saya ikhlas,Pak," tolak Nando."Ambil saja, Nan. Ini untuk kamu. Uang saya banyak, ngasih kamu segitu tidak akan habis," godaku."Udah ambil saja!" Aku terus memaksa sehingga Nando pun mengambilnya dengan terpaksa."Terima kasih, Pak. "Kalau begitu saya pamit pulang duluan.""Iya, hati-hati di jalan!" Setelah motor Nando tidak lagi terlihat aku pun langsung masuk. Kebetulan Pak Yanto sudah membukakan pintu gerbang. "Pak! Ibu sudah menunggu dari tadi, baru saja masuk ke dalam," ucap Yanto-satpam di rumahku. "Ya Pak Yanto. Jangan lupa gerbangnya dikunci," titahku."Siap, Pak!" balas Yanto. Baru saja aku menekan bel, Tania sudah langsung membukanya."Papa dari mana aja sih?" sungutnya."Kan kamu tahu aku nganterin Lirna dan Rara pulang!" jawabku sedikit kesal. "Hah!" Aku mendengus. Bukannya menyambut suami baru pulang malah marah-marah!" Aku pun langsung duduk karena merasa lelah."Bukan begitu, Pa! Masa iya nganterin orang sampai larut begini, ini kan hampir pagi! Papa sadar nggak sih udah bikin Mama cemas?" bentaknya."Papa ini bukan anak kecil, Mah! Jadi tidak perlu dikhawatirkan.""Bukan masalah anak kecil atau apa! Mama tuh hanya takut Papa kenapa-napa."
"Apa jangan-jangan Lirna menggoda, Papa Iya?" tuduhnya."Awas ya kalau kamu sampai macam-macam, Pa!" Aku malas menanggapi Tania. Tuduhannya itu terlalu berlebihan."Kenapa sih kita harus ketemu sama, Mbak Lirna lagi?" kesalnya. "Pasti dia bakal gangguin rumah tangga kita, secara semenjak ditinggal sama dia itu kan kita semakin sukses!"
"Pa, pokoknya, Mama nggak mau kalau sampai Papa kembali lagi sama, Mbak Lirna!" cerocosnya."Mama itu ngomong apa sih?! jangan bikin Papa kesal deh, Ma! Lagi pula kalau pun Papa ingin kembali dengan Lirna, belum tentu Lirna mau kembali dengan, Papa."" Jadi Papa masih mengharapkan Lirna untuk kembali sama, Papa? Apa karena anak perempuan yang bernama, Rara itu? jawab Pa !" Tania menggoyangkan bahuku. "Kamu bisa tenang tidak, Ma?!" bentaku. "Bagaimana aku bisa tenang kalau sikap Papa seperti ini!""Bagaimana apanya? Papa masih sama saja! Lagi pula kalaupun aku lama di tempat Lirna kenapa? Bukankah ada anak aku di sana?" Aku balik bertanya. Tania hanya diam saja.
"Anak, Pa? Anak, Papa yang disana? Siapa?" Tiba-tiba Dila datang dengan sebuah pertanyaan. Aku dan Tania saling berpandangan, harus jawab apa aku sekarang?
"Oh, tidak apa-apa. Itu anak Pak Yanto, Sayang. Ada disana, maksud Papa seperti itu," ucap Tania." Oh begitu. Mama sama Papa ngapain sih ribut-ribut udah malam? Malu kalau kedengeran tetangga," ucap Tania." Enggak sayang, Papa dan Maama enggak berantem kok cuma ngomongnya aja sedikit kencang," kilahku." Ya sudah kalau begitu! Aku masuk dulu ke kamar aku masih ngantuk nih," ucap Tania seraya bergegas. Aku pun langsung masuk ke kamar disusul oleh Tania."Papa tunggu!" Aku hanya mengabaikan, rasanya tubuhku terlalu lelah dan aku juga sedang tidak ingin berdebat. Sampai di dalam kamar aku langsung membaringkan tubuh di ranjang. Tania menutup pintu lalu menguncinya, kemudian mematikan lampu. Setelah itu Tania pun segera berbaring di sampingku. Mataku terus terjaga, meski Tania sudah terlelap. suasana kamar yang gelap membuatku terus mengingat masa lalu. Siapa lagi yang kupikirkan kalau bukan Lirna dan Rara, hanya mereka yang mampu memenuhi benakku kini. Lirna, kenapa dia masih sendiri? Apa karena dia belum bisa melupakanku? Sebesar itukah cintanya untukku? Kalau seperti itu kenapa dia memilih untuk berpisah dariku? Entahlah, tapi kali ini aku mulai mengantuk.⭐⭐⭐⭐Pagi ini aku berencana berangkat ke kantor lebih siang. Aku ingin membelikan Rara ponsel baru, bukankah ponselnya kemarin tercebur di kolam renang, pasti dia sangat menginginkan ponsel untuk saat ini. Sebagai ayah yang baik aku pun berinisiatif untuk membelikannya. Semoga saja dia senang dengan hadiah dariku nanti. Sebenarnya, aku tidak perlu datang ke kantor. Sudah ada Dila untuk memimpinnya. Dila tidak diragukan lagi keahliannya, karena sambil kuliah pun dia selalu kuajarkan untuk mengurus perusahaan. Aku tinggal mendampingi dan menjelaskannya.Untuk Rara, agar naik jabatan bisa saja ku sandingkan dengan Dila, kelihatannya Rara dan Dila juga sangat akrab. Tidak masalah jika perusahaan ini kuserahkan pada Dila, dan Rara sebagai sekretarisnya. Pasti Rara akan bahagia karena naik jabatan. Mungkin juga ini bisa menjadi hadiah terindah.
"Pa, hari ini Papa ke kantor?" tanya Dila. Aku mengangguk.
"Memang kalau Papa tidak ke kantor kamu sudah bisa mengurus semuanya?" Aku balik bertanya."Aku bisa segalanya, bukankah di Jakarta juga aku bisa diandalkan oleh, Papa," jawab Dila penuh keyakinan.
" Iya dong, Papa itu tidak perlu meng-khawatirkan, anak Mama. Anak mama itu kan pandai," samber Tania."Iya dong, anak kesayangan, Papa," balas Dila."Dil!" panggilku." Iya, Pa," jawab Dila." Kenapa kamu tidak menjadikan, Rara sebagai sekretaris kamu saja?" Tania membulatkan matanya, aku tahu dia tidak akan setuju. Justru yang ada di otaknya mungkin aku harus memecat Rara."Wah … ide bagus tuh, Pa. Kelihatannya Rara juga sangat cekatan, sangat cocok kalau jadi sekretaris Dila. Pasti Rara akan mengurus semuanya! Rara pasti seneng naik jabatan," jawab Dila. Aku mengangguk dan tersenyum. 'Seharusnya kamu juga punya hak untuk memimpin perusahaan, Ra. Kamu juga anak Papa.'" Pa, kalau begitu, Dila berangkat duluan ya," pamitnya. Dia pun kemudian mencium punggung tanganku dan Tania."Daaaa … Mama. Da …, Papa. Aku duluan. Sampai ketemu di kantor!" ucapnya seraya berlalu."Hati-hati, Sayang!" teriak Tania."Oke bos!" balas Dila.Seperginya Dila wajah Tania langsung berubah garang. "Papa kamu apa-apaan sih! Kok malah nyuruh si Rara itu jadi sekretaris Dila! Nanti kalau dia iri sama Dila gimana? Kalau Rara itu jahatin Dila gimana?" cercanya."Jaga ucapan kamu, Tania!" bentakku "Lirna perempuan baik! Tidak mungkin dia menghasilkan anak rendahan! Tidak mungkin, Rara seperti itu!"
"Iya kan Rara itu, anak Papa. Anak dari perempuan kampung itu! Otomatis dia merasa iri dong kalau dibedakan!"
" Memang, Rara tahu kalau dia itu anak aku?" Aku balik bertanya pada Tania."Memang nggak ngomong kalau Rara itu anak, Papa?" Aku hanya menggeleng. "Bagus dong, Pa. Sudah Papa nggak usah kasih tahu kebenarannya sama dia. Jadi dia itu nggak perlu ngerecokin kehidupan kita.""Biar dia itu mengikuti jejak Mamanya saja, tidak mengganggu rumah tangga orang, tapi nggak tau juga sih. Itu kan dulu. Bisa saja sekarang dia berubah karena melihat Papa sudah sukses. Jadi merasa menyesal, lalu berusaha buat dapetin, Papa deh." Aku hanya menggelengkan kepala. "Jauh sekali pemikiran kamu, Ma. Lirna tidak seperti itu, dia bukan perempuan yang gila harta seperti kamu!""Kok seperti aku sih, Pa. Aku kan hanya menikmati keuangan, Papa. Percuma punya suami kaya kalau nggak dinikmati hasilnya.""Sudah kalau gitu, Mama masuk duluan ke kamar! Bete sama, Papa!" sungutnya.⭐⭐⭐Setelah membelikan ponsel untuk Rara, aku segera pergi ke kantor. Rasanya tidak sabar menemuinya. Sampai di kantor aku langsung gegas ke ruangan Dila dan mencari keberadaan Rara. Dila pasti tahu karena Rara pasti sudah diangkat sebagai sekretarisnya."Dil." Aku langsung masuk ke ruangan Dila tanpa mengetuk pintu. "Iya, Pa," jawab Dila."Rara mana?" "Tidak masuk, Pa. Tapi tidak memberi kabar. Padahal teman-temannya bilang, Rara itu termasuk karyawan yang rajin, Pa," jawab Dila. Aku segera bergegas dan pergi ke ruangan Nando. Berharap laki-laki itu mengetahui keberadaan Rara."Nando," panggilku saat tiba di ruangannya. "Iya, Pak." "Kamu tahu dimana, Rara?" Nando hanya menggeleng. Sial! Jangan sampai Lirna kembali memisahkan aku dengan Rara. Segera aku pun bergegas keluar kantor. Sampai di luar, aku langsung menaiki mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi. "Semoga kalian masih ada di sana!" lirihku sambil terus fokus berkemudi. Dua puluh menit kemudian aku telah sampai di depan rumah Lirna. Keadaan begitu sunyi. Jantungku berdegup, apa mereka akan kembali pergi dariku? Segera aku pun turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya. Sudah beberapa kali aku mengetuk hingga jariku memerah tapi tidak ada yang membuka pintu. Frutasi aku rasanya. Baru saja bisa melihat mereka setelah sekian lama. Tapi kini harus kembali kehilangan. Aku masih belum beranjak dari pintu rumah Lirna. Aku masih menyandarkan tubuhku di sana. Terduduk lemas sambil terus menjambak rambutku. "Kamu ngapain disini?" Aku
" apa yang harus aku katakan pada seorang penghianat? Apa yang harus aku katakan pada seorang Ayah yang tega menyakiti hati ibuku? Kau tahu, Pak Adrian? Ibuku berjuang mati-matian untuk membesarkanku!" "Jadi maksud kamu, kamu sudah tahu siapa Saya?" "Saya sudah tahu kalau anda adalah seseorang yang membuatku terlahir di dunia ini. Seseorang yang yang mampu membuat hati ibuku terluka begitu hebatnya!" "Sekarang tolong anda pergi dari sini! Kami tidak membutuhkan keberadaan anda! Ataupun belas kasihan dari anda! Dari dulu saya dan ibu saya sudah terbiasa tanpa kehadiran anda! Sekarang saya mohon anda pergi dari sini, dan jangan pernah datang lagi kemari. Bagi kami, anda sudah tiada, Pak Adrian. Anggap saja anda tidak pernah berhubungan dengan orang seperti kami. Kami tidak akan mengusik keluarga anda, begitupun sebaliknya!" tegas Rara membuatku tak mampu berbicara. "Pak Adrian yang ternyata Ayah saya, s
POV Rara "Walaikumsalam," ucap Mama bergegas. "Mbak Lirna, saya mau ngasih tahu, itu tempat yang untuk jualan pecel ayamnya sudah rapi. Besok ataupun lusa sudah bisa dibuat jualan. Semua sudah beres seperti permintaan, Mbak Lirna. Bersyukurnya lagi, kantor yang baru jadi dibangun juga segera beroperasi. Pasti banyak yang makan siang di warung Ibu. Belum lagi orang-orang yang lalu lalang. Insya Allah rame, Mbak, warungnya," ucap Pak Jono panjang lebar. Pak Jono itu pemilik tempat yang dikontrak Ibu untuk dijadikan warung pecel ayam. Lebih enaknya lagi, bagian atasnya bisa untuk tempat tinggal kami, karena tempatnya bertingkat. Harga sewanya 20 juta per tahun Khusus tempat. Untuk biaya perlengkapan warung dan dekorasi, sekitar 20 juta. Itu sudah lengkap semua. Lokasinya sangat strategis di pinggir jalan dan juga dekat dari perkomplekan. Masakan Mama itu lezat, aku yakin pasti akan laris manis. Setelah bertahun-tahun kami menabung, allhmdullillah bisa buka
POV Tania. "Papa kemana, sih, Ma? Katanya mau ke kantor, Dila tungguin nggak ada, Papa itu datang, Ma," kesal putriku sambil melempar tasnya dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa. "Capek ya, Sayang?" tanyaku. "Capek banget, Ma," jawabnya. Kasihan memang putriku yang cantik ini harus kelelahan mengurus kantor. "Tadi itu, Papa bilang sama Mama mau ketemu teman bisnis. Rekan bisnis Papa. Ada acara peresmian kantor. Mereka bilang sih,,,," Aku tidak melanjutkan ucapanku agar Dila penasaran. Dila itu putri kesayangan kami. Ya, meski suamiku itu memiliki anak dari mantan istrinya, dia seakan tidak peduli dan lebih perhatian pada putriku. Jelas aku tahu, sebab apapun yang ia punya, pokoknya semua yang ia miliki, semuanya untuk Dila. Sudah hampir dua minggu belakangan ini, sejak pertemuan dengan anak dan mantan istrinya, Mas Adrian terlihat biasa saja. Tidak ada kesedihan
"Ma, Rara risih sama pelanggan yang pake jas hitam gagah tinggi itu," ucapku pada Mama. Bagaimana tidak, kalau pemuda itu diam-diam memperhatikan aku yang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan pelanggan. Alhamdulillah warung pecel ayam kami selalu ramai pengunjung. Terlebih saat kantor baru itu buka hari ini, pas jam makan siang sangat ramai dan membuatku super sibuk. Seperti siang ini tentunya, yang satu ruangan hampir penuh dengan para karyawannya. "Yang mana?" Mama bertanya sambil celingukan mencari pria itu. "Mama! Jangan tengak-tengok begitu. Itu yang dipojok," ucapku. "Oh, ganteng ya, Ra," ucap Mama. "Mungkin memperhatikan kamu karena pesanannya belum diantar, Ra. Jadi jangan ke-GR-an," ucap Mama. Sumpah menohok banget. "Ya sudah, ini kamu antar pesanan dia." Aku pun segera mengantarnya. Aduh, baru kali ini ketemu pelanggan perasaan aku dag dig dug tak karuan. "Permisi, pesanannya,"
POV Tania. "Bagaimana, Pa? Apa perusahaan, Papa bisa diselamatkan?" tanyaku setelah Mas Adrian merebahkan tubuhnya di sofa. Mas Adrian menarik nafas panjang lalu menghembuskan-nya. "Tidak bisa, Ma. Papa jual pada sahabat Ronald. Dia sanggup membayarnya. Jadi setidaknya, Papa tidak mengalami kerugian yang lebih besar lagi," jawabnya. Aku mengangguk dan mendengus lega. "Syukurlah, Pa," ucapku. Terlihat dari wajahnya, suamiku itu sangat kelelahan. "Ya sudah, Papa masuk ke kamar ayo. Terus langsung mandi," ucapku. Meskipun waktu sudah hampir pukul 11 malam, tetap saja, suamiku bau keringat dan harus tetap mandi.
POV LINGGA "Ini bukan lagi musim perjodohan seperti jaman Siti Nurbaya dan Datuk maringgih kan, Pa?" tanyaku pada Papa yang terus memaksa untuk menikah dengan gadis pilihannya. "Dia itu pintar! Cantik! Masih muda! Tahu kamu? Dia juga memimpin perusahaan Ayahnya! Gadis seperti itulah yang seimbang dan cocok dengan kamu! Dia bisa mengimbangi kamu! Atau bahkan menjadi sekretarismu nanti! Diberi pasangan yang cocok malah menolak!" kesal Papa. Bagaimana mungkin aku dapat menerima perjodohan ini, kalau aku pun tertarik pada seorang gadis sederhana penjual pecel ayam itu. Selama 28 tahun usiaku, Tidak pernah sedikitpun aku memiliki ketertarikan pada gadis lain. Baru kali ini, dan itu pada seorang gadis penjual pecel ayam. "Kamu itu laki-laki norma
POV RARA Sudah dua hari ini pemuda tampan itu tidak menginjakkan kaki di warung pecel ayam ini. Padahal aku sudah berhias semanis mungkin. Khusus agar tidak terlihat kumal di hadapannya. 'Kemana ya pemuda tampan itu?' Entah kenapa, meski baru pertama kali melihat hadirnya, ada sesuatu yang berbeda di dalam hati ini. Aku ingin terus melihat dan melihatnya. "Sayang, kamu bengong saja." Mama datang sambil menepuk pundakku. "Lo, Mama sejak kapan ada di belakang, Rara?" tanyaku bingung. Sebab, Mama sedang pergi melihat tempat bersama Pak Jono. Kami berencana ingin membuka cabang baru. Meski baru sebentar kami membuka warung pecel ayam ini, tapi karena omset yang mencapai 10 juta per hari bahkan kadang lebih, membuat kami bisa membuka cabang baru dengan cepat. Mungkin karena keenakan sambal buatan Mama yang beda dari sambal lain, serta ayam dan ikan yang begitu meresap, membuat orang jauh bahkan rela menempuh jarak dengan kendaraan mereka. Komenta
AkhirnyaPOV DilaSampai di rumah, Mas Reyhan langsung membicarakan pernikahan pada semua orang. Mama pun sangat antusias menyambutnya. "Ya Allah, akhirnya punya menantu kaya Bima," ucap Mama girang. "Wah, Reyhan lebih dari saya. Senior," ucap Bima melirik Reyhan. "Wah, jangan merendah, Bim. Saya tidak separuhnya kehebatanmu," ucap balik Reyhan. "Sudah-sudah. Kalian berdua sama-sama hebat. Bersatunya kalian akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalian harus kompak dan saling mendukung. Dila dan juga Rara juga ya," ucap Tante Lirna. "Dan Tante sama Mama juga harus selalu kompak yah. Saling mendukung," timpalku. Tak lama, hadir Arkhan dan Gara sambil bergandengan tangan berjalan melewati kami. Membuat kami yang melihatnya tertawa riang. "Ya Allah, mereka akur sekali," ucap Mama. Kami semua yang mendengar pun hanya tersenyum. "Dua calon lelaki hebat impian," batinku. "Jadi pernikahan kalian dipercepat?" tanya Mas Bima. Reyhan mengangguk mantap."Baik seminggu lagi bukan?" ula
"Aku benar-benar serius ingin menikah denganmu, Dil. Kenapa? Apa yang membuatmu meragukan perasaan aku?" tanya Reyhan, aku terdiam. Dia laki-laki impian. Sama seperti Mas Bima. Tampan, mapan, baik. Idaman wanita. Aku tidak perlu iri lagi. Tapi bedanya, Mas Reyhan punya masa lalu yaitu istrinya. Apa mungkin dia bisa melupakan bayang-bayang istrinya itu?"Kamu yakin, Mas? Kamu tidak akan melukai perasaanku? Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kamu pikirkan dulu. Entah kenapa, aku seolah tidak yakin kalau kamu mencintaiku, Mas," lirihku sembari mengerutkan kening.Makanan pesanan kami tiba, hingga membuat aku dan Mas Reyhan terpaksa menghentikan obrolan untuk sejenak. Setelah pelayan pergi dan makanan sudah tertata rapi di meja, Mas Reyhan menyeruput coklat hangatnya. Kemudian mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Lalu, ia kembali m
Malam ini Reyhan mengajakku untuk pergi makan malam berdua. Sekalian aku juga ingin berbicara banyak hal dengannya. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, sebelum pergi makan malam, Reyhan ingin pergi menemui Lingga lebih dulu. Tentu aku ikut bersamanya."Sudah siap?" tanyanya saat aku menghampiri ia yang sudah berada di halaman rumah dengan mobilnya. "Sudah, Mas. Kamu gak mampir dulu?" Aku bertanya. Reyhan menggeleng."Masuk." Laki-laki itu membukaan pintu mobil untukku. Aku pun tersenyum ke arahnya dan langsung duduk di sampingmya. "Terima kasih," kataku. Reyhan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, laki-laki itu pun mulai menjalankan mobilnya."Kita pergi ke penjara dulu ya, Rey?" Masih canggung memanggil Mas. Tapi mulai hari ini aku harus membiasakannya.
POV Dila ….Dua bulan berlalu. Kehidupan keluarga Tante Lirna sudah sangat bahagia. Benar-benar hidup mewah bergelimang harta. Juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus. Keluarga mereka benar-benar dijaga oleh sang maha kuasa. Kepahitan yang dialami Tante Lirna dulu, sekarang sudah berbuah manis. Mungkin setiap pasang mata melihat keluarga mereka nyaris sempurna. Karena kunci mereka, selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat. Dimiliki.Kini waktunya aku dan Mama serta Gara kembali ke Bali. Menenangkan pikiran di sana untuk sejenak. Mungkin bukan untuk sejenak. Tapi untuk seterusnya. Menghilangkan luka kecewa karena malang dalam bercinta. Harusnya aku sudah kembali sebulan yang lalu, tapi Rara dan keluarganya meminta kami untuk tinggal bangsa sebulanan lagi. Akhirnya pun, aku menurut. Sekarang juga keadaan Ma
Pagi ini senyum bahagia nan haru keluarga Bima tumpah ruah di dalam ruangan. Pasalnya, Rara berhasil melewati masa kritis dan bisa dipindahkan ke ruang inap. Setelah semalaman hati mereka begitu gelisah menunggu karena dokter bilang kondisi Rara semakin lemah.Rara telah melahirkan sepasang anak kembar yang begitu lucu. Wajahnya tampan dan cantik seperti Papa dan Mamanya.Cup!Bima mengecup kening Rara. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang Rara yang tengah berbaring. Wajah Rara terlihat pucat, tapi nampak jelas di wajahnya dia sangat bahagia. "Terimakasih, Sayang," ucap Bima lembut. Rara meraih tangan Bima dan mengecupnya."Sama-sama, Mas." Rar
"Halo?" "Apa?!" ucap Bima. "Ya udah kamu nggak usah ke rumah sakit. Di sini udah banyak yang jaga Rara. Bantu doa aja untuk Rara ya," ucap Bima kemudian mematikan sambungan telepon. "Kenapa, Bim?" tanya Papa Bima panik. "Rumah Lingga terbakar. Mamanya terjebak kobaran api yang besar. Lingga sendiri sekarang berada di rumah sakit karen shock mendengar berita tentang Mamanya," jawab Bima. Laki-laki itu memijit keningnya. "Kasihan juga kalau keluarga mereka jadi seperti ini," lirih Lirna. "Kamu kata siapa?" lanjut Lirna bertanya.
"Kakak tuh gimana sih? Masih dalam masa pemulihan malah keluyuran. Wajah juga masih bengkak. Heran kenapa nggak bisa ya diem di rumah?" gerutu Feri sesampainya mereka di dalam mobil."Kan Kaka pake penutup wajah. Cuma matanya aja yang nggak ditutup!" kesal Asta."Mana ada Kakak pake penutup wajah? Aneh Kakak. Orang nggak pake apa-apa. Itu kelihatan bengkaknya. Kalau kena sinar matahari bagaimana?" Feri menggelengkan kepala."Pantas saja Dila mengenaliku. Padahal seingatku, aku memakai penutup wajah juga topi. Kakak kira Kakak bisa mendekati Bima. Awalnya mau meminta nomor ponselnya. Ya deketin gitu. Pantas saja dia sama sekali tidak melirik Kakak. Gagal semuanya," lirih Asta. Feri dan Reno yang mendengar ucapan Asta geleng-geleng kepala."Ceroboh," ujar Feri."Bukan masalah ceroboh! Uang Kakak juga sudah habis. Sedangkan Kakak masih perlu untuk pergi ketemu ahli bedah. Dan itu biayanya gak
"Hany sudah berada di surga Allah," ucap Reyhan. Lelaki itu kembali mengingat setiap kejadian yang dilewati bersama istrinya."Maaf,Rey. Aku tidak tahu. Kamu yang sabar ya?" Sudah berapa lama?" tanya Dila mengelus punggung Reyhan."Sudah sebulan yang lalu. Dia sakit tapi dia tidak pernah menceritakan pada siapapun. Dia berobat sendirian, tanpa memberitahuku. Atau siapapun. Dia terlihat kuat di luar demi kami tidak khawatir dan takut. Tapi ternyata, senyumnya adalah senyum menahan kesakitan. Dia istri yang luar biasa. Tuhan lebih sayang padanya. Hingga saat dia pergi pun, dia masih meninggalkan kenangan luar biasa. Dua putra dan 1 putri yang begitu istimewa," tutur Reyhan."Nanti setelah ini, boleh aku melihat anakmu?" tanya Dila. Reyhan mengangguk dengan senang hati."Reyhan! Dia berhenti disana!" Dila menunjuk pada sebuah taksi yang berhenti tepat di tengah jembatan. Padahal berhenti disana sangat dilarang.&n
"Mas Bima!" panggil Dila. Bima pun langsung berhenti dan menengok ke arah Dila."Dila," ucap Bima. "Kamu ngapain di sini?" lanjutnya bertanya."Mas ngapain di sini? Ini siapa?" Dila balik bertanya sambil menunjuk wajah perempuan di sebelah Bima."Perempuan ini mengingatkanku pada wanita murahan yang menjijikkan itu," batin Dila sambil memandangi wajah perempuan itu. "Tadi Mas habis ke supermarket, terus pas pulang mobil Mas nyerempet Mbak ini. Mbak ini tidak lihat-lihat saat hendak menyebrang," jawab Bima.."Yang bener, Mas. Jangan macam-macam. Ngapain gak nyuruh Radit aja yang antar perempuan ini?" kesal Dila. Perempuan di sebelahnya menyeringai dan menatap Dila dengan tatapan penuh kebencian."Kamu lupa? Radit kan sedang bulan madu di Bali sama istrinya," tutur Bima."Astaghfirullah, aku lupa," batin Dila."Radit dan Sheila su