POV Rara
"Walaikumsalam," ucap Mama bergegas.
"Mbak Lirna, saya mau ngasih tahu, itu tempat yang untuk jualan pecel ayamnya sudah rapi. Besok ataupun lusa sudah bisa dibuat jualan. Semua sudah beres seperti permintaan, Mbak Lirna. Bersyukurnya lagi, kantor yang baru jadi dibangun juga segera beroperasi. Pasti banyak yang makan siang di warung Ibu. Belum lagi orang-orang yang lalu lalang. Insya Allah rame, Mbak, warungnya," ucap Pak Jono panjang lebar. Pak Jono itu pemilik tempat yang dikontrak Ibu untuk dijadikan warung pecel ayam. Lebih enaknya lagi, bagian atasnya bisa untuk tempat tinggal kami, karena tempatnya bertingkat. Harga sewanya 20 juta per tahun Khusus tempat. Untuk biaya perlengkapan warung dan dekorasi, sekitar 20 juta. Itu sudah lengkap semua. Lokasinya sangat strategis di pinggir jalan dan juga dekat dari perkomplekan. Masakan Mama itu lezat, aku yakin pasti akan laris manis. Setelah bertahun-tahun kami menabung, allhmdullillah bisa bukaPOV Tania. "Papa kemana, sih, Ma? Katanya mau ke kantor, Dila tungguin nggak ada, Papa itu datang, Ma," kesal putriku sambil melempar tasnya dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa. "Capek ya, Sayang?" tanyaku. "Capek banget, Ma," jawabnya. Kasihan memang putriku yang cantik ini harus kelelahan mengurus kantor. "Tadi itu, Papa bilang sama Mama mau ketemu teman bisnis. Rekan bisnis Papa. Ada acara peresmian kantor. Mereka bilang sih,,,," Aku tidak melanjutkan ucapanku agar Dila penasaran. Dila itu putri kesayangan kami. Ya, meski suamiku itu memiliki anak dari mantan istrinya, dia seakan tidak peduli dan lebih perhatian pada putriku. Jelas aku tahu, sebab apapun yang ia punya, pokoknya semua yang ia miliki, semuanya untuk Dila. Sudah hampir dua minggu belakangan ini, sejak pertemuan dengan anak dan mantan istrinya, Mas Adrian terlihat biasa saja. Tidak ada kesedihan
"Ma, Rara risih sama pelanggan yang pake jas hitam gagah tinggi itu," ucapku pada Mama. Bagaimana tidak, kalau pemuda itu diam-diam memperhatikan aku yang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan pelanggan. Alhamdulillah warung pecel ayam kami selalu ramai pengunjung. Terlebih saat kantor baru itu buka hari ini, pas jam makan siang sangat ramai dan membuatku super sibuk. Seperti siang ini tentunya, yang satu ruangan hampir penuh dengan para karyawannya. "Yang mana?" Mama bertanya sambil celingukan mencari pria itu. "Mama! Jangan tengak-tengok begitu. Itu yang dipojok," ucapku. "Oh, ganteng ya, Ra," ucap Mama. "Mungkin memperhatikan kamu karena pesanannya belum diantar, Ra. Jadi jangan ke-GR-an," ucap Mama. Sumpah menohok banget. "Ya sudah, ini kamu antar pesanan dia." Aku pun segera mengantarnya. Aduh, baru kali ini ketemu pelanggan perasaan aku dag dig dug tak karuan. "Permisi, pesanannya,"
POV Tania. "Bagaimana, Pa? Apa perusahaan, Papa bisa diselamatkan?" tanyaku setelah Mas Adrian merebahkan tubuhnya di sofa. Mas Adrian menarik nafas panjang lalu menghembuskan-nya. "Tidak bisa, Ma. Papa jual pada sahabat Ronald. Dia sanggup membayarnya. Jadi setidaknya, Papa tidak mengalami kerugian yang lebih besar lagi," jawabnya. Aku mengangguk dan mendengus lega. "Syukurlah, Pa," ucapku. Terlihat dari wajahnya, suamiku itu sangat kelelahan. "Ya sudah, Papa masuk ke kamar ayo. Terus langsung mandi," ucapku. Meskipun waktu sudah hampir pukul 11 malam, tetap saja, suamiku bau keringat dan harus tetap mandi.
POV LINGGA "Ini bukan lagi musim perjodohan seperti jaman Siti Nurbaya dan Datuk maringgih kan, Pa?" tanyaku pada Papa yang terus memaksa untuk menikah dengan gadis pilihannya. "Dia itu pintar! Cantik! Masih muda! Tahu kamu? Dia juga memimpin perusahaan Ayahnya! Gadis seperti itulah yang seimbang dan cocok dengan kamu! Dia bisa mengimbangi kamu! Atau bahkan menjadi sekretarismu nanti! Diberi pasangan yang cocok malah menolak!" kesal Papa. Bagaimana mungkin aku dapat menerima perjodohan ini, kalau aku pun tertarik pada seorang gadis sederhana penjual pecel ayam itu. Selama 28 tahun usiaku, Tidak pernah sedikitpun aku memiliki ketertarikan pada gadis lain. Baru kali ini, dan itu pada seorang gadis penjual pecel ayam. "Kamu itu laki-laki norma
POV RARA Sudah dua hari ini pemuda tampan itu tidak menginjakkan kaki di warung pecel ayam ini. Padahal aku sudah berhias semanis mungkin. Khusus agar tidak terlihat kumal di hadapannya. 'Kemana ya pemuda tampan itu?' Entah kenapa, meski baru pertama kali melihat hadirnya, ada sesuatu yang berbeda di dalam hati ini. Aku ingin terus melihat dan melihatnya. "Sayang, kamu bengong saja." Mama datang sambil menepuk pundakku. "Lo, Mama sejak kapan ada di belakang, Rara?" tanyaku bingung. Sebab, Mama sedang pergi melihat tempat bersama Pak Jono. Kami berencana ingin membuka cabang baru. Meski baru sebentar kami membuka warung pecel ayam ini, tapi karena omset yang mencapai 10 juta per hari bahkan kadang lebih, membuat kami bisa membuka cabang baru dengan cepat. Mungkin karena keenakan sambal buatan Mama yang beda dari sambal lain, serta ayam dan ikan yang begitu meresap, membuat orang jauh bahkan rela menempuh jarak dengan kendaraan mereka. Komenta
POV LINGGA Bagaimana mungkin aku salah orang. Bukan Dila yang aku maksud. Tapi gadis pecel ayam itu. Rara yang aku inginkan. Memang setelah kusandingkan, ada perbedaan diantara keduanya. Meski perbedaan itu tidak terlalu banyak, tapi tetap ada, dan tetap cantik Si gadis pecel ayam. Bagaimana ini? Bagaimana cara aku membatalkan pernikahan dengan, Dila? Tapi gadis itu sudah terlanjur mencintaiku. Semua juga sudah disiapkan. Haruskah aku menikahinya? Sedangkan bukan dia orang yang aku cinta. Bimbang, itu yang aku rasa saat ini. Ting …! Aku mengabaikan bunyi notif dari ponselku. Karena disana, tertera nama calon istri. Ya Tuhan … bagaimana aku mengatakan kebenarannya kalau aku salah orang? Dan bukan dia perempuan yang kumaksud. Karena ponsel terus berbunyi, aku pun segera membaca pesan darinya. [Sayang!] [Sayang, katanya sudah kembali dari luar kota? Aku tunggu hadiah yang kamu janjikan] [Love you]
POV Dila Biasanya Lingga rajin menghubungiku, tapi kenapa kali ini sangat berbeda? Bahkan pesan yang dikirimkan hanya dibaca. Tidak ada balasan meski sudah beberapa jam aku menunggu. Aneh. Dalam jenuh seperti ini, aku jadi terpikir Rara. Kenapa aku tidak mengirim pesan padanya. Tadi aku sudah menitipkan undangan untuknya. Kira-kira, sudah diterima oleh Rara atau belum ya. [Ra, tadi aku ke rumah kamu. Sudah aku titipkan undangan pernikahan untuk kamu. Aku titip di rumah yang persis banget samping rumah kamu. Apa kamu sudah menerima-nya?] Sebenarnya, ingin rasanya aku menjadikan dia seorang sahabat. Padahal saran untuk menjadi sekretaris-ku pilihan yang tepat. Tapi dia menolak dan memilih keluar dari kantor dengan alasan ingin membuka usaha dengan Ibunya. Setelah lima belas menit menunggu, masih belum ada balasan darinya. Aku pun memilih untuk membaca buku sambil tiduran di kasur. Ting …! Segera
Sebenarnya, aku kesini ingin mencari tahu sebuah kebenaran. Mungkin aku memang tidak berhak tahu, karena tidak ada urusannya dengan aku, toh itu hanyalah masa lalu kalian. Tapi jujur, aku ingin mengetahuinya. Tolong, Bu Lirna kasih tahu, Dila, Bu," pintaku penuh permohonan. Bu Lirna nampak terdiam, mungkin dia ragu untuk menceritakan. "Bu, Dila mohon. Sejarah apa yang terjadi antara Mama dan Ibu? Tolong, Bu. Aku ingin tahu kebenarannya. Aku sudah bertanya pada Mama dan Papa, tapi mereka hanya diam saja. Apa Ibu tega membuatku penasaran dan akan terus berusaha mencari tahu sebuah kebenaran? Apa aku perlu pergi ke kota tempat Mama dan Tante berasal dan mencari tahu pada tetangga?" Aku bertanya namun sedikit penekanan. "Kalau seperti itu, akan aku lakukan demi mendapat sebuah kebenaran," lanjutku. "Kalau, Ibu ceritakan kebenarannya, bukan berarti Ibu menjelekkan Mama-mu, Dila. Ini adalah aib yang memang harus ditutupi. Sebenarn
AkhirnyaPOV DilaSampai di rumah, Mas Reyhan langsung membicarakan pernikahan pada semua orang. Mama pun sangat antusias menyambutnya. "Ya Allah, akhirnya punya menantu kaya Bima," ucap Mama girang. "Wah, Reyhan lebih dari saya. Senior," ucap Bima melirik Reyhan. "Wah, jangan merendah, Bim. Saya tidak separuhnya kehebatanmu," ucap balik Reyhan. "Sudah-sudah. Kalian berdua sama-sama hebat. Bersatunya kalian akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalian harus kompak dan saling mendukung. Dila dan juga Rara juga ya," ucap Tante Lirna. "Dan Tante sama Mama juga harus selalu kompak yah. Saling mendukung," timpalku. Tak lama, hadir Arkhan dan Gara sambil bergandengan tangan berjalan melewati kami. Membuat kami yang melihatnya tertawa riang. "Ya Allah, mereka akur sekali," ucap Mama. Kami semua yang mendengar pun hanya tersenyum. "Dua calon lelaki hebat impian," batinku. "Jadi pernikahan kalian dipercepat?" tanya Mas Bima. Reyhan mengangguk mantap."Baik seminggu lagi bukan?" ula
"Aku benar-benar serius ingin menikah denganmu, Dil. Kenapa? Apa yang membuatmu meragukan perasaan aku?" tanya Reyhan, aku terdiam. Dia laki-laki impian. Sama seperti Mas Bima. Tampan, mapan, baik. Idaman wanita. Aku tidak perlu iri lagi. Tapi bedanya, Mas Reyhan punya masa lalu yaitu istrinya. Apa mungkin dia bisa melupakan bayang-bayang istrinya itu?"Kamu yakin, Mas? Kamu tidak akan melukai perasaanku? Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kamu pikirkan dulu. Entah kenapa, aku seolah tidak yakin kalau kamu mencintaiku, Mas," lirihku sembari mengerutkan kening.Makanan pesanan kami tiba, hingga membuat aku dan Mas Reyhan terpaksa menghentikan obrolan untuk sejenak. Setelah pelayan pergi dan makanan sudah tertata rapi di meja, Mas Reyhan menyeruput coklat hangatnya. Kemudian mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Lalu, ia kembali m
Malam ini Reyhan mengajakku untuk pergi makan malam berdua. Sekalian aku juga ingin berbicara banyak hal dengannya. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, sebelum pergi makan malam, Reyhan ingin pergi menemui Lingga lebih dulu. Tentu aku ikut bersamanya."Sudah siap?" tanyanya saat aku menghampiri ia yang sudah berada di halaman rumah dengan mobilnya. "Sudah, Mas. Kamu gak mampir dulu?" Aku bertanya. Reyhan menggeleng."Masuk." Laki-laki itu membukaan pintu mobil untukku. Aku pun tersenyum ke arahnya dan langsung duduk di sampingmya. "Terima kasih," kataku. Reyhan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, laki-laki itu pun mulai menjalankan mobilnya."Kita pergi ke penjara dulu ya, Rey?" Masih canggung memanggil Mas. Tapi mulai hari ini aku harus membiasakannya.
POV Dila ….Dua bulan berlalu. Kehidupan keluarga Tante Lirna sudah sangat bahagia. Benar-benar hidup mewah bergelimang harta. Juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus. Keluarga mereka benar-benar dijaga oleh sang maha kuasa. Kepahitan yang dialami Tante Lirna dulu, sekarang sudah berbuah manis. Mungkin setiap pasang mata melihat keluarga mereka nyaris sempurna. Karena kunci mereka, selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat. Dimiliki.Kini waktunya aku dan Mama serta Gara kembali ke Bali. Menenangkan pikiran di sana untuk sejenak. Mungkin bukan untuk sejenak. Tapi untuk seterusnya. Menghilangkan luka kecewa karena malang dalam bercinta. Harusnya aku sudah kembali sebulan yang lalu, tapi Rara dan keluarganya meminta kami untuk tinggal bangsa sebulanan lagi. Akhirnya pun, aku menurut. Sekarang juga keadaan Ma
Pagi ini senyum bahagia nan haru keluarga Bima tumpah ruah di dalam ruangan. Pasalnya, Rara berhasil melewati masa kritis dan bisa dipindahkan ke ruang inap. Setelah semalaman hati mereka begitu gelisah menunggu karena dokter bilang kondisi Rara semakin lemah.Rara telah melahirkan sepasang anak kembar yang begitu lucu. Wajahnya tampan dan cantik seperti Papa dan Mamanya.Cup!Bima mengecup kening Rara. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang Rara yang tengah berbaring. Wajah Rara terlihat pucat, tapi nampak jelas di wajahnya dia sangat bahagia. "Terimakasih, Sayang," ucap Bima lembut. Rara meraih tangan Bima dan mengecupnya."Sama-sama, Mas." Rar
"Halo?" "Apa?!" ucap Bima. "Ya udah kamu nggak usah ke rumah sakit. Di sini udah banyak yang jaga Rara. Bantu doa aja untuk Rara ya," ucap Bima kemudian mematikan sambungan telepon. "Kenapa, Bim?" tanya Papa Bima panik. "Rumah Lingga terbakar. Mamanya terjebak kobaran api yang besar. Lingga sendiri sekarang berada di rumah sakit karen shock mendengar berita tentang Mamanya," jawab Bima. Laki-laki itu memijit keningnya. "Kasihan juga kalau keluarga mereka jadi seperti ini," lirih Lirna. "Kamu kata siapa?" lanjut Lirna bertanya.
"Kakak tuh gimana sih? Masih dalam masa pemulihan malah keluyuran. Wajah juga masih bengkak. Heran kenapa nggak bisa ya diem di rumah?" gerutu Feri sesampainya mereka di dalam mobil."Kan Kaka pake penutup wajah. Cuma matanya aja yang nggak ditutup!" kesal Asta."Mana ada Kakak pake penutup wajah? Aneh Kakak. Orang nggak pake apa-apa. Itu kelihatan bengkaknya. Kalau kena sinar matahari bagaimana?" Feri menggelengkan kepala."Pantas saja Dila mengenaliku. Padahal seingatku, aku memakai penutup wajah juga topi. Kakak kira Kakak bisa mendekati Bima. Awalnya mau meminta nomor ponselnya. Ya deketin gitu. Pantas saja dia sama sekali tidak melirik Kakak. Gagal semuanya," lirih Asta. Feri dan Reno yang mendengar ucapan Asta geleng-geleng kepala."Ceroboh," ujar Feri."Bukan masalah ceroboh! Uang Kakak juga sudah habis. Sedangkan Kakak masih perlu untuk pergi ketemu ahli bedah. Dan itu biayanya gak
"Hany sudah berada di surga Allah," ucap Reyhan. Lelaki itu kembali mengingat setiap kejadian yang dilewati bersama istrinya."Maaf,Rey. Aku tidak tahu. Kamu yang sabar ya?" Sudah berapa lama?" tanya Dila mengelus punggung Reyhan."Sudah sebulan yang lalu. Dia sakit tapi dia tidak pernah menceritakan pada siapapun. Dia berobat sendirian, tanpa memberitahuku. Atau siapapun. Dia terlihat kuat di luar demi kami tidak khawatir dan takut. Tapi ternyata, senyumnya adalah senyum menahan kesakitan. Dia istri yang luar biasa. Tuhan lebih sayang padanya. Hingga saat dia pergi pun, dia masih meninggalkan kenangan luar biasa. Dua putra dan 1 putri yang begitu istimewa," tutur Reyhan."Nanti setelah ini, boleh aku melihat anakmu?" tanya Dila. Reyhan mengangguk dengan senang hati."Reyhan! Dia berhenti disana!" Dila menunjuk pada sebuah taksi yang berhenti tepat di tengah jembatan. Padahal berhenti disana sangat dilarang.&n
"Mas Bima!" panggil Dila. Bima pun langsung berhenti dan menengok ke arah Dila."Dila," ucap Bima. "Kamu ngapain di sini?" lanjutnya bertanya."Mas ngapain di sini? Ini siapa?" Dila balik bertanya sambil menunjuk wajah perempuan di sebelah Bima."Perempuan ini mengingatkanku pada wanita murahan yang menjijikkan itu," batin Dila sambil memandangi wajah perempuan itu. "Tadi Mas habis ke supermarket, terus pas pulang mobil Mas nyerempet Mbak ini. Mbak ini tidak lihat-lihat saat hendak menyebrang," jawab Bima.."Yang bener, Mas. Jangan macam-macam. Ngapain gak nyuruh Radit aja yang antar perempuan ini?" kesal Dila. Perempuan di sebelahnya menyeringai dan menatap Dila dengan tatapan penuh kebencian."Kamu lupa? Radit kan sedang bulan madu di Bali sama istrinya," tutur Bima."Astaghfirullah, aku lupa," batin Dila."Radit dan Sheila su