POV ADRIAN
"Mama, Pak Adrian, kok jalan kaki?" tanya Rara. Aku tersenyum lalu duduk di kursi kayu yang ada di depan teras rumah.
"Saya ambilkan air minum ya, Pak," tawar Rara, aku pun mengangguk dan tersenyum. Sementara Lirna masih terdiam. Wajahnya begitu enggan menatapku. Seandainya dia tahu kalau aku sangat merindukannya. Ternyata kesalahanku dua puluh tahun yang lalu masih belum bisa menghilangkan rasa bencinya terhadapku.Tidak lama, Rara datang dengan empat cangkir teh hangat beserta sepiring pisang goreng. Pisang goreng makanan favoritku, Rara tahu saja."Loh, semalam ini kok ada pisang goreng hangat?" tanyaku saat Rara meletakan-nya di meja."Iya, Pak. Tadi Rara sengaja bikin sama Nando. Buat menyambut kedatangan, Bapak yang mau singgah ke rumah kecil Mama dan Rara," ucap gadis manis berlesung Pipit itu. Aneh memang saat ada karyawan kantor yang bilang dia sangat mirip denganku. Awalnya aku tidak percaya, namun saat melihatnya langsung, dan dia berjejeran dengan Dila, wajah mereka berdua bak pinang dibelah dua. Hanya saja Dila tidak memiliki lesung Pipit. Sedangkan Rara sama sepertiku. Ya, setiap inci wajahnya, hampir sama denganku."Dimakan, Pak Adrian," ujar Rara. Aku pun meraihnya. Sangat enak dan masih rasa yang sama. Setiap gigitan, mampu membuat tenggorokan-ku tercekat. Gigitan yang mengingatkan dengan kejadian dua puluh tahun silam. Sejujurnya, aku sangat sedih melihat keadaan mereka yang sangat sederhana. Rumah mereka kecil, meski sangat nyaman. Tidak ada kendaraan terparkir. Aku mengingat bagaimana kehidupan Lirna saat berjuang tanpa aku di sampingnya. Bagaimana cara dia bertahan hingga memiliki seorang putri dan membesarkannya sendiri. Wanita hebat ….
Dering ponsel begitu mengganggu, Tania terus menghubungi, tidak bisakah dia bersabar memberi waktu sebentar? Bukankah waktuku selama ini kuhabiskan bersama mereka? Karena sedikit kesal, aku pun mematikan ponsel.
"Kenapa tidak diangkat, Pak?" tanya Rara."Tidak apa-apa, Ra. Tidak penting juga," jawabku. Nando tersenyum. Sementara Lirna masih terdiam. Sebenarnya aku ingin sekali mengajaknya berbicara. Tapi mulut ini berat sekali untuk menyapanya. Aku ingin memberi tahu pada Rara kalau aku ini Papanya, masih hidup dan belum meninggal. Semua yang Lirna ceritakan adalah sebuah kebohongan. Namun, kenapa berat sekali mengatakannya."Silahkan kalau kamu berani mengatakan kamu Ayah, Rara! Tapi kamu juga katakan alasan sebenarnya! Kenapa umur Dila lebih tua dari Rara? Dila itu anak haram! Bagaimana kalau sampai gadis itu tahu? Bagaimana perasaannya?" Ucapan Lirna kembali terngiang di benakku.Dila bukan anak haram. Usia Dila juga lebih muda dari Rara. Apa Lirna mengira kalau Dila itu anak yang tengah di kandung Tania saat itu? Kalau saja Lirna tahu anak itu sudah tenang di sisi Yang Kuasa. Ini tidak bisa dibiarin, Dila tidak terlibat apapun dengan kejadian ini atau bahkan masa lalu kami. Ayah mana yang terima anaknya disebut anak haram? Tidak akan ada orang tua yang rela anaknya disebut anak haram meski oleh orang yang dikenal sekalipun."Maafkan … Papa, Nak. Karena masa lalu Papa, orang yang sekian lama menghilang tiba-tiba dengan penuh keyakinan diri menyebutmu anak haram.⭐Hari itu, Lirna tidak menghadiri acara pernikahanku dengan Tania meskipun kami telah memberikan undangan untuknya. Aku memaklumi, karena Ibu Lirna baru saja meninggal. Entah saat itu terbuat dari apa hatiku hingga tega membiarkannya sendiri menangis meminta tolong tapi aku justru pergi mengabaikannya.
Awalnya aku tidak ingin terburu-buru menikah, hanya saja Tania mengancam akan menggugurkan anak yang dikandungnya jika aku tidak secepatnya juga menikahinya. Akhirnya, aku pun melangsungkan pernikahan itu, tepat sehari setelah mertuaku meninggal, dan saat aku ingin mengucapkan ijab kabul, tiba-tiba Tania mengeluh sakit perut hebat. Aku dan orang-orang yang hadir merasa panik, terlebih saat melihat darah keluar begitu deras. Bisik-bisik orang saat itu terdengar begitu jelas di telingaku. "Hamil duluan, keguguran. Seharusnya, kalau sedang hamil jangan menikah! Dimana ya, istri Pak Adrian?" Begitulah yang orang-orang katakan meski lirih. Belum lagi yang langsung meremehkan dan menatap hina pada kami. Aku … bila mengingat kejadian itu sungguh malu luar biasa. Sebanyak itu orang yang hadir, tidak ada yang membantuku. Akhirnya, aku pun membopong Tania ke mobil, untuk membawanya ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, dokter mengatakan Tania keguguran. Akhirnya, pernikahan pun kami tunda sampai keadaan Tania berangsur normal. Kabar Tania keguguran, sampailah pada ketua RT, sehingga Pak RT dan beberapa warga pun datang menghampiri kami dan menanyakan kebenarannya. Pak RT yang kenal dengan Lirna pun menanyakan keberadaannya. Tania memberi tahu pada Pak RT kalau Lirna tidak akan pernah kembali ke rumah ini. Dia juga mengakui kalau habis keguguran, dan memberi tahu kalau kami akan menikah. Alhasil, kabar ini kembali beredar di lingkungan. Mereka menyebut Tania pelakor. Setiap bertemu Tania memandang rendah, membuat aku dan Tania jengah sehingga memutuskan untuk pindah dari lingkungan yang warganya paling cepat menyebar gosip.Gosip yang mengatakan kalau Tania itu pelakor. Haruskah Tania yang disalahkan? Kalau aku pun mau melakukannya. Perselingkuhan ini terjadi bukan karena Tania merebutku dari Lirna. Tapi, karena aku pun memiliki ketertarikan pada Tania dan aku juga mencintainya. Perselingkuhan ini terjadi karena datangnya perasaan suka yang tiba-tiba. Lalu, aku memupuk, menimbunnya dan terus memikirkan dia, berniat untuk sekedar iseng, ternyata justru menjeratku dalam rasa yang terlarang, dan ternyata setan juga mendorongku hingga akhirnya, terjadilah hal yang tidak diinginkan. Anehnya, saat Lirna tidak mengetahui hubungan kami, perselingkuhanku dan Tania seakan menjadi candu tersendiri hingga sulit untuk melepaskan dan terasa ingin memiliki sepenuhnya.
⭐
"Pak Adrian, Pak!" Nando menepuk pundakku. Ternyata aku hanyut dalam ingatan masa lalu."Eh … maaf, maaf," ucapku. "Wah, Bapak melamunkan apa? Sampai pisang goreng yang dipegang hanya disentuh satu gigitan," ucap Rara. Aku hanya tertawa sebagai jawaban. "Ra … bapak ingin mengatakan sesuatu. Boleh?" "Apa itu, Pak?" jawab Rara sigap. Lirna tersentak."Seandainya ada seorang wanita yang memiliki suami, diselingkuhi oleh suaminya dengan orang yang telah dia anggap sebagai Adiknya sendiri, dibesarkan oleh ibu yang sama dengan penuh cinta, dan perempuan itu juga sangat menyayangi adiknya, tindakan apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku."Kenapa tiba-tiba Bapak bertanya seperti itu?" Nando mengangguk membenarkan pertanyaan Rara."Jika aku di posisi sebagai wanita itu, jelas aku akan merasa sangat marah. Itu sangat menyakitkan! Karena hubungan itu hubungan terlarang! Dia tega berselingkuh dengan orang terdekatnya!""lalu bagaimana tanggapan seorang anak jika yang melakukan perselingkuhan itu adalah ayahnya sendiri? Apa dia akan memaafkan Ayahnya? Atau akan membencinya?" tanyaku lagi. "Jika posisi itu terjadi pada ibuku, otomatis Ayahku sudah sangat menyakiti hatinya, dan aku sudah pasti sangat membencinya. Kenapa seperti itu? Karena Ayahku telah menyakiti hati ibuku!" Obrolan kami membuatku melupakan keberadaan Nando dan Lirna untuk sejenak."Apa jika Ayahmu meminta maaf, kamu akan memaafkannya?" Aku masih bertanya."Maaf? Maaf itu sangat mudah. Setiap orang yang berkhianat pasti ujung-ujungnya akan meminta maaf. Dan kalau maaf itu diberikan, dengan mudah maka akan banyak lagi yang berkhianat!" jawab Rara."Itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan bapak, Ra. Yang saya tanyakan, apakah jika pelakunya ayahnya sendiri, kamu sebagai anak akan memaafkan kesalahan ayahmu?""Kalau aku yang jadi anaknya, sudah pasti membutuhkan waktu untuk memaafkannya. Anak mana yang mau melihat Ayahnya menghianati ibunya? Apalagi kalau sampai meninggalkan Ibunya, jelas aku akan sangat membencinya!" "Maaf itu, entah kapan aku bisa memberikan maaf padanya. Yang pasti butuh waktu lama! Itu kalau aku yang menjadi anak dari orang itu!" jawab Rara tegas. Ketegasan Rara seolah menurun dari Lirna. Mendengar jawaban Rara seakan membuatku enggan menceritakan kebenarannya. Meskipun aku ingin Rara mengetahui kalau aku adalah Ayahnya. Melihat Rara sudah tumbuh sebesar dan secantik ini, membuatku teramat sangat menyayanginya. Tapi jika aku memberitahu kebenarannya, aku belum siap dibenci olehnya."Maaf Pak Adrian, kenapa Bapak bertanya seperti itu?" tanya Lirna."Tidak! Tidak apa-apa. Saya hanya ingin bertanya saja. Kalau begitu saya izin pamit dulu. Kebetulan hari sudah larut malam, istri dan anakku pasti sedang menunggu," pamitku seraya beranjak dari dudukku."Pak!" panggil Nando. " Biar saya yang ngantar," tawarnya. Aku mengangguk. Akhirnya, kami pun bergegas dari rumah Lirna."Rara!" panggilku sebelum Nando menjalankan motornya." Saya Pak!" jawab Rara."Sampai bertemu di kantor besok! Jangan terlambat! Saya ada hadiah untuk kamu!" ucapku setengah berteriak. Lalu kami pun berlalu.POV ADRIAN "Nando, terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah." Aku mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan untuk Aldo. "sama-sama, Pak. Saya ikhlas kok nganterin Bapak tidak usah pakai beginian segala, beneran saya ikhlas,Pak," tolak Nando. "Ambil saja, Nan. Ini untuk kamu. Uang saya banyak, ngasih kamu segitu tidak akan habis," godaku. "Udah ambil saja!" Aku terus memaksa sehingga Nando pun mengambilnya dengan terpaksa. "Terima kasih, Pak. "Kalau begitu saya pamit pulang duluan." "Iya, hati-hati di jalan!" Setelah motor Nando tidak lagi terlihat aku pun langsung masuk. Kebetulan Pak Yanto sudah membukakan pintu gerbang. "Pak! Ibu sudah menunggu dari tadi, baru saja masuk ke dalam," ucap Yanto-satpam di rumahku. "Ya Pak Yanto. Jangan lupa gerbangnya dikunci," titahku. "Siap, Pak!" balas Yanto. Bar
"Nando," panggilku saat tiba di ruangannya. "Iya, Pak." "Kamu tahu dimana, Rara?" Nando hanya menggeleng. Sial! Jangan sampai Lirna kembali memisahkan aku dengan Rara. Segera aku pun bergegas keluar kantor. Sampai di luar, aku langsung menaiki mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi. "Semoga kalian masih ada di sana!" lirihku sambil terus fokus berkemudi. Dua puluh menit kemudian aku telah sampai di depan rumah Lirna. Keadaan begitu sunyi. Jantungku berdegup, apa mereka akan kembali pergi dariku? Segera aku pun turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya. Sudah beberapa kali aku mengetuk hingga jariku memerah tapi tidak ada yang membuka pintu. Frutasi aku rasanya. Baru saja bisa melihat mereka setelah sekian lama. Tapi kini harus kembali kehilangan. Aku masih belum beranjak dari pintu rumah Lirna. Aku masih menyandarkan tubuhku di sana. Terduduk lemas sambil terus menjambak rambutku. "Kamu ngapain disini?" Aku
" apa yang harus aku katakan pada seorang penghianat? Apa yang harus aku katakan pada seorang Ayah yang tega menyakiti hati ibuku? Kau tahu, Pak Adrian? Ibuku berjuang mati-matian untuk membesarkanku!" "Jadi maksud kamu, kamu sudah tahu siapa Saya?" "Saya sudah tahu kalau anda adalah seseorang yang membuatku terlahir di dunia ini. Seseorang yang yang mampu membuat hati ibuku terluka begitu hebatnya!" "Sekarang tolong anda pergi dari sini! Kami tidak membutuhkan keberadaan anda! Ataupun belas kasihan dari anda! Dari dulu saya dan ibu saya sudah terbiasa tanpa kehadiran anda! Sekarang saya mohon anda pergi dari sini, dan jangan pernah datang lagi kemari. Bagi kami, anda sudah tiada, Pak Adrian. Anggap saja anda tidak pernah berhubungan dengan orang seperti kami. Kami tidak akan mengusik keluarga anda, begitupun sebaliknya!" tegas Rara membuatku tak mampu berbicara. "Pak Adrian yang ternyata Ayah saya, s
POV Rara "Walaikumsalam," ucap Mama bergegas. "Mbak Lirna, saya mau ngasih tahu, itu tempat yang untuk jualan pecel ayamnya sudah rapi. Besok ataupun lusa sudah bisa dibuat jualan. Semua sudah beres seperti permintaan, Mbak Lirna. Bersyukurnya lagi, kantor yang baru jadi dibangun juga segera beroperasi. Pasti banyak yang makan siang di warung Ibu. Belum lagi orang-orang yang lalu lalang. Insya Allah rame, Mbak, warungnya," ucap Pak Jono panjang lebar. Pak Jono itu pemilik tempat yang dikontrak Ibu untuk dijadikan warung pecel ayam. Lebih enaknya lagi, bagian atasnya bisa untuk tempat tinggal kami, karena tempatnya bertingkat. Harga sewanya 20 juta per tahun Khusus tempat. Untuk biaya perlengkapan warung dan dekorasi, sekitar 20 juta. Itu sudah lengkap semua. Lokasinya sangat strategis di pinggir jalan dan juga dekat dari perkomplekan. Masakan Mama itu lezat, aku yakin pasti akan laris manis. Setelah bertahun-tahun kami menabung, allhmdullillah bisa buka
POV Tania. "Papa kemana, sih, Ma? Katanya mau ke kantor, Dila tungguin nggak ada, Papa itu datang, Ma," kesal putriku sambil melempar tasnya dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa. "Capek ya, Sayang?" tanyaku. "Capek banget, Ma," jawabnya. Kasihan memang putriku yang cantik ini harus kelelahan mengurus kantor. "Tadi itu, Papa bilang sama Mama mau ketemu teman bisnis. Rekan bisnis Papa. Ada acara peresmian kantor. Mereka bilang sih,,,," Aku tidak melanjutkan ucapanku agar Dila penasaran. Dila itu putri kesayangan kami. Ya, meski suamiku itu memiliki anak dari mantan istrinya, dia seakan tidak peduli dan lebih perhatian pada putriku. Jelas aku tahu, sebab apapun yang ia punya, pokoknya semua yang ia miliki, semuanya untuk Dila. Sudah hampir dua minggu belakangan ini, sejak pertemuan dengan anak dan mantan istrinya, Mas Adrian terlihat biasa saja. Tidak ada kesedihan
"Ma, Rara risih sama pelanggan yang pake jas hitam gagah tinggi itu," ucapku pada Mama. Bagaimana tidak, kalau pemuda itu diam-diam memperhatikan aku yang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan pelanggan. Alhamdulillah warung pecel ayam kami selalu ramai pengunjung. Terlebih saat kantor baru itu buka hari ini, pas jam makan siang sangat ramai dan membuatku super sibuk. Seperti siang ini tentunya, yang satu ruangan hampir penuh dengan para karyawannya. "Yang mana?" Mama bertanya sambil celingukan mencari pria itu. "Mama! Jangan tengak-tengok begitu. Itu yang dipojok," ucapku. "Oh, ganteng ya, Ra," ucap Mama. "Mungkin memperhatikan kamu karena pesanannya belum diantar, Ra. Jadi jangan ke-GR-an," ucap Mama. Sumpah menohok banget. "Ya sudah, ini kamu antar pesanan dia." Aku pun segera mengantarnya. Aduh, baru kali ini ketemu pelanggan perasaan aku dag dig dug tak karuan. "Permisi, pesanannya,"
POV Tania. "Bagaimana, Pa? Apa perusahaan, Papa bisa diselamatkan?" tanyaku setelah Mas Adrian merebahkan tubuhnya di sofa. Mas Adrian menarik nafas panjang lalu menghembuskan-nya. "Tidak bisa, Ma. Papa jual pada sahabat Ronald. Dia sanggup membayarnya. Jadi setidaknya, Papa tidak mengalami kerugian yang lebih besar lagi," jawabnya. Aku mengangguk dan mendengus lega. "Syukurlah, Pa," ucapku. Terlihat dari wajahnya, suamiku itu sangat kelelahan. "Ya sudah, Papa masuk ke kamar ayo. Terus langsung mandi," ucapku. Meskipun waktu sudah hampir pukul 11 malam, tetap saja, suamiku bau keringat dan harus tetap mandi.
POV LINGGA "Ini bukan lagi musim perjodohan seperti jaman Siti Nurbaya dan Datuk maringgih kan, Pa?" tanyaku pada Papa yang terus memaksa untuk menikah dengan gadis pilihannya. "Dia itu pintar! Cantik! Masih muda! Tahu kamu? Dia juga memimpin perusahaan Ayahnya! Gadis seperti itulah yang seimbang dan cocok dengan kamu! Dia bisa mengimbangi kamu! Atau bahkan menjadi sekretarismu nanti! Diberi pasangan yang cocok malah menolak!" kesal Papa. Bagaimana mungkin aku dapat menerima perjodohan ini, kalau aku pun tertarik pada seorang gadis sederhana penjual pecel ayam itu. Selama 28 tahun usiaku, Tidak pernah sedikitpun aku memiliki ketertarikan pada gadis lain. Baru kali ini, dan itu pada seorang gadis penjual pecel ayam. "Kamu itu laki-laki norma
AkhirnyaPOV DilaSampai di rumah, Mas Reyhan langsung membicarakan pernikahan pada semua orang. Mama pun sangat antusias menyambutnya. "Ya Allah, akhirnya punya menantu kaya Bima," ucap Mama girang. "Wah, Reyhan lebih dari saya. Senior," ucap Bima melirik Reyhan. "Wah, jangan merendah, Bim. Saya tidak separuhnya kehebatanmu," ucap balik Reyhan. "Sudah-sudah. Kalian berdua sama-sama hebat. Bersatunya kalian akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalian harus kompak dan saling mendukung. Dila dan juga Rara juga ya," ucap Tante Lirna. "Dan Tante sama Mama juga harus selalu kompak yah. Saling mendukung," timpalku. Tak lama, hadir Arkhan dan Gara sambil bergandengan tangan berjalan melewati kami. Membuat kami yang melihatnya tertawa riang. "Ya Allah, mereka akur sekali," ucap Mama. Kami semua yang mendengar pun hanya tersenyum. "Dua calon lelaki hebat impian," batinku. "Jadi pernikahan kalian dipercepat?" tanya Mas Bima. Reyhan mengangguk mantap."Baik seminggu lagi bukan?" ula
"Aku benar-benar serius ingin menikah denganmu, Dil. Kenapa? Apa yang membuatmu meragukan perasaan aku?" tanya Reyhan, aku terdiam. Dia laki-laki impian. Sama seperti Mas Bima. Tampan, mapan, baik. Idaman wanita. Aku tidak perlu iri lagi. Tapi bedanya, Mas Reyhan punya masa lalu yaitu istrinya. Apa mungkin dia bisa melupakan bayang-bayang istrinya itu?"Kamu yakin, Mas? Kamu tidak akan melukai perasaanku? Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kamu pikirkan dulu. Entah kenapa, aku seolah tidak yakin kalau kamu mencintaiku, Mas," lirihku sembari mengerutkan kening.Makanan pesanan kami tiba, hingga membuat aku dan Mas Reyhan terpaksa menghentikan obrolan untuk sejenak. Setelah pelayan pergi dan makanan sudah tertata rapi di meja, Mas Reyhan menyeruput coklat hangatnya. Kemudian mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Lalu, ia kembali m
Malam ini Reyhan mengajakku untuk pergi makan malam berdua. Sekalian aku juga ingin berbicara banyak hal dengannya. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, sebelum pergi makan malam, Reyhan ingin pergi menemui Lingga lebih dulu. Tentu aku ikut bersamanya."Sudah siap?" tanyanya saat aku menghampiri ia yang sudah berada di halaman rumah dengan mobilnya. "Sudah, Mas. Kamu gak mampir dulu?" Aku bertanya. Reyhan menggeleng."Masuk." Laki-laki itu membukaan pintu mobil untukku. Aku pun tersenyum ke arahnya dan langsung duduk di sampingmya. "Terima kasih," kataku. Reyhan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, laki-laki itu pun mulai menjalankan mobilnya."Kita pergi ke penjara dulu ya, Rey?" Masih canggung memanggil Mas. Tapi mulai hari ini aku harus membiasakannya.
POV Dila ….Dua bulan berlalu. Kehidupan keluarga Tante Lirna sudah sangat bahagia. Benar-benar hidup mewah bergelimang harta. Juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus. Keluarga mereka benar-benar dijaga oleh sang maha kuasa. Kepahitan yang dialami Tante Lirna dulu, sekarang sudah berbuah manis. Mungkin setiap pasang mata melihat keluarga mereka nyaris sempurna. Karena kunci mereka, selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat. Dimiliki.Kini waktunya aku dan Mama serta Gara kembali ke Bali. Menenangkan pikiran di sana untuk sejenak. Mungkin bukan untuk sejenak. Tapi untuk seterusnya. Menghilangkan luka kecewa karena malang dalam bercinta. Harusnya aku sudah kembali sebulan yang lalu, tapi Rara dan keluarganya meminta kami untuk tinggal bangsa sebulanan lagi. Akhirnya pun, aku menurut. Sekarang juga keadaan Ma
Pagi ini senyum bahagia nan haru keluarga Bima tumpah ruah di dalam ruangan. Pasalnya, Rara berhasil melewati masa kritis dan bisa dipindahkan ke ruang inap. Setelah semalaman hati mereka begitu gelisah menunggu karena dokter bilang kondisi Rara semakin lemah.Rara telah melahirkan sepasang anak kembar yang begitu lucu. Wajahnya tampan dan cantik seperti Papa dan Mamanya.Cup!Bima mengecup kening Rara. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang Rara yang tengah berbaring. Wajah Rara terlihat pucat, tapi nampak jelas di wajahnya dia sangat bahagia. "Terimakasih, Sayang," ucap Bima lembut. Rara meraih tangan Bima dan mengecupnya."Sama-sama, Mas." Rar
"Halo?" "Apa?!" ucap Bima. "Ya udah kamu nggak usah ke rumah sakit. Di sini udah banyak yang jaga Rara. Bantu doa aja untuk Rara ya," ucap Bima kemudian mematikan sambungan telepon. "Kenapa, Bim?" tanya Papa Bima panik. "Rumah Lingga terbakar. Mamanya terjebak kobaran api yang besar. Lingga sendiri sekarang berada di rumah sakit karen shock mendengar berita tentang Mamanya," jawab Bima. Laki-laki itu memijit keningnya. "Kasihan juga kalau keluarga mereka jadi seperti ini," lirih Lirna. "Kamu kata siapa?" lanjut Lirna bertanya.
"Kakak tuh gimana sih? Masih dalam masa pemulihan malah keluyuran. Wajah juga masih bengkak. Heran kenapa nggak bisa ya diem di rumah?" gerutu Feri sesampainya mereka di dalam mobil."Kan Kaka pake penutup wajah. Cuma matanya aja yang nggak ditutup!" kesal Asta."Mana ada Kakak pake penutup wajah? Aneh Kakak. Orang nggak pake apa-apa. Itu kelihatan bengkaknya. Kalau kena sinar matahari bagaimana?" Feri menggelengkan kepala."Pantas saja Dila mengenaliku. Padahal seingatku, aku memakai penutup wajah juga topi. Kakak kira Kakak bisa mendekati Bima. Awalnya mau meminta nomor ponselnya. Ya deketin gitu. Pantas saja dia sama sekali tidak melirik Kakak. Gagal semuanya," lirih Asta. Feri dan Reno yang mendengar ucapan Asta geleng-geleng kepala."Ceroboh," ujar Feri."Bukan masalah ceroboh! Uang Kakak juga sudah habis. Sedangkan Kakak masih perlu untuk pergi ketemu ahli bedah. Dan itu biayanya gak
"Hany sudah berada di surga Allah," ucap Reyhan. Lelaki itu kembali mengingat setiap kejadian yang dilewati bersama istrinya."Maaf,Rey. Aku tidak tahu. Kamu yang sabar ya?" Sudah berapa lama?" tanya Dila mengelus punggung Reyhan."Sudah sebulan yang lalu. Dia sakit tapi dia tidak pernah menceritakan pada siapapun. Dia berobat sendirian, tanpa memberitahuku. Atau siapapun. Dia terlihat kuat di luar demi kami tidak khawatir dan takut. Tapi ternyata, senyumnya adalah senyum menahan kesakitan. Dia istri yang luar biasa. Tuhan lebih sayang padanya. Hingga saat dia pergi pun, dia masih meninggalkan kenangan luar biasa. Dua putra dan 1 putri yang begitu istimewa," tutur Reyhan."Nanti setelah ini, boleh aku melihat anakmu?" tanya Dila. Reyhan mengangguk dengan senang hati."Reyhan! Dia berhenti disana!" Dila menunjuk pada sebuah taksi yang berhenti tepat di tengah jembatan. Padahal berhenti disana sangat dilarang.&n
"Mas Bima!" panggil Dila. Bima pun langsung berhenti dan menengok ke arah Dila."Dila," ucap Bima. "Kamu ngapain di sini?" lanjutnya bertanya."Mas ngapain di sini? Ini siapa?" Dila balik bertanya sambil menunjuk wajah perempuan di sebelah Bima."Perempuan ini mengingatkanku pada wanita murahan yang menjijikkan itu," batin Dila sambil memandangi wajah perempuan itu. "Tadi Mas habis ke supermarket, terus pas pulang mobil Mas nyerempet Mbak ini. Mbak ini tidak lihat-lihat saat hendak menyebrang," jawab Bima.."Yang bener, Mas. Jangan macam-macam. Ngapain gak nyuruh Radit aja yang antar perempuan ini?" kesal Dila. Perempuan di sebelahnya menyeringai dan menatap Dila dengan tatapan penuh kebencian."Kamu lupa? Radit kan sedang bulan madu di Bali sama istrinya," tutur Bima."Astaghfirullah, aku lupa," batin Dila."Radit dan Sheila su