"Mama …." Aku tersentak ketika gadisku memanggil namaku. Ia dengan sigap mengusap air mataku.
"Mama kenapa nangis?" tanyanya.
"Mama … hanya ingat, Nenek, Sayang," jawabku seraya menyentuh pipi dan mengecup keningnya. Terima kasih Allah, telah memberiku putri yang cantik dan berkelakuan baik. Semoga sifat baiknya tetap melekat dalam dirinya.
"Ma, ada karyawan baru. Anak-anak bilang, wajahnya mirip Rara. Mana mungkin, Ma? Beda emak, beda Bapa bisa mirip. Hahhaah." Rara tertawa.
"Ada-ada saja mereka, Ma," lanjutnya.
"Siapa namanya?" Tanyaku penasaran.
"Dila, Ma. Anak baru. Katanya si anak pemilik perusahaan. Tapi angkuhnya itu nauzubillahi minzalik. Sombong," grutunya.
"Oh iya, nanti malam aku datang ke acara Pak Adrian pemilik perusahaan, Ma. Dia merayakan kelulusan anaknya. Habis wisuda katanya," ucap Rara meminta ijin.
Baru saja aku memikirkan laki-laki brengsek itu. Ternyata ada juga nama yang mirip orang itu di kota ini. Semoga saja tidak berkelakuan sama.
Sudah 20 tahun, bahkan aku masih mengingatnya dan tidak mencari penggantinya. Ya, aku tidak ingin menikah lagi dengan siapapun. Toh, umurku juga sudah mulai tua sekarang.
***
Malam yang ditunggu anakku pun telah tiba ....
"Ma, bagaimana penampilan, Rara ini? Sudah oke kah?" tanya gadisku saat baru saja keluar kamar. Ternyata diamnya dari tadi di kamar tengah berhias. Memang sudah dewasa, namun entah kenapa aku masih saja menganggapnya remaja. Meski begitu, Rara tidak tumbuh menjadi gadis yang manja."Cantik dong, Sayang. Siapa dulu? bidadari, Mama!" Penampilannya kali ini memang terlihat berbeda. Dres warna putih yang ia kenakan begitu cocok di tubuhnya. Rambut panjangnya yang lurus, tergerai begitu indah. Bila aku memandang fisik putriku, ia terlihat sempurna. Namun, entah, bagaimana kisah percintaannya nanti. Tapi doaku, semoga tidak mendapat seorang suami yang berkelakuan seperti Ayahnya.
Berbicara soal suami, aku baru sadar, ternyata gadisku sebentar lagi akan menikah, meski belum tahu kapan waktunya. Yang pasti, dia telah dewasa. Bagaimana aku mengatakan pada Ayahnya nanti? Setelah bertahun-tahun, aku menghilang, tiba-tiba memintanya untuk menikahkan putriku. Apa ia bersedia?"Mama ini, akhir-akhir ini bengong terus. Kenapa sih, Ma?" tanya Putriku bergelayut manja dipundakku.
"Ma, lagi mikirin cari pendamping, ya?" godanya."Apaan sih kamu, Dek. Mama itu tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Tahu kenapa?" Putriku menggeleng. "Bagi, Mama, menikah itu cukup sekali. Dan lagi pula, Mama sudah punya kamu. Kamu itu, permata yang paling berharga untuk, Mama. Jadi selama ada kamu disisi, Mama, itu semua sudah cukup. Mama hanya ingin menyaksikan kebahagiaanmu kelak.""Tapi, Ma … Mama masih muda. Mama pasti butuh pendamping. Rara tidak keberatan kalau memang, Mama mau menikah lagi," ujarnya. Aku hanya menggeleng dan mencium tangannya. Tidak pernah terpikir olehku untuk menikah lagi.
"Oh, iya, kapan Mama mau ajak Rara ke kuburan, Papa?" tanyanya mampu membuatku tersentak. Astagfirullah, aku memang mengatakan bahwa Ayahnya sudah meninggal. Tapi, sepertinya aku sudah tidak bisa menutupi sebuah kebohongan lagi. Karena pada akhirnya dia pun akan tahu kebenarannya.
"Nanti lah, Dek. Lagian, kuburan Papa jauh, Rara tolong mengerti, Mama. Kalau Mama pulang kesana, otomatis kembali teringat, Papa dan Nenek." Aku masih berusaha untuk berkilah.
"Oke, baiklah, Mama." Rara terduduk sambil memainkan ponselnya. "Lho, katanya mau pergi ke acara pemilik perusahaan? Kok malah santai. Berangkat-lah supaya tidak terlambat," ucapku."Rara tunggu jemputan, Nando, Ma." "Oh. Oke." Aku kembali diam. Memainkan ponsel untuk membalas chat pelanggan yang memesan pakaian untuk dikirim besok."Ma!"
"Hum!"
"Mama waktu nikah sama, Papa umur berapa tahun, Ma?" tanyanya. "20 tahun, Sayang. Kenapa bertanya seperti itu?""Tidak apa-apa hanya ingin tahu umur, Mama. Kenapa masih cantik saja di usia yang menginjak kepala 4. Hamil aku saat umur berapa, Ma?" Dia kembali bertanya."Mama saat hamil kamu usia 23 tahun. Saat usia kehamilan mama menginjak 3 minggu, Papa meninggal." Kebohongan terus yang aku ceritakan pada putriku. Sebenarnya aku merasa bersalah. Hanya saja aku belum berani untuk berkata jujur."Papa meninggal berarti sudah sekitar 20 tahun ya, Ma? Seusia aku?" tanyanya lagi sambil mata terus terfokus ke layar ponsel."Iya, Sayang…." Putriku itu memang cerewet."Ternyata hari ini hari ulang tahun pernikahan bosku yang ke 20 tahun, Ma. Ini kali pertama aku melihat langsung pemilik perusahaan yang katanya mirip aku. Hahahaha." Rara bercerita sambil tertawa. Aku hanya menggelengkan kepala.
"Mentang-mentang namanya sama dengan nama, Papaku, masa ia wajahku dibilang mirip beliau. Mungkin yang melihat bisa saja sakit mata," ucapnya lagi. Namun, aku lebih memilih diam tidak menjawabnya.Tin… Tin ….Terdengar suara klakson motor dari luar, mungkin teman Rara sudah datang"Ma, aku berangkat dulu. Nando sudah di depan," pamitnya. Rara mencium punggung tanganku dan berlalu.
"Hati-hati, Dek!" teriakku.
"Iya, Ma!" jawabnya.Aku jadi merasa penasaran dengan Adrian bos anakku itu, kenapa bisa kebetulan begitu? Hari ini hari ulang tahun pernikahannya yang ke 20, bertepatan dengan 20 tahunnya pernikahan Mas Adrian dan Tania. Semoga saja bukan mereka. Nama Adrian itu banyak, bukan hanya nama mantan suamiku. Aku masih mengingat jelas wajah tampannya, juga pengkhianatan-nya, apa mungkin dia juga masih mengingatku?Ting … Ting …!Notif ponselku membuyarkan lamunan. Segera kubuka pesan itu. Dari Rara rupanya. Rara mengirimkan sebuah foto dengan seorang gadis seusianya. Wajahnya terlihat manis dan memang mirip dengan, Rara. Jangan-jangan kembaran Rara yang tertukar.[Ma, apakah wajahku dan wajah anak, Pak Bos memiliki kemiripan?] Emot tawa yang menampilkan gigi rata ia tambahkan.[Ia … mirip, Sayang. Mungkin kembaran kamu yang tertukar] balasku dengan menambah emot tawa terbahak.[Ma, ternyata Dila ini sangat ramah. Aku salah menilai dia. Katanya mau main ke rumah kita, Ma.] [Boleh, Sayang. Ajak saja.][Oke, aku lanjutkan acaranya dulu, Ma. Oh iya, ternyata bos Rara itu sangat baik. Hanya saja istrinya sedikit jutek. Rara langsung akrab dan merasa nyaman, Ma. Kayak Papa sendiri.] balasnya lagi. Aku hanya tersenyum dan tidak lagi membalasnya. Syukur, kalau bosnya baik.Ternyata tinggal hanya berdua dengan Rara dan tak punya sanak saudara rasanya begitu sepi. Anehnya, kesepian ini kurasa saat Rara sudah mulai bekerja. Biasanya dia menonton TV sambil memainkan ponselnya. Sedangkan aku sibuk mempacking pesanan pelanggan. Kalau sekarang, Rara sering berpergian karena harus menghadiri acara-acara kantor.Sudah jam 23.00 malam, kenapa Rara belum juga kembali. Mataku juga sudah mulai mengantuk. Kucoba menghubungi ke nomor ponselnya tidak aktif. Membuat diriku merasa panik. Apalagi dia anak perempuan. Kebetulan aku memiliki nomor Nando, segera ku-hubungi ponsel Nando. "Allhamdullillah, terhubung." "Halo Asalamualaikum." Terdengar suara Nando di seberang telepon. "Walaikumsalam, Nando. Allhmdullillah diangkat." "Iya, ada apa, Tante?" tanyanya. "Nan, apa kamu masih sama, Rara? Kok sudah jam sebelas malam masih belum pulang ya? Tante khawatir," jawabku. Bukan apa, sebab Rara anak perempuan. Jadi wajar kalau aku sebagai Ibu sangat mengkhawatirkannya. "Waduh, aturan udah pulang diantar sama anak, Pak Adrian, Tante. Tadi acaranya juga selesai pukul 22.00," pungkasnya. "Ya Allah, kemana ya? Tante panik, Nand. Takutnya Rara dan anak Pak Adrian kenapa-kenapa. Sebab sudah larut malam begini," uc
Allah, apa aku mimpi? Kuperhatikan sejenak wajah mereka. Ternyata aku tidak bermimpi, mereka memang Mas Adrian dan Tania. Astagfirullah, Astagfirullah, astagfirullah …. Menangis hati ini saat melihat mereka kembali. Allah, ternyata mereka semakin sukses. 'Jangan menangis, Lirna. Jangan menangis. Kamu harus kuat. Jangan teteskan sedikitpun air mata di hadapan mereka. Tapi, bagaimana? Allah, tubuhku bergetar. "Mbak Lirna?! Ngapain kamu disini, Mbak?" tanya Tania ketus. Sementara pria di sampingnya tengah menatapku. Aku yang sadar hal itu memilih menunduk. Takut kalau sampai air mata terjun dengan begitu bebasnya. Ya Allah, sebenarnya hatiku ingin sekali menjerit. Menangis sejadinya menyebut namamu agar hatiku menjadi tenang. Tania ternyata masih mengingatku. Entah kalau Mas Adrian. "Aku mencari, Rara!" "Rara siapa kamu, Lirna?" tanya Mas Adrian. Aku harus jawab apa? "Ma," ucap Rara menghampiriku.
POV ADRIAN "Mama, Pak Adrian, kok jalan kaki?" tanya Rara. Aku tersenyum lalu duduk di kursi kayu yang ada di depan teras rumah. "Saya ambilkan air minum ya, Pak," tawar Rara, aku pun mengangguk dan tersenyum. Sementara Lirna masih terdiam. Wajahnya begitu enggan menatapku. Seandainya dia tahu kalau aku sangat merindukannya. Ternyata kesalahanku dua puluh tahun yang lalu masih belum bisa menghilangkan rasa bencinya terhadapku. Tidak lama, Rara datang dengan empat cangkir teh hangat beserta sepiring pisang goreng. Pisang goreng makanan favoritku, Rara tahu saja. "Loh, semalam ini kok ada pisang goreng hangat?" tanyaku saat Rara meletakan-nya di meja. "Iya, Pak. Tadi Rara sengaja bikin sama Nando. Buat menyambut kedatangan, Bapak yang mau singgah ke rumah kecil Mama dan Rara," ucap gadis manis berlesung Pipit itu. Aneh memang saat ada karyawan kantor yang bilang dia sangat mirip denganku. Awalnya aku tidak percaya, namun saat mel
POV ADRIAN "Nando, terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah." Aku mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan untuk Aldo. "sama-sama, Pak. Saya ikhlas kok nganterin Bapak tidak usah pakai beginian segala, beneran saya ikhlas,Pak," tolak Nando. "Ambil saja, Nan. Ini untuk kamu. Uang saya banyak, ngasih kamu segitu tidak akan habis," godaku. "Udah ambil saja!" Aku terus memaksa sehingga Nando pun mengambilnya dengan terpaksa. "Terima kasih, Pak. "Kalau begitu saya pamit pulang duluan." "Iya, hati-hati di jalan!" Setelah motor Nando tidak lagi terlihat aku pun langsung masuk. Kebetulan Pak Yanto sudah membukakan pintu gerbang. "Pak! Ibu sudah menunggu dari tadi, baru saja masuk ke dalam," ucap Yanto-satpam di rumahku. "Ya Pak Yanto. Jangan lupa gerbangnya dikunci," titahku. "Siap, Pak!" balas Yanto. Bar
"Nando," panggilku saat tiba di ruangannya. "Iya, Pak." "Kamu tahu dimana, Rara?" Nando hanya menggeleng. Sial! Jangan sampai Lirna kembali memisahkan aku dengan Rara. Segera aku pun bergegas keluar kantor. Sampai di luar, aku langsung menaiki mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi. "Semoga kalian masih ada di sana!" lirihku sambil terus fokus berkemudi. Dua puluh menit kemudian aku telah sampai di depan rumah Lirna. Keadaan begitu sunyi. Jantungku berdegup, apa mereka akan kembali pergi dariku? Segera aku pun turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya. Sudah beberapa kali aku mengetuk hingga jariku memerah tapi tidak ada yang membuka pintu. Frutasi aku rasanya. Baru saja bisa melihat mereka setelah sekian lama. Tapi kini harus kembali kehilangan. Aku masih belum beranjak dari pintu rumah Lirna. Aku masih menyandarkan tubuhku di sana. Terduduk lemas sambil terus menjambak rambutku. "Kamu ngapain disini?" Aku
" apa yang harus aku katakan pada seorang penghianat? Apa yang harus aku katakan pada seorang Ayah yang tega menyakiti hati ibuku? Kau tahu, Pak Adrian? Ibuku berjuang mati-matian untuk membesarkanku!" "Jadi maksud kamu, kamu sudah tahu siapa Saya?" "Saya sudah tahu kalau anda adalah seseorang yang membuatku terlahir di dunia ini. Seseorang yang yang mampu membuat hati ibuku terluka begitu hebatnya!" "Sekarang tolong anda pergi dari sini! Kami tidak membutuhkan keberadaan anda! Ataupun belas kasihan dari anda! Dari dulu saya dan ibu saya sudah terbiasa tanpa kehadiran anda! Sekarang saya mohon anda pergi dari sini, dan jangan pernah datang lagi kemari. Bagi kami, anda sudah tiada, Pak Adrian. Anggap saja anda tidak pernah berhubungan dengan orang seperti kami. Kami tidak akan mengusik keluarga anda, begitupun sebaliknya!" tegas Rara membuatku tak mampu berbicara. "Pak Adrian yang ternyata Ayah saya, s
POV Rara "Walaikumsalam," ucap Mama bergegas. "Mbak Lirna, saya mau ngasih tahu, itu tempat yang untuk jualan pecel ayamnya sudah rapi. Besok ataupun lusa sudah bisa dibuat jualan. Semua sudah beres seperti permintaan, Mbak Lirna. Bersyukurnya lagi, kantor yang baru jadi dibangun juga segera beroperasi. Pasti banyak yang makan siang di warung Ibu. Belum lagi orang-orang yang lalu lalang. Insya Allah rame, Mbak, warungnya," ucap Pak Jono panjang lebar. Pak Jono itu pemilik tempat yang dikontrak Ibu untuk dijadikan warung pecel ayam. Lebih enaknya lagi, bagian atasnya bisa untuk tempat tinggal kami, karena tempatnya bertingkat. Harga sewanya 20 juta per tahun Khusus tempat. Untuk biaya perlengkapan warung dan dekorasi, sekitar 20 juta. Itu sudah lengkap semua. Lokasinya sangat strategis di pinggir jalan dan juga dekat dari perkomplekan. Masakan Mama itu lezat, aku yakin pasti akan laris manis. Setelah bertahun-tahun kami menabung, allhmdullillah bisa buka
POV Tania. "Papa kemana, sih, Ma? Katanya mau ke kantor, Dila tungguin nggak ada, Papa itu datang, Ma," kesal putriku sambil melempar tasnya dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa. "Capek ya, Sayang?" tanyaku. "Capek banget, Ma," jawabnya. Kasihan memang putriku yang cantik ini harus kelelahan mengurus kantor. "Tadi itu, Papa bilang sama Mama mau ketemu teman bisnis. Rekan bisnis Papa. Ada acara peresmian kantor. Mereka bilang sih,,,," Aku tidak melanjutkan ucapanku agar Dila penasaran. Dila itu putri kesayangan kami. Ya, meski suamiku itu memiliki anak dari mantan istrinya, dia seakan tidak peduli dan lebih perhatian pada putriku. Jelas aku tahu, sebab apapun yang ia punya, pokoknya semua yang ia miliki, semuanya untuk Dila. Sudah hampir dua minggu belakangan ini, sejak pertemuan dengan anak dan mantan istrinya, Mas Adrian terlihat biasa saja. Tidak ada kesedihan
AkhirnyaPOV DilaSampai di rumah, Mas Reyhan langsung membicarakan pernikahan pada semua orang. Mama pun sangat antusias menyambutnya. "Ya Allah, akhirnya punya menantu kaya Bima," ucap Mama girang. "Wah, Reyhan lebih dari saya. Senior," ucap Bima melirik Reyhan. "Wah, jangan merendah, Bim. Saya tidak separuhnya kehebatanmu," ucap balik Reyhan. "Sudah-sudah. Kalian berdua sama-sama hebat. Bersatunya kalian akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Kalian harus kompak dan saling mendukung. Dila dan juga Rara juga ya," ucap Tante Lirna. "Dan Tante sama Mama juga harus selalu kompak yah. Saling mendukung," timpalku. Tak lama, hadir Arkhan dan Gara sambil bergandengan tangan berjalan melewati kami. Membuat kami yang melihatnya tertawa riang. "Ya Allah, mereka akur sekali," ucap Mama. Kami semua yang mendengar pun hanya tersenyum. "Dua calon lelaki hebat impian," batinku. "Jadi pernikahan kalian dipercepat?" tanya Mas Bima. Reyhan mengangguk mantap."Baik seminggu lagi bukan?" ula
"Aku benar-benar serius ingin menikah denganmu, Dil. Kenapa? Apa yang membuatmu meragukan perasaan aku?" tanya Reyhan, aku terdiam. Dia laki-laki impian. Sama seperti Mas Bima. Tampan, mapan, baik. Idaman wanita. Aku tidak perlu iri lagi. Tapi bedanya, Mas Reyhan punya masa lalu yaitu istrinya. Apa mungkin dia bisa melupakan bayang-bayang istrinya itu?"Kamu yakin, Mas? Kamu tidak akan melukai perasaanku? Sebelum kita jauh melangkah, ada baiknya kamu pikirkan dulu. Entah kenapa, aku seolah tidak yakin kalau kamu mencintaiku, Mas," lirihku sembari mengerutkan kening.Makanan pesanan kami tiba, hingga membuat aku dan Mas Reyhan terpaksa menghentikan obrolan untuk sejenak. Setelah pelayan pergi dan makanan sudah tertata rapi di meja, Mas Reyhan menyeruput coklat hangatnya. Kemudian mengusap sudut bibirnya dengan tisu. Lalu, ia kembali m
Malam ini Reyhan mengajakku untuk pergi makan malam berdua. Sekalian aku juga ingin berbicara banyak hal dengannya. Semua ini terasa seperti mimpi. Namun, sebelum pergi makan malam, Reyhan ingin pergi menemui Lingga lebih dulu. Tentu aku ikut bersamanya."Sudah siap?" tanyanya saat aku menghampiri ia yang sudah berada di halaman rumah dengan mobilnya. "Sudah, Mas. Kamu gak mampir dulu?" Aku bertanya. Reyhan menggeleng."Masuk." Laki-laki itu membukaan pintu mobil untukku. Aku pun tersenyum ke arahnya dan langsung duduk di sampingmya. "Terima kasih," kataku. Reyhan mengangguk dan tersenyum. Kemudian, laki-laki itu pun mulai menjalankan mobilnya."Kita pergi ke penjara dulu ya, Rey?" Masih canggung memanggil Mas. Tapi mulai hari ini aku harus membiasakannya.
POV Dila ….Dua bulan berlalu. Kehidupan keluarga Tante Lirna sudah sangat bahagia. Benar-benar hidup mewah bergelimang harta. Juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus. Keluarga mereka benar-benar dijaga oleh sang maha kuasa. Kepahitan yang dialami Tante Lirna dulu, sekarang sudah berbuah manis. Mungkin setiap pasang mata melihat keluarga mereka nyaris sempurna. Karena kunci mereka, selalu bersyukur dengan apa yang telah didapat. Dimiliki.Kini waktunya aku dan Mama serta Gara kembali ke Bali. Menenangkan pikiran di sana untuk sejenak. Mungkin bukan untuk sejenak. Tapi untuk seterusnya. Menghilangkan luka kecewa karena malang dalam bercinta. Harusnya aku sudah kembali sebulan yang lalu, tapi Rara dan keluarganya meminta kami untuk tinggal bangsa sebulanan lagi. Akhirnya pun, aku menurut. Sekarang juga keadaan Ma
Pagi ini senyum bahagia nan haru keluarga Bima tumpah ruah di dalam ruangan. Pasalnya, Rara berhasil melewati masa kritis dan bisa dipindahkan ke ruang inap. Setelah semalaman hati mereka begitu gelisah menunggu karena dokter bilang kondisi Rara semakin lemah.Rara telah melahirkan sepasang anak kembar yang begitu lucu. Wajahnya tampan dan cantik seperti Papa dan Mamanya.Cup!Bima mengecup kening Rara. Lalu mengusap pucuk kepalanya. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang Rara yang tengah berbaring. Wajah Rara terlihat pucat, tapi nampak jelas di wajahnya dia sangat bahagia. "Terimakasih, Sayang," ucap Bima lembut. Rara meraih tangan Bima dan mengecupnya."Sama-sama, Mas." Rar
"Halo?" "Apa?!" ucap Bima. "Ya udah kamu nggak usah ke rumah sakit. Di sini udah banyak yang jaga Rara. Bantu doa aja untuk Rara ya," ucap Bima kemudian mematikan sambungan telepon. "Kenapa, Bim?" tanya Papa Bima panik. "Rumah Lingga terbakar. Mamanya terjebak kobaran api yang besar. Lingga sendiri sekarang berada di rumah sakit karen shock mendengar berita tentang Mamanya," jawab Bima. Laki-laki itu memijit keningnya. "Kasihan juga kalau keluarga mereka jadi seperti ini," lirih Lirna. "Kamu kata siapa?" lanjut Lirna bertanya.
"Kakak tuh gimana sih? Masih dalam masa pemulihan malah keluyuran. Wajah juga masih bengkak. Heran kenapa nggak bisa ya diem di rumah?" gerutu Feri sesampainya mereka di dalam mobil."Kan Kaka pake penutup wajah. Cuma matanya aja yang nggak ditutup!" kesal Asta."Mana ada Kakak pake penutup wajah? Aneh Kakak. Orang nggak pake apa-apa. Itu kelihatan bengkaknya. Kalau kena sinar matahari bagaimana?" Feri menggelengkan kepala."Pantas saja Dila mengenaliku. Padahal seingatku, aku memakai penutup wajah juga topi. Kakak kira Kakak bisa mendekati Bima. Awalnya mau meminta nomor ponselnya. Ya deketin gitu. Pantas saja dia sama sekali tidak melirik Kakak. Gagal semuanya," lirih Asta. Feri dan Reno yang mendengar ucapan Asta geleng-geleng kepala."Ceroboh," ujar Feri."Bukan masalah ceroboh! Uang Kakak juga sudah habis. Sedangkan Kakak masih perlu untuk pergi ketemu ahli bedah. Dan itu biayanya gak
"Hany sudah berada di surga Allah," ucap Reyhan. Lelaki itu kembali mengingat setiap kejadian yang dilewati bersama istrinya."Maaf,Rey. Aku tidak tahu. Kamu yang sabar ya?" Sudah berapa lama?" tanya Dila mengelus punggung Reyhan."Sudah sebulan yang lalu. Dia sakit tapi dia tidak pernah menceritakan pada siapapun. Dia berobat sendirian, tanpa memberitahuku. Atau siapapun. Dia terlihat kuat di luar demi kami tidak khawatir dan takut. Tapi ternyata, senyumnya adalah senyum menahan kesakitan. Dia istri yang luar biasa. Tuhan lebih sayang padanya. Hingga saat dia pergi pun, dia masih meninggalkan kenangan luar biasa. Dua putra dan 1 putri yang begitu istimewa," tutur Reyhan."Nanti setelah ini, boleh aku melihat anakmu?" tanya Dila. Reyhan mengangguk dengan senang hati."Reyhan! Dia berhenti disana!" Dila menunjuk pada sebuah taksi yang berhenti tepat di tengah jembatan. Padahal berhenti disana sangat dilarang.&n
"Mas Bima!" panggil Dila. Bima pun langsung berhenti dan menengok ke arah Dila."Dila," ucap Bima. "Kamu ngapain di sini?" lanjutnya bertanya."Mas ngapain di sini? Ini siapa?" Dila balik bertanya sambil menunjuk wajah perempuan di sebelah Bima."Perempuan ini mengingatkanku pada wanita murahan yang menjijikkan itu," batin Dila sambil memandangi wajah perempuan itu. "Tadi Mas habis ke supermarket, terus pas pulang mobil Mas nyerempet Mbak ini. Mbak ini tidak lihat-lihat saat hendak menyebrang," jawab Bima.."Yang bener, Mas. Jangan macam-macam. Ngapain gak nyuruh Radit aja yang antar perempuan ini?" kesal Dila. Perempuan di sebelahnya menyeringai dan menatap Dila dengan tatapan penuh kebencian."Kamu lupa? Radit kan sedang bulan madu di Bali sama istrinya," tutur Bima."Astaghfirullah, aku lupa," batin Dila."Radit dan Sheila su