Sumpah demi apapun, tulang kaki Arini terasa seperti jeli ketika berjalan keluar dari kamar. Setelah berdebat kecil dengan Brandon barusan, ia akhirnya memutuskan bertemu dengan Lisa di ruang tamu. Tidak ada jalan untuk kabur dari masalah ini. Apapun itu ia harus menghadapi, meski risiko kehilangan Brandon dan Lisa jauh lebih besar terjadi.Kepalanya menunduk sangat dalam di sela perasaan yang berkecamuk. Malu lebih mendominasi sekarang. Apa yang akan dikatakan kepada Lisa? Arini berani bertaruh reaksi wanita paruh baya itu akan sama dengan orang tua lain, setelah tahu ada wanita yang tidur dengan anaknya. Cap perempuan murahan tentu bisa disematkan, apalagi statusnya yang rentan dengan penilaian picik yaitu janda.“Rin,” sapa Lisa terdengar lembut. Tidak ada emosi yang terdengar dari nada suaranya.Arini masih belum berani mengangkat pandangan, meski Brandon memegang erat tangannya sebagai bentuk dukungan penuh. Terutama setelah mendengar sapaan bersahabat dari Lisa. Setidaknya wanit
“Hal pertama yang harus kamu lakukan, temui wanita itu minggu depan. Setelah itu kita diskusi lagi. Oke?” Lisa mewanti-wanti Brandon agar tetap menemui perempuan yang telah dipilih Sandy untuknya.“Rin. Tante minta kamu bersabar dulu ya, Nak. Tante akan cari jalan keluar untuk kita semua.” Lisa beralih kepada Arini, kemudian menepuk lembut punggung tangannya. Senyum haru terukir di paras yang masih cantik di usia paruh baya tersebut.“Sini peluk dulu.” Dia menarik Arini ke dalam pelukan seraya menarik napas berat. “Maaf kalau Tante egois. Tante sudah tidak sabar ingin ucapkan selamat datang di keluarga Harun, Nak.”Arini tersenyum tipis ketika perasaan bersalah bercokol di hati, karena telah membohongi Lisa. Ingin rasanya berkata bahwa ia tidak memiliki hubungan cinta dengan Brandon. Namun, bagaimana tanggapan Lisa jika tahu mereka hanya bersenang-senang, meski tanpa cinta? Ya, tidak sepenuhnya juga seperti itu, karena Bran telah melibatkan perasaan di sana.“Iya, Tan.” Hanya itu yang
AriniApa yang terjadi akhir-akhir ini sungguh di luar dugaan Arini. Mulai dari bercinta dengan sahabat sendiri hingga beberapa fakta yang ia baru ketahui. Termasuk dengan pengakuan cinta dari Brandon. Kadang-kadang perutnya menjadi mulas ketika memikirkan itu semua.Apalagi saat Lisa menjodohkan Brandon untuk mengalihkan pikirannya, karena tahu sang anak mencintai Arini. Belum lagi dengan rencana membuat Arini menyadari cintanya kepada Bran.“Astaga! Gue pasti lagi mimpi,” gumam Arini seraya menepuk keras kedua belah pipi. Beruntung tidak ada orang di lorong menuju lift gedung.Mata terpejam erat beberapa detik sebelum terbuka lagi. Tilikan mata cokelat itu berhenti saat melihat seorang pria bertubuh tinggi dan bermata sipit sedang tersenyum dari kejauhan kepadanya. Orang itu adalah Fahmi. Sepertinya baru saja kembali dari gerai Starglass membawa dua cup kopi hangat. Terlihat jelas dari jenis gelas yang dibawa.“Buat kamu, Rin,” kata Fahmi menyerahkan kopi yang ada di tangan kanan, “
BrandonKedatangan Lisa yang mendadak tadi pagi, bagaikan embun penyejuk dalam hati Brandon. Tentu saja berkaitan dengan hubungannya dengan Arini, bukan perjodohan konyol tersebut. Dia lega mendapatkan lampu hijau dari sang Ibu, dan Arini juga tidak marah dengan pengakuan cintanya.Senyum yang mengembang langsung pudar ketika ingat dengan Fahmi. Penyesalan mulai menguasai diri, karena telah menjodohkan pria itu dengan Arini. Rasa takut akan penolakan dari wanita itu ternyata tidak menjadi kenyataan. Jadi tidak ada alasan baginya lagi menjodohkan sang sahabat dengan pria itu.Arini hanya miliknya. Dia tidak akan membiarkan siapapun merebut wanita itu, termasuk Fahmi. Rasa cemburulah yang mengantarkan Brandon tiba satu jam lebih awal di kantor. Bayangan Arini dan Fahmi bercengkerama seperti biasa, memenuhi rongga kepalanya sekarang.Setelah tiba di lantai tujuh, Brandon segera memasuki floor. Pandangan netra sayunya beredar di seluruh kubikel channel chat, mencari keberadaan perempuan b
Dua hari kemudianBibir mungil tertarik ke samping ketika merasakan seseorang memeluk tubuh dari belakang. Perlahan netra cokelat lebar itu mengerjap memandang pantulan diri di cermin. Terasa bibir lembab memberi kecupan di samping lehernya.“Udah bangun,” sapa Brandon saat merasakan Arini mulai bergerak kecil.“Hmmm ….” Arini memutar balik tubuh perlahan ke belakang. “Jam berapa sih?”“Baru jam lima. Tidur lagi aja kalau masih ngantuk,” anjur Bran seraya menyeka poni Arini.Kepala yang dihiasi rambut panjang itu menggeleng pelan. “Takut ketiduran. Janji ketemu Tante Lisa jam delapan soalnya di rumah.”Lisa meminta Arini untuk datang ke Menteng Dalam terlebih dahulu, sebelum menghabiskan waktu berbelanja. Rencananya mereka akan berangkat pagi dan kembali lagi sore hari. Jangan ditanyakan lagi bagaimana reaksi Brandon ketika tahu hal itu.“Ngapain sih belanja seharian? Kita sama-sama libur, In. Gue pengin kita di apartemen aja. Bercinta seharian.”“Kayak suami istri aja deh, bercinta s
Sepasang mata hitam kecil memandang Arini dan Brandon bergantian. Rahang yang membingkai bagian wajah yang masih tampak memesona itu mengeras. Pria paruh baya yang berdiri di depan mereka menarik napas singkat sebelum mengeluarkan rangkaian kata.“Sedang apa kalian berdua di dalam kamar dengan pintu tertutup?” Bukannya menyapa kedua insan itu, Sandy malah mengajukan pertanyaan dengan nada menghakimi.“Bukan urusan Papa,” tanggap Brandon menahan kesal.Sandy mematut lama Arini yang salah tingkah dan tidak berani menatapnya. “Kalian sudah dewasa, tidak pantas berdua saja di dalam kamar.”Brandon mendengkus menanggapi ucapan Sandy barusan. “Pantas? Oh, jadi menurut Papa punya anak di luar nikah itu lebih pantas?”“Brandon!” tegur Sandy meradang.“Kenapa? Aku salah?” tantang Brandon dengan sorot mata menegang.“Bran.” Arini memegang lengan Brandon sembari menggeleng pelan. Dia tidak ingin pria itu menjadi anak durhaka yang melawan kepada orang tua. Bagaimanapun, Sandy tetap ayahnya.“Sara
BrandonLisa menyelamatkan Arini dengan mengajaknya segera pergi berbelanja. Dia membawa Farzan juga, sementara Brandon harus disandera oleh ayahnya. Jika dibiarkan meja makan akan memanas dan terjadi kebakaran dahsyat di kediaman keluarga Harun.“Apa maksud Papa mau carikan jodoh buat Iin?” Brandon memecah keheningan yang tercipta di antara ayah dan anak tersebut. Suhu ruang kerja Sandy naik drastis akibat tingginya lahar yang membakar tubuh pria itu.“Papa hanya ingin berniat baik, Bran.” Sandy menaikkan kaki kanan di atas kaki kiri dan bersandar nyaman di sofa ruang kerja. “Ya, sebagaimana Papa sudah bersedia kasih dia beasiswa.”“Jangan lupa. Arini sudah Papa anggap seperti anak sendiri, sama seperti kamu,” sambung Sandy menunjuk ke arah Brandon.“Tapi nggak harus carikan jodoh buat Iin. Apalagi buat aku!” tegas Brandon menaikkan volume suara.Brandon menahan diri untuk tidak memaki Sandy. Bahkan sejak tahu sang Ayah menikah lagi, ia lebih baik menghindar dan meninggalkan rumah da
BrandonSenyum merekah di paras tampan Brandon ketika mengenakan pomade. Jari-jarinya terus bergerak menata rambut model layered undercut yang menjadi ciri khas sejak kuliah. Dalam waktu singkat tidak ada lagi rambut yang menutup kening. Helaiannya telah berbaris rapi.Brandon mematut kemeja chambray biru muda yang dikenakan. Setelahnya memastikan kemeja itu masuk dengan rapi di celana chino berwarna navy. Gayanya casual, tapi memancarkan pesona yang dimiliki. Kesan Cassanova masih tampak jelas di sana.Ini adalah kencan pertamanya dengan Arini. Brandon ingin semua berbeda dari hang-out yang pernah mereka lalui sejak bersahabat sebelas tahun lalu. Jika sebelumnya mereka hanya pergi makan-makan, lalu menonton film. Maka malam ini, ia ingin memberikan kesan romantis. Candle light dinner akan menjadi pilihan pertama, setelah itu dilanjutkan dengan menonton film di kelas velvet yang lebih private.“Oke. Waktunya pergi,” serunya senang.Brandon segera meraih jaket kulit yang sering dikenak