IBU Abdi tak sabar mengetahui apa saja yang telah dibicarakan puteranya dengan Haji Sobirin. Begitu Abdi kembali ke dalam kamar, langsung disambutnya dengan serentetan pertanyaan.
"Pak Haji sama siapa tadi? Ati ikut juga nggak? Ngobrolin apa saja kalian?"
Yang ditanyai tak langsung menjawab, melainkan duduk di kursi tak jauh dari kepala ranjang. Terdengar embusan napas panjang dari lubang hidung si pemuda. Wajahnya muram.
Ibu Abdi pandangi pemuda itu lekat-lekat. Oleh dokter rumah sakit, wanita itu memang sudah dibilang sembuh. Namun ia perlu bantuan untuk melakukan ini-itu agar kondisinya tak kembali drop.
Abdi yang kebetulan sedang cuti selepas keluar dari hutan, sementara kakak-kakaknya yang dua orang harus ngantor dari pagi sampai sore, membuat tugas menunggui sang ibu jatuh pada pemuda tersebut.
"Heh, ditanyain kok diam saja?" tegur ibu Abdi setelah sekian lama menunggu tak kunjung ada jawaban.
Mendengar teguran itu Abdi nyengir kuda. D
ABDI memang menunaikan kewajibannya beribadah siang itu. Akan tetapi tak sampai lima menit sudah selesai. Itu sudah termasuk memanjatkan doa panjang yang diucapkannya dalam hati.Yang memakan waktu lebih lama dari itu malah melamun selepas salat. Usai mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangan sebagai tanda berakhirnya panjatan doa, Abdi bergeming di atas sajadah. Lama sekali pemuda itu diam dengan pikiran melayang-layang.Mula-mula yang terbayang di kepalanya adalah Haji Sobirin, lalu Atisaya. Dan pada gilirannya mau tak mau merembet sampai ke soal pertunangan antara dirinya dan anak pak haji tersebut. Lebih tepatnya adalah tentang kemantapan dirinya melanjutkan ke jenjang pernikahan, atau justru menghentikan semua keterpaksaan ini dan mendekat pada Tiara.Jika melihat sikap dan ucapannya tadi, Abdi dapat membaca betapa sayangnya Haji Sobirin pada Atisaya. Maklum saja, gadis itu anak satu-satunya. Sudah piatu pula karena ditinggal mati ibunya sejak kecil.
"HALO, Bu!" seru Abdi begitu gawai di tangannya sudah menempel di telinga. "Eh, maksud saya, Neng Tiara." Ia cepat meralat. Terdengar gelak tawa di ujung telepon, dengan deru mesin mobil dan ramainya lalu lintas sebagai latar belakang. "Apa-apaan sih malah manggil Neng segala. Memangnya Atisaya apa?" sahut si penelepon berlagak ketus. Yang menelepon memang Tiara. Saat itu sang direktur muda tengah memacu mobilnya kembali ke kantor setelah makan siang bersama Theo tadi. Usai memergoki sepasang lelaki-perempuan yang membuat hatinya gondok tapi juga senang, tiba-tiba saja di kepala Tiara terlintas satu pemikiran. Sebuah rencana terbentang, dan gadis itu jadi teringat pada Abdi. Abdi hanya bisa tertawa sendiri sebagai tanggapan. "Lagi di mana memangnya? Sepertinya sedang dalam perjalanan ya?" "Iya, baru saja meeting dengan seseorang di Kemang, sekalian makan siang. Ini lagi dalam perjalanan balik ke kantor," sahut Tiara dengan nada riang.
SUNGGUH tak terkira kekagetan Abdi mendengar ucapan Tiara barusan. Atasannya itu memintanya secepat mungkin ke Jakarta! Abdi yakin sekali dirinya tak salah dengar. Telinganya juga sedang baik-baik saja.Padahal baru beberapa menit sebelumnya mulut yang sama mengatakan Abdi tidak perlu risau mengenai rencana ke Jakarta. Tiara berkata Abdi bebas mau kembali kapan saja ke Jakarta. Tentu saja itu kaitannya dengan status Abdi sebagai karyawan PT Tirya Parkindo."Mmm, maksud Ibu bagaimana ya? Apakah saya memang harus bertatap muka secara langsung dengan Pak Wardoyo dan Bu Wardoyo?" tanya Abdi, tak dapat menyembunyikan kebingungan."Kamu pasti berpikir kenapa tidak lewat panggilan telepon atau video call saja, begitu kan?" Tiara malah balik bertanya. Terdengar derai tawa di ujung ucapannya."I-iya, kan tidak harus bertemu langsung kalau cuma memberi kesaksian mengenai kejadian tadi?" imbuh Abdi.Bukan apa-apa. Pemuda itu hanya ingin kembali ke Jakarta jik
TIARA langsung mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji ketika memasuki ruang kerja. Dari Sinta, gadis itu diberitahu jika Seno sudah menunggu di dalam ruangan. Ia telat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikannya sendiri."Selamat siang, Pak Seno. Mohon maaf sekali Bapak harus menunggu saya yang datang terlambat," ujar Sinta begitu melihat punggung seorang lelaki paruh empat puluhan tahun.Seno memutar kursi, lalu bangkit berdiri sembari pentangkan senyum lebar. Kepalanya dianggukkan sedikit sebagai bentuk penghormatan pada Tiara."Selamat siang, Ibu Tiara," ucap Seno. Pandangan matanya mengikuti langkah Tiara yang tergesa menuju ke balik meja. Begitu atasannya itu duduk, Seno ikut kembali duduk pula."Jalanan macet, Bu?" tanya Seno membuka obrolan.Hari-hari belakangan lalu lintas Jakarta memang sering macet di siang hari. Pekerjaan proyek fly over di beberapa titik menyebabkan arus kendaraan tersendat. Bahkan di jalan tol sekali pun. Namu
TIARA langsung membuka laptop. Foto-foto dan video yang barusan diterimanya ia pindahkan ke layanan komputasi awan. Selain agar lebih aman, juga supaya sewaktu-waktu dapat diakses melalui berbagai perangkat.Setelah memastikan tak ada lagi yang harus ia kerjakan hari itu, serta menanyakan pada Sinta apa saja agendanya besok, Tiara pamit pulang. Ia bahkan mempersilakan Sinta ikut pulang, tapi gadis itu mengatakan masih ada beberapa hal yang harus dibereskan.Lantunan She Will Be Loved milik Maroon 5 mengiringi perjalanan Tiara meninggalkan kantor. Lalu menyusul suara Barbra Streisand menembangkan Woman in Love. Selera musik gadis itu benar-benar acak.Rumah tampak sepi ketika Tiara memasukkan mobil ke dalam garasi. Mang Udin tergopoh-gopoh membukakan pagar untuknya."Kok sepi sekali, Mang?" tanya Tiara sembari melongokkan kepalanya setelah menurunkan kaca pintu."Bapak masihbelum pulang dari kantor, Mbak. Kalau Nyonya seperti
ADZAN waktu salat Isya baru saja selesai berkumandang ketika kakak sulung Abdi dan istrinya tiba. Pemuda itu menyambut ucapan salam dari pasangan tersebut dengan senyum semringah."Anak-anak nggak ada yang mau ikut, Kang?" tanya Abdi begitu melihat pasangan itu hanya datang berdua. Ia pun berdiri, melangkah ke ambang pintu untuk melongok ke halaman. Sebuah sepeda motor terparkir di sana."Si Nono lagi garap PR sama temannya, jadi adiknya ikutan pilih di rumah saja," sahut kakak ipar Abdi. Di tangan perempuan itu tergenggam bungkusan.Dengan cepat tangan Abdi meminta bungkusan dari tangan sang kakak ipar. Lalu mempersilakan perempuan itu berjalan mendahului ke arah dalam, membuntuti suaminya menuju kamar di mana ibu mereka berada."Ibu gimana kondisinya hari-hari belakangan, Nang? Sudah lebih baik atau sama saja seperti pas balik dari rumah sakit?" tanya Murni, kakak ipar Abdi."Ya agak baikan sedikit, Yu. Mudah-mudahan sih sudah nggak pernah kumat
TRISNA dapat melihat jelas keraguan di wajah Abdi. Atau lebih tepat disebut sebagai kekhawatiran. Wajar saja jika Abdi merasa khawatir atau pun takut. Sebab membatalkan pertunangan dengan Atisaya bisa membawa konsekuensi besar bagi keluarga.Meski demikian Abdi merasa belum siap untuk berterus terang. Lagi pula ia masih belum mengambil keputusan final. Ia akan memanfaatkan baik-baik waktu sepekan yang diberikan Atisaya padanya untuk memikirkan hal ini baik-baik, matang-matang."Kamu tiba-tiba merasa nggak sreg sama si Ati?" desak Trisna yang tak sabar menunggu jawaban.Abdi menyeringai lebar dibuatnya. Masih belum tahu harus berkata apa. Tiba-tiba saja satu pemikiran merasuk ke kepalanya, membuatnya berbalik melemparkan tanya."Kalau menurut Akang sendiri, Neng Ati itu cocok nggak sih sama saya? Maksudnya, ke depannya kami bakal jadi keluarga yang rukun dan bahagia nggak sih?"Balik ditanyai begitu membuat Trisna tertawa lepas. Tapi hanya sebentar.
RUMAH Haji Sobirin tampak sepi saat Abdi tiba. Tak ada seorang pun di teras, padahal semua warga desa juga tahu kalau Pak Haji selalu kedatangan tamu. Rata-rata membicarakan urusan kebun, sawah, atau beberapa pabrik milik tuan rumah.Abdi langsung mematikan mesin sepeda motornya begitu memasuki halaman rumah Haji Sobirin. Kendaraan itu bahkan masih meluncur, sebelum akhirnya berhenti di muka teras. Ia hanya tidak mau kedatangannya mengganggu penghuni rumah.Tapi meski Abdi sudah berusaha datang sehening mungkin, masih ada yang keluar menyambut juga. Tepat saat pemuda itu turun dari sepeda motor, pintu yang tadinya tertutup menganga.Seorang lelaki berwajah gempal, mengenakan baju koko dan peci yang agak miring, berdiri di ambang pintu dengan wajah mengembangkan senyum lebar. Haji Sobirin sendiri yang menyambut kedatangan calon mantunya."Eh, Abdi rupanya ya? Wah, kebetulan sekali nih yang dikangenin datang menjenguk," celetuk Haji Sobirin, membuat Abdi ma
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra