ABDI memang menunaikan kewajibannya beribadah siang itu. Akan tetapi tak sampai lima menit sudah selesai. Itu sudah termasuk memanjatkan doa panjang yang diucapkannya dalam hati.
Yang memakan waktu lebih lama dari itu malah melamun selepas salat. Usai mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangan sebagai tanda berakhirnya panjatan doa, Abdi bergeming di atas sajadah. Lama sekali pemuda itu diam dengan pikiran melayang-layang.
Mula-mula yang terbayang di kepalanya adalah Haji Sobirin, lalu Atisaya. Dan pada gilirannya mau tak mau merembet sampai ke soal pertunangan antara dirinya dan anak pak haji tersebut. Lebih tepatnya adalah tentang kemantapan dirinya melanjutkan ke jenjang pernikahan, atau justru menghentikan semua keterpaksaan ini dan mendekat pada Tiara.
Jika melihat sikap dan ucapannya tadi, Abdi dapat membaca betapa sayangnya Haji Sobirin pada Atisaya. Maklum saja, gadis itu anak satu-satunya. Sudah piatu pula karena ditinggal mati ibunya sejak kecil.
"HALO, Bu!" seru Abdi begitu gawai di tangannya sudah menempel di telinga. "Eh, maksud saya, Neng Tiara." Ia cepat meralat. Terdengar gelak tawa di ujung telepon, dengan deru mesin mobil dan ramainya lalu lintas sebagai latar belakang. "Apa-apaan sih malah manggil Neng segala. Memangnya Atisaya apa?" sahut si penelepon berlagak ketus. Yang menelepon memang Tiara. Saat itu sang direktur muda tengah memacu mobilnya kembali ke kantor setelah makan siang bersama Theo tadi. Usai memergoki sepasang lelaki-perempuan yang membuat hatinya gondok tapi juga senang, tiba-tiba saja di kepala Tiara terlintas satu pemikiran. Sebuah rencana terbentang, dan gadis itu jadi teringat pada Abdi. Abdi hanya bisa tertawa sendiri sebagai tanggapan. "Lagi di mana memangnya? Sepertinya sedang dalam perjalanan ya?" "Iya, baru saja meeting dengan seseorang di Kemang, sekalian makan siang. Ini lagi dalam perjalanan balik ke kantor," sahut Tiara dengan nada riang.
SUNGGUH tak terkira kekagetan Abdi mendengar ucapan Tiara barusan. Atasannya itu memintanya secepat mungkin ke Jakarta! Abdi yakin sekali dirinya tak salah dengar. Telinganya juga sedang baik-baik saja.Padahal baru beberapa menit sebelumnya mulut yang sama mengatakan Abdi tidak perlu risau mengenai rencana ke Jakarta. Tiara berkata Abdi bebas mau kembali kapan saja ke Jakarta. Tentu saja itu kaitannya dengan status Abdi sebagai karyawan PT Tirya Parkindo."Mmm, maksud Ibu bagaimana ya? Apakah saya memang harus bertatap muka secara langsung dengan Pak Wardoyo dan Bu Wardoyo?" tanya Abdi, tak dapat menyembunyikan kebingungan."Kamu pasti berpikir kenapa tidak lewat panggilan telepon atau video call saja, begitu kan?" Tiara malah balik bertanya. Terdengar derai tawa di ujung ucapannya."I-iya, kan tidak harus bertemu langsung kalau cuma memberi kesaksian mengenai kejadian tadi?" imbuh Abdi.Bukan apa-apa. Pemuda itu hanya ingin kembali ke Jakarta jik
TIARA langsung mengangkat tangan kanannya untuk melihat arloji ketika memasuki ruang kerja. Dari Sinta, gadis itu diberitahu jika Seno sudah menunggu di dalam ruangan. Ia telat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikannya sendiri."Selamat siang, Pak Seno. Mohon maaf sekali Bapak harus menunggu saya yang datang terlambat," ujar Sinta begitu melihat punggung seorang lelaki paruh empat puluhan tahun.Seno memutar kursi, lalu bangkit berdiri sembari pentangkan senyum lebar. Kepalanya dianggukkan sedikit sebagai bentuk penghormatan pada Tiara."Selamat siang, Ibu Tiara," ucap Seno. Pandangan matanya mengikuti langkah Tiara yang tergesa menuju ke balik meja. Begitu atasannya itu duduk, Seno ikut kembali duduk pula."Jalanan macet, Bu?" tanya Seno membuka obrolan.Hari-hari belakangan lalu lintas Jakarta memang sering macet di siang hari. Pekerjaan proyek fly over di beberapa titik menyebabkan arus kendaraan tersendat. Bahkan di jalan tol sekali pun. Namu
TIARA langsung membuka laptop. Foto-foto dan video yang barusan diterimanya ia pindahkan ke layanan komputasi awan. Selain agar lebih aman, juga supaya sewaktu-waktu dapat diakses melalui berbagai perangkat.Setelah memastikan tak ada lagi yang harus ia kerjakan hari itu, serta menanyakan pada Sinta apa saja agendanya besok, Tiara pamit pulang. Ia bahkan mempersilakan Sinta ikut pulang, tapi gadis itu mengatakan masih ada beberapa hal yang harus dibereskan.Lantunan She Will Be Loved milik Maroon 5 mengiringi perjalanan Tiara meninggalkan kantor. Lalu menyusul suara Barbra Streisand menembangkan Woman in Love. Selera musik gadis itu benar-benar acak.Rumah tampak sepi ketika Tiara memasukkan mobil ke dalam garasi. Mang Udin tergopoh-gopoh membukakan pagar untuknya."Kok sepi sekali, Mang?" tanya Tiara sembari melongokkan kepalanya setelah menurunkan kaca pintu."Bapak masihbelum pulang dari kantor, Mbak. Kalau Nyonya seperti
ADZAN waktu salat Isya baru saja selesai berkumandang ketika kakak sulung Abdi dan istrinya tiba. Pemuda itu menyambut ucapan salam dari pasangan tersebut dengan senyum semringah."Anak-anak nggak ada yang mau ikut, Kang?" tanya Abdi begitu melihat pasangan itu hanya datang berdua. Ia pun berdiri, melangkah ke ambang pintu untuk melongok ke halaman. Sebuah sepeda motor terparkir di sana."Si Nono lagi garap PR sama temannya, jadi adiknya ikutan pilih di rumah saja," sahut kakak ipar Abdi. Di tangan perempuan itu tergenggam bungkusan.Dengan cepat tangan Abdi meminta bungkusan dari tangan sang kakak ipar. Lalu mempersilakan perempuan itu berjalan mendahului ke arah dalam, membuntuti suaminya menuju kamar di mana ibu mereka berada."Ibu gimana kondisinya hari-hari belakangan, Nang? Sudah lebih baik atau sama saja seperti pas balik dari rumah sakit?" tanya Murni, kakak ipar Abdi."Ya agak baikan sedikit, Yu. Mudah-mudahan sih sudah nggak pernah kumat
TRISNA dapat melihat jelas keraguan di wajah Abdi. Atau lebih tepat disebut sebagai kekhawatiran. Wajar saja jika Abdi merasa khawatir atau pun takut. Sebab membatalkan pertunangan dengan Atisaya bisa membawa konsekuensi besar bagi keluarga.Meski demikian Abdi merasa belum siap untuk berterus terang. Lagi pula ia masih belum mengambil keputusan final. Ia akan memanfaatkan baik-baik waktu sepekan yang diberikan Atisaya padanya untuk memikirkan hal ini baik-baik, matang-matang."Kamu tiba-tiba merasa nggak sreg sama si Ati?" desak Trisna yang tak sabar menunggu jawaban.Abdi menyeringai lebar dibuatnya. Masih belum tahu harus berkata apa. Tiba-tiba saja satu pemikiran merasuk ke kepalanya, membuatnya berbalik melemparkan tanya."Kalau menurut Akang sendiri, Neng Ati itu cocok nggak sih sama saya? Maksudnya, ke depannya kami bakal jadi keluarga yang rukun dan bahagia nggak sih?"Balik ditanyai begitu membuat Trisna tertawa lepas. Tapi hanya sebentar.
RUMAH Haji Sobirin tampak sepi saat Abdi tiba. Tak ada seorang pun di teras, padahal semua warga desa juga tahu kalau Pak Haji selalu kedatangan tamu. Rata-rata membicarakan urusan kebun, sawah, atau beberapa pabrik milik tuan rumah.Abdi langsung mematikan mesin sepeda motornya begitu memasuki halaman rumah Haji Sobirin. Kendaraan itu bahkan masih meluncur, sebelum akhirnya berhenti di muka teras. Ia hanya tidak mau kedatangannya mengganggu penghuni rumah.Tapi meski Abdi sudah berusaha datang sehening mungkin, masih ada yang keluar menyambut juga. Tepat saat pemuda itu turun dari sepeda motor, pintu yang tadinya tertutup menganga.Seorang lelaki berwajah gempal, mengenakan baju koko dan peci yang agak miring, berdiri di ambang pintu dengan wajah mengembangkan senyum lebar. Haji Sobirin sendiri yang menyambut kedatangan calon mantunya."Eh, Abdi rupanya ya? Wah, kebetulan sekali nih yang dikangenin datang menjenguk," celetuk Haji Sobirin, membuat Abdi ma
BEGITU Haji Sobirin menghilang di balik tirai pemisah ruangan, Atisaya letakkan standing pouch camilan yang sedari tadi ia pegang ke atas meja. Mulut gadis itu juga sudah berhenti mengunyah. Punggungnya disandarkan ke punggung sofa seraya menghela napas dalam-dalam.Abdi tak berbicara apa-apa. Lebih tepatnya lagi tak tahu harus mengatakan apa. Masih terbayang jelas pertengkaran mereka hari itu. Yang berujung pada ucapan tegas Atisaya yang memberinya waktu sepekan untuk menentukan sikap.Keheningan menggantung di udara. Yang terdengar hanya suara denging nyamuk, diseling embusan angin menderu. Hawa dingin membuat Abdi tanpa sadar rangkapkan kedua tangannya ke depan dada."Tadi Bapak datang ke rumah Akang, ya?" tanya Atisaya tiba-tiba."I-iya, tadi habis dari mesjid Pak Haji mampir," sahut Abdi agak tergeragap. Kepalanya menoleh ke samping, menatap Atisaya. Namun gadis itu tampak tengah menerawang ke kegelapan malam di depan sana."Terus, Ba