DI tempat lain, sepeda motor yang dikendarai Abdi bersama Pak Ramlan dan Serka Agus tiba-tiba saja mogok. Mesinnnya tahu-tahu saja mati sendiri. Abdi pun buru-buru menekan pedal rem agar kendaraan tersebut berhenti, tidak menabrak apa saja yang tak terlihat di depan sana.
Dalam kegelapan Abdi saling pandang dengan dengan Serka Agus dan Pak Ramlan di belakangnya. Ketiganya sama-sama menunjukkan wajah penuh keheranan.
"Kenapa tiba-tiba mogok?" tanya Abdi dengan nada cemas. Sedari tadi yang ada di kepalanya hanya Tiara.
"Coba periksa bensinnya," ujar Pak Ramlan kemudian. Lelaki paruh baya itu ingat, ia terakhir kali mengisi bensin pagi hari sebelum berangkat bekerja. Itu pun hanya dua liter.
Serka Agus langsung tanggap, membawa Pak Ramlan turun dari atas jok sepeda motor. Abdi menyusul turun, memasang standar ganda agar kendaraan tersebut tetap berdiri pada tempatnya.
Menggunakan senter kecil yang diulurkan Serka Agus, Abdi membuka tangki bensin
SI Bud yang baru saja mengulurkan sebelah tangan hendak menjamah buah dada Tiara yang membusung tersentak kaget. Suara dobrakan pada pintu pondok begitu keras.Dengan wajah menunjukkan ekspresi kekesalan si Bud berpaling ke arah pintu pondok. Sekali lagi daun pintu bergetar, pertanda ada yang berusaha mendobrak dengan keras dari luar."Sialan! Siapa itu?" geram si Bud, masih dengan menindih Tiara di bawahnya.Si Yud yang memegangi kedua kaki Tiara ikut berpaling ke daun pintu. Wajahnya tak kalah kesal. Tanpa berkata-kata lelaki itu lantas lepaskan pegangan tanganya pada kaki Tiara dan berdiri."Biar aku yang urus pengacau itu," ujar si Yud perlahan seraya melangkah ke arah pintu."Pintunya jangan dibuka!" seru di Bud dari tempatnya.Si Yud tak menjawab. Tapi pembalak satu itu sudah sampai di dekat pintu. Sekali lagi daun pintu bergetar karena didobrak dari luar. Benar kata si Bud, kalau tidak dibuka pintu itu tak akan dapat terbuka dari luar
TENDANGAN keras Abdi mendarat telak di dada si Yud. Lelaki pembalak itu mengeluh tertahan merasakan sesak yang mendera paru-paru. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. Baru berhenti setelah menghantam daun pintu dengan keras.Begitu menghantam daun pintu pondok, tubuh si Yud melosoh jatuh ke bawah. Kemudian diam tak bergerak-gerak lagi, entah pingsan atau mati.Abdi mendekati lelaki pembalak tersebut. Diperiksanya denyut nadi pada pergelangan tangan, agaknya hanya pingsan. Menandakan tendangan kaki Abdi tadi begitu keras, serta telak menghantam dada lelaki tersebut."Abdi, syukurlah kamu datang!" seru Tiara begitu melihat si Yud roboh.Tanpa memedulikan keadaan dadanya yang compang-camping tak tertutup, Tiara setengah melompat mendekati Abdi. Dipeluknya pemuda tersebut erat-erat. Lalu tangisnya pecah, merasa lega bukan main karena terhindar dari kenistaan yang hampir saja menimpa.Abdi balas memeluk si gadis. Dipeluknya begitu erat. Tanp
SETELAH berjalan menembus gelapnya hutan selama sekitar satu jam, Tiara dan Abdi tiba juga di lokasi perkemahan tim patroli gabungan. Kedatangan mereka disambut dengan heboh oleh para aparat keamanan yang ada di sana. Rupanya, berbarengan dengan saat Abdi menyelamatkan Tiara di pondok kayu, tim penyergap yang dipimpin AKP Margono juga berhasil membekuk semua pembalak yang ada di base camp. Bertepatan saat Tiara dan Abdi tiba di sana, para petugas sedang mengikat gerombolan pembalak liar. Para penjahat itu ditempatkan di kemah tersendiri, di bawah penjagaan ketat para petugas. "Kok kurang dua orang lagi, di mana mereka?" tanya AKP Margono kepada anak buahnya. Para petugas di sana agaknya kurang paham berapa persisnya jumlah pembalak liar yang ada. Yang mereka tangkap tiga orang, empat bersama Pak Ramlan. Mereka tidak tahu kalau ada dua orang lagi. "Tadi kan si bosnya ini bilang kalau anak buahnya ada empat. Yang kita tangkap cuma dua ini," kata
MALAM semakin larut. Hawa dingin kian mencucuk tulang. Abdi yang bertelanjang dada hanya dapat menyedekapkan kedua belah tangannya untuk menghalau dinginnya angin. Pemuda itu duduk di muka tenda yang ditempati Tiara. Sedari tadi Tiara sibuk menyuruhnya masuk, namun Abdi berkeras menolak. Ia memilih duduk mencangkung di dekat pintu masuk tenda tersebut. Tiara yang capek sendiri akhirnya memilih membaringkan tubuh di atas alas tenda, beristirahat sembari menunggu mobil jemputan. Entah siapa yang ditelepon Tiara tadi, Abdi tidak tahu. Namun tepat saat pergantian hari, sebuah minibus mewah muncul di perkemahan tersebut. Lampunya yang terang menyilaukan mata. Sekaligus menampakkan logo huruf T dalam lingkaran yang ada di bagian bemper kendaraan tersebut. "Eh, mobil siapa ini?" seru beberapa petugas yang tengah berjaga-jaga. "Berhenti, berhenti! Jangan masuk ke sini!" seru yang lain pula. Suasana berubah ramai. Para petugas jaga bergegas mendekati m
TAK banyak pilihan hotel berbintang di Batang. Karena itu Pardi, sopir yang menjemput Tiara, mengusulkan pada gadis itu agar menginap di Pekalongan. Tiara menurut. Toh, Batang dan Pekalongan hanya berjarak sepelemparan batu. Minibus mewah itu pun melaju memasuki sebuah hotel bintang empat yang terletak tepat di jantung kota Pekalongan. Di seberang stasiun kereta api terbesar di kota tersebut. Setibanya di hotel, Pardi memesankan kamar untuk Tiara dan Abdi. Sementara dua orang yang tengah sangat kelelahan itu menunggu di lobi. Mulanya mereka sempat beradu pendapat, antara memesan satu kamar dengan dua tempat tidur atau dua kamar untuk masing-masing. "Satu kamar saja biar lebih hemat, Abdi. Lagi pula kita pesan kamar twin kok, dua tempat tidur terpisah," ujar Tiara mengutarakan pendapatnya. Di mulut gadis itu boleh saja beralasan agar lebih hemat. Alasan sebenarnya, sejak kejadian di hutan seharian tadi Tiara tidak mau jauh-jauh dari Abdi. Ia i
TIARA masih merasa sangat mengantuk ketika mendengar pintu kamarnya diketuk-ketuk. Awalnya gadis itu bersikap masa bodoh. Malah membenamkan tubuhnya lebih dalam ke balik selimut putih nan hangat.Lagi pula Tiara merasa tidak ada orang yang mengetahui dirinya berada di hotel itu. Kecuali Abdi dan Pardi tentu saja. Dan kedua orang itu tak akan berani mengganggu tidurnya dengan mengetuk pintu berkali-kali seperti ini.Tok! Tok! Tok!Lama-lama Tiara jadi sebal sendiri. Ketukan tersebut terdengar semakin keras saja. Akhirnya, dengan malas gadis itu menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya dan turun dari atas kasur empuk.Setelah melirik sekilas wajah dan penampilannya melalui kaca besar di lemari, Tiara arahkan kakinya menuju pintu."Siapa?" tanya Tiara dengan suara lemah, setengah bergumam.Pintu tak langsung dibuka. Tiara terlebih dahulu mengintip keluar melalui door viewer. Alangkah kagetnya gadis itu begitu mengetahui siapa y
DENGAN tergesa Tiara membuka pintu kamar. Kali ini benar-benar dibuka lebar, tidak seperti saat membukakan pintu untuk Ryan tadi. Gadis itu seketika terguguk dalam tangis ketika melihat sosok yang paling dikasihinya berdiri di depan kamar."Mama?" seru Tiara. Suaranya menjadi serak oleh haru yang kembali merayap.Sesosok wanita paruh baya langsung menubruk Tiara. Memeluk gadis itu erat-erat, yang dibalas oleh Tiara dengan tak kalah erat. Lalu keduanya larut dalam tangis."Tiara, ya ampun, syukurlah kamu masih selamat," ujar wanita paruh baya yang tak lain adalah mama Tiara.Ryan masih berada di sana. Pemuda tersebut berdiri diam terpaku pada tempatnya. Hanya dapat memandangi dua orang yang tengah berpelukan sembari sama-sama menangis tersebut.Sementara itu seorang lelaki paruh baya berjalan mendekati kedua perempuan tersebut. Kemudian tanpa berkata apa-apa ia turut bergabung dalam pelukan. Tangannya yang panjang terentang, memeluk kedua ibu dan an
SEMBARI menunggu kedatangan Abdi, Tiara rupanya punya pikiran lain. Ia mengusulkan pada Papa dan Mama untuk sekalian keluar dari hotel. Check out dan pndah ke rumah keluarga di Batang.Keluarga besar Mama punya rumah peninggalan leluhur di batas kota Batang. Rumah kuna dari jaman penjajahan Belanda tersebut telah menjadi milik pribadi Mama. Dan Pardi yang dipercaya untuk menjaga rumah tersebut.Mama tentu saja menurut. Papa pun membebek saja. Maka begitu Abdi dan Pardi muncul di kamar tersebut, Tiara langsung meminta Pardi untuk mengurus check out dan menyiapkan mobil."Hmm, jadi kamu yang namanya Abdi?" tanya Papa kepada Abdi setelah Pardi pamit keluar dari kamar.Abdi mengulum senyum sembari anggukkan kepala penuh hormat. Sebagai seorang karyawan rendahan, seorang sopir perusahaan, pemuda itu berpikiran bahwa papa Tiara adalah juga atasannya. Orang yang harus dihormati sepenuh hati."Ini yang namanya Abdi, Pa. Dia rupanya seoran