“Lima juta lima ratus ribu dollar, untuk wanita cantik bergaun biru itu,” ujar seorang pria kaya tampan dengan nada bersemangat, menyulut antusiasme para penawar yang duduk di sekitar ruangan.
Sorak sorai penawar pun mulai terdengar, menciptakan suasana yang semakin mencekam di dalam ruangan itu.
“Sepuluh juta dollar!” teriak seorang pria tua kaya raya dengan penuh antusiasme, mengepulkan asap rokok ke udara dengan angkuhnya.
Malam ini, klub bintang itu mengadakan lelang untuk para lelaki hidung belang, mereka akan menawar dengan harga tinggi demi mendapatkan wanita dan bisa bermalam dengan mereka, termasuk Nora, yang telah diserahkan oleh Shopia, sang Ibu untuk ditebus dengan harga fantastis. Shopia yang terlilit utang menggunung pada Tuan Liam, si lintah darat akan melakukan apa saja agar utangnya lunas.
Nora menghela napas kasar, bibirnya bergetar. Dalam hatinya, dia terus bertanya-tanya tentang nilai dirinya di mata ibunya, tentang bagaimana hatinya bisa sekeras batu sehingga sanggup menjualnya begitu saja.
Namun, dengan hati yang hancur, Nora hanya bisa pasrah. Ibunya, si mata duitan itu tidak akan pernah mau melepaskan genggamannya yang rakus terhadap kekayaan yang ditawarkan oleh para miliarder.
“Sepuluh juta dua ratus ribu dollar!” ucap lelaki tampan lainnya sembari mengacungkan nomornya.
“Wah! Semakin memanas. Semua orang menginginkan gadis perawan itu,” bisik para penonton yang semakin asyik melihat pelelangan itu.
‘Siapa pun tolong aku. Aku tidak ingin dibeli oleh orang-orang gila wanita ini,’ ucap Nora dalam hatinya.
Jantungnya semakin berdegup kencang melihat para tamu yang datang semakin banyak. Penawaran demi penawaran terdengar jelas di telinganya.
**
Steve melonggarkan dasi yang ia kenakan lalu mengambil kunci mobilnya, memilih pergi ke bar untuk menenangkan pikirannya yang tengah kalut karena ancaman dari sang ibu.
Luna, sang ibu yang tiba-tiba datang ke kamarnya lalu mengancam dirinya agar segera menikah. Jika tidak, maka warisan yang akan orang tuanya berikan, dibatalkan. Tentu saja hal itu membuat Steve tidak betah berada di rumah kedua orang tuanya.
“Bukan main, mereka bahkan mengancamku!” gerutu Steve sembari duduk di bangku bar yang masih tersedia malam ini.
Malam itu, suasana bar cukup ramai. Steve mengerutkan kening melihat beberapa wanita cantik dengan tampilan seksi duduk berjejer di atas panggung.
Seraya meneguk minumannya, Steve melihat beberapa pria yang mengangkat nomor dan menyebutkan nominal yang fantastis.
“Tsk … para bedebah itu.” Steve bergumam dan beranjak dari kursinya.
Steve menoleh pelan ke arah wanita cantik yang berjalan menyusuri lantai kemudian duduk di antara empat wanita yang akan dilelang itu.
Mata Steve langsung membola saat melihat ada Nora di sana. “Wanita itu?”
Ia terkejut melihat sosok perempuan yang wajahnya ia kenali di antara para wanita yang akan dilelang. Matanya membeliak tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Dia adalah wanita incaran banyak pria, karena hanya dia satu-satunya wanita yang masih perawan.” sang bartender menjelaskan karena melihat wajah Steve yang terlihat begitu penasaran dengan wanita yang sedang dilelang dengan harga tinggi itu.
Steve tidak menanggapi perkataan sang bartender, ia tidak menyangka bahwa pertemuan pertamanya dengan perempuan itu harus di sini.
Steve Alexander, masih berdiri di belakang para pria yang bersikeras meninggikan harga, memperhatikan setiap penawaran yang dilontarkan untuk gadis itu oleh para penawar yang antusias.
Steve mengepalkan tangannya dengan erat, matanya menatap dingin ke arah gadis itu.
Namun, ketika harga semakin melambung tinggi, Steve semakin merasa cemas. Hatinya hampir meledak ketika penawaran naik menjadi sebelas juta, lima belas juta, dan terus berlanjut. Setiap kali harga meningkat, Steve merasakan ketegangan yang semakin memuncak.
Sementara itu, sang gadis masih terduduk dengan kepala tertunduk, ekspresinya penuh dengan ketakutan dan keputusasaan. Di dalam hatinya, dia berdoa agar ada yang menyelamatkannya dari nasib yang mengerikan ini.
Melihat Nora semakin terpuruk, Steve tak bisa bertahan lagi. Dia segera menghubungi asisten pribadinya, memberitahu agar segera datang ke tempat pelelangan tersebut.
“Cepat kemari. Aku tunggu di Star Club sekarang juga!” titah Steve kepada Brandon.
“Baik, Tuan. Saya segera ke sana.” Brandon harus cepat-cepat ke sana, khawatir terjadi sesuatu pada bosnya itu. Sebab tidak biasanya ia memintanya agar segera datang ke sana jika bukan karena urgent.
Dengan penegasan yang kuat, ia mengangkat tangan dan mengucapkan kata-kata yang akan merubah segalanya.
“Tujuh belas juta dollar ….”
Steve menoleh ke arah pria itu. Ia mengerutkan keningnya. Pun dengan gadis yang semula menunduk itu, gadis itu mencari tahu siapa pria yang menyebutkan harga tertinggi.
“Henry? Apa yang sedang dia lakukan di sini?” gumam Nora menatap Henry.
Di sisi lain, Brandon berlari terengah-engah ke arah Steve.
“Tuan Steve. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Brandon yang akhirnya tiba.
“Berikan harga yang lebih tinggi dari pria yang ada di sana, untuk wanita yang berbaju biru itu.”
“Tiga puluh juta dollar!” teriak seseorang lagi.
Steve memijat keningnya mendengar harga orang yang memberi harga tinggi lagi. Apapun yang terjadi, ia harus menang.
“T-tapi … Tuan, Anda mau beri harga berapa?” tanya Brandon kemudian.
“Harga tertinggi yang berhak memenangkan wanita cantik ini. Perlu kalian semua tahu, satu gadis cantik ini masih perawan! Waktu pelelangan lima menit lagi. Jika tidak ada lagi yang memberi harga tinggi, maka pemenangnya adalah ….”
“Tujuh puluh juta dollar!” ucap Brandon, berdiri tepat di depan panggung.
Semua orang tercengang mendengar harga untuk satu wanita malam itu.
“Tidak ada lagi yang lebih besar dari nomor tiga puluh? Tuan…,” tanya sang MC kepada para penawar yang hadir, berusaha memancing minat mereka untuk menaikkan harga.
“Brandon!” ucap pria tampan yang duduk di ujung ruangan, memberi tahu sang MC dengan tenang.
“Ya, Tuan Brandon. Tujuh puluh juta dollar. Mungkin ada yang ingin menambah lagi?” sang MC terus berusaha mencari tahu apakah ada penawar lain yang ingin menantang Brandon.
Namun, tak ada suara yang terdengar. Brandon, dengan tenangnya, menunggu keputusan terakhir.
“Baiklah! Waktu telah habis dan Tuan Brandon pemenangnya! Silakan dipilih, Tuan. Siapa wanita yang ingin Anda ambil?” ucap sang MC, memberikan keputusan akhir kepada pria tampan itu.
Brandon menatap sekeliling ruangan sejenak sebelum akhirnya menunjuk Nora dengan tegas. “Wanita bergaun biru yang sedari tadi menunduk itu,” ucapnya dengan suara mantap, seakan telah membuat keputusan yang bulat.
“Nora? Baiklah. Selamat kepada Nora. Silakan diambil gadis perawan ini,” ujar sang MC dengan sedikit kegugupan, memastikan semua berjalan sesuai prosedur.
Nora merasa dunianya runtuh saat mendengar nama itu. Sebelum dia sempat bereaksi, dua pria besar di sekitarnya telah mendekat dan menuntunnya menuju Brandon, pemilik baru yang telah membayar harga yang mahal untuk memiliki dirinya.
Dalam hati, Nora hanya berdoa agar ada harapan yang tersisa baginya.
Mobil mewah meluncur dengan tenang di jalanan yang sepi, membawa Nora dan Brandon menjauh dari keramaian bar yang sebentar tadi menggelorakan hiruk-pikuk pelelangan. Nora duduk di kursi penumpang, wajahnya dipenuhi dengan rasa penasaran yang tak tersembunyi.“Anda mau membawaku ke mana, Tuan?” tanya Nora dengan suara lembut, mencoba untuk mencari tahu tujuan Brandon membawanya pergi.“Ke apartemen, tentu saja. Sebaiknya kamu diam saja, Nona,” jawab Brandon tanpa menoleh, konsentrasi terfokus pada kemudi mobilnya yang bergerak dengan lancar.Nora mengerutkan keningnya, merasa sedikit heran dengan sikap dingin Brandon. “Kenapa kamu membeliku dengan harga yang sangat tinggi? Sayang sekali, uang sebanyak itu hanya untuk seorang wanita malam sepertiku,” ucapnya, suaranya dipenuhi dengan kebingungan dan sedikit rasa putus asa.“Meskipun kamu seorang wanita malam, tapi kamu masih gadis, bukan?” timpal Brandon, dengan nada yang sedikit merendahkan, membuat Nora terdiam sejenak. Ia terpaksa men
“Steve?” gumam Nora, suaranya terasa bergetar saat mendengar suara lelaki di sampingnya.“Ya. Ini aku, Steve. Mengapa? Apa kau merasa terkejut, karena melihatku di sini?” tanya Steve, suaranya tegas dan penuh dengan rasa penasaran.Nora menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya. “Tidak. Hanya saja, mengapa kau membeliku dengan harga yang fantastis? Uang tujuh puluh juta dollar bukanlah uang yang sedikit,” tanyanya, suaranya terdengar ragu.Namun, Steve hanya diam. Dia memilih untuk menatap mata Nora, mencoba membaca setiap ekspresi yang terpancar dari wajah wanita di depannya.“Ternyata benar, pemberitaan tentangmu di luar sana,” ucap Steve, suaranya terasa dingin, mengingatkan Nora akan perasaan yang pernah terluka sebelumnya.Nora mengerutkan kening, tatapan matanya penuh dengan kebingungan. “Apa maksudmu? Berita apa yang kau dengar tentangku, Steve?” tanyanya, ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.“Tentu saja bahwa kau bukan wanita baik-baik setelah berpisah denganku. Me
Nora menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang meskipun emosinya mulai memuncak. “Ya, aku masih perawan. Apakah itu membahagiakanmu, Tuan Steve yang terhormat?” ucapnya dengan nada yang sedikit mengejek.Steve hanya menatap Nora dengan tatapan yang tidak menunjukkan emosi apa pun. “Baguslah. Itu saja yang ingin kutanyakan. Terima kasih atas jawabannya,” ucapnya singkat, sebelum memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan.Nora menyunggingkan bibirnya, menatap wajah mantan suaminya dengan ekspresi campuran antara kesal dan kebingungan. “Pertanyaanmu sangat tidak masuk akal, Steve. Padahal selama tiga bulan kita menikah, kau tak pernah menyentuhku sama sekali,” ucapnya, suaranya dipenuhi dengan ketidakpercayaan.“Jangan mengingatkan itu lagi, Nora!” potong Steve dengan suara tegas, tampaknya malas membahas masa lalu mereka."Mengapa?" tanya Nora ingin tahu. Steve menghela napas kasar. “Aku sudah melupakannya dan kau malah mengingatkan itu lagi,” sahut Steve, tatapannya penu
Pagi itu, sinar matahari menyapa hangat di halaman rumah keluarga Alexander. Nora dan Steve tiba di sana, menghadap kedua orang tua Steve—Luna dan Justin.“Halo, Ibu, Ayah. Perkenalkan, calon istriku, Nora. Aku dan dia akan menikah dalam waktu dekat ini,” kata Steve dengan tegas, memperkenalkan Nora dengan penuh keyakinan.Nora melirik ke arah Steve, merasakan getaran yang berbeda dalam kata-kata dan sikapnya kali ini. ‘Kali ini dia tidak main-main dengan ucapannya. Kali ini Steve memperkenalkan diriku pada kedua orang tuanya,’ pikirnya dalam hati, mencoba menahan gejolak emosinya.Luna menyambut kedatangan mereka dengan senyuman hangat. “Halo, Nora. Senang bertemu denganmu. Apakah benar, kalian akan menikah? Kalian saling mencintai, hum?” tanyanya penuh keingintahuan.Nora menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. “Ya, Ibu. Kami saling mencintai dan hubungan kami juga sudah berjalan selama tiga bulan lamanya. Steve sudah ingin memperjelas hubungan ini, maka dari itu, kami memilih unt
Nora terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Hatinya terasa hancur mendengar bahwa ibunya telah melupakannya. Dia terduduk di sofa, mencoba mencerna semua informasi itu.Sementara Nora masih tercengang, Steve meninggalkan dirinya dan masuk ke dalam kamarnya tanpa berkata lagi. Hatinya terasa kosong dan hampa saat dia dibiarkan sendiri dalam keheningan ruangan.“Da—dari mana dia tahu kalau ibuku tidak tinggal di rumahnya lagi?” gumam Nora, mencoba memahami bagaimana Steve bisa mengetahui hal itu.Namun sebelum dia bisa bertanya, Steve sudah lebih dulu memasuki kamarnya, meninggalkan Nora dengan pertanyaan yang menggantung di udara. Dia merasa tersesat dan kehilangan dalam keadaan yang tidak pasti.Nora berada di tengah ruang tamu, duduk sendiri dengan pikirannya yang kacau. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi frustrasi ketika teringat akan sikap misterius Steve, mantan suaminya yang juga calon suaminya."Hh! Menyebalkan. Steve masih sama seperti dulu te
Kesunyian yang tercipta membuat semua mata tertuju pada Steve, yang tampak tenang namun sedikit terkejut. Dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi wajah yang datar."Menikah?" ucapnya dengan nada yang tenang, meskipun di dalam hatinya, kekagetannya masih terasa.Semua orang tercengang mendengar kabar tersebut, termasuk Steve sendiri. Namun, dia tetap tenang dan tidak memperlihatkan keterkejutannya."Ya, benar! Tuan Justin pernah menyinggung soal ini. Bahwa beliau akan menikahkan anaknya dengan anak dari rekan kerjanya. Benar begitu, Tuan Steve?" tanya salah satu kolega lain, mencoba mengkonfirmasi rumor yang beredar.Steve merasakan amarah memuncak di dalam dirinya saat namanya disebut bersama dengan keinginan ambisius Tuan Justin. Dia mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan emosinya yang ingin meledak.“Aku memang akan menikah. Namun, bukan dengan pilihan dari ayahku!” tegasnya, suaranya penuh dengan keputusan yang teguh, lalu dengan langkah mantap, dia bera
Tubuh Steve tiba-tiba tegang begitu Nora membuka matanya. Wajahnya terpancar dengan campuran antara keterkejutan dan kebingungan saat dia melihat Nora yang mulai tersadar.“Steve? Apa yang sedang kau lakukan? Kenapa aku ada di sini? Astaga, sepertinya aku ketiduran. Maafkan aku, Steve. Aku tidak tahu kalau kamu sudah kembali,” ucap Nora dengan suara yang masih terdengar mengantuk.Steve menelan salivanya, masih terkejut melihat Nora. Dia lalu mengangguk dengan sikapnya yang sedikit salah tingkah. “Ya. Kau tidur di kamarku. Awalnya aku ingin memarahimu karena kamu memakai kamarku sembarangan. Siapa yang menyuruhmu tidur di kamarku, huh?” tanya Steve mencoba mengalihkan kegugupannya karena hampir ketahuan oleh Nora.Mata Nora berkedip-kedip saat mendengar ucapan Steve. “Euh ….” Dia menggigit bibir bawahnya seraya melirik Steve yang tengah menaikkan alisnya menunggu jawaban.“Aku … euh! Maafkan aku, Steve. Aku lupa,” jawab Nora dengan suara yang masih agak terbata-bata, mencoba merangkai
Nora mendekat dan melihat Steve yang tengah duduk di sofa, dia memutuskan untuk menegurnya."Apa yang ingin kau katakan, Steve?" tanyanya pelan sambil melangkah mendekati Steve yang tampak asyik dengan iPadnya.Steve menutup iPad-nya perlahan dan menatap Nora yang berdiri di depannya. Ekspresi wajahnya terlihat serius. "Kau mau mendengarkanku sambil berdiri seperti itu?" timpal Steve, suaranya datar.Nora tersentak sedikit, lalu memutuskan untuk duduk di samping Steve. "Aku sudah duduk di sampingmu. Apakah aku harus duduk di sofa sebelah sana?" tanya Nora sambil menunjuk sofa di ruang televisi.Steve menghela napasnya, seolah menahan sesuatu. "Tidak perlu," jawabnya pelan, matanya terus menatap Nora dengan serius. "Ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu."Nora mendengarkan dengan seksama, menunggu Steve melanjutkan. "Ya. Silakan. Aku akan mendengarkan," ucapnya mantap, mencoba memberi dukungan pada Steve.Steve mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai pembicaraannya, tampaknya
Sinar matahari Yunani yang lembut menyelinap melalui tirai kamar mereka, membangunkan Nora dan Steve dari tidur yang tenang.Mereka berdua bangun dengan senyum di wajah, merasakan kehangatan pagi dan kebahagiaan yang memenuhi hati mereka.Steve, dengan tatapan penuh cinta, menatap Nora yang masih berbaring di tempat tidur. "Selamat pagi, sayang. Bagaimana tidurmu?" tanyanya dengan suara lembut.Nora tersenyum, mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Steve. "Tidurku nyenyak, suamiku. Bangun di tempat yang indah ini bersamamu adalah kebahagiaan tersendiri."Steve mengangkat Nora dari tempat tidur dengan lembut, lalu memimpin menuju kamar mandi. "Bagaimana kalau kita memulai hari ini dengan mandi bersama?" katanya sambil tersenyum nakal.Nora tersipu, tapi tak bisa menolak pesona Steve. Dia mengikuti suaminya, merasa antusias untuk mengawali hari dengan cara yang intim dan penuh cinta.Di bawah pancuran air hangat, mereka berbagi momen keintiman yang penuh kasih. Air mengalir melewati t
Di bawah langit Yunani yang biru cerah, di mana langit bertemu laut dalam nuansa biru yang tak terlukiskan, Nora berdiri di tepi pantai dengan mata berbinar, menikmati setiap detik momen yang berharga ini.Angin laut berbisik lembut, mengibaskan rambutnya yang panjang dan halus. Steve, yang berdiri di sampingnya, memandangnya dengan senyum penuh kasih sayang."Nora," katanya lembut, suaranya membawa nada penuh kehangatan yang hanya bisa muncul dari cinta yang mendalam. "Selamat ulang tahun. Aku ingin kamu tahu betapa berartinya kamu bagiku."Nora menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh cinta Steve. Dia terdiam sejenak, merasakan kebahagiaan yang menggelora dalam hatinya, seperti ombak yang memecah di pantai."Steve, ini terlalu indah. Aku tak pernah membayangkan bisa berada di sini, di Yunani. Ini seperti mimpi."Steve tersenyum, menarik Nora lebih dekat dalam pelukannya. "Aku ingin memberikanmu segalanya, Nora. Semua yang bisa membuatmu bahagia. Karena itu adalah yang paling pe
“Woah!”Di bawah langit yang memerah saat matahari mulai tenggelam, Nora dan Steve akhirnya tiba di The Wharf Skyline Views.Tempat itu memancarkan keindahan yang memukau, seolah-olah alam dan kemewahan berpadu dalam harmoni yang sempurna.Pemandangan laut yang luas terbentang, dengan perahu-perahu yang tampak kecil dari kejauhan, membingkai pemandangan kota yang gemerlap di malam hari.“Steve … tempat ini indah sekali.”Dekorasi di dalam ruangan privat yang mereka tempati tidak kalah memukau. Lilin-lilin yang berkerlap-kerlip menghiasi setiap sudut, dan bunga-bunga segar yang tertata rapi menambah kehangatan suasana.Aroma bunga yang lembut bercampur dengan udara laut yang segar, menciptakan suasana yang begitu menenangkan.Nora mengagumi keindahan dekorasi tersebut, menyadari bahwa semua ini telah diatur dengan sangat hati-hati.“Kau menyukainya, hm?” tanya Steve dengan tangan melingkar di pinggang Nora.Wanita itu mengangguk antusias. “Ya. Aku sangat menyukainya, Steve!”Brandon, s
Dua hari kemudian, suasana di ruang rapat pimpinan di kantor Steve terasa tegang namun penuh harapan.Para eksekutif dan pemegang saham utama telah berkumpul untuk membahas masa depan EIF Group, perusahaan yang sahamnya terguncang setelah skandal yang melibatkan Jemmy, mantan pemegang saham mayoritas.Steve, duduk di ujung meja dengan Brandon di sisinya, memulai pertemuan dengan nada serius."Kita semua tahu kondisi saham EIF Group saat ini sangat tidak stabil," ujarnya, memandang para pemegang saham yang hadir. "Jemmy telah meninggalkan perusahaan dalam situasi yang sulit, dan para investor menantikan solusi dari kita."Mike, kepala bagian keuangan, mengangguk setuju. "Benar, saham perusahaan terus menurun karena tidak ada yang memegang kendali. Para investor berharap penuh pada Anda, Tuan Steve, untuk mengambil alih dan membawa perusahaan kembali stabil."Steve mengangguk, wajahnya menunjukkan ketegasan. "Saya siap mengambil alih saham tersebut, tapi dengan syarat saya mendapatkan 7
Di sebuah restoran yang penuh dengan nuansa keanggunan dan keindahan, Steve memandang istrinya, Nora, yang sedang melamun sejak tadi.Matanya terfokus pada sesuatu yang jauh, seolah pikirannya berkelana ke tempat yang tak dapat dijangkau oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.Steve, yang selalu peka terhadap perasaan Nora, memanggilnya dengan lembut, "Sayang, ada yang mengusik pikiranmu?"Nora tersadar dari lamunannya, menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak ada, Steve. Aku hanya menikmati suasana restoran ini. Tempat ini benar-benar indah dan nyaman," jawabnya dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatian Steve.Meskipun tersenyum, hati Nora sedikit terganggu. Ada sesuatu yang ia harapkan dari Steve, sesuatu yang seharusnya datang sebentar lagi."Apakah kau sedang memberiku kejutan di sini?" tanyanya dengan nada penuh harap, matanya bersinar dengan ekspektasi.Steve terkekeh pelan, menyadari harapan di mata istrinya. "Kejutan, huh? Tidak ada, Sayang. Aku hanya ingin membawamu ma
"Biarkan kuasa hukumku yang menjelaskan. Kau tinggal tanda tangan saja surat cerai itu untuk diproses di pengadilan,” kata Luna dengan nada tegas.Justin menoleh ke arah Federick yang sudah siap menjelaskan alasan Luna ingin menggugat cerai Justin. Pria itu tersenyum miring, lantas membuka kacamata dan menaruhnya di atas meja berlapis kaca."Jadi, kau ingin berpisah denganku karena Steve sudah tahu semuanya tentang masa lalu kita? Bukankah kau sendiri yang memutuskan untuk selingkuh denganku? Kau sendiri yang bilang jika Frank terlalu sibuk sampai melupakanmu?" tanya Justin, suaranya terdengar penuh ejekan.Luna menghela napas panjang. “Saat itu aku memang bodoh dan egois. Dan mencintaimu adalah hal yang paling aku sesali seumur hidupku. Kau pikir aku bahagia menikah denganmu?“Tentu saja tidak, Justin! Kau hanya ingin mencari keuntungan dariku. Seharusnya aku mendengarkan permintaan anakku untuk tidak menikah lagi. Tapi, karena aku terlena oleh bujuk rayumu, aku mengabaikan anakku se
Jacob, anak kedua Justin, duduk di sofa empuk di depan ayahnya. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita tentang rencana Steve untuk mengambil alih saham EIF Group. Wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang dalam.“Kau terlalu lambat bergerak, Ayah. Pria itu sudah semakin bersinar, apalagi jika dia benar-benar mengambil alih EIF Group. Namanya akan semakin besar dan tentunya semakin sulit untuk dikuasai,” ujar Jacob dengan nada tajam.Justin menoleh, menatap anak keduanya dengan pandangan penuh penyesalan dan frustrasi. “Steve memang sulit dijangkau, Jacob. Bahkan dia bisa tahu pergerakan musuhnya meski dia sedang berada di ujung dunia. Otaknya terlalu jenius, sama seperti mendiang ayahnya.”Jacob menghela napas panjang, matanya masih terpaku pada layar televisi. “Ya. Tapi, soal cinta, dia sangat lemah. Kau bisa memanfaatkan istrinya untuk menjatuhkan Steve dan mendapatkan apa yang kau mau. Bukan malah menjodohkan dia dengan Helena.”Justin menghela napas kasar menden
Rapat hari itu berlangsung di ruang konferensi megah yang terletak di lantai tertinggi gedung EIF Group. Dari jendela besar yang mengelilingi ruangan, terlihat pemandangan kota yang sibuk, namun suasana di dalam ruangan jauh lebih tegang dan serius.Steve dan Brandon, berpakaian rapi dalam setelan formal, berjalan masuk dengan langkah mantap. Mereka disambut oleh jajaran pemilik saham EIF Group yang sudah menunggu dengan penuh harap.Ketika semua sudah mengambil tempat, John, salah satu pemilik saham senior, membuka rapat dengan nada yang tegas namun penuh kekhawatiran."Terima kasih atas kehadiran kalian, Tuan Steve. Seperti yang sudah Anda ketahui, situasi EIF Group saat ini cukup sulit karena pemilik utamanya, Jemmy, telah dipenjara. Namun, kami tidak ingin membubarkan bisnis ini. Kami percaya bahwa dengan manajemen yang tepat, EIF Group masih memiliki potensi besar untuk berkembang."Brandon mengangguk, sementara Steve tetap tenang, menunggu penjelasan lebih lanjut. John melanjutk
Satu bulan kemudian ….Steve menatap layar televisinya di ruang kerja. Menatapnya dengan tatapan tajamnya sembari melipat tangan di dadanya.‘Pada hari ini, Jemmy, seorang pengusaha terkemuka yang dikenal karena kepemilikan perusahaan besar di sektor teknologi, telah ditangkap oleh Unit Khusus Kepolisian atas tuduhan serius termasuk penggelapan dana, perdagangan narkoba, dan operasi bisnis ilegal.’‘Penangkapan dramatis terjadi di apartemen mewah milik Jemmy di pusat kota Washington. Dalam serangkaian penggerebekan yang cermat, petugas berhasil mengamankan bukti yang menghubungkan Jemmy dengan serangkaian kegiatan ilegal yang melibatkan dana perusahaan yang tidak sah, serta jaringan perdagangan narkoba yang luas.’ ‘Kami telah melakukan penyelidikan intensif terhadap Jemmy selama beberapa bulan terakhir, dan hari ini kami berhasil menangkapnya dengan bukti yang cukup kuat untuk menuntutnya di pengadilan. ‘Selain itu, kami juga menemukan barang bukti berupa narkoba dan dokumen-dokumen