Nora menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang meskipun emosinya mulai memuncak. “Ya, aku masih perawan. Apakah itu membahagiakanmu, Tuan Steve yang terhormat?” ucapnya dengan nada yang sedikit mengejek.
Steve hanya menatap Nora dengan tatapan yang tidak menunjukkan emosi apa pun. “Baguslah. Itu saja yang ingin kutanyakan. Terima kasih atas jawabannya,” ucapnya singkat, sebelum memutuskan untuk mengubah topik pembicaraan.
Nora menyunggingkan bibirnya, menatap wajah mantan suaminya dengan ekspresi campuran antara kesal dan kebingungan. “Pertanyaanmu sangat tidak masuk akal, Steve. Padahal selama tiga bulan kita menikah, kau tak pernah menyentuhku sama sekali,” ucapnya, suaranya dipenuhi dengan ketidakpercayaan.
“Jangan mengingatkan itu lagi, Nora!” potong Steve dengan suara tegas, tampaknya malas membahas masa lalu mereka.
"Mengapa?" tanya Nora ingin tahu.
Steve menghela napas kasar. “Aku sudah melupakannya dan kau malah mengingatkan itu lagi,” sahut Steve, tatapannya penuh dengan kesal saat dia menatap wajah mantan istrinya.
Nora menghela napasnya, mencoba untuk menenangkan diri. “Lantas, apa yang kau inginkan, Tuan Steve? Kau telah membuangku, dan kini memungutku lagi. Apa maksud dari ini semua? Katakan, aku ingin tahu,” tuntut Nora, suaranya menuntut penjelasan dari Steve.
Steve merasa tegang, menyadari bahwa saatnya dia harus berbicara terus terang. Meskipun itu akan mengekspos rasa gengsinya karena akan dijodohkan oleh kedua orang tuanya, dia tahu dia tidak bisa mengelak lagi.
“Nora …” Steve memulai, suaranya sedikit gemetar, sebelum dia akhirnya menemukan keberanian untuk melanjutkan. “Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi sebenarnya aku tidak ingin melepasmu. Aku memang telah memutuskan untuk bercerai dulu saat itu, tapi setelah itu aku menyadari bahwa mungkin kau adalah pilihan terakhir untukku,” jujur Steve, tatapannya lembut saat dia berbicara.
Nora terdiam, matanya memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi wajah Steve dengan cermat. Dia tidak bisa menahan perasaan campuran antara kejutan dan keraguan yang memenuhi hatinya.
“Apakah kau serius?” tanya Nora akhirnya, suaranya dipenuhi dengan ragu.
Steve mengangguk, mencoba untuk menyampaikan segala yang ada di dalam hatinya. “Ya, aku serius, Nora. Kita mulai dari awal. Kita menikah secara resmi setelah ini,” ucapnya dengan penuh rasa.
Steve menatap Nora dengan intensitas, mencoba menembus ekspresi bingung yang terpancar dari wajahnya. Dia tahu dia harus menjelaskan dengan jelas dan tegas apa yang ingin dia sampaikan.
“Aku harus menikah dan … tidak ada pilihan lain selain kamu. Yang pernah singgah dalam hidupku,” ucapnya, suaranya terdengar serius, sementara matanya terus memperhatikan reaksi Nora.
Nora menatap Steve dengan mata yang penuh dengan kebingungan. Kata-kata Steve terasa seperti petir di siang bolong baginya. Dia tidak bisa menahan keheranannya atas pengakuan tiba-tiba itu.
“Lalu kau telah melupakan kesalahpahaman yang pernah terjadi di antara kita?” tanya Nora, suaranya penuh dengan keraguan.
“Tentu saja tidak. Nora. Aku sudah bicara padamu berulang kali, aku tak ingin membahas masa lalu itu. Aku hanya ingin menata kehidupan yang baru, kau dan aku menikah secara sah, tidak seperti dulu lagi, yang menikah secara diam-diam. Paham?” jelas Steve, mencoba menegaskan maksudnya.
Nora menggeleng perlahan, ekspresinya masih dipenuhi dengan kebingungan. “Belum. Aku belum paham,” ucapnya dengan suara pelan, mencerminkan kebimbangannya.
Steve mengusap wajahnya dengan lembut, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum melanjutkan pembicaraan.
“Shiit! Kau selalu membuatku jengkel. Aku ingin kita menikah … lagi. Aku akan membawamu pada orang tuaku, mengenalkanmu sebagai calon istriku. Lebih dari itu, kau tak perlu mengatakan apa pun. Jangan sampai mereka tahu jika kita pernah menikah!” ucapnya dengan sedikit frustrasi, tetapi masih dengan nada yang tegas.
Nora merasakan kebingungannya semakin bertambah. Dia tidak tahu bagaimana harus merespons tawaran yang tak terduga ini.
Segala sesuatunya terasa begitu rumit, terutama dengan masalah masa lalu mereka yang belum terselesaikan. Tapi di sisi lain, ada bagian dari hatinya yang bergetar dengan harapan baru yang muncul.
“Tapi, Steve …” ucapnya ragu. “Apa ini benar-benar yang terbaik untuk kita?” tanyanya, mencoba mencari kejelasan di tengah kebimbangan yang melandanya.
Nora menatap Steve dengan tatapan yang penuh dengan keraguan dan pertanyaan. Dia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Kau membeliku hanya untuk kau jadikan sebagai istrimu kembali?” tanya Nora dengan suara yang agak gemetar, mencoba mencari kejelasan dari situasi yang sangat membingungkan baginya.
Steve mengangguk perlahan, matanya tetap menatap tajam ke arah Nora. “Aku mungkin masih membencimu, namun, ini sudah menjadi keputusan yang amat sangat berat yang harus aku ambil. Kau harus menikah denganku, lagi,” ucapnya dengan nada yang tegas, meskipun terdengar ada rasa kebingungan dalam suaranya.
Nora merasa dadanya sesak mendengar permintaan yang begitu mendadak itu. Dia merasa sulit untuk memahami perasaannya sendiri dalam momen ini. “Atas dasar apa aku harus menerimamu kembali, Steve?” tanya Nora dengan suara yang penuh dengan keraguan, sementara dia mencoba merapikan pikirannya.
Steve merasa geram mendengar pertanyaan dari mantan istrinya itu. “Tentu saja karena kau telah kubeli. Kau sudah menjadi milikku. Begitu saja masih kau pertanyakan,” ucapnya dengan nada tajam, memperlihatkan sedikit kekesalannya.
Nora menaikkan alisnya, mencoba untuk menahan emosinya. Dia bisa merasakan getaran di dalam dadanya saat mendengar kata-kata Steve. Sungguh, dia memang sengaja ingin membuat Steve kesal padanya agar melepaskan dirinya.
‘Salah siapa dulu membuangku begitu saja. Sekarang, dia memungutku kembali bahkan mau membeliku dengan harga yang tinggi. Apa dia benar-benar mencintaiku? Namun, gengsinya yang setinggi langit itu menutupi semuanya?’ ucap Nora dalam hatinya, mencoba merapikan pikirannya yang kacau.
“Besok pagi kita ke rumah orang tuaku. Aku akan mengenalkanmu pada orang tuaku.”
“Apa kau serius dengan keputusanmu ini, Steve? Kau akan menikah lagi denganku? Kau tak ingin mencari wanita lain selain diriku?” tanya Nora dengan suara yang penuh keraguan, mencoba menyingkap alasan di balik keputusan Steve.
Steve menggeleng tegas. “Tidak. Namun, jangan sampai kau berbicara pada orang tuaku jika aku mendapatkanmu dari pelelangan! Aku tak ingin mereka tahu mengenai hal ini,” ucap Steve dengan nada serius, memperingatkan Nora agar menjaga rahasia ini dari kedua orang tua mereka. Nora menghela napas kasar, merasa tertekan oleh perasaan bingung dan kebingungan. “Baiklah. Kali ini aku hanya bisa menurut saja,” ucapnya dengan suara yang rendah, menatap Steve dengan ekspresi campur aduk.
Pagi itu, sinar matahari menyapa hangat di halaman rumah keluarga Alexander. Nora dan Steve tiba di sana, menghadap kedua orang tua Steve—Luna dan Justin.“Halo, Ibu, Ayah. Perkenalkan, calon istriku, Nora. Aku dan dia akan menikah dalam waktu dekat ini,” kata Steve dengan tegas, memperkenalkan Nora dengan penuh keyakinan.Nora melirik ke arah Steve, merasakan getaran yang berbeda dalam kata-kata dan sikapnya kali ini. ‘Kali ini dia tidak main-main dengan ucapannya. Kali ini Steve memperkenalkan diriku pada kedua orang tuanya,’ pikirnya dalam hati, mencoba menahan gejolak emosinya.Luna menyambut kedatangan mereka dengan senyuman hangat. “Halo, Nora. Senang bertemu denganmu. Apakah benar, kalian akan menikah? Kalian saling mencintai, hum?” tanyanya penuh keingintahuan.Nora menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. “Ya, Ibu. Kami saling mencintai dan hubungan kami juga sudah berjalan selama tiga bulan lamanya. Steve sudah ingin memperjelas hubungan ini, maka dari itu, kami memilih unt
Nora terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Hatinya terasa hancur mendengar bahwa ibunya telah melupakannya. Dia terduduk di sofa, mencoba mencerna semua informasi itu.Sementara Nora masih tercengang, Steve meninggalkan dirinya dan masuk ke dalam kamarnya tanpa berkata lagi. Hatinya terasa kosong dan hampa saat dia dibiarkan sendiri dalam keheningan ruangan.“Da—dari mana dia tahu kalau ibuku tidak tinggal di rumahnya lagi?” gumam Nora, mencoba memahami bagaimana Steve bisa mengetahui hal itu.Namun sebelum dia bisa bertanya, Steve sudah lebih dulu memasuki kamarnya, meninggalkan Nora dengan pertanyaan yang menggantung di udara. Dia merasa tersesat dan kehilangan dalam keadaan yang tidak pasti.Nora berada di tengah ruang tamu, duduk sendiri dengan pikirannya yang kacau. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi frustrasi ketika teringat akan sikap misterius Steve, mantan suaminya yang juga calon suaminya."Hh! Menyebalkan. Steve masih sama seperti dulu te
Kesunyian yang tercipta membuat semua mata tertuju pada Steve, yang tampak tenang namun sedikit terkejut. Dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi wajah yang datar."Menikah?" ucapnya dengan nada yang tenang, meskipun di dalam hatinya, kekagetannya masih terasa.Semua orang tercengang mendengar kabar tersebut, termasuk Steve sendiri. Namun, dia tetap tenang dan tidak memperlihatkan keterkejutannya."Ya, benar! Tuan Justin pernah menyinggung soal ini. Bahwa beliau akan menikahkan anaknya dengan anak dari rekan kerjanya. Benar begitu, Tuan Steve?" tanya salah satu kolega lain, mencoba mengkonfirmasi rumor yang beredar.Steve merasakan amarah memuncak di dalam dirinya saat namanya disebut bersama dengan keinginan ambisius Tuan Justin. Dia mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan emosinya yang ingin meledak.“Aku memang akan menikah. Namun, bukan dengan pilihan dari ayahku!” tegasnya, suaranya penuh dengan keputusan yang teguh, lalu dengan langkah mantap, dia bera
Tubuh Steve tiba-tiba tegang begitu Nora membuka matanya. Wajahnya terpancar dengan campuran antara keterkejutan dan kebingungan saat dia melihat Nora yang mulai tersadar.“Steve? Apa yang sedang kau lakukan? Kenapa aku ada di sini? Astaga, sepertinya aku ketiduran. Maafkan aku, Steve. Aku tidak tahu kalau kamu sudah kembali,” ucap Nora dengan suara yang masih terdengar mengantuk.Steve menelan salivanya, masih terkejut melihat Nora. Dia lalu mengangguk dengan sikapnya yang sedikit salah tingkah. “Ya. Kau tidur di kamarku. Awalnya aku ingin memarahimu karena kamu memakai kamarku sembarangan. Siapa yang menyuruhmu tidur di kamarku, huh?” tanya Steve mencoba mengalihkan kegugupannya karena hampir ketahuan oleh Nora.Mata Nora berkedip-kedip saat mendengar ucapan Steve. “Euh ….” Dia menggigit bibir bawahnya seraya melirik Steve yang tengah menaikkan alisnya menunggu jawaban.“Aku … euh! Maafkan aku, Steve. Aku lupa,” jawab Nora dengan suara yang masih agak terbata-bata, mencoba merangkai
Nora mendekat dan melihat Steve yang tengah duduk di sofa, dia memutuskan untuk menegurnya."Apa yang ingin kau katakan, Steve?" tanyanya pelan sambil melangkah mendekati Steve yang tampak asyik dengan iPadnya.Steve menutup iPad-nya perlahan dan menatap Nora yang berdiri di depannya. Ekspresi wajahnya terlihat serius. "Kau mau mendengarkanku sambil berdiri seperti itu?" timpal Steve, suaranya datar.Nora tersentak sedikit, lalu memutuskan untuk duduk di samping Steve. "Aku sudah duduk di sampingmu. Apakah aku harus duduk di sofa sebelah sana?" tanya Nora sambil menunjuk sofa di ruang televisi.Steve menghela napasnya, seolah menahan sesuatu. "Tidak perlu," jawabnya pelan, matanya terus menatap Nora dengan serius. "Ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu."Nora mendengarkan dengan seksama, menunggu Steve melanjutkan. "Ya. Silakan. Aku akan mendengarkan," ucapnya mantap, mencoba memberi dukungan pada Steve.Steve mengambil napas dalam-dalam sebelum memulai pembicaraannya, tampaknya
Steve menolehkan kepalanya menatap Nora dengan ekspresi yang dingin. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanyanya dengan suara yang sedikit menusuk.Nora menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan ketegangan yang terasa di udara. “Hanya ingin tahu saja. Memangnya tidak boleh, aku bertanya mengenai hal itu?” jawabnya dengan suara yang sedikit bergetar.Steve menghela napas kasar, tanda frustrasi yang tersirat di wajahnya. “Bukan tidak boleh atau aku melarangmu bertanya demikian. Hanya saja, pertanyaanmu itu tidak perlu aku jawab, karena tidak penting,” ujarnya dengan nada yang agak tajam.“Sangat penting, Steve. Bukankah orang tuamu mendesakmu menikah untuk sebuah warisan?” sergah Nora dengan penuh ketegasan.“Ya. Namun, ayahku tidak bisa ikut campur. Perusahaan itu milik ibuku,” jawab Steve sambil menatap Nora dengan tatapan yang dingin.Nora menaikkan alisnya, terkejut dengan informasi yang baru saja dia dengar. “Oh, ya? Aku pikir perusahaan itu milik ayahmu,” ujarnya dengan sed
Pagi itu, di sebuah butik mewah yang cukup terkenal di kota Washington, suasana begitu ramai dengan sibuknya para karyawan yang sibuk mengatur persiapan untuk pelanggan mereka.Steve dan Nora duduk di salah satu sofa, menunggu dengan sabar sang desainer mengambil gaun pengantin yang telah dipesan oleh Steve.“Kenapa gaunnya sudah selesai dibuat? Memangnya kamu sudah memesannya sejak lama?” tanya Nora kepada Steve, mencoba mencari tahu lebih lanjut tentang persiapan pernikahan mereka.Steve menghela napasnya sejenak sebelum menjawab, “Saat pernikahan pertama kita, aku memesannya di sini. Dulu, dia memberiku dua pilihan gaun yang berbeda. Dan aku memintanya untuk menyimpan satu gaunnya.”“Ah, begitu. Pantas saja gaunnya sudah selesai dibuat,” ujar Nora sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, memahami penjelasan Steve. Ia melirik ke arah Steve yang sedang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.Tak lama kemudian, ponsel Steve bergetar, menandakan adanya panggilan masuk. Ia segera menerima pan
"Heuh? Aku tidak mendengarmu, Steve. Suaramu terlalu kecil," ucap Nora dengan sedikit frustrasi, mencoba mengetahui apa yang dikatakan oleh calon suaminya itu.Steve menggelengkan kepalanya sambil merapikan dasi kupu-kupunya. Nora yang melihatnya lantas menyunggingkan bibirnya, merasa sedikit kesal karena Steve tampaknya tidak bersedia mengulangi perkataannya.Kedua mereka kembali ke dalam ruang ganti setelah mencoba gaun dan setelan tersebut, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri.Mereka bertemu kembali di ruang tunggu. Nora mengambil tasnya dan berjalan di belakang Steve menuju pintu keluar butik."Ke mana lagi kita, Steve?" tanya Nora, mencoba mencari tahu rencana selanjutnya.Steve memakai kacamata hitamnya dan masuk ke dalam mobilnya tanpa menjawab pertanyaan Nora, membiarkan suasana hening.“Astaga, pria itu. Kalau bukan karena telah menolongku, sudah kulempar dia ke sungai yang penuh dengan buaya!” gerutu Nora kesal dalam hatinya, kesal dengan sikap Steve yang terkad
Sinar matahari Yunani yang lembut menyelinap melalui tirai kamar mereka, membangunkan Nora dan Steve dari tidur yang tenang.Mereka berdua bangun dengan senyum di wajah, merasakan kehangatan pagi dan kebahagiaan yang memenuhi hati mereka.Steve, dengan tatapan penuh cinta, menatap Nora yang masih berbaring di tempat tidur. "Selamat pagi, sayang. Bagaimana tidurmu?" tanyanya dengan suara lembut.Nora tersenyum, mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Steve. "Tidurku nyenyak, suamiku. Bangun di tempat yang indah ini bersamamu adalah kebahagiaan tersendiri."Steve mengangkat Nora dari tempat tidur dengan lembut, lalu memimpin menuju kamar mandi. "Bagaimana kalau kita memulai hari ini dengan mandi bersama?" katanya sambil tersenyum nakal.Nora tersipu, tapi tak bisa menolak pesona Steve. Dia mengikuti suaminya, merasa antusias untuk mengawali hari dengan cara yang intim dan penuh cinta.Di bawah pancuran air hangat, mereka berbagi momen keintiman yang penuh kasih. Air mengalir melewati t
Di bawah langit Yunani yang biru cerah, di mana langit bertemu laut dalam nuansa biru yang tak terlukiskan, Nora berdiri di tepi pantai dengan mata berbinar, menikmati setiap detik momen yang berharga ini.Angin laut berbisik lembut, mengibaskan rambutnya yang panjang dan halus. Steve, yang berdiri di sampingnya, memandangnya dengan senyum penuh kasih sayang."Nora," katanya lembut, suaranya membawa nada penuh kehangatan yang hanya bisa muncul dari cinta yang mendalam. "Selamat ulang tahun. Aku ingin kamu tahu betapa berartinya kamu bagiku."Nora menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh cinta Steve. Dia terdiam sejenak, merasakan kebahagiaan yang menggelora dalam hatinya, seperti ombak yang memecah di pantai."Steve, ini terlalu indah. Aku tak pernah membayangkan bisa berada di sini, di Yunani. Ini seperti mimpi."Steve tersenyum, menarik Nora lebih dekat dalam pelukannya. "Aku ingin memberikanmu segalanya, Nora. Semua yang bisa membuatmu bahagia. Karena itu adalah yang paling pe
“Woah!”Di bawah langit yang memerah saat matahari mulai tenggelam, Nora dan Steve akhirnya tiba di The Wharf Skyline Views.Tempat itu memancarkan keindahan yang memukau, seolah-olah alam dan kemewahan berpadu dalam harmoni yang sempurna.Pemandangan laut yang luas terbentang, dengan perahu-perahu yang tampak kecil dari kejauhan, membingkai pemandangan kota yang gemerlap di malam hari.“Steve … tempat ini indah sekali.”Dekorasi di dalam ruangan privat yang mereka tempati tidak kalah memukau. Lilin-lilin yang berkerlap-kerlip menghiasi setiap sudut, dan bunga-bunga segar yang tertata rapi menambah kehangatan suasana.Aroma bunga yang lembut bercampur dengan udara laut yang segar, menciptakan suasana yang begitu menenangkan.Nora mengagumi keindahan dekorasi tersebut, menyadari bahwa semua ini telah diatur dengan sangat hati-hati.“Kau menyukainya, hm?” tanya Steve dengan tangan melingkar di pinggang Nora.Wanita itu mengangguk antusias. “Ya. Aku sangat menyukainya, Steve!”Brandon, s
Dua hari kemudian, suasana di ruang rapat pimpinan di kantor Steve terasa tegang namun penuh harapan.Para eksekutif dan pemegang saham utama telah berkumpul untuk membahas masa depan EIF Group, perusahaan yang sahamnya terguncang setelah skandal yang melibatkan Jemmy, mantan pemegang saham mayoritas.Steve, duduk di ujung meja dengan Brandon di sisinya, memulai pertemuan dengan nada serius."Kita semua tahu kondisi saham EIF Group saat ini sangat tidak stabil," ujarnya, memandang para pemegang saham yang hadir. "Jemmy telah meninggalkan perusahaan dalam situasi yang sulit, dan para investor menantikan solusi dari kita."Mike, kepala bagian keuangan, mengangguk setuju. "Benar, saham perusahaan terus menurun karena tidak ada yang memegang kendali. Para investor berharap penuh pada Anda, Tuan Steve, untuk mengambil alih dan membawa perusahaan kembali stabil."Steve mengangguk, wajahnya menunjukkan ketegasan. "Saya siap mengambil alih saham tersebut, tapi dengan syarat saya mendapatkan 7
Di sebuah restoran yang penuh dengan nuansa keanggunan dan keindahan, Steve memandang istrinya, Nora, yang sedang melamun sejak tadi.Matanya terfokus pada sesuatu yang jauh, seolah pikirannya berkelana ke tempat yang tak dapat dijangkau oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.Steve, yang selalu peka terhadap perasaan Nora, memanggilnya dengan lembut, "Sayang, ada yang mengusik pikiranmu?"Nora tersadar dari lamunannya, menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak ada, Steve. Aku hanya menikmati suasana restoran ini. Tempat ini benar-benar indah dan nyaman," jawabnya dengan suara lembut, mencoba mengalihkan perhatian Steve.Meskipun tersenyum, hati Nora sedikit terganggu. Ada sesuatu yang ia harapkan dari Steve, sesuatu yang seharusnya datang sebentar lagi."Apakah kau sedang memberiku kejutan di sini?" tanyanya dengan nada penuh harap, matanya bersinar dengan ekspektasi.Steve terkekeh pelan, menyadari harapan di mata istrinya. "Kejutan, huh? Tidak ada, Sayang. Aku hanya ingin membawamu ma
"Biarkan kuasa hukumku yang menjelaskan. Kau tinggal tanda tangan saja surat cerai itu untuk diproses di pengadilan,” kata Luna dengan nada tegas.Justin menoleh ke arah Federick yang sudah siap menjelaskan alasan Luna ingin menggugat cerai Justin. Pria itu tersenyum miring, lantas membuka kacamata dan menaruhnya di atas meja berlapis kaca."Jadi, kau ingin berpisah denganku karena Steve sudah tahu semuanya tentang masa lalu kita? Bukankah kau sendiri yang memutuskan untuk selingkuh denganku? Kau sendiri yang bilang jika Frank terlalu sibuk sampai melupakanmu?" tanya Justin, suaranya terdengar penuh ejekan.Luna menghela napas panjang. “Saat itu aku memang bodoh dan egois. Dan mencintaimu adalah hal yang paling aku sesali seumur hidupku. Kau pikir aku bahagia menikah denganmu?“Tentu saja tidak, Justin! Kau hanya ingin mencari keuntungan dariku. Seharusnya aku mendengarkan permintaan anakku untuk tidak menikah lagi. Tapi, karena aku terlena oleh bujuk rayumu, aku mengabaikan anakku se
Jacob, anak kedua Justin, duduk di sofa empuk di depan ayahnya. Matanya terpaku pada layar televisi yang menayangkan berita tentang rencana Steve untuk mengambil alih saham EIF Group. Wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang dalam.“Kau terlalu lambat bergerak, Ayah. Pria itu sudah semakin bersinar, apalagi jika dia benar-benar mengambil alih EIF Group. Namanya akan semakin besar dan tentunya semakin sulit untuk dikuasai,” ujar Jacob dengan nada tajam.Justin menoleh, menatap anak keduanya dengan pandangan penuh penyesalan dan frustrasi. “Steve memang sulit dijangkau, Jacob. Bahkan dia bisa tahu pergerakan musuhnya meski dia sedang berada di ujung dunia. Otaknya terlalu jenius, sama seperti mendiang ayahnya.”Jacob menghela napas panjang, matanya masih terpaku pada layar televisi. “Ya. Tapi, soal cinta, dia sangat lemah. Kau bisa memanfaatkan istrinya untuk menjatuhkan Steve dan mendapatkan apa yang kau mau. Bukan malah menjodohkan dia dengan Helena.”Justin menghela napas kasar menden
Rapat hari itu berlangsung di ruang konferensi megah yang terletak di lantai tertinggi gedung EIF Group. Dari jendela besar yang mengelilingi ruangan, terlihat pemandangan kota yang sibuk, namun suasana di dalam ruangan jauh lebih tegang dan serius.Steve dan Brandon, berpakaian rapi dalam setelan formal, berjalan masuk dengan langkah mantap. Mereka disambut oleh jajaran pemilik saham EIF Group yang sudah menunggu dengan penuh harap.Ketika semua sudah mengambil tempat, John, salah satu pemilik saham senior, membuka rapat dengan nada yang tegas namun penuh kekhawatiran."Terima kasih atas kehadiran kalian, Tuan Steve. Seperti yang sudah Anda ketahui, situasi EIF Group saat ini cukup sulit karena pemilik utamanya, Jemmy, telah dipenjara. Namun, kami tidak ingin membubarkan bisnis ini. Kami percaya bahwa dengan manajemen yang tepat, EIF Group masih memiliki potensi besar untuk berkembang."Brandon mengangguk, sementara Steve tetap tenang, menunggu penjelasan lebih lanjut. John melanjutk
Satu bulan kemudian ….Steve menatap layar televisinya di ruang kerja. Menatapnya dengan tatapan tajamnya sembari melipat tangan di dadanya.‘Pada hari ini, Jemmy, seorang pengusaha terkemuka yang dikenal karena kepemilikan perusahaan besar di sektor teknologi, telah ditangkap oleh Unit Khusus Kepolisian atas tuduhan serius termasuk penggelapan dana, perdagangan narkoba, dan operasi bisnis ilegal.’‘Penangkapan dramatis terjadi di apartemen mewah milik Jemmy di pusat kota Washington. Dalam serangkaian penggerebekan yang cermat, petugas berhasil mengamankan bukti yang menghubungkan Jemmy dengan serangkaian kegiatan ilegal yang melibatkan dana perusahaan yang tidak sah, serta jaringan perdagangan narkoba yang luas.’ ‘Kami telah melakukan penyelidikan intensif terhadap Jemmy selama beberapa bulan terakhir, dan hari ini kami berhasil menangkapnya dengan bukti yang cukup kuat untuk menuntutnya di pengadilan. ‘Selain itu, kami juga menemukan barang bukti berupa narkoba dan dokumen-dokumen