"Wah-wah, lihat siapa gadis cantik yang sedang sendirian ini. Bukankah kamu membutuhkan teman untuk menghabiskan malammu, Nona?" celetuk lelaki yang memiliki tato ular di leher. Ternyata lelaki itu sudah mengawasi Dayana sejak masuk ke dalam kelab malam.
"Kamu siapa? Apa kamu mengenalku? Atau mungkin aku sudah mengenalmu tapi lupa?" racau Dayana yang berusaha mempertahankan kesadarannya. Dia menjawab pertanyaan lelaki bertato itu dengan mendorong badannya ke depan hingga membuat belahan dadanya terlihat jelas.
"Siapa aku itu tidak penting, Nona. Tapi yang jelas kita akan menghabiskan malam ini dengan penuh kenikmatan," jawab lelaki itu sambil menyeringai seram. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin menyeret Dayana ke atas ranjang lalu mencicipi tubuhnya.
Lelaki kurang ajar itu menarik tangan Dayana dalam satu kali sentak dan berusaha mencium bibir gadis itu. Dayana yang masih sedikit sadar pun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman lelaki itu.
"Sialan! Lepaskan aku berengsek! Kamu pikir aku wanita murahan yang mau mengangkang di depan sembarang pria!"
"Ayolah, Sayang. Aku tahu kamu sudah tidak tahan dengan sensasi panas yang ada di dalam tubuhmu ini, kan? Ayo kita percepat ini sebelum hal buruk terjadi padamu," ancam lelaki itu sambil mendekap tubuh Dayana dengan erat.
"Berengsek, aku tidak sudi! Lepaskan aku sialan! Bedebah kau!" Kesabaran Dayana sudah habis. Dia berusaha keras melepaskan diri dari dekapan lelaki bernama Alex itu. Namun, tenaganya tidak sebanding dengan Alex.
Di mata pengunjung kelab, Dayana dan Alex tampak seperti sepasang kekasih yang sedang memadu cinta. Saling mendekap, menyentuh, dan berbagi perasaan di bawah gemerlap lampu disko. Namun, yang terjadi sebenarnya ibarat harimau yang berusaha menangkap kelinci buruannya.
Dayana mulai tidak kuat melawan Alex karena pengaruh minuman beralkohol yang masuk ke dalam tubuhnya. Dia terlihat pasrah ketika Alex mengangkat tubuhnya dan membawanya pergi meninggalkan kelab.
Air mata itu jatuh begitu saja membasahi pipi Dayana. Dalam hati dia berharap semoga ada seseorang yang akan menyelamatkannya.
'Tuhan, selamatkan aku,' batin Dayana sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.
***
Alex membawa Dayana yang sudah tidak sadarkan diri ke sebuah hotel eksklusif yang berada di lantai atas kelab. Di lorong yang minim cahaya diam-diam ada seseorang yang membuntuti mereka.
"Permisi, Tuan. Sepertinya Anda sedang terburu-buru," sergah seorang lelaki bertuxedo hitam dengan rambut yang disisir rapi ke samping.
"Ah, maaf. Kekasihku sedang mabuk dan membuat sedikit keributan, jadi aku ingin membawanya pulang."
"Apa benar begitu? Tapi arah keluar kelab malam ini berada di sebelah sana, Tuan. Kenapa Anda malah menuju ruangan eksklusif yang berada di lantai atas?"
Alex menggeram kesal karena lelaki yang berdiri di hadapannya sekarang mencoba untuk menghalanginya yang ingin menikmati tubuh Dayana. "Maaf, aku tidak tahu kalau pintu keluarnya di arah sana. Kalau begitu permisi."
Karena tidak ingin mengambil resiko, Alex pun memutuskan untuk mencari tempat lain. Dia memasukkan Dayana ke dalam mobil Civic hitam miliknya yang terparkir di basement lalu memacu kendaraan itu menuju hotel bintang lima yang berada di pusat kota. The Acacia Hotel namanya.
Di dalam kamar nomor 110, dia langsung mengempaskan tubuh Dayanan di atas tempat tidur dan memaksa gadis itu untuk menelan obat perangsang. Dia melihat setiap lekuk tubuh Dayana dengan penuh minat.
"Sempurna. Kamu benar-benar gadis yang sempurna, Dayana. Mari kita mulai malam yang panas ini bersama," ucapnya sambil meloloskan gaun merah yang Dayana kenakan.
"Erngh ...." Dayana mengerang tertahan karena merasa ada seseorang yang menyentuh tubuhnya. Kedua mata gadis itu sontak membelalak lebar, terkejut melihat lelaki yang dia temui di kelab malam tadi berada di atas tubuhnya dengan bertelanjang dada. Ternyata lelaki itu adalah Alex, mantan kekasih sahabat baiknya.
"Lepaskan aku, Alex!" Dayana mendorong Alex agar menyingkir dari atas tubuhnya. Namun, lelaki yang memiliki tato di leher itu tetap diam tak bergeming.
"Lepaskan aku!" sengit Dayana menatap Alex tajam. Dia benar-benar marah karena Alex mencoba mencari keuntungan saat dia tidak sadar.
"Tidak perlu takut, Dayana. Aku akan memberimu kenikmatan yang tidak pernah kamu rasakan sebelumnya. Percayalah, ini akan terasa nikmat, bahkan seperti di surga," bisik Alex terdengar menjijikkan di telinga Dayana. Dia mulai mencumbu leher Dayana sambil meraba tubuh gadis itu dengan penuh nafsu.
"Aku sangat membencimu, Alex! Lepaskan aku!" teriak Dayana sambil berusaha melepaskan diri.
Brak!
Tubuh Alex menegang karena pintu kamarnya tiba-tiba didobrak oleh seorang lelaki yang terlihat tidak asing di matanya. Alex yakin sekali pernah melihat wajah lelaki bertuxedo hitam itu sebelumnya.
"Ka-kamu?!" Dia menunjuk lelaki itu. "Bukankah kau pelayan tadi? Kenapa kau bisa ada di sini? Apa kau mengikutiku?"
"Aku sudah curiga ketika melihatmu mendekati gadis itu karena kalian tidak terlihat seperti sepasang kekasih. Kira-kira apa yang akan terjadi jika keluargamu tahu putra kesayangan mereka berusaha memperkosa seorang gadis, Tuan Alex Dirgantara?"
Tubuh Alex sontak menegang, wajahnya pun seketika berubah pucat. "Bagaimana kamu bisa tahu namaku. Jangan-jangan kamu—"
"Aku Sakhala, presdir Jordan Corps. Saingan terberat perusahaan keluargamu, Alex," ungkap laki-laki yang mendobrak pintu kamar hotel tadi.
Entah setan apa yang sudah merasuki Sakhala hingga membuatnya mengikuti Alex dan Dayana hingga ke Acacia Hotel. Padahal dia tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya karena dia selalu acuh tak acuh pada orang asing.
"Sialan!" Alex menggeram kesal. "Apa yang kamu inginkan, Sakha? Bukankah Jordan Corps sudah memiliki segalanya?"
"Lepaskan gadis itu atau seluruh media akan tahu semua kebusukan yang sudah kamu lakukan dan keluargamu!" ancam Sakhala. Tidak ada keraguan yang tepancar dari kedua sorot matanya membuat nyali Alex seketika menciut.
Alex pun melepaskan Dayana dari kungkungannya dan cepat-cepat memakai kembali pakaiannya setelah itu pergi meninggalkan kamar. Dia tidak mau berurusan dengan keluarga Jordan karena mereka bukan tandingannya. Sebelum keluar, dia mendesis sinis kepada Sakhala.
"Lihat saja, Jordan. Gadis itu akan menjadi milikku!"
Sakhala memilih diam karena ancaman Alex hanya omong kosong bagi baginya. Lebih baik dia meminta Dayana untuk segera memakai kembali pakaiannya lalu mengantar gadis itu pulang.
"Sebaiknya cepat pakai bajumu sebelum hal buruk terjadi padamu, Nona." Sakhala ingin meninggalkan kamar, tapi Dayana tiba-tiba menarik tangannya dan mendaratkan sebuah kecupan manis di bibirnya.
Kedua mata Sakhala sontak membulat. Dia refleks mendorong Dayana hingga jatuh di atas tempat tidur. "Apa yang kamu lakukan, Nona?"
"Aku tidak tahu, tapi tubuhku rasanya aneh sekali," desah Dayana menahan perasaan aneh dalam dirinya. Entah kenapa dia mendadak bergairah dan begitu mendambakan sentuhan laki-laki.
Kening Sakhala berkerut dalam melihat Dayana yang tampak bergairah dan tersiksa di saat yang sama. Sakhala tidak munafik, sebagai lelaki normal dia merasa tergoda karena Dayana terlihat begitu seksi dan menggairahkan. Tidak heran jika Alex ingin menghabiskan malam dengan gadis itu.
"Tuan, tolong. Sentuh aku ...."
Sakhala mulai menanggalkan kain terakhir yang melekat pada tubuh Dayana. Tanpa sadar dia menelan ludah karena tubuh Dayana terlihat sangat mulus dan tanpa cacat. 'Sekali ini saja, biarkan aku mencobanya,' batin Sakhala sebelum mendekati Dayana. Dayana yang sudah dikuasai oleh nafsu mengalungkan kedua tangannya ke leher Sakhala dan kembali melumat bibir lelaki asing itu. "Jangan di situ," racau Dayana terdengar tidak jelas ketika tangan Sakhala menyentuh daerah paling sensitif di tubuhnya."Selain cantik, milikmu ternyata nikmat sekali, Nona. Kamu benar-benar sempurna," ucap Sakhala di tengah pergulatan panas mereka. Semakin malam yang terdengar hanya erangan kenikmatan dari dua manusia yang sedang memadu kasih bersama. Decitan ranjang dan semilir angin malam tidak sedikit pun mengusik kegiatan mereka. *** Dayana mengerjabkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah cantiknya. Kening gadis itu berkerut d
Sakhala menuruni tangga sambil memasang kancing di lengan kemejanya. Aroma laut berpadu dengan kayu manis menguar jelas dari tubuhnya. Sakhala selalu terlihat tampan seperti biasa. Apa lagi dengan tatanan rambut yang dibuat naik ke atas. "Selamat pagi, Bang Sakha." "Selamat pagi juga, Ariana." Sakhala tersenyum lantas mengusap puncak kepala adik perempuannya dengan gemas sebelum duduk di meja makan. "Abang, hari ini lembur lagi?" tanya Ruth—ibu Sakhala sambil menuang susu ke dalam gelas untuk Ariana karena beberapa hari ini Sakhala lebih sering menghabiskan waktu di kantor. "Abang sengaja lembur bukan untuk menghindari mama, kan?" "Uhuk!" Sakhala yang sedang minum sontak terbatuk-batuk karena terkejut mendengar pertanyaan Ruth. Dia memang sengaja pulang larut malam karena Ruth selalu saja memaksanya untuk segera menikah. Dia tidak tahan mendengarnya. Lagi pula dia belum siap untuk menikah dan masih kepikiran dengan Dayana. Entah kenapa gadis itu enggan enyah dari pikirannya. "Ka
"Kita bertemu lagi, Alex!" sergah seorang lelaki berwajah tampan yang masih memakai setelan kerja lengkap. “Apa urusanmu, Berengsek! Wanita ini milikku!" Alex menatap Sakhala dengan tajam sambil tetap mencengkeram pergelangan tangan Dayana. Cengkeramannya bahkan semakin kuat, seakan-akan tidak ingin Dayana direbut oleh siapa pun. "Ternyata kamu masih belum menyerah, Alex?" desis Sakhala sambil memamerkan senyum miring andalannya. "Ini bukan urusanmu! Menyingkirlah dari hadapanku atau—" "Atau apa?" Sakhala kembali menyeringai. "Apa Alex Dirgantara sudah berani mengancam pemimpin Jordan Corps sekarang?" "Sialan! Kamu selalu berlindung dibalik nama keluargamu, Sakhala. Kamu dan keluargamu yang menyebalkan itu ternyata sama saja. Kalian cuma bisa menindas orang lain!” "Apa aku tidak salah dengar? Bukankah kamu dan keluargamu yang suka menindas orang lain? Apa kamu tidak punya cermin di rumah, hah!" Kesabaran Sakhala sudah habis, dia mencengkeram kerah kemeja Alex dan bersiap melay
"A-apa? Menikah?" tanya Sakhala untuk memastikan. Dayana kembali memesan segelas wine sebelum menjawab pertanyaan Sakhala. "Iya, kamu butuh seorang istri, kan? Nikahi saja aku dari pada kamu terus-terusan mengikuti kencan buta yang diatur oleh mamamu. Bagaimana? Apa kamu mau?" Sakhala terenyak karena Dayana benar-benar serius ingin mengajaknya menikah. Apa gadis itu sudah kehilangan akal? "Jangan bercanda, Dayana. Pernikahan itu bukan main-main. Apa kamu ingin mempermainkan pernikahan?" "Siapa yang bercanda, Sakha? Aku cuma ingin membantumu agar tidak mengikuti kencan buta konyol yang diatur oleh mamamu. Lagi pula aku juga diuntungkan kalau kita benar-benar menikah. Kapan lagi aku bisa punya suami yang tajir melintir seperti kamu?" jelas Dayana tanpa beban. Sakhala diam sejenak, sepertinya bukan ide yang buruk kalau dia menikah dengan Dayana karena dia tidak perlu lagi mengikuti kencan buta yang diatur oleh ibunya. "Baiklah, aku terima tawaranmu. Seminggu lagi kita menikah. Bagai
Setelah berdebat cukup panjang melalui telepon, mau tidak mau Dayana akhirnya menyetujui permintaan Sakhala untuk menenui Ruth besok. Dia malah bangun kesiangan karena lupa memasang alarm. Untung saja dia masih memiliki cukup waktu untuk bersiap-siap karena janji untuk bertemu dengan ibu Sakhala jam sepuluh pagi nanti. "Aku harus memakai baju yang mana, ya?" tanya Dayana pada diri sendiri. "Ini terlalu terbuka, kalau yang ini warnanya terlalu mencolok. Argh! Aku bingung sekali mau pakai yang mana!” Dayana menggeram kesal sambil mencocokkan dres satu persatu ke tubuh mungilnya. Setelah mengeluarkan hampir seluruh pakaian di lemarinya, Dayana akhirnya menemukan satu dres yang cocok untuknya. Sebuah midi dress berbahan satin berwarna cream yang terlihat cocok dengan kulit putihnya. "Kalau dilihat-lihat, dress ini lumayan manis. Warnanya juga tidak terlalu mencolok dan yang terpenting modelnya tidak terlalu terbuka." Dayana berputar beberapa kali di depan cermin. "Baiklah, aku akan
Sakhala diam-diam memerhatikan Ruth dan Dayana. Tanpa sadar dia tersenyum karena sang ibu terlihat begitu bahagia ketika bersama Dayana. Ruth terus berbicara tentang bunga yang dia tanam di halaman belakang. Sedangkan Dayana hanya mendengarkan dan sesekali menjawab pertanyaan yang Ruth lontarkan. "Apa kamu suka bunga, Dayana?" Dayana mengangguk. Dia dulu sering menanam bunga dengan sang ibu di rumah. Namun, dia tidak pernah lagi melakukannya semenjak diusir dari rumah. Kedua mata Dayana tampak berbinar melihat bunga matahari yang berada di hadapannya karena sang ibu sangat menyukai bunga tersebut. "Bunga matahari ini sangat cantik, sama sepertimu," ucap Ruth sambil mengusap rambut Dayana dengan penuh sayang. Dayana sontak menunduk untuk menyembuyikan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya. "Terima kasih, Ma," ucapnya malu-malu. Ruth mengangguk lantas memanggil Sakhala yang sedang asyik bermain ponsel di ruang tengah. Sakhala pun meletakkan ponselnya di atas meja lantas men
Sakhala mengistirahatkan badannya di ranjang king size yang bernuansa vintage. Ada beberapa foto ketika dia masih kecil yang terpajang di dinding kamar. Di antaranya foto saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar memegang piala juara satu lomba cerdas cermat tingkat provinsi. Sejak kecil, Sakhala memang dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya. Sakhala tidak hanya pintar di bidang akademis, dia juga tumbuh menjadi anak yang baik, sopan, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Helaan napas panjang kembali lolos dari bibir Sakhala. Berpura-pura menjadi sepasang kekasih bersama Dayana di depan Ruth ternyata cukup melahkan. Sakhala tidak biasa melakukannya. Dia merasa sangat bersalah sudah membohongi Ruth. "Apa aku batalkan saja sandiwara ini? Tapi kalau aku batalkan mama pasti kecewa. Apa yang harus aku lakukan? Argh!" Sakhala menarik rambutnya kuat-kuat. Dia benar-benar bingung sekarang. Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar lalu terdengar suara Ariana."Abang .…" "Ada apa
Keesokan harinya, Dayana pergi ke rumah Sakhala. Seperti yang sudah Dayana duga, Ruth tampak begitu senang ketika melihatnya datang. Wanita itu bahkan mengajaknya membuat cheesecake brownies, kue kesukaan Sakhala. Namun, Sakhala tidak bisa menemaninya karena dia ada urusan mendadak di kantor. "Maaf aku tidak bisa menemanimu. Aku akan langsung pulang kalau urusanku di kantor sudah selesai," ucapnya sambil mengecup kening Dayana. Sakhala sengaja melakukannya karena Ruth diam-diam mengawasi mereka dari ruang tengah. Dia harus berakting romantis agar Ruth percaya kalau dia sedang menjalin hubungan dengan Dayana. Tubuh Dayana sontak menengang, jantung pun berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya karena Sakhala tiba-tiba mengecup keningnya. Sedetik kemudian Dayana mengubah raut wajahnya kembali tenang. "I-iya, hati-hati." Sakhala mengangguk lantas masuk ke dalam Audy hitamnya yang terpkir di depan rumah. "Aku akan langsung meneleponmu begitu tiba tiba di kantor," ucapnya sebelu
"Sakha, lihat ini." Dayana mengusap perutnya yang tampak semakin membesar. Sakhala sontak mengalihkan pandang dari layar laptopnya lalu menatap Dayana dan ikut mengusap perut istrinya itu dengan lembut."Halo, Jagoan Papa. Sehat-sehat ya, di dalam perut mama. Papa sudah tidak sabar ingin ketemu sama kamu," ucap Sakhala sambil tersenyum karena merasakan pergerakan dari calon buah hatinya yang masih berada di dalam perut Dayana."Apa kamu bisa merasakannya, Sakha?"Sakhala mengangguk. Kedua matanya tampak berbinar merasakan gerakan dari calon buah hatinya. "Dia pasti tidak sabar ingin bertemu sama mama papanya."Perasaan Dayana seketika menghangat melihat Sakhala yang sedang berbicara dengan calon buah hati mereka. Dia bisa melihat dengan jelas jika Sakhala sangat menyayangi buah hatinya."Sakha," panggil Dayana pelan."Iya, Sayang?" "Dokter Tasqia kemarin bilang kalau aku mungkin akan melahirkan akhir bulan nanti. Tapi kenapa perutku sekarang sering merasa mulas?" tanya Dayana sambil
Dayana menjalani masa kehamilannya dengan penuh kebahagiaan meskipun ini bukan kehamilannya yang pertama. Minggu ini usia kehamilannya tepat tujuh bulan. Dayana merasa napasnya menjadi lebih berat dan sesak dari pada biasanya karena janin yang ada di dalam perutnya semakin membesar.Sebagai seorang suami, Sakhala berusaha memberikan yang terbaik untuk Dayana. Seperti dua hari yang lalu, dia baru saja membelikan istrinya itu sebuah sofa santai khusus untuk ibu hamil yang harganya puluhan juta. Sakhala sengaja membelinya agar Dayana merasa nyaman. Selain itu dia tidak tega melihat Dayana yang terus mengeluh karena pinggangnya sakit dan pegal-pegal. Dayana menganggap Sakhala terlalu berlebihan. Namun dia sendiri tidak bisa menolak karena Sakhala membeli sofa itu tanpa sepengetahuan dirinya. Selain itu, dia juga tidak ingin berdebat dengan Sakhala karena itu hanya akan menguras energinya.Dayana duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah bahagia. Dia tersenyum saat mengingat pesta gender
Keesokan harinya Dayana bangun dengan kondisi tubuh yang segar bugar karena dia semalam tidur dengan sangat nyenyak. Dia bahkan tidak terganggu dengan suara alarm yang dia pasang sebelum tidur.Dayana melirik jam digital yang ada di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Ternyata sekarang sudah jam tujuh pagi dan dia ingat kalau hari ini Sakhala ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk babymoon. "Sakha sudah bangun belum, ya?" gumam Dayana sambil beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati.Biasanya Sakhala selalu membantunya saat turun, tapi beberapa minggu ini dia harus melakukannya sendiri karena perutnya selalu merasa mual bila berada di dekat Sakhala. Mungkin saja ini bawaan bayi yang berada di dalam kandungannya.Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar. "Apa kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Sakhala sambil membuka sedikit pintu kamarnya untuk melihat Dayana. Tingkah lelaki itu benar-benar mirip seorang pencuri yang mengintai rumah korbannya."Aku sudah bangun
Dayana terbangun dari tidurnya karena perutnya tiba-tiba terasa sangat mual. Dia pun langsung bangun lalu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Sakhala yang mendengar Dayana muntah-muntah ikut terbangun dan segera menghampiri istrinya itu. "Kamu nggak papa, Sayang?" Sakhala mengetuk pintu kamar mandi dengan perasaan khawatir. Dayana tidak menjawab panggilan Sakhala dan terus muntah-mutah. Rasanya Sakhala ingin sekali menemani Dayana di dalam sana, akan tetapi dia tidak bisa masuk karena pintu kamar mandi dikunci Dayana dari dalam. "Sayang?!" Sakhala terus berdiri di depan pintu kamar mandi sambil terus memanggil Dayana. Dia akan mendobrak pintu kamar mandi tersebut jika Dayana tidak kunjung keluar. Namun, belum sempat dia melakukannya Dayana tiba-tiba membuka pintu kamar mandi tersebut dengan wajah yang terlihat sedikit pucat. Sakhala segera menghampiri Dayana lalu menuntun wanita itu agar duduk di atas tempat tidur. "Bagaiamana keadaanmu sekarang? Apa sudah
Dayana telah dipindahkan ke ruang rawat setelah menjalani proses pemindahan embrio di rahimnya. Wanita itu masih belum sadar karena efek bius. Sakhala tidak pernah beranjak dari sisi Dayana, dia duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Dayana sambil menggenggam jemari tangan wanita itu dengan erat. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Dayana membuka mata. Dia mengerjapkan kedua matanya perlahan untuk menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos masuk ke dalam indra penglihatannya."Sayang?!" Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya membuka mata. Dia segera menekan tombol Nurse Call untuk memanggil perawat atau dokter agar memeriksa Dayana."Sakha ...," panggil Dayana pelan karena tubuhnya masih terasa lemas. Tiba-tiba saja pintu ruang rawatnya diketuk dari luar disusul dengan masuknya seorang perawat untuk memeriksa kondisinya"Bagaimana keadaan Ibu Dayana sekarang? Apa Anda masih merasa pusing?" tanya perawat tersebut."Tidak, Sus. Tapi saya masih merasa sedikit
Waktu berjalan dengan begitu cepat, membawa semua hal berlalu bersamanya. Hari ini adalah hari yang penting bagi Sakhala dan Dayana. Sudah genap empat belas hari pasangan itu menunggu hasil dari program bayi tabung yang telah mereka jalani selama kurang lebih satu bulan. "Apa kamu cemas?" tanya Sakhala terdengar lembut. Genggaman tangannya pada Dayana tidak terlepas sedikit pun sejak mereka memasuki halaman rumah sakit."A-aku baik-baik saja."Sakhala menggeleng pelan karena wanita yang berjalan di sampingnya itu tidak pandai berbohong. "Kamu masih ingat ucapanku kemarin malam, kan? Apa pun hasilnya kita pasrahkan sama Tuhan. Yang terpenting kita sudah melakukan yang terbaik," ucap Sakhala berusaha menyalurkan energi positif pada Dayana. "Iya, aku tahu. Terima kasih karena kamu sudah ada di sampingku selama ini," balas Dayana pelan.Kedua pasangan itu pun akhirnya tiba di depan pintu ruangan bercat putih dengan sebuah papan nama bertuliskan Dokter Tasqia, SpOG.Sebelum menarik han
"Sayang!" Sakhala terus mengetuk pintu kamar mandi yang ada di hadapannya karena Dayana tidak kunjung keluar.Apa mungkin Dayana pingsan?"Kamu baik-baik saja, kan? Aku akan mendobrak pintu ini kalau kamu tidak juga keluar!" ucap Sakhala cemas. Dia terus mondar-mandir di depan pintu kamar mandi karena tidak terdengar suara apa pun dari dalam.Apa Dayana baik-baik saja? Sakhala melirik jam tangannya sekilas. Sudah lima menit dia menunggu tapi Dayana belum juga keluar. Sepertinya dia harus mendobrak pintu kamar mandi tersebut. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara Dayana dari dalam."Tunggu, Sakha. Sebentar lagi aku keluar." Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya keluar dari kamar mandi. "Demi Tuhan, Sayang. Aku sudah berdiri di sini selama dua puluh menit. Apa kamu ingin membuatku khawatir?" Dayana malah terkekeh alih-alih merasa bersalah pada Sakhala. "Maaf Sakha. Aku tadi berendam air hangat sambil dengerin musik. Jadi nggak dengar kalau kamu mengetuk pintu.
Beberapa hari kemudian, Sakhala mengantar Dayana ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter Tasqia mengenai program bayi tabung. Dayana merasa sangat cemas karena ini pengalaman pertama baginya. Meskipun begitu, dia sudah siap dengan semua risiko yang mungkin akan dia temui nanti. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Sakhala karena melihat Dayana duduk dengan gelisah. Kedua mata istrinya berulang kali melihat ke arah pintu ruangan Dokter Tasqia yang masih tertutup rapat."A-aku baik-baik saja, Sakha. Cuma sedikit gugup."Sakhala menggenggam tangan Dayana semakin erat. Telapak tangan istrinya itu terasa sangat dingin dan basah. Dayana pasti merasa sangat gugup sekarang."Tenang saja, ada aku di sini. Semua pasti akan baik-baik saja," ujar Sakhala terdengar lembut. Pintu yang sedari tadi Dayana amati tiba-tiba dibuka dengan pelan dari dalam. Seorang wanita muda yang sedang hamil terlihat keluar dari ruangan tersebut disusul dengan seorang perawat dari arah belakang. "Silakan, Non
"Mama bilang apa? Nikah lagi? Apa Mama sudah kehilangan akal? Abang nggak mau Ma." Sakhala menolak dengan tegas permintaan Ruth. "Memangnya kenapa, Bang? Mama menyuruh Abang menikah lagi karena keluarga kita butuh seorang pewaris dari darah Abang. Apa mama salah?"Sakhala mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar merasa kecewa dengan mamanya. Bagaimana mungkin Ruth bisa menyuruhnya untuk menikah lagi? Apa Ruth tidak pernah memikirkan perasaan Dayana?"Mama jelas-jelas salah kalau menyuruh abang menikah lagi demi mendapat keturunan. Apa Mama tidak memikirkan bagaimana perasaan Dayana?" Sakhala mengatupkan rahangnya rapat-rapat, berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Sepertinya keputusannya untuk datang ke rumah mamanya setelah pulang dari kantor ini salah karena Ruth semakin menambah beban pikirannya. "Tapi kita butuh seorang pewaris, Bang," ucap Ruth dengan menekan kata pewaris. "Apa Mama lupa kalau kita sudah memiliki Anya?""Tapi dia bukan darah daging Abang." Ruth