Sakhala diam-diam memerhatikan Ruth dan Dayana. Tanpa sadar dia tersenyum karena sang ibu terlihat begitu bahagia ketika bersama Dayana. Ruth terus berbicara tentang bunga yang dia tanam di halaman belakang. Sedangkan Dayana hanya mendengarkan dan sesekali menjawab pertanyaan yang Ruth lontarkan.
"Apa kamu suka bunga, Dayana?"
Dayana mengangguk. Dia dulu sering menanam bunga dengan sang ibu di rumah. Namun, dia tidak pernah lagi melakukannya semenjak diusir dari rumah.
Kedua mata Dayana tampak berbinar melihat bunga matahari yang berada di hadapannya karena sang ibu sangat menyukai bunga tersebut.
"Bunga matahari ini sangat cantik, sama sepertimu," ucap Ruth sambil mengusap rambut Dayana dengan penuh sayang.
Dayana sontak menunduk untuk menyembuyikan semburat merah yang menghiasi kedua pipinya. "Terima kasih, Ma," ucapnya malu-malu.
Ruth mengangguk lantas memanggil Sakhala yang sedang asyik bermain ponsel di ruang tengah. Sakhala pun meletakkan ponselnya di atas meja lantas menghampiri Ruth.
"Ada apa, Ma?"
"Abang temenin Dayana dulu, ya. Mama mau menyiapkan makan siang."
Sakhala mengangguk.
"Mama tinggal sebentar ya, Day. Kalau kamu butuh apa-apa jangan sungkan panggil mama."
"Dayana bantu ya, Ma?" Dayana ingin membantu Ruth menyiapkan makan siang, tetapi ibu kandung Sakhala itu malah melarang.
"Nggak usah. Kamu di sini saja sama Sakha. Lagi pula di rumah ini sudah ada pelayan yang membantu mama." Ruth melarang Dayana yang ingin membantunya menyiapkan makan siang agar gadis itu bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Skhala.
"Tapi, Ma ...."
"Sudahlah, kamu tunggu di sini saja sama Sakha. Mama cuma sebentar kok."
Dayana menghela napas panjang, percuma saja dia memaksa karena Ruth akan terus menolak. Dia pun duduk di sebuah gazebo yang berhadapan langsung dengan kolam renang bersama Sakhala.
Dayana diam-diam dia memperhatikan Sakhala yang berada di sampingnya. Dayana baru menyadari kalau Sakhala terihat sangat tampan. Padahal lelaki itu hanya memakai kaos hitam polos yang dipadu dengan celana pendek berwarna cokelat.
"Terima kasih sudah datang." Ucapan Sakhala membuat Dayana sontak berhenti mengagumi wajah Sakhala.
"Sama-sama. Aku pikir mamamu galak seperti mama mertuaku yang gagal. Tapi mamamu ternyata sangat baik."
Wajah Dayana seketika berubah sendu karena Ruth mengingatkannya dengan sang ibu. Dayana sangat rindu dan ingin bertemu dengan ibunya karena sudah dua bulan lebih mereka tidak bertemu.
Namun, Dayana tidak bisa bertemu dengan ibunya setiap saat karena sang ayah sudah mengusirnya dari rumah. Dada Dayana selalu saja terasa sesak setiap kali mengingat kejadian tersebut.
"Kenapa kamu tiba-tiba menangis, Dayana? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sakhala terdengar panik karena melihat Dayana menangis.
Dayana tersenyum lantas menghapus air mata yang membasahi pipinya. Dia tidak sadar menangis karena merindukan sang ibu. "Aku baik-baik saja, Sakha. Jangan khawatir. Aku cuma lagi kangen sama mama di rumah."
Sakhala tertegun melihat kesedihan yang menghiasi wajah cantik Dayana. Dia pun mencari topik pembicaraan lain untuk menjaga perasaan gadis itu.
"Kalau boleh tahu, sejak kapan kamu bekerja di Jordan Corp?"
"Em, lumayan lama, mungkin sekitar tiga tahun."
"Bagaimana rasanya bekerja di Jordan Corp? Apa kamu betah kerja di sana?"
Dayana mengangguk. "Ya, aku betah kerja di sana karena sesuai dengan bidangku, tapi pemimpin sebelumnya sangat menyebalkan. Dia tidak pernah memikirkan nasib bawahannya dan pemikirannya sangat kolot," ucap Dayana terdengar kesal karena teringat pemimpin perusahaannya yang dulu.
Entah kenapa gadis itu malah terlihat lucu di mata Sakhala.
Sakhala dan Dayana terpaksa mengakhiri obrolan mereka karena makan siang sudah siap. Mereka pun segera pergi ke ruang makan. Banyak sekali makanan yang tersaji di meja makan, mulai dari pembuka hingga penutup. Semua makanan itu terlihat sangat lezat dan menggugah selera.
Ruth keluar dari dapur sambil membawa sepiring perkedel kentang. "Ayo dimakan, Dayana. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri."
"Iya, Ma." Dayana mendudukkan diri di kursi kosong yang berada tepat di samping Sakhala lalu mengambil nasi dan lauk yang Ruth sajikan untuknya.
"Wah, perkedel ini rasanya enak sekali. Terima kasih, Ma," ucap Dayana setelah mencicipi perkedel kentang buatan Ruth.
"Sama-sama, Dayana. Makan yang banyak, ya?"
Dayana mengangguk. Setelah makan siang mereka berbincang-bincang sebentar di halaman belakang sambil menikmati teh hangat. Padahal Dayana ingin pulang karena dia sudah rindu dengan tempat tidurnya yang ada di kamar. Namun, dia sungkan jika menolak permintaan Ruth.
"Oh, iya. Kalian sudah kenal berapa lama?"
Dayana dan Sakhala sontak saling lirik mendengar pertanyaan Ruth barusan. Mereka tidak mungkin memberi tahu Ruth yang sebenarnya kalau mereka baru saling mengenal.
"Satu tahun, Ma."
"Enam bulan, Ma."
Ruth menatap Sakhala dan Dayana bergantian karena mereka memberi jawaban berbeda. "Jadi yang benar yang mana? Satu tahun atau enam bulan?"
Setitik keringat dingin keluar membasahi pelipis Sakhala, jantungnya pun berdetak tidak nyaman karena Ruth menatapnya dengan lekat. Dia membasahi bibirnya yang kering sebelum menjawab pertanyaan Ruth.
"Em, enam bulan, Ma."
"Yakin?"
"Iya, Ma," jawab Dayana sambil tersenyum untuk menyembuyikan kegugupannya. Semoga saja Ruth percaya.
Ruth mengangguk-angguk. Sepertinya wanita itu percaya dengan jawaban yang diberikan Sakhala dan Dayana. "Apa mama boleh tanya lagi?"
"Ya, boleh." Sakhala meneguk secangkir teh hangatnya hingga tandas lantas menarik napas panjang agar perasaannya menjadi lebih tenang karena Ruth seolah-olah sedang mengintrogasi dirinya dan Dayana.
"Di mana pertama kali kalian bertemu?"
Dayana dan Sakhala kembali saling lirik. Raut cemas tergambar jelas di wajah keduanya karena Dayana dan Sakhala belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan Ruth.
"Di mana?" Ruth kembali bertanya karena Dayana dan Sakhala tidak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Di kelab."
"Di hotel."
Ruth menatap Dayana dan Sakhala dengan lekat sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada karena mereka kembali memberi jawaban yang berbeda. "Yang benar yang mana? Kelab atau hotel?"
Sakhala menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sebelum menjawab pertanyaan Ruth. "Di kelab."
"Apa benar, Dayana?" Ruth beralih menatap gadis cantik yang duduk di sebelah Sakhala.
"Iya, Ma. Dayana dan Sakha bertemu pertama kali di kelab."
Sakhala melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Tidak terasa sekarang sudah sore. "Sepertinya Dayana sudah terlalu lama di rumah kita."
"Kamu mau pulang, Day?"
"Iya, Ma."
"Yah ...." Ruth menghela napas panjang karena dia masih ingin membicarakan banyak hal dengan Dayana.
"Mama jangan sedih, Dayana pasti akan datang ke sini lagi."
Wajah Ruth seketika berbinar. "Benarkah?"
Dayana mengangguk.
"Janji loh, ya?"
"Iya, Ma. Dayana pamit pulang dulu, ya? Terima kasih banyak untuk makanannya. Masakan Mama enak sekali."
"Sama-sama, Day. Lain kali kita harus membuat makanan kesukaan Sakhala sama-sama."
Dayana tersenyum kikuk mendengar ucapan Ruth barusan karena dia tidak bisa memasak sama sekali. "I-iya, Ma."
Sakhala dan Ruth pun mengantar Dayana ke depan. Mereka baru masuk ke rumah saat mobil Dayana sudah tidak terlihat lagi oleh pandangan mereka.
"Dayana cantik ya, Bang? Baik lagi."
Sakhala mengangguk. Dia bisa melihat dengan jelas ketulusan yang terpancar dari kedua sorot mata Dayana. Gadis itu sangat baik dan apa adanya. She is pure.
"Kapan Abang mau melamar Dayana?"
Sakhala tersentak. "A-apa? Melamar?"
Sakhala mengistirahatkan badannya di ranjang king size yang bernuansa vintage. Ada beberapa foto ketika dia masih kecil yang terpajang di dinding kamar. Di antaranya foto saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar memegang piala juara satu lomba cerdas cermat tingkat provinsi. Sejak kecil, Sakhala memang dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya. Sakhala tidak hanya pintar di bidang akademis, dia juga tumbuh menjadi anak yang baik, sopan, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Helaan napas panjang kembali lolos dari bibir Sakhala. Berpura-pura menjadi sepasang kekasih bersama Dayana di depan Ruth ternyata cukup melahkan. Sakhala tidak biasa melakukannya. Dia merasa sangat bersalah sudah membohongi Ruth. "Apa aku batalkan saja sandiwara ini? Tapi kalau aku batalkan mama pasti kecewa. Apa yang harus aku lakukan? Argh!" Sakhala menarik rambutnya kuat-kuat. Dia benar-benar bingung sekarang. Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar lalu terdengar suara Ariana."Abang .…" "Ada apa
Keesokan harinya, Dayana pergi ke rumah Sakhala. Seperti yang sudah Dayana duga, Ruth tampak begitu senang ketika melihatnya datang. Wanita itu bahkan mengajaknya membuat cheesecake brownies, kue kesukaan Sakhala. Namun, Sakhala tidak bisa menemaninya karena dia ada urusan mendadak di kantor. "Maaf aku tidak bisa menemanimu. Aku akan langsung pulang kalau urusanku di kantor sudah selesai," ucapnya sambil mengecup kening Dayana. Sakhala sengaja melakukannya karena Ruth diam-diam mengawasi mereka dari ruang tengah. Dia harus berakting romantis agar Ruth percaya kalau dia sedang menjalin hubungan dengan Dayana. Tubuh Dayana sontak menengang, jantung pun berdetak dua kali lebih cepat dari pada biasanya karena Sakhala tiba-tiba mengecup keningnya. Sedetik kemudian Dayana mengubah raut wajahnya kembali tenang. "I-iya, hati-hati." Sakhala mengangguk lantas masuk ke dalam Audy hitamnya yang terpkir di depan rumah. "Aku akan langsung meneleponmu begitu tiba tiba di kantor," ucapnya sebelu
"Aku pulang!" teriak Sakhala begutu tiba di rumah. Dia segera pergi ke dapur untuk menemui Dayana. Namun, tidak ada satu orang pun di sana. Sakhala pikir Dayana masih membuat kue bersama mamanya, tapi mereka ternyata tidak ada di dapur. Sakhala pun mencari Dayana dan Ruth di ruang tengah, tapi ibu dan kekasih palsunya itu tidak ada di sana. "Di mana mereka?" gumam Sakhala sambil mengedarkan pandang ke sekitar. "Kak Day lucu sekali!" teriak Ariana sambil terkikik geli. Sakhala pun bergegas pergi ke halaman belakang setelah mendengar suara Ariana. Tanpa sadar dia tersenyum melihat apa yang sedang Dayana dan Ariana lakukan. Kedua perempuan berbeda usia itu terlihat sangat akrab padahal mereka baru saja bertemu. "Kenapa kamu tertawa, Ariana? Apa kakak terlihat lucu?" Dayana mengerucutkan bibir kesal karena Ariana sejak tadi terus menertawakannya. "Habis Kak Dayana mirip sekali sama badut!" Ariana malah tertawa semakin keras. Gadis kecil itu tampak begitu puas melihat hasil riasanny
"Apa yang Mama lakukan di sini?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Dayana karena dia merasa begitu terkejut melihat Ruth datang ke kantor. "Apa Mama ingin bertemu dengan Sakha—" Dayana cepat-cepat meralat ucapannya karena dia sekarang sedang berada di kantor. "Maaf, maksud saya pak Sakhala," ucap gadis itu malu-malu. "Tidak, mama ke sini ingin mengajakmu makan siang bersama. Apa kamu sedang sibuk, Day?" Dayana menggeleng pelan. "Tidak, Ma. Kebetulan sekali Dayana juga ingin makan siang. Ayo, Ma, kita makan di sini. Makanan di kantin ini enak-enak, loh." "Padahal mama ingin mengajakmu pergi ke restoran steak langganan mama. Tapi kalau kamu ingin makan di sini nggak papa, deh." Dayana tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Mama mau makan apa? Biar Dayana yang pesan." "Samakan saja denganmu, Day. Mama nggak pilih-pilih makanan, kok." "Baiklah, Dayana akan memesan makanan sekarang. Tolong tunggu di meja nomor lima ya, Ma?" Dayana melihat-lihat makanan yang berada di dalam s
Semua orang yang ada di ruangan tersebut menundukkan kepala ketika pemimpin perusahaan memasuki ruangan. Sakhala terlihat sangat tegas dan berwibawa, tatapan kedua matanya pun sangat tajam membuat siapa pun pasti segan ketika melihatnya. "Apa Anda perlu sesuatu, Pak?" tanya Kevin, kepala devisi tempat Dayana bekerja. "Tidak ada, kalian bisa langsung pulang kalau pekerjaan kalian sudah selesai," jawabnya sambil menatap Dayana yang sedang sibuk merapikan mejanya. Gadis itu terlihat terburu-buru seolah-olah sedang menunggu sesuatu. "Astaga!" pekik Dayana sambil mengusap dada karena terkejut melihat Sakhala tiba-tiba muncul di belakangnya. "Anda membuat saya terkejut, Pak." Sakhala tanpa sadar tersenyum melihat ekspresi Dayana saat terkejut. Lucu, pikirnya. Sedetik kemudian dia mengubah raut wajahnya kembali tenang seperti biasa karena banyak karyawan yang melihatnya. "Bapak ada perlu apa? Apa desain meja belajar yang saya buat kemarin masih ada yang kurang?" "Tidak, aku puas sekal
Dayana pun menoleh. Kedua matanya sontak membulat melihat anak perempuan yang berlari kecil menghampirinya. "Ariana?!" Ariana memeluk kedua kaki Dayana dengan erat. "Halo, Kak Day." "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Dayana heran. Dia benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengan adik Sakhala di mall. "Ariana lagi jalan-jalan sama mama. Apa Kak Day juga sedang jalan-jalan?" "Em, tidak." Dayana menggeleng pelan. "Kak Dayana sedang ada pekerjaan di sini," jawabnya terdengar gugup. Dayana terpaksa berbohong agar Ariana tidak mengatakan hal aneh pada Sakhala karena dia sedang pergi bersama Chris. Ariana menatap Chris yang berdiri tepat di samping Dayana dengan lekat karena wajah lelaki itu terlihat asing di matanya. "Om siapa? Apa Om teman Kak Dayana?" "Apa, om?" Chris terenyak mendengar pertanyaan Ariana barusan. Apa wajahnya terlihat seperti om-om? Dayana tidak bisa menahan tawa karena Ariana menganggap Chris om-om. "Bukan Ariana, dia Kak Chris. Teman kak Dayana. Ariana
"Akhirnya pekerjaanku selesai juga." Dayana merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku lantas melihat jam yang ada di layar ponselnya. Pantas saja perutnya terasa lapar karena sekarang ternyata sudah waktunya makan siang. Dayana pun mematikan layar komputernya lantas beranjak dari tempat duduknya karena dia ingin makan siang di kantin. Dia terpaksa makan siang sendiri lagi karena Salsa tadi izin untuk istirahat lebih awal. Dayana berjalan menuju vending machine yang berada di pojok kanan kantin karena ingin membeli minuman bersoda. Tubuh gadis itu berjingkat karena kaget mendengar suara deham seorang pria. "Ehem!" "Bapak?!" pekiknya karena melihat Sakhala bersandar pada mesin minuman berwarna biru tosca itu. Sakhala melipat kedua tangannya di depan dada. Sepasang mata abu-abu miliknya menatap Dayana dengan lekat. "Bagaimana kencanmu semalam? Apa menyenangkan?" Kening Dayana berkerut dalam. "Maksud, Bapak?" tanya gadis itu tidak mengerti. "Jangan berlagak bodoh, Dayana. Kemari
Tidak ada yang membuka suara selama di mobil. Dayana memilih memperhatikan jalanan lewat kaca mobil yang ada di sampingnya sambil memikirkan Sakhala memberi tahu Chris kalau dia adalah calon istrinya dengan mudah. Apa lelaki itu sudah kehilangan akal? Bagaimana kalau Chris memberi tahu orang lain? Dia pasti akan menjadi bahan gunjingan karyawan lain di kantor. "Kenapa kamu cemberut seperti itu, Dayana?" tanya Sakhala heran karena melihat Dayana berulang kali menghela napas. "Apa kamu sedang memikirkan masalah tadi?" Sakhala kembali bertanya padahal Dayana belum sempat menjawab. Dayana memilih diam karena dia yakin sekali kalau Sakhala pasti sudah tahu jawabannya. "Kamu kan, memang calon istriku dan tidak lama lagi kita akan segera menikah. Apa aku salah kalau memberi tahu, Chris?" tanya Sakhala tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kita memang akan menikah sebentar lagi, Sakha. Tapi kamu seharusnya tidak memberi tahu Chris tentang hubungan kita." Dayana kembali menghela napas panja
"Sakha, lihat ini." Dayana mengusap perutnya yang tampak semakin membesar. Sakhala sontak mengalihkan pandang dari layar laptopnya lalu menatap Dayana dan ikut mengusap perut istrinya itu dengan lembut."Halo, Jagoan Papa. Sehat-sehat ya, di dalam perut mama. Papa sudah tidak sabar ingin ketemu sama kamu," ucap Sakhala sambil tersenyum karena merasakan pergerakan dari calon buah hatinya yang masih berada di dalam perut Dayana."Apa kamu bisa merasakannya, Sakha?"Sakhala mengangguk. Kedua matanya tampak berbinar merasakan gerakan dari calon buah hatinya. "Dia pasti tidak sabar ingin bertemu sama mama papanya."Perasaan Dayana seketika menghangat melihat Sakhala yang sedang berbicara dengan calon buah hati mereka. Dia bisa melihat dengan jelas jika Sakhala sangat menyayangi buah hatinya."Sakha," panggil Dayana pelan."Iya, Sayang?" "Dokter Tasqia kemarin bilang kalau aku mungkin akan melahirkan akhir bulan nanti. Tapi kenapa perutku sekarang sering merasa mulas?" tanya Dayana sambil
Dayana menjalani masa kehamilannya dengan penuh kebahagiaan meskipun ini bukan kehamilannya yang pertama. Minggu ini usia kehamilannya tepat tujuh bulan. Dayana merasa napasnya menjadi lebih berat dan sesak dari pada biasanya karena janin yang ada di dalam perutnya semakin membesar.Sebagai seorang suami, Sakhala berusaha memberikan yang terbaik untuk Dayana. Seperti dua hari yang lalu, dia baru saja membelikan istrinya itu sebuah sofa santai khusus untuk ibu hamil yang harganya puluhan juta. Sakhala sengaja membelinya agar Dayana merasa nyaman. Selain itu dia tidak tega melihat Dayana yang terus mengeluh karena pinggangnya sakit dan pegal-pegal. Dayana menganggap Sakhala terlalu berlebihan. Namun dia sendiri tidak bisa menolak karena Sakhala membeli sofa itu tanpa sepengetahuan dirinya. Selain itu, dia juga tidak ingin berdebat dengan Sakhala karena itu hanya akan menguras energinya.Dayana duduk di sofa ruang keluarga dengan wajah bahagia. Dia tersenyum saat mengingat pesta gender
Keesokan harinya Dayana bangun dengan kondisi tubuh yang segar bugar karena dia semalam tidur dengan sangat nyenyak. Dia bahkan tidak terganggu dengan suara alarm yang dia pasang sebelum tidur.Dayana melirik jam digital yang ada di atas meja kecil samping tempat tidurnya. Ternyata sekarang sudah jam tujuh pagi dan dia ingat kalau hari ini Sakhala ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk babymoon. "Sakha sudah bangun belum, ya?" gumam Dayana sambil beranjak dari tempat tidurnya dengan hati-hati.Biasanya Sakhala selalu membantunya saat turun, tapi beberapa minggu ini dia harus melakukannya sendiri karena perutnya selalu merasa mual bila berada di dekat Sakhala. Mungkin saja ini bawaan bayi yang berada di dalam kandungannya.Tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk dari luar. "Apa kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Sakhala sambil membuka sedikit pintu kamarnya untuk melihat Dayana. Tingkah lelaki itu benar-benar mirip seorang pencuri yang mengintai rumah korbannya."Aku sudah bangun
Dayana terbangun dari tidurnya karena perutnya tiba-tiba terasa sangat mual. Dia pun langsung bangun lalu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Sakhala yang mendengar Dayana muntah-muntah ikut terbangun dan segera menghampiri istrinya itu. "Kamu nggak papa, Sayang?" Sakhala mengetuk pintu kamar mandi dengan perasaan khawatir. Dayana tidak menjawab panggilan Sakhala dan terus muntah-mutah. Rasanya Sakhala ingin sekali menemani Dayana di dalam sana, akan tetapi dia tidak bisa masuk karena pintu kamar mandi dikunci Dayana dari dalam. "Sayang?!" Sakhala terus berdiri di depan pintu kamar mandi sambil terus memanggil Dayana. Dia akan mendobrak pintu kamar mandi tersebut jika Dayana tidak kunjung keluar. Namun, belum sempat dia melakukannya Dayana tiba-tiba membuka pintu kamar mandi tersebut dengan wajah yang terlihat sedikit pucat. Sakhala segera menghampiri Dayana lalu menuntun wanita itu agar duduk di atas tempat tidur. "Bagaiamana keadaanmu sekarang? Apa sudah
Dayana telah dipindahkan ke ruang rawat setelah menjalani proses pemindahan embrio di rahimnya. Wanita itu masih belum sadar karena efek bius. Sakhala tidak pernah beranjak dari sisi Dayana, dia duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Dayana sambil menggenggam jemari tangan wanita itu dengan erat. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Dayana membuka mata. Dia mengerjapkan kedua matanya perlahan untuk menyesuaikan dengan cahaya yang menerobos masuk ke dalam indra penglihatannya."Sayang?!" Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya membuka mata. Dia segera menekan tombol Nurse Call untuk memanggil perawat atau dokter agar memeriksa Dayana."Sakha ...," panggil Dayana pelan karena tubuhnya masih terasa lemas. Tiba-tiba saja pintu ruang rawatnya diketuk dari luar disusul dengan masuknya seorang perawat untuk memeriksa kondisinya"Bagaimana keadaan Ibu Dayana sekarang? Apa Anda masih merasa pusing?" tanya perawat tersebut."Tidak, Sus. Tapi saya masih merasa sedikit
Waktu berjalan dengan begitu cepat, membawa semua hal berlalu bersamanya. Hari ini adalah hari yang penting bagi Sakhala dan Dayana. Sudah genap empat belas hari pasangan itu menunggu hasil dari program bayi tabung yang telah mereka jalani selama kurang lebih satu bulan. "Apa kamu cemas?" tanya Sakhala terdengar lembut. Genggaman tangannya pada Dayana tidak terlepas sedikit pun sejak mereka memasuki halaman rumah sakit."A-aku baik-baik saja."Sakhala menggeleng pelan karena wanita yang berjalan di sampingnya itu tidak pandai berbohong. "Kamu masih ingat ucapanku kemarin malam, kan? Apa pun hasilnya kita pasrahkan sama Tuhan. Yang terpenting kita sudah melakukan yang terbaik," ucap Sakhala berusaha menyalurkan energi positif pada Dayana. "Iya, aku tahu. Terima kasih karena kamu sudah ada di sampingku selama ini," balas Dayana pelan.Kedua pasangan itu pun akhirnya tiba di depan pintu ruangan bercat putih dengan sebuah papan nama bertuliskan Dokter Tasqia, SpOG.Sebelum menarik han
"Sayang!" Sakhala terus mengetuk pintu kamar mandi yang ada di hadapannya karena Dayana tidak kunjung keluar.Apa mungkin Dayana pingsan?"Kamu baik-baik saja, kan? Aku akan mendobrak pintu ini kalau kamu tidak juga keluar!" ucap Sakhala cemas. Dia terus mondar-mandir di depan pintu kamar mandi karena tidak terdengar suara apa pun dari dalam.Apa Dayana baik-baik saja? Sakhala melirik jam tangannya sekilas. Sudah lima menit dia menunggu tapi Dayana belum juga keluar. Sepertinya dia harus mendobrak pintu kamar mandi tersebut. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara Dayana dari dalam."Tunggu, Sakha. Sebentar lagi aku keluar." Sakhala sontak mengembuskan napas lega karena Dayana akhirnya keluar dari kamar mandi. "Demi Tuhan, Sayang. Aku sudah berdiri di sini selama dua puluh menit. Apa kamu ingin membuatku khawatir?" Dayana malah terkekeh alih-alih merasa bersalah pada Sakhala. "Maaf Sakha. Aku tadi berendam air hangat sambil dengerin musik. Jadi nggak dengar kalau kamu mengetuk pintu.
Beberapa hari kemudian, Sakhala mengantar Dayana ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter Tasqia mengenai program bayi tabung. Dayana merasa sangat cemas karena ini pengalaman pertama baginya. Meskipun begitu, dia sudah siap dengan semua risiko yang mungkin akan dia temui nanti. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Sakhala karena melihat Dayana duduk dengan gelisah. Kedua mata istrinya berulang kali melihat ke arah pintu ruangan Dokter Tasqia yang masih tertutup rapat."A-aku baik-baik saja, Sakha. Cuma sedikit gugup."Sakhala menggenggam tangan Dayana semakin erat. Telapak tangan istrinya itu terasa sangat dingin dan basah. Dayana pasti merasa sangat gugup sekarang."Tenang saja, ada aku di sini. Semua pasti akan baik-baik saja," ujar Sakhala terdengar lembut. Pintu yang sedari tadi Dayana amati tiba-tiba dibuka dengan pelan dari dalam. Seorang wanita muda yang sedang hamil terlihat keluar dari ruangan tersebut disusul dengan seorang perawat dari arah belakang. "Silakan, Non
"Mama bilang apa? Nikah lagi? Apa Mama sudah kehilangan akal? Abang nggak mau Ma." Sakhala menolak dengan tegas permintaan Ruth. "Memangnya kenapa, Bang? Mama menyuruh Abang menikah lagi karena keluarga kita butuh seorang pewaris dari darah Abang. Apa mama salah?"Sakhala mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar merasa kecewa dengan mamanya. Bagaimana mungkin Ruth bisa menyuruhnya untuk menikah lagi? Apa Ruth tidak pernah memikirkan perasaan Dayana?"Mama jelas-jelas salah kalau menyuruh abang menikah lagi demi mendapat keturunan. Apa Mama tidak memikirkan bagaimana perasaan Dayana?" Sakhala mengatupkan rahangnya rapat-rapat, berusaha menahan amarahnya agar tidak meledak. Sepertinya keputusannya untuk datang ke rumah mamanya setelah pulang dari kantor ini salah karena Ruth semakin menambah beban pikirannya. "Tapi kita butuh seorang pewaris, Bang," ucap Ruth dengan menekan kata pewaris. "Apa Mama lupa kalau kita sudah memiliki Anya?""Tapi dia bukan darah daging Abang." Ruth