“Apa lagi maksud foto ini, Mas?” desisku pada Mas Ardan yang tampak acuh tak acuh dengan amarahku.
Hatiku perih, menatap nanar pada foto yang terpajang di aplikasi Bukuwajah. Di sana, terpampang foto Mas Ardan—suamiku, dengan seorang wanita. Entah siapa lagi wanita yang duduk bersamanya itu.
Mereka tampak tersenyum lebar sambil duduk di meja sebuah kafe. Menikmati minuman dan makanan bersama. Di atas foto tersebut, tertulis pula sebuah judul “Makan siang santai ditemani dia”.
“Apa sih, gak usah terlalu berlebihan, Shanum. Dia itu cuma calon pembeli. Kalau aku berhasil menjual mobil kepadanya, kan lumayan bonus bulan ini,” jawab Mas Ardan dengan santainya.
“Ya, tapi gak harus gini juga, Mas! Apakah setiap mendapat calon pembeli, kamu harus makan berdua, bahkan sampai seperti orang pacaran? Lebih lagi sampai memamerkannya di media sosial!” cecarku menahan amarah.
“Kamu mana paham soal marketing! Kalau aku tuh kaku sama calon pembeli, gimana mau bikin mereka tertarik? Sudahlah, gitu aja jadi masalah!” Mata Mas Ardan mendelik ke arahku.
“Iya, aku memang gak paham soal marketing, Mas! Tapi aku paham soal batasan dengan lawan jenis! Apa yang akan kamu rasakan, kalau aku yang ada di dalam foto itu? Makan siang dengan lelaki lain, dan kemudian mengunggah fotonya ke media sosial? Mikir, Mas, mikir!” Emosiku benar-benar sudah tak bisa kukendalikan.
“Oh, kamu mau seperti itu juga? Hah, jangan mimpi, Shanum! Berhentilah merasa cemburu pada wanita-wanita itu. Mereka semua wanita karir, bisa cari uang sendiri, dan yang terpenting, bisa mengurus diri! Coba lihat dirimu sekarang!” ejek Mas Ardan dengan seringai di wajahnya.
Tajam, tajam sekali ucapan Mas Ardan menusuk tepat di jantungku. Jadi, dia sekarang mulai terang-terangan membandingkan aku dengan wanita-wanita yang ditemuinya di luar? Sungguh tak punya perasaan.
“Ucapanmu keterlaluan, Mas! Bagaimanapun juga, aku adalah istrimu. Baik dan buruknya aku, juga tergantung dirimu!” balasku dengan suara bergetar.
“Sudahlah, tutup mulutmu itu. Kalau kamu tak bisa menyenangkanku, minimal diamlah! Jangan memancing emosi! Lagi pula, aku tak menuntut apa-apa darimu. Bahkan, kerjamu hanya ongkang-ongkang kaki saja di rumah!”
Kugenggam erat benda tipis di tangan. Jika menuruti hawa nafsu, mungkin sudah sedari tadi ponsel ini kubanting atau lempar ke wajah Mas Ardan. Bukan pertama kalinya ia berbuat seperti itu.
Beberapa minggu yang lalu, ia pun mengunggah sebuah foto yang tak kalah membuat hatiku panas terbakar. Di showroom mobil tempatnya bekerja, ia merangkul pinggang seorang Sales Promotion Girl atau SPG. Memang, pekerjaan Mas Ardan sebagai seorang staf marketing menuntutnya untuk bergaul dengan banyak orang, bahkan wanita sekalipun.
Namun, bukan begini caranya. Apakah ia tak tahu, kalau aku juga bisa cemburu dan terluka? Padahal, sudah kuingatkan berkali-kali untuk menjaga jarak kepada lawan jenis. Sayang, semua itu dianggapnya angin lalu.
Pernikahan kami yang didasari dari perjodohan, tampaknya tak dapat menumbuhkan benih cinta di hati Mas Ardan. Ia hanya memenuhi keinginan ibunya untuk menikahiku. Di usia yang sudah lebih kepala tiga, Mas Ardan tadinya tak ingin terikat dan serius dalam menjalin hubungan.
Namun, dengan sedikit paksaan dari Bu Nani—Ibu mertuaku yang mulai sakit-sakitan, akhirnya Mas Ardan menerima perjodohan. Sejak awal, ia sudah mewanti-wantiku agar tak menyimpan perasaan untuknya.
Sudah empat bulan kami menikah, aku memang belum pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari Mas Ardan. Bahkan, nafkah batin pun hanya beberapa kali ia berikan, dapat dihitung dengan jari saja sepanjang pernikahan kami. Untuk nafkah lahir, ia selalu memberiku uang bulanan yang menurutku sangat pas-pasan.
Dulu sebelum menikah, aku bekerja sebagai seorang tutor Bahasa Inggris di Bimbel yang cukup terkenal di kota. Namun, semenjak menikah dan pindah ke rumah Mas Ardan, aku harus rela melepaskan pekerjaan yang sudah aku geluti selama tiga tahun lebih. Jarak tempuh yang terlalu jauh, memaksaku untuk menjadi pengangguran.
Pernah aku mencoba untuk mencari pekerjaan baru, tapi kondisi Ibu yang selalu sakit-sakitan, membuatku tak tega meninggalkannya sendiri di rumah. Usia ibu sudah hampir kepala tujuh, sedangkan Ayah mertua sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu.
Mas Ardan adalah anak bungsu. Mas Teguh—kakak iparku, tinggal di seberang pulau. Mau tak mau, akulah yang mengurus Ibu sekarang.
*
“Ini jatah bulanan, jangan boros-boros kamu,” ujar Mas Ardan sambil menaruh sebuah amplop di meja makan.
Aku meraih amplop tersebut, lantas melihat isinya. Setelah kuhitung, terdapat sepuluh lembar uang berwarna merah. Hanya satu juta? Biasanya Mas Ardan memberiku satu juta lima ratus. Itu pun, masih pas-pasan sekali untuk kebutuhan sehari-hari kami bertiga.
Belum lagi, aku harus membayar token listrik dan iuran air dari uang itu. Ingin rasanya protes, tapi dengan keberadaan Ibu di meja makan, aku urungkan niat itu.
Setelah Ibu selesai dengan makanannya, ia berlalu ke ruang tengah. Menyalakan TV, lalu bersantai. Beliau adalah orang yang tak banyak bicara. Tak pernah cerewet mencampuri urusanku dengan Mas Ardan juga. Entahlah, aku merasa antara beruntung dan tidak, memiliki Ibu mertua yang terlalu pendiam. Saat melihat tingkah Mas Ardan yang semena-mena pun, Ibu tak pernah bersuara.
“Mas, kok jatah bulan ini, Mas kurangi?” tanyaku pelan, takut terdengar ibu.
“Ya terserah aku. Lagi pula, kamu boros, kan? Masa satu juta setengah, tak bersisa selama sebulan? Pasti kamu sering jajan,” tuduh Mas Ardan. Aku mengerutkan dahi.
***
“Boros? Jajan? Dari mana kamu dengar itu semua, Mas? Bahkan satu juta lima ratus pun, sangat pas-pasan untuk kita bertiga. Bulan kemarin saja, untuk listrik dua ratus ribu. Biaya air, dua ratus lima puluh ribu. Belum lagi kalau ada keperluan mendadak. Semuanya pas-pasan, Mas,” kataku dengan suara pelan.“Ya, kamu atur-aturlah! Kamu pikir, aku gak capek cari uang? Kamu mana ngerti? Bisanya cuma bersantai di rumah!” sentaknya, lantas berdiri meninggalkanku yang masih terhenyak.Bersantai katanya? Dia pikir pakaian kotor akan masuk sendiri ke mesin cuci? Piring kotor akan membilas sendiri di washbak? Makanan akan terhidang dengan sendirinya di meja? Dan rumah yang berdebu, akan menyapu sendiri? Tak terima, kususul ia ke depan. Sebentar lagi, Mas Ardan akan berangkat kerja.“Mas! Maaf, bukannya aku tak berterima kasih … tapi, uang satu juta sangat kurang untuk satu bulan! Tak perlu mas tambahi, tolong berikan saja satu juta lima ratus seperti biasa!” pintaku sambil menatapnya yang sedang
Perlahan bangkit, kudekati cermin panjang yang menempel di pintu lemari pakaian. Benda besar itu seketika memantulkan bayanganku. Kuamati penampilan dari atas hingga bawah. Tak ada satu senti pun yang terlewatkan.Wajah yang dulu mulus terawat, sekarang terlihat kusam dan mulai menampakkan bintik-bintik hitam. Ada pula beberapa bekas jerawat yang baru kering di dahi. Kantong mata terlihat semakin jelas. Kuraba sekilas pipiku, terasa kasar sekali.Belum lagi, lemak di bawah dagu dan lengan yang semakin bertambah. Jangan tanya rambutku seperti apa. Keras dan mengembang setelah sekian lama tak tersentuh creambath. Hanya disisir sekenanya setiap hari, diikat ke belakang, dan dicuci dengan shampo sachet yang kubeli di warung.Sedih, aku sedih melihat penampilanku yang sekarang. Di usiaku yang masih tergolong muda, aku sudah terlihat seperti berumur empat puluh tahunan.Daster gembrong dan berwarna sedikit pudar karena terlalu sering dicuci-pakai, melekat di badan. Semakin menyempurnakan pe
“Bu Nani kolesterolnya agak naik ya, Mbak. Tekanan darahnya juga. Makannya tolong dijaga ya, Mbak Shanum. Jangan biarkan bergadang dan jangan sampai banyak pikiran juga,” jelas Dokter Rifka kepadaku setelah selesai memeriksa kondisi ibu.Aku terhenyak. Pantas saja Ibu terlihat lesu sejak semalam. Aku merasa sangat bersalah. Padahal, aku selalu memasak lauk dan sayur khusus untuk Ibu. Ah, apakah ini karena bakso kemarin? Aku tak tega jika harus menolak permintaan Ibu. Rasanya seperti memakan buah simalakama. Jika kuturuti, kondisi ibu memburuk. Tak kuturuti, kasihan Ibu.“Baik, Dok. Saya akan lebih perhatian lagi. Kemarin Ibu sempat minta bakso, akhirnya saya turuti. Apa karena itu, kolesterolnya naik, Dok?” tanyaku.“Bisa jadi, Mbak Shanum. Nanti saya resepkan obat seperti biasa. Untuk obat darah tingginya, diminum setiap hari, ya,” lanjut Dokter Rifka.“Iya, Dok. Terima kasih,” ucapku sebelum berlalu ke tempat menebus obat.Ibu duduk di bangku panjang sambil menatap ke luar, ke arah
“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil melangkah masuk ke rumah.Mas Ardan dan Ibu terdiam. Mungkin tak menyangka kalau aku sudah pulang. Aku pura-pura tak tahu soal obrolan mereka yang kudengar tadi.“Eh, wa’alaikumsalam … sudah belanjanya, Num?” tanya Ibu mendekatiku.“Sudah, Bu. Shanum mau masak sayur asem, sama goreng tempe. Ibu mau, kan?” Aku menunjukkan kantong belanjaan yang berisi sayur-sayuran.“Mau, Num. Ibu sudah lama gak makan sayur asem buatan kamu. Ayo, Ibu bantuin masak!” ajak Ibu sambil memegang tanganku.Kulirik Mas Ardan sekilas, ia diam dan menunjukkan wajah datar. Padahal beberapa menit yang lalu, ia baru saja mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaanku. Tunggu saja kamu, Mas. Jika saat ini kamu mengatakan menyesal telah menikah denganku, maka nanti akan kubuat kau menyesal sudah menyia-nyiakanku.*Setelah sarapan, Mas Ardan tampak sibuk dengan ponselnya. Ia sepertinya tidak pergi ke mana-mana. Tumben sekali, pikirku. Melihat kesempatan langka seperti ini, aku la
Aku sedang mengganti seprai dan sarung bantal, ketika Mas Ardan masuk ke kamar. Tak kuhiraukan kehadirannya. Aku tetap sibuk dengan tugasku. Dari sudut mata, kulihat ia seperti ragu mendekat. Mau apa lagi dia?“Ehem, Num. Aku mau ngomong sebentar!” tegurnya, berdiri dengan kikuk di samping ranjang.“Mau ngomong apa? Tinggal ngomong aja!” sahutku sambil merapikan sudut ranjang.“Bisa duduk dulu?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.Aku mendesah. “Telingaku masih bisa mendengar walaupun tidak duduk, Mas! Pekerjaanku masih banyak. Kalau mau ngomong, ya ngomong sekarang!” jawabku malas.Wajah Mas Ardan tampak sedikit ditekuk. Bibirnya tertutup rapat. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku.“Gak jadi ngomong? Kalau gitu, aku mau nyuci pakaian dulu!” Aku mulai berjalan menuju pintu kamar.“Tu-tunggu!” cegahnya.Aku berbalik dan menatap lurus ke matanya, siap mendengarkan. Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya dia buka suara.“Ehem … a-aku minta maaf soal ucapanku tadi pagi!” ucapnya,
Aku tak menggubrisnya. Alih-alih menyemangati, ia malah mencoba untuk menjatuhkan mentalku. Bukannya aku tak sadar diri. Memang kenyataannya saat ini persaingan dalam mencari kerja sangatlah ketat. Namun, tak ada salahnya mencoba dengan kemampuan yang aku punya. Kalau sudah rejeki, tak akan ke mana juga.“Denger gak, kamu? Mumpung aku masih bisa berubah pikiran, Shanum! Jangan seenaknya sendiri!” imbuh Mas Ardan dengan nada yang sedikit ditinggikan.“Maaf, Mas Ardan yang terhormat. Aku akan tetap mencari kerja. Kalau kamu punya uang lebih, mending dipakai saja untuk mentraktir temanmu di kafe!” sindirku sambil memisahkan dokumen fotokopian dan yang asli.“Apa kamu bilang? Ngajak ribut, kamu?” Mas Ardan bangkit dan duduk di tepi ranjang.“Yang dari tadi ngoceh terus, siapa? Bukannya Mas sendiri?” Aku pun dengan cepat membereskan kertas-kertas penting itu dan mengamankannya kembali ke dalam tas.“Sudahlah, Num. Mengalah saja. Biasanya kamu selalu nurut sama aku. Kenapa sekarang kamu jad
Pagi ini Mas Ardan pergi kerja tanpa menyantap sarapan yang aku hidangkan. Menghadap ke dapur pun dia seperti tak sudi. Biarlah, kalau dia lapar pasti akan mencari makan sendiri di luar. Yang penting, aku masih mengerjakan kewajibanku seperti biasanya.Dengan sisa uang yang ditarik dari ATM kemarin, aku masih bisa membeli sayur mayur dan lauk pauk. Sedangkan sisanya, aku siapkan untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak. Mas Ardan yang pelit itu, benar-benar tak meninggalkan sepeser uang pun untukku dan Ibu.Saat keluar dari pintu rumah tadi, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya suara bantingan pintu yang menjadi penanda bahwa dia sudah pergi.Untungnya, Ibu seperti tak terganggu dengan sikap suamiku itu. Kami sama-sama sudah paham. Jika keinginannya tak dipenuhi, maka pastilah Mas Ardan akan marah, uring-uringan sampai berhari-hari. Seperti anak kecil yang merajuk karena tak dibelikan mainan saja. Sungguh kekanak-kanakan.“Num … kamu hari ini sudah mulai mau mencari kerja?
Bisa kubayangkan seperti apa rupa Mas Ardan saat ini. Pastilah wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Dadanya turun naik, karena tersulut emosi. Ya Tuhan, rasanya aku hampir tak percaya, kalau ia adalah suamiku.Apakah berdosa, kalau kupanggil ia Si Sumbu Pendek? Biasanya aku selalu diam dan hanya membaca saja saat Mas Ardan menuliskan sesuatu yang menyindirku secara tak langsung. Namun, hari ini aku ingin sedikit bermain-main dengannya.Aku ingin tahu, sampai sejauh mana ia bisa bertahan tanpa menunjukkan amarah. Menit-menit berlalu, aku menjadi tak sabaran. Berulang kali kucek status WAnya, belum ada yang baru.Keluar kamar, aku berlalu ke dapur untuk mengambil minum. Kulihat Ibu sedang berada di halaman belakang rumah, menyiangi tanaman bunga anggreknya yang sedang mekar. Meski sudah renta, Ibu masih telaten merawat tanaman kesayangnnya itu.Aku berhenti sejenak memperhatikan, lantas kembali lagi ke kamar. Segera, kuraih ponsel yang tadi tergeletak di lantai.[Cuci mata dulu, bersama ya
“Halo, Assalamu’alaikum. Bu Erna, besok sudah mulai kerja di rumah saya, ya?” ucapku, setelah panggilan tersambung ke nomor Bu Erna yang dikirimkan Bu RT.“Wa’alaikumsalam. Iya, Mbak Shanum. Saya sudah siap-siap, kok. Besok jam delapan, saya sudah harus di sana, kan?” tanyanya memastikan.“Iya, Bu Erna. Jam delapan sudah di sini. Soalnya jam sembilan, saya sudah ada janji. Oh ya, Bu Erna tidak usah bawa bekal. Nanti makan siangnya di rumah saja, sama ibu saya,” jelasku lagi.“Oh, begitu … iya, iya, Mbak Shanum. Terima kasih banyak!” timpalnya.“Sama-sama Bu Erna. Kalau begitu, sudah dulu. Assalamu’alaikum!”“Waalikumsalam!”Tut. Aku menutup panggilan dengan perasaan lega. Besok, aku sudah tak khawatir lagi jika harus meninggalkan Ibu di rumah. Semoga saja Ibu betah ditemani oleh Bu Erna. Kumasukkan berkas-berkas penting yang harus dibawa besok ke dalam tas. Pakaian untuk dipakai besok pun, sudah kupisahkan. Aku benar-benar seperti seseorang yang baru pertama kali akan melamar pekerjaa
Aku lewati teras sambil memandang tajam kedua lelaki itu. Dodi tersenyum dan mengangguk sopan ke arahku. Cih, di depan manis tapi di belakang mulutmu mengataiku macam-macam. Aku melengos dan masuk ke rumah tanpa menegur mereka berdua.Barulah di dalam rumah, aku mengucapkan salam kepada Ibu. Wanita yang aku sayangi itu, sedang melipat pakaian yang tampak menggunung di dalam keranjang.“Sudah pulang, Num?” tanya Ibu.“Sudah, Bu. Kok Ibu lipatin pakaian Shanum sama Mas Ardan? Biar Shanum aja, Bu!” Aku merasa tak enak.“Gak apa-apa, Num. Ibu bosan gak ngerjain apa-apa. Semuanya kamu yang kerjakan,” bantah Ibu.Aku dengan cepat masuk ke kamar. Meletakkan kantong belanjaan, lalu berganti pakaian. Tak membuang waktu, aku segera bergabung dengan Ibu, membantunya melipat pakaian yang tampak tak ada habisnya. Lebih separuh dari pakaian ini, adalah milik Mas Ardan. Entah kenapa, lelaki itu sangat gemar membeli baju baru. Setiap minggu, ia rutin membeli walaupun hanya satu atau dua lembar. Saya
Aku terbangun setelah mendengar suara sedikit berisik dari dapur. Terlonjak, aku langsung melihat jam yang menunjukkan pukul enam pagi. Astaga, bisa-bisanya aku terlambat bangun karena sedang datang bulan. Siapa pula yang sedang ribut di dapur? Jangan-jangan Ibu yang masak?Tergesa aku mencuci muka, lantas pergi ke sumber suara. Ibu terlihat sedang menyapu teras. Lalu, siapa yang masak? Aroma telur dan bawang goreng menyeruak, membuatku lapar. Aku sedikit terkesima mendapati pemandangan seorang lelaki yang sedang berdiri depan kompor. Tangan Mas Ardan tampak lincah mengaduk-aduk dalam wajan. Sedikit ragu dan malu aku mendekat.“Ehem, Mas … kamu, masak?” tegurku pelan, lalu duduk di kursi mengamatinya.“Menurutmu? Apa aku terlihat sedang olahraga?” sindirnya tanpa menoleh ke arahku.“Ya … maaf, aku bangun terlambat. Kenapa gak bangunin?” sungutku sebal dengan jawabannya.Dia berbalik lantas memandangiku tajam. Tangannya masih memegang spatula.“Kamu benar-benar gak merasakan? Berkali-k
Dadaku mulai kembang kempis. “Kamu jangan cuma bisa komentar aja, Mas. Kalau gitu, kasih aku uang untuk beli baju baru!”Mas Ardan terdiam menatapku. Wajahnya terlihat kaget, tapi dia cepat menguasai diri.“Gimana? Mau belikan atau tidak? Kalau tidak, tak usah banyak komentar! Seharusnya kamu malu bicara begitu, Mas. Istri seorang Ardan, terlihat buluk dan katrok!” sungutku kesal.Mas Ardan mendengkus. “Hah, beliin kamu pakaian? Ya rugi! Pakai baju model apapun, kalau buluk ya, tetap buluk! Gak akan berubah!” ejek Mas Ardan seraya membaringkan diri di ranjang.“Bilang aja kalau gak mampu beliin! Gak usah banyak omong. Lihat aja nanti kalau aku udah kerja dan punya uang banyak!”“Apa yang mau dilihat? Paling ya, gitu-gitu aja. Mau banyak uang atau nggak, kalau gak bisa mengurus diri, ya tetap bakal jelek juga, Shanum! Gak usah berkhayal terlalu tinggi!”“Iya, kayak kamu, Mas! Banyak uang, tapi tetap aja, kucel! Coba lihat dulu tampangmu di cermin sebelum menjelek-jelekkan aku! Kalau bu
Kusapu halaman rumah yang tampak tertutupi daun-daun kering dari pohon rambutan. Ibu juga membantu dengan menyiangi rumput-rumput yang sudah mulai meninggi.“Gak usah, Bu. Biar Shanum aja. Nanti Ibu capek,” tegurku kepada wanita yang tampak membungkuk itu.“Gak apa-apa, Num. Ibu gak capek, kok!” elaknya.Ya sudah, kubiarkan saja Ibu membantu sedikit-sedikit. Sambil menyapu, pikiranku terus melayang ke mana-mana. Aku belum memberitahukan Ibu soal rencana hari Senin besok. Sekarang sudah hari Sabtu. Masih ada sisa satu hari lagi, sampai aku benar-benar bisa membuat keputusan.“Assalamu’alaikum!” Terdengar ucapan salam dari luar pagar.Terlihat Bu RT bersama dengan seorang wanita yang tak aku kenal di sana. Mataku seketika berbinar. Dadaku membuncah karena semangat.“Wa’alaikumsalam, Bu RT! Mari masuk!”Secepat kilat kubuka pintu pagar, membiarkan kedua orang itu masuk. Senyumku terkembang. Apakah orang yang bersama Bu RT ini, yang akan menjadi penjaga ibu? Kami berempat, akhirnya duduk
Mataku tak juga ingin terpejam. Sedari tadi, aku hanya membolak-balikkan badan di atas ranjang. Perasaanku campur aduk, antara senang dan galau. Hari senin aku harus datang ke Bimbel Smart Kids, tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan orang untuk menjaga Ibu. Aku mendesah berkali-kali.“Kamu bisa diam tidak, Num? Aku dari tadi gak bisa tidur gara-gara kamu!” sewot Mas Ardan yang ternyata belum tidur.“Ya maaf, deh. Sorry, aku lagi galau!” balasku sebal.“Kenapa lagi, sih? Kalau belum mau tidur, sana nonton TV aja!” usirnya garang.Aku kembali mendesah. “Hari Senin aku mau masukkan lamaran pekerjaan, Mas. Kalau belum ada yang jagain Ibu, bagaimana?” tanyaku, mencoba bertukar pikiran.Mas Ardan membalikkan badan. Matanya memicing ke arahku.“Kan sudah kubilang, kamu di rumah saja! Gak usah memikirkan kerja, kerja, kerja! Dasar keras kepala!” sentaknya, lalu kembali memunggungiku.Ah, kukira akan dapat pencerahan setelah berkeluh kesah pada Mas Ardan. Ternyata, hanya menambah pusing
[Selamat siang. Perkenalkan, saya Shanum Pradipta. Bermaksud untuk menanyakan lowongan sebagai tutor Bahasa Inggris di Bimbel Smart Kids. Apakah ada lowongan yang tersedia? Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih.]Aku mengirimkan pesan ke nomor RD Smart Kids dengan perasaan tak menentu. Sejak semalam aku mulai merasa galau soal mencari pekerjaan. Ingin keluar langsung, tapi belum ada yang menjaga Ibu di rumah.Jenuh, aku keluar kamar dan mencari Ibu. Dia tak ada di ruang tengah. Di teras belakang pun, aku tak menemukan keberadaannya. Apa Ibu sedang tidur? Tapi, ini masih pagi. Atau ia sedang tak enak badan? Tergesa, aku menuju ke kamarnya.Pintu kamar ibu sedikit terbuka. Tak ada suara dari dalam. Dengan langkah pelan aku mendekat. Dari balik pintu, kulihat ibu sedang duduk di tepi ranjang. Di pangkuannya, ia memegang sebuah figura.Wajahnya yang dipenuhi keriput tertunduk. Sesekali tangannya bergetar, menyeka mata, lalu mengusap figura yang dipangkunya. Ya Tuhan, apa Ibu menangis? Tak
“Kamu tidak berhak menerima uang dari Mas Teguh!” bentak Mas Ardan kepadaku saat kami berada di kamar.Aku diam, memandangi wajahnya yang menyimpan amarah. Sejak pulang kerja tadi, dia hanya diam. Kemudian, saat aku masuk ke kamar, ia langsung menyusul dan sekarang … mengucapkan kalimat itu.Malas menanggapinya, aku melengos dan sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Entah sejak kapan aku merasa sangat tak penting menanggapi Mas Ardan yang selalu tantrum seperti seorang balita. Toh nanti, ia akan tenang sendiri.“Aku sedang ngomong sama kamu! Jangan kurang aja kamu, Shanum!” hardiknya lagi.Aku kembali mendongak, menatapnya malas. Kuhembuskan napas panjang, lalu berbaring memunggunginya.“SHANUM!” teriak Mas Ardan memekakkan telinga. Padahal hari sudah malam. Semoga saja Ibu sudah tidur, jadi tidak mendengar teriakan dari dedemit barusan.“Apa, sih? Teriak-teriak kayak orang gila?” Aku menoleh. Napas Mas Ardan memburu, dengan kedua tangan mengepal membentuk tinju.“Aku ngomong sama kam
[Assalamu’alaikum, Mbak Anum. Pa kabar?] bunyi pesan dari sepupuku yang bernama Lia.[Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, Baik. Lia apa kabar? Mbak kangen sama kamu!]Aku senang sekali mendapat WA dari sepupuku itu. Dulu sebelum menikah, aku sangat dekat dengannya seperti kakak adik kandung. Dengan jarak umur hanya dua tahun di antara kami. Semenjak menikah, aku belum pernah bertemu lagi dengannya.[Baik juga, Mbak Anum. Lia juga kangen, ih. Itu, statusnya kenapa? Kok cari penjaga untuk Ibu? Emangnya Mbak Anum mau ke mana?][Mbak mau cari kerja lagi, Li. Kamu ada kenalan gak, di kota ini? Mbak masih agak bingung deh, mau masukin lamaran ke mana]Beberapa saat kemudian, tak ada jawaban. Mungkin dia mulai sibuk lagi. Lia bekerja sebagai seorang tutor, sama sepertiku. Bedanya, dia memegang jurusan Matematika.[Kak, coba hubungi nomor ini. Dia kepala cabang Bimbel Smart Kids di sana. Temennya pacar Lia]Sebuah kontak berinisial RD Smart Kids terlampir. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata se