Beranda / Pernikahan / Jodoh yang Tertunda / 13. Kabar dari Sepupu

Share

13. Kabar dari Sepupu

Penulis: Puspa Pebrianti
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-10 01:25:44

[Assalamu’alaikum, Mbak Anum. Pa kabar?] bunyi pesan dari sepupuku yang bernama Lia.

[Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, Baik. Lia apa kabar? Mbak kangen sama kamu!]

Aku senang sekali mendapat WA dari sepupuku itu. Dulu sebelum menikah, aku sangat dekat dengannya seperti kakak adik kandung. Dengan jarak umur hanya dua tahun di antara kami. Semenjak menikah, aku belum pernah bertemu lagi dengannya.

[Baik juga, Mbak Anum. Lia juga kangen, ih. Itu, statusnya kenapa? Kok cari penjaga untuk Ibu? Emangnya Mbak Anum mau ke mana?]

[Mbak mau cari kerja lagi, Li. Kamu ada kenalan gak, di kota ini? Mbak masih agak bingung deh, mau masukin lamaran ke mana]

Beberapa saat kemudian, tak ada jawaban. Mungkin dia mulai sibuk lagi. Lia bekerja sebagai seorang tutor, sama sepertiku. Bedanya, dia memegang jurusan Matematika.

[Kak, coba hubungi nomor ini. Dia kepala cabang Bimbel Smart Kids di sana. Temennya pacar Lia]

Sebuah kontak berinisial RD Smart Kids terlampir. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata se
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Jodoh yang Tertunda   14. Tumben

    “Kamu tidak berhak menerima uang dari Mas Teguh!” bentak Mas Ardan kepadaku saat kami berada di kamar.Aku diam, memandangi wajahnya yang menyimpan amarah. Sejak pulang kerja tadi, dia hanya diam. Kemudian, saat aku masuk ke kamar, ia langsung menyusul dan sekarang … mengucapkan kalimat itu.Malas menanggapinya, aku melengos dan sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Entah sejak kapan aku merasa sangat tak penting menanggapi Mas Ardan yang selalu tantrum seperti seorang balita. Toh nanti, ia akan tenang sendiri.“Aku sedang ngomong sama kamu! Jangan kurang aja kamu, Shanum!” hardiknya lagi.Aku kembali mendongak, menatapnya malas. Kuhembuskan napas panjang, lalu berbaring memunggunginya.“SHANUM!” teriak Mas Ardan memekakkan telinga. Padahal hari sudah malam. Semoga saja Ibu sudah tidur, jadi tidak mendengar teriakan dari dedemit barusan.“Apa, sih? Teriak-teriak kayak orang gila?” Aku menoleh. Napas Mas Ardan memburu, dengan kedua tangan mengepal membentuk tinju.“Aku ngomong sama kam

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-14
  • Jodoh yang Tertunda   15. Kabar yang Ditunggu

    [Selamat siang. Perkenalkan, saya Shanum Pradipta. Bermaksud untuk menanyakan lowongan sebagai tutor Bahasa Inggris di Bimbel Smart Kids. Apakah ada lowongan yang tersedia? Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih.]Aku mengirimkan pesan ke nomor RD Smart Kids dengan perasaan tak menentu. Sejak semalam aku mulai merasa galau soal mencari pekerjaan. Ingin keluar langsung, tapi belum ada yang menjaga Ibu di rumah.Jenuh, aku keluar kamar dan mencari Ibu. Dia tak ada di ruang tengah. Di teras belakang pun, aku tak menemukan keberadaannya. Apa Ibu sedang tidur? Tapi, ini masih pagi. Atau ia sedang tak enak badan? Tergesa, aku menuju ke kamarnya.Pintu kamar ibu sedikit terbuka. Tak ada suara dari dalam. Dengan langkah pelan aku mendekat. Dari balik pintu, kulihat ibu sedang duduk di tepi ranjang. Di pangkuannya, ia memegang sebuah figura.Wajahnya yang dipenuhi keriput tertunduk. Sesekali tangannya bergetar, menyeka mata, lalu mengusap figura yang dipangkunya. Ya Tuhan, apa Ibu menangis? Tak

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-14
  • Jodoh yang Tertunda   16. Telepon Mencurigakan

    Mataku tak juga ingin terpejam. Sedari tadi, aku hanya membolak-balikkan badan di atas ranjang. Perasaanku campur aduk, antara senang dan galau. Hari senin aku harus datang ke Bimbel Smart Kids, tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan orang untuk menjaga Ibu. Aku mendesah berkali-kali.“Kamu bisa diam tidak, Num? Aku dari tadi gak bisa tidur gara-gara kamu!” sewot Mas Ardan yang ternyata belum tidur.“Ya maaf, deh. Sorry, aku lagi galau!” balasku sebal.“Kenapa lagi, sih? Kalau belum mau tidur, sana nonton TV aja!” usirnya garang.Aku kembali mendesah. “Hari Senin aku mau masukkan lamaran pekerjaan, Mas. Kalau belum ada yang jagain Ibu, bagaimana?” tanyaku, mencoba bertukar pikiran.Mas Ardan membalikkan badan. Matanya memicing ke arahku.“Kan sudah kubilang, kamu di rumah saja! Gak usah memikirkan kerja, kerja, kerja! Dasar keras kepala!” sentaknya, lalu kembali memunggungiku.Ah, kukira akan dapat pencerahan setelah berkeluh kesah pada Mas Ardan. Ternyata, hanya menambah pusing

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-14
  • Jodoh yang Tertunda   17. Tak Usah Komentar!

    Kusapu halaman rumah yang tampak tertutupi daun-daun kering dari pohon rambutan. Ibu juga membantu dengan menyiangi rumput-rumput yang sudah mulai meninggi.“Gak usah, Bu. Biar Shanum aja. Nanti Ibu capek,” tegurku kepada wanita yang tampak membungkuk itu.“Gak apa-apa, Num. Ibu gak capek, kok!” elaknya.Ya sudah, kubiarkan saja Ibu membantu sedikit-sedikit. Sambil menyapu, pikiranku terus melayang ke mana-mana. Aku belum memberitahukan Ibu soal rencana hari Senin besok. Sekarang sudah hari Sabtu. Masih ada sisa satu hari lagi, sampai aku benar-benar bisa membuat keputusan.“Assalamu’alaikum!” Terdengar ucapan salam dari luar pagar.Terlihat Bu RT bersama dengan seorang wanita yang tak aku kenal di sana. Mataku seketika berbinar. Dadaku membuncah karena semangat.“Wa’alaikumsalam, Bu RT! Mari masuk!”Secepat kilat kubuka pintu pagar, membiarkan kedua orang itu masuk. Senyumku terkembang. Apakah orang yang bersama Bu RT ini, yang akan menjadi penjaga ibu? Kami berempat, akhirnya duduk

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-14
  • Jodoh yang Tertunda   18. Tingkahnya Aneh

    Dadaku mulai kembang kempis. “Kamu jangan cuma bisa komentar aja, Mas. Kalau gitu, kasih aku uang untuk beli baju baru!”Mas Ardan terdiam menatapku. Wajahnya terlihat kaget, tapi dia cepat menguasai diri.“Gimana? Mau belikan atau tidak? Kalau tidak, tak usah banyak komentar! Seharusnya kamu malu bicara begitu, Mas. Istri seorang Ardan, terlihat buluk dan katrok!” sungutku kesal.Mas Ardan mendengkus. “Hah, beliin kamu pakaian? Ya rugi! Pakai baju model apapun, kalau buluk ya, tetap buluk! Gak akan berubah!” ejek Mas Ardan seraya membaringkan diri di ranjang.“Bilang aja kalau gak mampu beliin! Gak usah banyak omong. Lihat aja nanti kalau aku udah kerja dan punya uang banyak!”“Apa yang mau dilihat? Paling ya, gitu-gitu aja. Mau banyak uang atau nggak, kalau gak bisa mengurus diri, ya tetap bakal jelek juga, Shanum! Gak usah berkhayal terlalu tinggi!”“Iya, kayak kamu, Mas! Banyak uang, tapi tetap aja, kucel! Coba lihat dulu tampangmu di cermin sebelum menjelek-jelekkan aku! Kalau bu

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-14
  • Jodoh yang Tertunda   19. Minggu

    Aku terbangun setelah mendengar suara sedikit berisik dari dapur. Terlonjak, aku langsung melihat jam yang menunjukkan pukul enam pagi. Astaga, bisa-bisanya aku terlambat bangun karena sedang datang bulan. Siapa pula yang sedang ribut di dapur? Jangan-jangan Ibu yang masak?Tergesa aku mencuci muka, lantas pergi ke sumber suara. Ibu terlihat sedang menyapu teras. Lalu, siapa yang masak? Aroma telur dan bawang goreng menyeruak, membuatku lapar. Aku sedikit terkesima mendapati pemandangan seorang lelaki yang sedang berdiri depan kompor. Tangan Mas Ardan tampak lincah mengaduk-aduk dalam wajan. Sedikit ragu dan malu aku mendekat.“Ehem, Mas … kamu, masak?” tegurku pelan, lalu duduk di kursi mengamatinya.“Menurutmu? Apa aku terlihat sedang olahraga?” sindirnya tanpa menoleh ke arahku.“Ya … maaf, aku bangun terlambat. Kenapa gak bangunin?” sungutku sebal dengan jawabannya.Dia berbalik lantas memandangiku tajam. Tangannya masih memegang spatula.“Kamu benar-benar gak merasakan? Berkali-k

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-14
  • Jodoh yang Tertunda   20. Balas Dendam

    Aku lewati teras sambil memandang tajam kedua lelaki itu. Dodi tersenyum dan mengangguk sopan ke arahku. Cih, di depan manis tapi di belakang mulutmu mengataiku macam-macam. Aku melengos dan masuk ke rumah tanpa menegur mereka berdua.Barulah di dalam rumah, aku mengucapkan salam kepada Ibu. Wanita yang aku sayangi itu, sedang melipat pakaian yang tampak menggunung di dalam keranjang.“Sudah pulang, Num?” tanya Ibu.“Sudah, Bu. Kok Ibu lipatin pakaian Shanum sama Mas Ardan? Biar Shanum aja, Bu!” Aku merasa tak enak.“Gak apa-apa, Num. Ibu bosan gak ngerjain apa-apa. Semuanya kamu yang kerjakan,” bantah Ibu.Aku dengan cepat masuk ke kamar. Meletakkan kantong belanjaan, lalu berganti pakaian. Tak membuang waktu, aku segera bergabung dengan Ibu, membantunya melipat pakaian yang tampak tak ada habisnya. Lebih separuh dari pakaian ini, adalah milik Mas Ardan. Entah kenapa, lelaki itu sangat gemar membeli baju baru. Setiap minggu, ia rutin membeli walaupun hanya satu atau dua lembar. Saya

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-14
  • Jodoh yang Tertunda   21. Kejutan

    “Halo, Assalamu’alaikum. Bu Erna, besok sudah mulai kerja di rumah saya, ya?” ucapku, setelah panggilan tersambung ke nomor Bu Erna yang dikirimkan Bu RT.“Wa’alaikumsalam. Iya, Mbak Shanum. Saya sudah siap-siap, kok. Besok jam delapan, saya sudah harus di sana, kan?” tanyanya memastikan.“Iya, Bu Erna. Jam delapan sudah di sini. Soalnya jam sembilan, saya sudah ada janji. Oh ya, Bu Erna tidak usah bawa bekal. Nanti makan siangnya di rumah saja, sama ibu saya,” jelasku lagi.“Oh, begitu … iya, iya, Mbak Shanum. Terima kasih banyak!” timpalnya.“Sama-sama Bu Erna. Kalau begitu, sudah dulu. Assalamu’alaikum!”“Waalikumsalam!”Tut. Aku menutup panggilan dengan perasaan lega. Besok, aku sudah tak khawatir lagi jika harus meninggalkan Ibu di rumah. Semoga saja Ibu betah ditemani oleh Bu Erna. Kumasukkan berkas-berkas penting yang harus dibawa besok ke dalam tas. Pakaian untuk dipakai besok pun, sudah kupisahkan. Aku benar-benar seperti seseorang yang baru pertama kali akan melamar pekerjaa

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-14

Bab terbaru

  • Jodoh yang Tertunda   21. Kejutan

    “Halo, Assalamu’alaikum. Bu Erna, besok sudah mulai kerja di rumah saya, ya?” ucapku, setelah panggilan tersambung ke nomor Bu Erna yang dikirimkan Bu RT.“Wa’alaikumsalam. Iya, Mbak Shanum. Saya sudah siap-siap, kok. Besok jam delapan, saya sudah harus di sana, kan?” tanyanya memastikan.“Iya, Bu Erna. Jam delapan sudah di sini. Soalnya jam sembilan, saya sudah ada janji. Oh ya, Bu Erna tidak usah bawa bekal. Nanti makan siangnya di rumah saja, sama ibu saya,” jelasku lagi.“Oh, begitu … iya, iya, Mbak Shanum. Terima kasih banyak!” timpalnya.“Sama-sama Bu Erna. Kalau begitu, sudah dulu. Assalamu’alaikum!”“Waalikumsalam!”Tut. Aku menutup panggilan dengan perasaan lega. Besok, aku sudah tak khawatir lagi jika harus meninggalkan Ibu di rumah. Semoga saja Ibu betah ditemani oleh Bu Erna. Kumasukkan berkas-berkas penting yang harus dibawa besok ke dalam tas. Pakaian untuk dipakai besok pun, sudah kupisahkan. Aku benar-benar seperti seseorang yang baru pertama kali akan melamar pekerjaa

  • Jodoh yang Tertunda   20. Balas Dendam

    Aku lewati teras sambil memandang tajam kedua lelaki itu. Dodi tersenyum dan mengangguk sopan ke arahku. Cih, di depan manis tapi di belakang mulutmu mengataiku macam-macam. Aku melengos dan masuk ke rumah tanpa menegur mereka berdua.Barulah di dalam rumah, aku mengucapkan salam kepada Ibu. Wanita yang aku sayangi itu, sedang melipat pakaian yang tampak menggunung di dalam keranjang.“Sudah pulang, Num?” tanya Ibu.“Sudah, Bu. Kok Ibu lipatin pakaian Shanum sama Mas Ardan? Biar Shanum aja, Bu!” Aku merasa tak enak.“Gak apa-apa, Num. Ibu bosan gak ngerjain apa-apa. Semuanya kamu yang kerjakan,” bantah Ibu.Aku dengan cepat masuk ke kamar. Meletakkan kantong belanjaan, lalu berganti pakaian. Tak membuang waktu, aku segera bergabung dengan Ibu, membantunya melipat pakaian yang tampak tak ada habisnya. Lebih separuh dari pakaian ini, adalah milik Mas Ardan. Entah kenapa, lelaki itu sangat gemar membeli baju baru. Setiap minggu, ia rutin membeli walaupun hanya satu atau dua lembar. Saya

  • Jodoh yang Tertunda   19. Minggu

    Aku terbangun setelah mendengar suara sedikit berisik dari dapur. Terlonjak, aku langsung melihat jam yang menunjukkan pukul enam pagi. Astaga, bisa-bisanya aku terlambat bangun karena sedang datang bulan. Siapa pula yang sedang ribut di dapur? Jangan-jangan Ibu yang masak?Tergesa aku mencuci muka, lantas pergi ke sumber suara. Ibu terlihat sedang menyapu teras. Lalu, siapa yang masak? Aroma telur dan bawang goreng menyeruak, membuatku lapar. Aku sedikit terkesima mendapati pemandangan seorang lelaki yang sedang berdiri depan kompor. Tangan Mas Ardan tampak lincah mengaduk-aduk dalam wajan. Sedikit ragu dan malu aku mendekat.“Ehem, Mas … kamu, masak?” tegurku pelan, lalu duduk di kursi mengamatinya.“Menurutmu? Apa aku terlihat sedang olahraga?” sindirnya tanpa menoleh ke arahku.“Ya … maaf, aku bangun terlambat. Kenapa gak bangunin?” sungutku sebal dengan jawabannya.Dia berbalik lantas memandangiku tajam. Tangannya masih memegang spatula.“Kamu benar-benar gak merasakan? Berkali-k

  • Jodoh yang Tertunda   18. Tingkahnya Aneh

    Dadaku mulai kembang kempis. “Kamu jangan cuma bisa komentar aja, Mas. Kalau gitu, kasih aku uang untuk beli baju baru!”Mas Ardan terdiam menatapku. Wajahnya terlihat kaget, tapi dia cepat menguasai diri.“Gimana? Mau belikan atau tidak? Kalau tidak, tak usah banyak komentar! Seharusnya kamu malu bicara begitu, Mas. Istri seorang Ardan, terlihat buluk dan katrok!” sungutku kesal.Mas Ardan mendengkus. “Hah, beliin kamu pakaian? Ya rugi! Pakai baju model apapun, kalau buluk ya, tetap buluk! Gak akan berubah!” ejek Mas Ardan seraya membaringkan diri di ranjang.“Bilang aja kalau gak mampu beliin! Gak usah banyak omong. Lihat aja nanti kalau aku udah kerja dan punya uang banyak!”“Apa yang mau dilihat? Paling ya, gitu-gitu aja. Mau banyak uang atau nggak, kalau gak bisa mengurus diri, ya tetap bakal jelek juga, Shanum! Gak usah berkhayal terlalu tinggi!”“Iya, kayak kamu, Mas! Banyak uang, tapi tetap aja, kucel! Coba lihat dulu tampangmu di cermin sebelum menjelek-jelekkan aku! Kalau bu

  • Jodoh yang Tertunda   17. Tak Usah Komentar!

    Kusapu halaman rumah yang tampak tertutupi daun-daun kering dari pohon rambutan. Ibu juga membantu dengan menyiangi rumput-rumput yang sudah mulai meninggi.“Gak usah, Bu. Biar Shanum aja. Nanti Ibu capek,” tegurku kepada wanita yang tampak membungkuk itu.“Gak apa-apa, Num. Ibu gak capek, kok!” elaknya.Ya sudah, kubiarkan saja Ibu membantu sedikit-sedikit. Sambil menyapu, pikiranku terus melayang ke mana-mana. Aku belum memberitahukan Ibu soal rencana hari Senin besok. Sekarang sudah hari Sabtu. Masih ada sisa satu hari lagi, sampai aku benar-benar bisa membuat keputusan.“Assalamu’alaikum!” Terdengar ucapan salam dari luar pagar.Terlihat Bu RT bersama dengan seorang wanita yang tak aku kenal di sana. Mataku seketika berbinar. Dadaku membuncah karena semangat.“Wa’alaikumsalam, Bu RT! Mari masuk!”Secepat kilat kubuka pintu pagar, membiarkan kedua orang itu masuk. Senyumku terkembang. Apakah orang yang bersama Bu RT ini, yang akan menjadi penjaga ibu? Kami berempat, akhirnya duduk

  • Jodoh yang Tertunda   16. Telepon Mencurigakan

    Mataku tak juga ingin terpejam. Sedari tadi, aku hanya membolak-balikkan badan di atas ranjang. Perasaanku campur aduk, antara senang dan galau. Hari senin aku harus datang ke Bimbel Smart Kids, tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan orang untuk menjaga Ibu. Aku mendesah berkali-kali.“Kamu bisa diam tidak, Num? Aku dari tadi gak bisa tidur gara-gara kamu!” sewot Mas Ardan yang ternyata belum tidur.“Ya maaf, deh. Sorry, aku lagi galau!” balasku sebal.“Kenapa lagi, sih? Kalau belum mau tidur, sana nonton TV aja!” usirnya garang.Aku kembali mendesah. “Hari Senin aku mau masukkan lamaran pekerjaan, Mas. Kalau belum ada yang jagain Ibu, bagaimana?” tanyaku, mencoba bertukar pikiran.Mas Ardan membalikkan badan. Matanya memicing ke arahku.“Kan sudah kubilang, kamu di rumah saja! Gak usah memikirkan kerja, kerja, kerja! Dasar keras kepala!” sentaknya, lalu kembali memunggungiku.Ah, kukira akan dapat pencerahan setelah berkeluh kesah pada Mas Ardan. Ternyata, hanya menambah pusing

  • Jodoh yang Tertunda   15. Kabar yang Ditunggu

    [Selamat siang. Perkenalkan, saya Shanum Pradipta. Bermaksud untuk menanyakan lowongan sebagai tutor Bahasa Inggris di Bimbel Smart Kids. Apakah ada lowongan yang tersedia? Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih.]Aku mengirimkan pesan ke nomor RD Smart Kids dengan perasaan tak menentu. Sejak semalam aku mulai merasa galau soal mencari pekerjaan. Ingin keluar langsung, tapi belum ada yang menjaga Ibu di rumah.Jenuh, aku keluar kamar dan mencari Ibu. Dia tak ada di ruang tengah. Di teras belakang pun, aku tak menemukan keberadaannya. Apa Ibu sedang tidur? Tapi, ini masih pagi. Atau ia sedang tak enak badan? Tergesa, aku menuju ke kamarnya.Pintu kamar ibu sedikit terbuka. Tak ada suara dari dalam. Dengan langkah pelan aku mendekat. Dari balik pintu, kulihat ibu sedang duduk di tepi ranjang. Di pangkuannya, ia memegang sebuah figura.Wajahnya yang dipenuhi keriput tertunduk. Sesekali tangannya bergetar, menyeka mata, lalu mengusap figura yang dipangkunya. Ya Tuhan, apa Ibu menangis? Tak

  • Jodoh yang Tertunda   14. Tumben

    “Kamu tidak berhak menerima uang dari Mas Teguh!” bentak Mas Ardan kepadaku saat kami berada di kamar.Aku diam, memandangi wajahnya yang menyimpan amarah. Sejak pulang kerja tadi, dia hanya diam. Kemudian, saat aku masuk ke kamar, ia langsung menyusul dan sekarang … mengucapkan kalimat itu.Malas menanggapinya, aku melengos dan sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Entah sejak kapan aku merasa sangat tak penting menanggapi Mas Ardan yang selalu tantrum seperti seorang balita. Toh nanti, ia akan tenang sendiri.“Aku sedang ngomong sama kamu! Jangan kurang aja kamu, Shanum!” hardiknya lagi.Aku kembali mendongak, menatapnya malas. Kuhembuskan napas panjang, lalu berbaring memunggunginya.“SHANUM!” teriak Mas Ardan memekakkan telinga. Padahal hari sudah malam. Semoga saja Ibu sudah tidur, jadi tidak mendengar teriakan dari dedemit barusan.“Apa, sih? Teriak-teriak kayak orang gila?” Aku menoleh. Napas Mas Ardan memburu, dengan kedua tangan mengepal membentuk tinju.“Aku ngomong sama kam

  • Jodoh yang Tertunda   13. Kabar dari Sepupu

    [Assalamu’alaikum, Mbak Anum. Pa kabar?] bunyi pesan dari sepupuku yang bernama Lia.[Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, Baik. Lia apa kabar? Mbak kangen sama kamu!]Aku senang sekali mendapat WA dari sepupuku itu. Dulu sebelum menikah, aku sangat dekat dengannya seperti kakak adik kandung. Dengan jarak umur hanya dua tahun di antara kami. Semenjak menikah, aku belum pernah bertemu lagi dengannya.[Baik juga, Mbak Anum. Lia juga kangen, ih. Itu, statusnya kenapa? Kok cari penjaga untuk Ibu? Emangnya Mbak Anum mau ke mana?][Mbak mau cari kerja lagi, Li. Kamu ada kenalan gak, di kota ini? Mbak masih agak bingung deh, mau masukin lamaran ke mana]Beberapa saat kemudian, tak ada jawaban. Mungkin dia mulai sibuk lagi. Lia bekerja sebagai seorang tutor, sama sepertiku. Bedanya, dia memegang jurusan Matematika.[Kak, coba hubungi nomor ini. Dia kepala cabang Bimbel Smart Kids di sana. Temennya pacar Lia]Sebuah kontak berinisial RD Smart Kids terlampir. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata se

DMCA.com Protection Status