“Assalamu’alaikum!” ucapku sambil melangkah masuk ke rumah.
Mas Ardan dan Ibu terdiam. Mungkin tak menyangka kalau aku sudah pulang. Aku pura-pura tak tahu soal obrolan mereka yang kudengar tadi.
“Eh, wa’alaikumsalam … sudah belanjanya, Num?” tanya Ibu mendekatiku.
“Sudah, Bu. Shanum mau masak sayur asem, sama goreng tempe. Ibu mau, kan?” Aku menunjukkan kantong belanjaan yang berisi sayur-sayuran.
“Mau, Num. Ibu sudah lama gak makan sayur asem buatan kamu. Ayo, Ibu bantuin masak!” ajak Ibu sambil memegang tanganku.
Kulirik Mas Ardan sekilas, ia diam dan menunjukkan wajah datar. Padahal beberapa menit yang lalu, ia baru saja mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaanku. Tunggu saja kamu, Mas. Jika saat ini kamu mengatakan menyesal telah menikah denganku, maka nanti akan kubuat kau menyesal sudah menyia-nyiakanku.
*
Setelah sarapan, Mas Ardan tampak sibuk dengan ponselnya. Ia sepertinya tidak pergi ke mana-mana. Tumben sekali, pikirku. Melihat kesempatan langka seperti ini, aku langsung mendapatkan ide. Bergegas, aku pergi ke kamar dan berganti pakaian. Kukenakan baju bagus yang sudah lama tak terpakai. Kupoles juga wajah seperlunya. Tak lupa, kusiapkan tas, dompet, dan kartu ATM.
Kudekati kamar ibu yang sedikit tersingkap. Rupanya Ibu sedang menyulam, hobinya sejak muda.
“Bu …” panggilku pelan.
“Iya, Num? Lho, kamu mau ke mana? Kok rapi begitu?” Dahi Ibu mengernyit dan matanya menyipit.
“Iya, Bu. Shanum mau keluar sebentar kalau boleh. Ibu gak apa-apa, berdua saja sama Mas Ardan di rumah?” tanyaku sambil memegang tangan keriputnya.
Ibu tersenyum lembut. “Iya, tidak apa-apa. Sana, pergilah. Hati-hati di jalan, ya!” pesan Ibu, membuatku terenyuh.
“Ibu, mau dibeliin apa nanti?” tawarku.
“Gak usah, Num. Udah, berangkatlah!” titah Ibu.
Kucium tangannya, lalu mengucapkan salam. Sekarang, aku tinggal menghadapi Mas Ardan saja. Biasanya, dia takkan mengijinkanku pergi. Namun, tekadku sudah bulat. Hari ini, aku harus menyegarkan isi kepala.
“Ma-mau ke mana, kamu?!” tanya Mas Ardan. Ponselnya ia letakkan di meja.
“Aku pamit mau keluar sebentar, Mas. Mas di rumah, jagain Ibu,” jawabku sambil mengambil sandal di rak, lalu mengenakan helm.
“Aku gak izinkan kamu pergi! Nanti aku mau ketemuan sama teman!” cegah Mas Ardan, lalu berdiri.
“Sekali-kali, gantian, Mas! Aku juga takkan lama! Sudah ya, aku berangkat dulu. Assalamu’alaikum!” sahutku sambil buru-buru pergi meninggalkan rumah.
“Hei, tunggu! Shanum! Shanum! Jangan pergi, kamu!” teriakan Mas Ardan masih terdengar, sampai aku berlalu. Kulajukan motor sedikit mengebut agar ia tak bisa mengejar.
Setelah berada di jalan raya, perasaanku mulai terasa sedikit ringan. Kuhirup dalam-dalam udara segar, untuk merasakan kebebasan sesaat ini. Sudah lama aku tidak keluar sendirian. Sejak menikah dengan Mas Ardan, kebebasanku benar-benar dikungkung.
Banyak hal yang dilarang olehnya. Semua itu, membuatku agak tertekan. Apalagi dia tidak pernah mengajakku dan Ibu untuk jalan-jalan. Mataku mencari-cari mesin ATM di pinggir jalan. Hari ini, aku akan mengambil sedikit uang dan memanjakan diri.
*
Beberapa lembar uang merah sudah ada dalam genggaman. Segera aku amankan ke dalam dompet. Dengan langkah mantap, aku masuk ke sebuah salon yang tidak terlalu besar, tapi tampak sedikit ramai. Paling tidak, jika pengunjungnya banyak, berarti salon ini lumayan bagus. Begitu masuk, aku langsung disambut oleh resepsionis yang tersenyum ramah.
“Selamat siang, Kakak. Mau perawatan apa, hari ini?” sapanya ramah. Aku langsung mendekat.
“Saya mau facial sama creambath, Mbak,” ucapku sambil melihat selebaran yang tersedia di etalase. Harga perawatan di sini, cukup sesuai dengan isi dompet.
“Mau ditambah totok wajah, Kakak? Kebetulan hari ini sedang ada promo empat puluh persen untuk paket perawatan wajah,” tawarnya lagi.
“Oh, ya? Boleh, kalau begitu,” seruku cepat. Lumayan juga kalau mendapat diskon.
“Baik, Kakak. Silakan tunggu. Akan saya atur terapisnya dulu, ya.” Ia mengarahkanku untuk duduk di bangku panjang. Aku mengangguk, lalu duduk di sana.
*
Selesai sudah perawatan selama satu jam setangah. Pijatan pada kepala dan wajah, benar-benar membuatku nyaman dan merasa rileks. Aku merasa hidup lagi. Dengan senyuman terkembang, aku keluar dari salon tadi. Pelayanannya sangat bagus, dan terapisnya juga ramah.
Hanya dengan menambah tarif lima puluh ribu, aku sudah bisa mendapatkan kartu member. Jadi, untuk perawatan selanjutnya, aku akan terus mendapatkan diskon-diskon menarik. Dalam hati aku berjanji, akan datang lagi ke sini jika punya kesempatan.
Belum puas, aku kembali melajukan motor menyusuri jalanan Suprapto yang padat dengan toko-toko yang berjejer. Mataku tertuju pada sebuah toko baju. Kuparkirkan motor di depan, lalu melangkah masuk. Banyak sekali model pakaian yang belum pernah kulihat sebelumnya di sana. Ya ampun, sudah berapa lama aku tidak shopping begini?
Kupilih beberapa lembar blus yang sekiranya pas dan cocok di badan. Kemudian, kuambil juga jilbab untuk Ibu. Aku belum pernah memberinya hadiah lagi, semenjak awal menikah dulu. Rasanya, ingin kubeli semua apa yang menarik di mata. Namun, isi dompet yang menipis, membuatku sadar diri.
Aku baru saja beres membayar di kasir, ketika ponsel di dalam tas berbunyi. Sedikit terganggu, kukeluarkan benda itu. Nama Mas Ardan terpampang jelas, sedang memanggil. Mau apa dia? Dengan rasa enggan, akhirnya kuangkat juga.
“Ha—“
“Cepat pulang, Shanum! Jangan seenaknya saja kamu, ya! Aku mau pergi juga!” bentak Mas Ardan.
Aku bahkan belum sempat mengucapkan satu kata pun. Memang dasar tak punya akhlak manusia satu itu. Tak lagi bersuara, kubiarkan dia mengoceh sendiri.
“Halo! Halo! Kamu dengar, gak? Kamu sudah tuli, hah?” teriaknya. Aku masih diam.
“Kalau kamu tidak cepat pulang, akan aku tinggalkan Ibu sendirian di rumah!” ancam Mas Ardan.
Tut!
Kupencet tanda merah, lalu ponsel sudah berada di dalam tas lagi. Tanpa membuang waktu, aku segera naik ke atas motor dan melaju dengan kecepatan tinggi. Berkali-kali ponselku kembali berdering selama aku berada di atas motor. Kuhiraukan saja, sampai suaranya berhenti dan hening.
*
Kutemui Mas Ardan tengah mondar mandir di teras. Tangannya sibuk memencet-mencet ponsel di tangan. Tanpa menghiraukannya, aku melangkah menuju pintu.
“Bagus kamu, ya! Sudah berani pergi lama-lama tanpa izin sekarang!” hardiknya tanpa ba bi bu.
Kubuka helm, rambutku yang lembut dan wangi jatuh tergerai. Mas Ardan terdiam, menelisik penampilanku yang sedikit berubah. Tak lama kemudian, ia bersuara lagi. Kali ini matanya menatap kantong belanja yang aku tenteng di kedua tangan.
“Apa lagi itu, ha? Kamu belanja? Ya ampun, boros sekali!” Ia berusaha menjejeri langkahku yang terus saja melangkah masuk.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Sosok ibu tidak terlihat. Sepertinya ia sedang tidur. Dengan santai aku meletakkan barang bawaan di lantai kamar. Blus yang tadi dibeli, aku keluarkan dan tempelkan di badan. Dari cermin, kulihat bayangan Mas Ardan mengamatiku. Dadanya naik turun seperti sedang menahan emosi.
“Benar kan, apa yang aku katakan? Kamu cuma bisa menghabiskan uang saja! Baru sehari yang lalu kuberi uang, sekarang malah belanja yang tidak penting!” geram Mas Ardan dengan suara tinggi.
Aku tak memedulikannya. Kukeluarkan lagi selembar blus dengan lengan tiga perempat dan memiliki kerah menutupi leher. Kelihatan pas di badan. Bahannya juga terasa lembut di kulit. Yang jelas, aku sangat suka dengan modelnya.
“Kamu sengaja cuekin aku, hah? Jawab, Shanum! Jangan kurang ajar! Kalau begini, bulan depan aku tidak akan memberimu uang lagi!” Kali ini ia meraih bahu dan membalikkan badanku agar berhadapan dengannya. Napas Mas Ardan memburu, menerpa wajahku.
“Lepas, Mas!” Kutantang tatapan matanya yang nyalang sambil menepis kedua tangannya.
“Dasar tak tahu diri! Cuma bisa menghabiskan uang saja!” Telunjuknya mengacung ke wajahku.
Aku tertawa melihat tingkahnya. Benar-benar lelaki satu ini. Kubuka lemari, lalu merogoh dalam laci. Setelah mendapatkan apa yang aku cari, kudekati Mas Ardan yang masih terpaku. Dengan cepat tanganku kemudian melemparkan lembaran uang ke wajahnya. Kertas-kertas berwarna merah itu beterbangan, lalu jatuh ke lantai. Mata Mas Ardan melebar, pastinya terkejut dengan apa yang baru saja aku lakukan.
“Ambil uangmu, Mas! Aku tak butuh lagi. Untuk membeli pakaian dan biaya salon, juga memberi makan ibu, aku masih punya uang sendiri. Mulai besok, tak usah pedulikan aku dan Ibu. Urus saja urusannmu sendiri. Silakan, ambil saja uang SATU JUTA untuk satu bulan yang kemarin kamu berikan. Ambil, Mas. Jangan malu-malu!” Aku menyeringai puas.
Mata kami beradu pandang. Mas Ardan tidak berkutik. Kedua tangannya mengepal. Ia pastilah sedang mati-matian menahan emosi yang membuncah. Aku tak akan mundur dan mengalah.
“Oh, dan satu lagi. Besok, aku akan mencari kerja. Jadi, kamu siapkan uang untuk menggaji penjaga untuk Ibu. Kalau tidak begitu, aku tidak bisa cari uang. Bisa-bisa aku dan Ibu mati kelaparan! Soalnyaaaaa, lelaki di rumah ini sangat pelit dan perhitungan!” desisku penuh penekanan.
Kubenturkan bahuku ke bahu Mas Ardan saat melewatinya. Dengan menahan sesak di dada, aku menuju ke kamar Ibu. Jilbab yang tadi aku belikan, masih terbungkus rapi. Semoga saja Ibu suka dengan model dan warnanya. Tak sabaran, aku masuk ke kamar ibu tanpa mengetuk.
Wanita itu terduduk di pinggir ranjang. Matanya basah. Langkahku terhenti di ambang pintu.
“Sha-num …” bisik Ibu tersendat, saat melihatku.
“Bu, Ibu kenapa? Ibu menangis?” Aku duduk di sampingnya, merasa khawatir.
“Eng-enggak, Num. Ibu baru bangun tidur. Tadi, mata ibu perih,” ujarnya dengan suara bergetar.
Aku tentu saja tak percaya. Ya Tuhan, apa tadi Ibu mendengar pertengkaranku dengan Ibu? Semoga saja tidak.
“Bu, ini Shanum punya hadiah untuk Ibu. Coba Ibu buka!” kataku seraya menyodorkan bungkusan plastik padanya.
Tangan keriput itu ragu-ragu meraih. “I-ni apa, Num?” Matanya menatapku penuh tanda tanya.
“Buka saja, Bu!” titahku.
Setelah mengeluarkan dua lembar jilbab itu, mata ibu melebar.
“Num, kamu belanja? Dapat uang dari mana, Num? Pasti mahal ya, Num? Soalnya, ini bagus sekali.” Ibu membelai-belai jilbab itu dengan jemarinya yang kurus.
“Nggak mahal kok, Bu. Asalkan Ibu suka, Shanum senang.”
Tiba-tiba saja, tubuhnya yang ringkih sudah memelukku. “Makasih, Num ... Ibu suka,” bisikknya diserai isakan.
Tak kuasa menahan, air mataku pun tumpah.
***
Aku sedang mengganti seprai dan sarung bantal, ketika Mas Ardan masuk ke kamar. Tak kuhiraukan kehadirannya. Aku tetap sibuk dengan tugasku. Dari sudut mata, kulihat ia seperti ragu mendekat. Mau apa lagi dia?“Ehem, Num. Aku mau ngomong sebentar!” tegurnya, berdiri dengan kikuk di samping ranjang.“Mau ngomong apa? Tinggal ngomong aja!” sahutku sambil merapikan sudut ranjang.“Bisa duduk dulu?” tanyanya dengan nada sedikit kesal.Aku mendesah. “Telingaku masih bisa mendengar walaupun tidak duduk, Mas! Pekerjaanku masih banyak. Kalau mau ngomong, ya ngomong sekarang!” jawabku malas.Wajah Mas Ardan tampak sedikit ditekuk. Bibirnya tertutup rapat. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapanku.“Gak jadi ngomong? Kalau gitu, aku mau nyuci pakaian dulu!” Aku mulai berjalan menuju pintu kamar.“Tu-tunggu!” cegahnya.Aku berbalik dan menatap lurus ke matanya, siap mendengarkan. Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya dia buka suara.“Ehem … a-aku minta maaf soal ucapanku tadi pagi!” ucapnya,
Aku tak menggubrisnya. Alih-alih menyemangati, ia malah mencoba untuk menjatuhkan mentalku. Bukannya aku tak sadar diri. Memang kenyataannya saat ini persaingan dalam mencari kerja sangatlah ketat. Namun, tak ada salahnya mencoba dengan kemampuan yang aku punya. Kalau sudah rejeki, tak akan ke mana juga.“Denger gak, kamu? Mumpung aku masih bisa berubah pikiran, Shanum! Jangan seenaknya sendiri!” imbuh Mas Ardan dengan nada yang sedikit ditinggikan.“Maaf, Mas Ardan yang terhormat. Aku akan tetap mencari kerja. Kalau kamu punya uang lebih, mending dipakai saja untuk mentraktir temanmu di kafe!” sindirku sambil memisahkan dokumen fotokopian dan yang asli.“Apa kamu bilang? Ngajak ribut, kamu?” Mas Ardan bangkit dan duduk di tepi ranjang.“Yang dari tadi ngoceh terus, siapa? Bukannya Mas sendiri?” Aku pun dengan cepat membereskan kertas-kertas penting itu dan mengamankannya kembali ke dalam tas.“Sudahlah, Num. Mengalah saja. Biasanya kamu selalu nurut sama aku. Kenapa sekarang kamu jad
Pagi ini Mas Ardan pergi kerja tanpa menyantap sarapan yang aku hidangkan. Menghadap ke dapur pun dia seperti tak sudi. Biarlah, kalau dia lapar pasti akan mencari makan sendiri di luar. Yang penting, aku masih mengerjakan kewajibanku seperti biasanya.Dengan sisa uang yang ditarik dari ATM kemarin, aku masih bisa membeli sayur mayur dan lauk pauk. Sedangkan sisanya, aku siapkan untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak. Mas Ardan yang pelit itu, benar-benar tak meninggalkan sepeser uang pun untukku dan Ibu.Saat keluar dari pintu rumah tadi, ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya suara bantingan pintu yang menjadi penanda bahwa dia sudah pergi.Untungnya, Ibu seperti tak terganggu dengan sikap suamiku itu. Kami sama-sama sudah paham. Jika keinginannya tak dipenuhi, maka pastilah Mas Ardan akan marah, uring-uringan sampai berhari-hari. Seperti anak kecil yang merajuk karena tak dibelikan mainan saja. Sungguh kekanak-kanakan.“Num … kamu hari ini sudah mulai mau mencari kerja?
Bisa kubayangkan seperti apa rupa Mas Ardan saat ini. Pastilah wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Dadanya turun naik, karena tersulut emosi. Ya Tuhan, rasanya aku hampir tak percaya, kalau ia adalah suamiku.Apakah berdosa, kalau kupanggil ia Si Sumbu Pendek? Biasanya aku selalu diam dan hanya membaca saja saat Mas Ardan menuliskan sesuatu yang menyindirku secara tak langsung. Namun, hari ini aku ingin sedikit bermain-main dengannya.Aku ingin tahu, sampai sejauh mana ia bisa bertahan tanpa menunjukkan amarah. Menit-menit berlalu, aku menjadi tak sabaran. Berulang kali kucek status WAnya, belum ada yang baru.Keluar kamar, aku berlalu ke dapur untuk mengambil minum. Kulihat Ibu sedang berada di halaman belakang rumah, menyiangi tanaman bunga anggreknya yang sedang mekar. Meski sudah renta, Ibu masih telaten merawat tanaman kesayangnnya itu.Aku berhenti sejenak memperhatikan, lantas kembali lagi ke kamar. Segera, kuraih ponsel yang tadi tergeletak di lantai.[Cuci mata dulu, bersama ya
Dengan sedikit bertanya-tanya dalam hati, kuangkat panggilan telepon dari Mas Teguh.“Halo, Asalamu’alaikum, Mas,” sapaku.“Wa’alaikumsalam, Num. Apa kabar kalian di sana?” balas Mas Teguh.“Alhamdulillah baik, Mas. Ada apa menelpon, Mas?”Tumben sekali Mas Teguh menelepon. Selama ini, kami sangat jarang berkomunikasi seperti ini. Biasanya Mas Teguh hanya menelepon dan bertanya kabar lewat Mas Ardan saja.“Sudah seminggu ini, Mas coba menelepon Ardan, tapi tidak pernah diangkat. Pesan WA juga tidak pernah dibalas. Mas jadi tidak tahu kabar Ibu. Apa Ibu ada, Num?” ujar Mas Ardan panjang lebar.Aku menghela napas. Memang Mas Ardan itu kadang tingkahnya tak bisa ditebak. Apa susahnya mengangkat telepon?“Ibu alhamdulillah sehat, Mas. Hari Sabtu kemarin baru Shanum ajak kontrol. Mas Teguh, mau ngobrol sama Ibu?” tawarku. Pasti dia khawatir dengan kondisi Ibu sekarang.“Boleh, boleh, Num. Sudah lama Mas tidak dengar suara Ibu,” jawabnya cepat.“Oke, tunggu, Mas.” Aku segera keluar kamar un
Aku terduduk di bibir ranjang. Berkali-kali mengucapkan istighfar dalam hati. Sungguh tak kusangka kalau ternyata Mas Ardan setega itu. Selama ini dia hanya memberikan nafkah yang sangat pas, bahkan kurang untukku dan Ibu. Bahkan, untuk uang kontrol Ibu pun, Mas Ardan terlihat ogah-ogahan memberi tambahan.Bisa dikatakan, kalau selama ini, kami makan dengan uang pemberian Mas Teguh. Sedangkan gaji Mas Ardan, utuh tak tersentuh, entah untuk apa. Aku bahkan tak pernah tahu berapa nominal gajinya itu. Mungkin, telepon Mas Teguh tadi, adalah jalan yang dibukakan oleh Tuhan, agar kebusukan Mas Ardan terbongkar.Dengan langkah gontai aku bangkit, lalu berjalan menuju kamar mandi. Pikiranku masih bercabang kemana-mana. Sungguh tega kamu, Mas! Bahkan pada ibumu sendiri. Aku tak akan berkata apa-apa pada Mas Ardan. Biarlah dia tahu sendiri suatu saat nanti. Pasti dia akan sadar jika Mas Teguh tak mengirim uang lagi.*Mas Ardan pulang dengan wajah cemberut. Aku baru ingat tentang peperangan di
“Mas …” Kusentuh bahunya pelan. Ia bergeming.“Mas!” panggilku agak keras.“Apa, sih! Mau apa?” bentak Mas Ardan tanpa menoleh ke arahku.“Itu di—““Apa?” potongnya tak sabaran.“Itu … di kakimu … ada kecoa,” ucapku datar.Badan Mas Ardan seketika bangkit dan melihat ke arah kakinya. Tak lama kemudian, jeritannya terdengar memenuhi ruangan.“Aaaaaaargh! Ke-kecoaaaa! Tolong, Num, tolooong!” Tangannya mengibas-ibas makhluk kecil berwarna coklat yang bertengger di celananya. Makhluk itu malah terbang ke badan Mas Ardan.“Aaarghhh! Hiiiiiiiiiiii! Jijik!” racaunya.Aku terbahak-bahak melihat wajah panik Mas Ardan, lalu memutar balik memunggunginya.“Sama kecoa aja takut! Usir aja sendiri! Malu tuh sama badan gede!” sahutku di sela-sela tawa. Ranjang bergoyang-goyang karena Mas Ardan yang terus bergerak.Gedebuk!“Arghhhhh! Si*lannnnnnn!” rutuk Mas Ardan. Rupanya ia sampai terjengkang dari ranjang.Aku masih tekikik geli. Sama istri saja galaknya minta ampun, sama kecoa malah jerit-jeritan.
[Assalamu’alaikum, Mbak Anum. Pa kabar?] bunyi pesan dari sepupuku yang bernama Lia.[Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, Baik. Lia apa kabar? Mbak kangen sama kamu!]Aku senang sekali mendapat WA dari sepupuku itu. Dulu sebelum menikah, aku sangat dekat dengannya seperti kakak adik kandung. Dengan jarak umur hanya dua tahun di antara kami. Semenjak menikah, aku belum pernah bertemu lagi dengannya.[Baik juga, Mbak Anum. Lia juga kangen, ih. Itu, statusnya kenapa? Kok cari penjaga untuk Ibu? Emangnya Mbak Anum mau ke mana?][Mbak mau cari kerja lagi, Li. Kamu ada kenalan gak, di kota ini? Mbak masih agak bingung deh, mau masukin lamaran ke mana]Beberapa saat kemudian, tak ada jawaban. Mungkin dia mulai sibuk lagi. Lia bekerja sebagai seorang tutor, sama sepertiku. Bedanya, dia memegang jurusan Matematika.[Kak, coba hubungi nomor ini. Dia kepala cabang Bimbel Smart Kids di sana. Temennya pacar Lia]Sebuah kontak berinisial RD Smart Kids terlampir. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata se
“Halo, Assalamu’alaikum. Bu Erna, besok sudah mulai kerja di rumah saya, ya?” ucapku, setelah panggilan tersambung ke nomor Bu Erna yang dikirimkan Bu RT.“Wa’alaikumsalam. Iya, Mbak Shanum. Saya sudah siap-siap, kok. Besok jam delapan, saya sudah harus di sana, kan?” tanyanya memastikan.“Iya, Bu Erna. Jam delapan sudah di sini. Soalnya jam sembilan, saya sudah ada janji. Oh ya, Bu Erna tidak usah bawa bekal. Nanti makan siangnya di rumah saja, sama ibu saya,” jelasku lagi.“Oh, begitu … iya, iya, Mbak Shanum. Terima kasih banyak!” timpalnya.“Sama-sama Bu Erna. Kalau begitu, sudah dulu. Assalamu’alaikum!”“Waalikumsalam!”Tut. Aku menutup panggilan dengan perasaan lega. Besok, aku sudah tak khawatir lagi jika harus meninggalkan Ibu di rumah. Semoga saja Ibu betah ditemani oleh Bu Erna. Kumasukkan berkas-berkas penting yang harus dibawa besok ke dalam tas. Pakaian untuk dipakai besok pun, sudah kupisahkan. Aku benar-benar seperti seseorang yang baru pertama kali akan melamar pekerjaa
Aku lewati teras sambil memandang tajam kedua lelaki itu. Dodi tersenyum dan mengangguk sopan ke arahku. Cih, di depan manis tapi di belakang mulutmu mengataiku macam-macam. Aku melengos dan masuk ke rumah tanpa menegur mereka berdua.Barulah di dalam rumah, aku mengucapkan salam kepada Ibu. Wanita yang aku sayangi itu, sedang melipat pakaian yang tampak menggunung di dalam keranjang.“Sudah pulang, Num?” tanya Ibu.“Sudah, Bu. Kok Ibu lipatin pakaian Shanum sama Mas Ardan? Biar Shanum aja, Bu!” Aku merasa tak enak.“Gak apa-apa, Num. Ibu bosan gak ngerjain apa-apa. Semuanya kamu yang kerjakan,” bantah Ibu.Aku dengan cepat masuk ke kamar. Meletakkan kantong belanjaan, lalu berganti pakaian. Tak membuang waktu, aku segera bergabung dengan Ibu, membantunya melipat pakaian yang tampak tak ada habisnya. Lebih separuh dari pakaian ini, adalah milik Mas Ardan. Entah kenapa, lelaki itu sangat gemar membeli baju baru. Setiap minggu, ia rutin membeli walaupun hanya satu atau dua lembar. Saya
Aku terbangun setelah mendengar suara sedikit berisik dari dapur. Terlonjak, aku langsung melihat jam yang menunjukkan pukul enam pagi. Astaga, bisa-bisanya aku terlambat bangun karena sedang datang bulan. Siapa pula yang sedang ribut di dapur? Jangan-jangan Ibu yang masak?Tergesa aku mencuci muka, lantas pergi ke sumber suara. Ibu terlihat sedang menyapu teras. Lalu, siapa yang masak? Aroma telur dan bawang goreng menyeruak, membuatku lapar. Aku sedikit terkesima mendapati pemandangan seorang lelaki yang sedang berdiri depan kompor. Tangan Mas Ardan tampak lincah mengaduk-aduk dalam wajan. Sedikit ragu dan malu aku mendekat.“Ehem, Mas … kamu, masak?” tegurku pelan, lalu duduk di kursi mengamatinya.“Menurutmu? Apa aku terlihat sedang olahraga?” sindirnya tanpa menoleh ke arahku.“Ya … maaf, aku bangun terlambat. Kenapa gak bangunin?” sungutku sebal dengan jawabannya.Dia berbalik lantas memandangiku tajam. Tangannya masih memegang spatula.“Kamu benar-benar gak merasakan? Berkali-k
Dadaku mulai kembang kempis. “Kamu jangan cuma bisa komentar aja, Mas. Kalau gitu, kasih aku uang untuk beli baju baru!”Mas Ardan terdiam menatapku. Wajahnya terlihat kaget, tapi dia cepat menguasai diri.“Gimana? Mau belikan atau tidak? Kalau tidak, tak usah banyak komentar! Seharusnya kamu malu bicara begitu, Mas. Istri seorang Ardan, terlihat buluk dan katrok!” sungutku kesal.Mas Ardan mendengkus. “Hah, beliin kamu pakaian? Ya rugi! Pakai baju model apapun, kalau buluk ya, tetap buluk! Gak akan berubah!” ejek Mas Ardan seraya membaringkan diri di ranjang.“Bilang aja kalau gak mampu beliin! Gak usah banyak omong. Lihat aja nanti kalau aku udah kerja dan punya uang banyak!”“Apa yang mau dilihat? Paling ya, gitu-gitu aja. Mau banyak uang atau nggak, kalau gak bisa mengurus diri, ya tetap bakal jelek juga, Shanum! Gak usah berkhayal terlalu tinggi!”“Iya, kayak kamu, Mas! Banyak uang, tapi tetap aja, kucel! Coba lihat dulu tampangmu di cermin sebelum menjelek-jelekkan aku! Kalau bu
Kusapu halaman rumah yang tampak tertutupi daun-daun kering dari pohon rambutan. Ibu juga membantu dengan menyiangi rumput-rumput yang sudah mulai meninggi.“Gak usah, Bu. Biar Shanum aja. Nanti Ibu capek,” tegurku kepada wanita yang tampak membungkuk itu.“Gak apa-apa, Num. Ibu gak capek, kok!” elaknya.Ya sudah, kubiarkan saja Ibu membantu sedikit-sedikit. Sambil menyapu, pikiranku terus melayang ke mana-mana. Aku belum memberitahukan Ibu soal rencana hari Senin besok. Sekarang sudah hari Sabtu. Masih ada sisa satu hari lagi, sampai aku benar-benar bisa membuat keputusan.“Assalamu’alaikum!” Terdengar ucapan salam dari luar pagar.Terlihat Bu RT bersama dengan seorang wanita yang tak aku kenal di sana. Mataku seketika berbinar. Dadaku membuncah karena semangat.“Wa’alaikumsalam, Bu RT! Mari masuk!”Secepat kilat kubuka pintu pagar, membiarkan kedua orang itu masuk. Senyumku terkembang. Apakah orang yang bersama Bu RT ini, yang akan menjadi penjaga ibu? Kami berempat, akhirnya duduk
Mataku tak juga ingin terpejam. Sedari tadi, aku hanya membolak-balikkan badan di atas ranjang. Perasaanku campur aduk, antara senang dan galau. Hari senin aku harus datang ke Bimbel Smart Kids, tapi sampai sekarang belum juga mendapatkan orang untuk menjaga Ibu. Aku mendesah berkali-kali.“Kamu bisa diam tidak, Num? Aku dari tadi gak bisa tidur gara-gara kamu!” sewot Mas Ardan yang ternyata belum tidur.“Ya maaf, deh. Sorry, aku lagi galau!” balasku sebal.“Kenapa lagi, sih? Kalau belum mau tidur, sana nonton TV aja!” usirnya garang.Aku kembali mendesah. “Hari Senin aku mau masukkan lamaran pekerjaan, Mas. Kalau belum ada yang jagain Ibu, bagaimana?” tanyaku, mencoba bertukar pikiran.Mas Ardan membalikkan badan. Matanya memicing ke arahku.“Kan sudah kubilang, kamu di rumah saja! Gak usah memikirkan kerja, kerja, kerja! Dasar keras kepala!” sentaknya, lalu kembali memunggungiku.Ah, kukira akan dapat pencerahan setelah berkeluh kesah pada Mas Ardan. Ternyata, hanya menambah pusing
[Selamat siang. Perkenalkan, saya Shanum Pradipta. Bermaksud untuk menanyakan lowongan sebagai tutor Bahasa Inggris di Bimbel Smart Kids. Apakah ada lowongan yang tersedia? Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih.]Aku mengirimkan pesan ke nomor RD Smart Kids dengan perasaan tak menentu. Sejak semalam aku mulai merasa galau soal mencari pekerjaan. Ingin keluar langsung, tapi belum ada yang menjaga Ibu di rumah.Jenuh, aku keluar kamar dan mencari Ibu. Dia tak ada di ruang tengah. Di teras belakang pun, aku tak menemukan keberadaannya. Apa Ibu sedang tidur? Tapi, ini masih pagi. Atau ia sedang tak enak badan? Tergesa, aku menuju ke kamarnya.Pintu kamar ibu sedikit terbuka. Tak ada suara dari dalam. Dengan langkah pelan aku mendekat. Dari balik pintu, kulihat ibu sedang duduk di tepi ranjang. Di pangkuannya, ia memegang sebuah figura.Wajahnya yang dipenuhi keriput tertunduk. Sesekali tangannya bergetar, menyeka mata, lalu mengusap figura yang dipangkunya. Ya Tuhan, apa Ibu menangis? Tak
“Kamu tidak berhak menerima uang dari Mas Teguh!” bentak Mas Ardan kepadaku saat kami berada di kamar.Aku diam, memandangi wajahnya yang menyimpan amarah. Sejak pulang kerja tadi, dia hanya diam. Kemudian, saat aku masuk ke kamar, ia langsung menyusul dan sekarang … mengucapkan kalimat itu.Malas menanggapinya, aku melengos dan sibuk mengutak-atik ponsel di tangan. Entah sejak kapan aku merasa sangat tak penting menanggapi Mas Ardan yang selalu tantrum seperti seorang balita. Toh nanti, ia akan tenang sendiri.“Aku sedang ngomong sama kamu! Jangan kurang aja kamu, Shanum!” hardiknya lagi.Aku kembali mendongak, menatapnya malas. Kuhembuskan napas panjang, lalu berbaring memunggunginya.“SHANUM!” teriak Mas Ardan memekakkan telinga. Padahal hari sudah malam. Semoga saja Ibu sudah tidur, jadi tidak mendengar teriakan dari dedemit barusan.“Apa, sih? Teriak-teriak kayak orang gila?” Aku menoleh. Napas Mas Ardan memburu, dengan kedua tangan mengepal membentuk tinju.“Aku ngomong sama kam
[Assalamu’alaikum, Mbak Anum. Pa kabar?] bunyi pesan dari sepupuku yang bernama Lia.[Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah, Baik. Lia apa kabar? Mbak kangen sama kamu!]Aku senang sekali mendapat WA dari sepupuku itu. Dulu sebelum menikah, aku sangat dekat dengannya seperti kakak adik kandung. Dengan jarak umur hanya dua tahun di antara kami. Semenjak menikah, aku belum pernah bertemu lagi dengannya.[Baik juga, Mbak Anum. Lia juga kangen, ih. Itu, statusnya kenapa? Kok cari penjaga untuk Ibu? Emangnya Mbak Anum mau ke mana?][Mbak mau cari kerja lagi, Li. Kamu ada kenalan gak, di kota ini? Mbak masih agak bingung deh, mau masukin lamaran ke mana]Beberapa saat kemudian, tak ada jawaban. Mungkin dia mulai sibuk lagi. Lia bekerja sebagai seorang tutor, sama sepertiku. Bedanya, dia memegang jurusan Matematika.[Kak, coba hubungi nomor ini. Dia kepala cabang Bimbel Smart Kids di sana. Temennya pacar Lia]Sebuah kontak berinisial RD Smart Kids terlampir. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata se