"Benar kan, Dok, dia ada di mobil itu." Asri dan Jenar menatap dari dalam IGD untuk melihat apa benar Leo ada di sana. Dia memang tidak punya kerjaan dengan terus datang untuk mengganggu. Padahal Dika sempat membuatnya pergi, namun dia malah datang lagi. "Apa Mas Dika ada ya, apa tidak sedang bertugas." Jenar coba untuk mengirimkan pesan pada Dika yang tak langsung membalas karena memang ada kegiatan. "Minta antar ambulan saja untuk pulang. Biar tidak tau kalau Dokter keluar rumah sakit." "Ngawur, tidak ah ... aku tunggu dia pergi saja. Aku coba minta tolong petugas keamanan." Jenar yang ingin segera pulang coba bicara dengan petugas keamanan untuk mengusir, namun gagal karena alasan sedang menunggu pasein yang di rawat. Dia memilih kembali ke ruang pemerikasaan sambil menunggu balasan pesan dari Dika. "Bagaimana kabar Ibu? Tidak kok, aku juga baru selesai praktek," ucap Jenar menjawab lawan bicara dari sambungan telepon. "Kabar Ibu baik. Bagaimana kondisi Damar, maaf semalam I
"Lancang sekali kau!"Damar berusaha melepaskan pelukan Jenar darinya dan ingin memukul pria dengan mulut besarnya itu sampai babak belur. Dia berani menyebut isterinya wanita tidak benar di depan umum. Pria seperti Leo memang besar mulut, dia tidak malu datang lagi dan lagi meski ditolak. Itu bukan cinta melainkan obsesi yang gila, meneror Jenar setelah melukai hatinya."Mas, aku mohon!!"Jenar semakin mempererat pelukannya dan membuat mundur tubuh Damar yang terpancing dengan perkataan Leo. Dia tidak mau suaminya itu akan mendapatkan masalah jika terus melawan pria kurang ajar seperti Leo."Dia mungkin terima dengan perkataanmu, tapi aku tidak! Lihat saja kau menyentuh tubuhnya, urusan mu denganku! Kau dengar itu!"Damar membawa Jenar pergi dengan menggandeng tangan setelah berterik pada pria gila itu, dan Leo dibawa petugas keamanan agar tidak terus memancing emosi.Dengan emosi yang masih membara, Damar berjalan ke mobil. Tidak peduli dengan rasa sakit di punggungnya. Apalagi dia
"Bantu aku untuk membuatnya pergi dari isteriku, sejengkal pun jangan boleh dia mendekati isteriku. Dia sudah menghancurkan mental isteriku. Aku akan kirimkan bukti yang aku miliki ketika dia mengikuti istriku sejak dia tinggal di Solo. Aku tidak ingin dia lolos karena kekayaan orang tuanya, jika itu terjadi, aku sendiri yang akan bertindak." Damar sedang bicara dengan salah satu orang yang menahan Leo karena tindakannya menguntit Jenar selama sebulan ini. Dia tidak peduli jika Jenar keberatan, karena dia takut. Di ruang tengah rumah yang Jenar tempati, Damar beranjak dan melihat istrinya yang sedang di kamar. Tadi dia terlelap ketika meninggalkan menjawab telepon.Dengan posisi menyamping, Jenar tampak masih tidur. Setidaknya dia tidak lagi menangis. Damar duduk di meja kerja yang ada di kamar itu sambil menatap isterinya. Dia sungguh hilang akal sampai lupa jika punggungnya terluka. "Mama—" rintihan lirih terdengar dari mulut Jenar denga
Damar coba mengirimkan pesan pada salah satu teman Dokter yang dia kenal agar memberikan obat untuk Jenar. Tak menunggu lama, temannya itu datang dan segera masuk setelah bilang pintu belum di kunci.Saat akan masuk kamar, senyum temannya itu mengembang melihat posisi Damar yang tidak bisa bergerak karena Jenar memeluknya."Demamnya tinggi, aku bantu untuk pasang infus dan obat melalui infus," jelasnya."Sudah lakukan saja, jangan terus tersenyum. Punggungku sudah cukup sakit dengan posisi seperti ini, jadi cepat lakukan saja dan pergi.""Ah ... benar juga. Aku akan berikan obat untukmu juga agar kalian bisa istirahat bersama.""Aku pikir dijodohkan itu akan tidak saling cinta. Nyatanya kalian berhasil dengan hubungan ini," timpanya lagi sambil memasangkan infus di lengan Dokter cantik yang tidur memeluk sang suami."Awalnya sulit, tapi apa yang aku ambil harus aku lakukan, jadi jalani saja."
Matanya berbinar melihat beberapa pedagang yang berjualan beraneka ragam makanan. Dia bingung harus mulai dari mana untuk membelinya."Apa Mas mau?" Di samping pedangan jajanan, Jenar menawari Damar yang hanya menggeleng pelan.Mengenakan pakaian casual, dan aroma tubuh yang harum menambah ketampanan suami Jenar Nareswari, apalagi dia datang beraama wanita cantik dengan dres selutut dan cardigan rajut yang bersamanya, mereka terlihat serasi. "Bukankah tujuannya membeli es cream. Kenapa jadi ke sini.""Sungguh Mas tidak mau?""Tidak, sayang." Damar menggandeng isterinya setelah pesanan selesai dan dibayar. Seperti seorang ayah yang sedang pergi bersama puterinya minta jajan.Mereka kembali berjalan melihat-lihat makanan yang ada di sana. Seperti surga jajanan, dan itu membuat Jenar senang. "Sudah beberapa kali Mbak Asri ingin mengajakku ke sini, tapi aku belum sempat karena pasti ada yang memarahiku nanti." Sambil
"Apa kamu bersikap seperti ini ketika pacaran dengan pria lain, manja sekali."Damar menyeka dengan tisu bekas es cream di sudut bibir isterinya. Dia menggeleng pelan dengan tingkah Dokter cantik yang sudah menjadi miliknya ini."Tidak juga, sikap Leo tidak bisa seperti Mas. Meski tegas dan berwibawa, hanya Mas yang menuruti semua keinginanku.""Kamu mengerjaiku," gerutu Damar. Ini memang tidak biasa dia lakukan, meski kesal tapi dia menikmati karena istrinya tersenyum kembali."Mas, besok aku ada undangan seminar di Hotel Kencana, aku baru dapat undangan nya tadi sebelum berangkat ke sini. Bisa Mas antarkan?" tanya Jenar."Kenapa tiba-tiba. Bisakah tidak datang saja?"Jenar menggurungkan niat untuk menyuapkan sendok berisi es cream ke mulutnya, kemudian menatap tajam. "Kenapa, Mas? Ini hanya seminar saja. Aku tidak berkencan dengan pria lain." "Kenapa jawabanmu seperti itu, aku bertan
"Lalu? Boleh tidak aku berangkat, Mas?" "Tunggu 10 menit, aku akan antar." Jenar mengendus kesal, karena beberapa Dokter yang akan ikut Seminar mengajaknya berangkat lebih awal. Jenar menutup sambungan teleponnya begitu saja karena kesal, apalagi temannya yang lain sudah menunggu. Kemarin Jenar memang salah bicara, namun pagi-pagi sekali tadi Damar bilang boleh. "Sudah tunggu saja, Dok. Telat 30 menit juga tidak apa-apa." "Tidak begitu, Dok. Aku terlihat sedang mempermainkan waktu. Daripada terlambat mending batalkan saja. Alasan melarangnya tidak masuk akal. Entahlah ...." Jenar memilih menunggu suaminya dengan rasa kesal. Damar sendiri alasannya apa sampai melarang agar tidak ikut. Dia malu saja pada yang lain sudah menunggu. Apalagi dia mengundurkan jadwal hari ini karena Seminar. "Ayo masuk." Seseorang yang ditunggu sejak tadi akhirnya datang, dan memanggil dari dalam mobil. Dengan perasaan kesal, Jenar masuk tanpa ingin mengajak bicara. Dia memalingkan wajah setelah memas
Damar tidak bicara, dia berjalan keluar Hotel dan segera pergi dengan mobil kesayangannya. Tidak ada obrolan apapun ketika perjalanan pulang. Jenar sendiri ragu untuk membuka pembahasan, takut salah bicara dan berdebat hebat. "Mama menghubungiku tadi, beliau bilang acara maju seminggu dari tanggal sebelumnya. Aku bantu untuk izin pada atasanmu nanti, pulang 2 hari sebelum acara, tapi aku pulang malam sebelum hari H. Aku harus tugas ke Papua untuk mengecek di sana," jelas Damar, meski istrinya seperti tidak peduli, namun ucapannya di dengar baik oleh Jenar. "Aku berangkat lusa, jadi berhati-hatilah di rumah." Otak Jenar berpikir, jika lusa berangkat, itu artinya dia tidak akan bertemu Damar kurang lebih 3 minggu. Setelah mencerna dengan baik, Jenar menatap suaminya. Ketika hubungan mereka sedang tidak baik, Damar malah akan berangkat tugas. Memang hanya mengecek saja, tapi tetap saja, dia tidak akan bertemu suaminya. "Kenapa lama sekali?" Jenar mulai membuka suara dan menanyaka
"Izin, Ndan! Selamat sore! Baru pulang?" "Sore. Apa isteriku ada di dalam?" tanya Damar yang baru pulang dari latihan hari ini. Jam menunjukkan pukul 5 saat dia sampai Batalyon. "Iya, Ndan. Beliau ada di dalam." Damar melangkah masuk, coba melihat isterinya yang katanya di dalam. Terlihat dia sedang duduk sambil membungkus beberapa hadiah untuk acara besok. Damar tidak langsung menghampiri, dia menatap dari ambang pintu. Kadang dia merasa bersalah ketika melarang Jenar melakukan pekerjaannya. "Loh ... Pak Danyon di sini. Mau jemput Nyonya Jenar bukan, Pak?" Jenar yang mulanya tidak tau kedatangan Damar langsung mencari di mana suaminya berada. Senyumnya mengembang ketika ada pria yang dia cintai berjalan ke arahnya setelah menjawab pertanyaan salah satu anggota Persit. "Apa belum selesai?" tanya Damar. "Izin, sudah, Ndan. Semua selesai, tinggal persiapan untuk besok. Mau mengajak Nyonya Jenar pulang bukan, Ndan?" "Jika sudah selesai, boleh kah?" "Izin, boleh, Ndan. S
"Apa mual, Mbak?" "Sejauh ini tidak, Mbak. Apa memang maunya buah ya, Mbak. Sulit sekali makan nasi. Membayangkan saja sudah terasa mual." "Apalagi bayi kembar, seperti mualnya dobel, tetap semangat. Setelah trimester pertama akan sedikit merasa nyaman. Walau hanya sebentar. Besok ada kegiatan lomba, nanti pukul 2 siang sepertinya ibu-ibu coba untuk menyiapkan hadiah. Apa Mbak ikut?" "Ikutlah, Mbak, malu kalau gak ikut apalagi alasannya hamil. Semua orang juga merasakan itu, aku tidak mau malah di anggap seenaknya sendiri karena kedudukan suamiku." "Lalu untuk jabatan yang ketua berikan bagaimana?" tanya Widi. "Tidak, Mbak. Biar yang lain saja, aku belum siap saja." Jenar diminta menjadi ketua ibu-ibu Persit, dia malah menolaknya. Dia tidak mau dipikir suaminya Danyon, lantas dia bisa menjabat sebagai Ketua. Apalagi dia masih baru. Pengalamannya kurang, itu pikir Jenar. "Aku belum tau banyak, jadi takut salah. Apalagi banyak para senior yang mampu memimpin. Ketua sekarang
"Kenapa, sudah makan dan habiskan." Jenar hanya menatap makanan yang baru dia makan beberapa suap saja. Padahal tadi begitu senang bisa makan diluar berdua. Nyatanya, setelah mengisi perutnya beberapa suap, dia tidak ingin lagi. "Mas saja yang makan, aku mual." Mata yang berkaca-kaca tanda dia memang sedang menahan rasa mual. Kasihan juga jika sudah seperti ini, Jenar malah tidak bisa makan dengan lahap, rasa mual menyiksanya. Meski itu tanda baik, akan tetapi Damar kasihan pada istrinya. "Enak?" Jenar menangguk senang, dia menyedot susu pisang yang dia minum. Damar mengusap ujung kepala istrinya, dari makanan yang dipesan dia hanya makan 2 suap saja setelahnya Damar yang menghabiskan, dia sangat ingin makan itu, tapi malah mual. Jenar belum tau apa yang pas untuk perutnya, hanya susu pisang yang tidak membuatnya mual. "Maafkan aku, Mas," ucapnya. Usia kandungannya jalan 3 bulan, meski sesekali masih merasa sakit dibagian perutnya, kondisi kehamilan Jenar tetap terkontrol. Apa
"Izin, Pak Danyon. Apa kabar!" Dengan sikap hormat, orang dihadapan Damar menjabat sebelum dipersilahkan duduk kembali. "Lama tidak bertemu, Anda juga tidak ada kabarnya, ke mana saja?" Damar tampak senang teman satu satuan dulu datang berkunjung. "Aku masih menjalankan tugas ku di lapangan. Beruntung Anda sekarang sudah dengan tenang membuat rencana untuk Prajurit. Bekerja di balik meja kerja ini."Pria dihadapan Damar adalah seorang kapten, beliau pernah menjadi satu regu ketika penugasan. Belum lagi mereka sering di perintahkan untuk tugas sebelum akhirinya Damar menjadi seorang Komandan Batalyon sekarang. Mereka malah asyik bicara. Apalagi kedatangan Kapten Bambang memiliki sebuah tujuan bukan hanya saling sapa. Damar untuk pulang karena ada tamu, entah akan seperti apa Jenar nanti marah padanya, yang pasti dia tidak bisa pulang sekarang. "Tidak bisakah Anda bergabung latihan kita lusa, satuan mengadakan latihan gabungan aman bersama NKRI, jika mau saya kirimkan jadwalnya."
"Puas sekali menggoda orang, sekarang malah tertawa," gerutu bumil yang masih pagi sudah bawel setelah mengobrol dengan suaminya. "Makanya kamu juga jawabnya begitu. Tenanglah, Sayang, aku masih lama di sini. Karir yang aku jalani di sini masih terbilang baru. Untuk rumah baru, nanti aku coba bicarakan dengan salah satu teman. Kita pilih yang nyaman untukmu." Damar hanya membohongi Jenar tentang pindah tugas ke Papua. Dia diperbolehkan untuk fokus di Batalyon dan juga istrinya. Apalagi kondisi kehamilan sang istri sedang tidak baik, meski harusnya mengutamakan tugas. "Kamu suka sekali menggoda isterimu, sepertinya masa kehamilan Jenar sangat manja. Dikit menangis, ingat menangis, apa yang dia mau menangis," sahut Susi. "Mama sudah rapi, mau ke mana?" tanya Damar. "Mama hari ini mau pulang, ada Wulan dan ibumu juga di sini. Nanti 3 bulanan Mama akan datang. Beberapa minggu saja kan. Titip anak Mama yang bawel ini, dia akan semakin merepotkanmu dengan tingkah manjanya," balas Susi.
"Komandan!" Dika datang dengan 4 anggota Polisi, mereka yang awalnya menantang Damar hampir akan pergi sebelum Polisi mengejar mereka dan menendangnya karena lari. "Bahu kiri Anda—" "Ini hanya goresan saja. Apa wanita tadi sudah aman?" tanya Damar. "Ternyata wanita itu dikejar karena motor yang dia gunakan dianggap kredit macet, 2 pria itu mengikutinya sejak keluar dari tempatnya bekerja," jelas Dika yang tau sedikit masalah wanita itu. Damar menemui wanita itu dan memastikan dengan benar masalah mereka. Setelah itu Damar coba mengobati lukanya sebelum dia pulang. Ini akan menjadi masalah untuknya, ketika Jenar tau. Jam munjukan pukul 12 malam ketika Damar sampai di rumah. Rasa bersalah terlihat jelas ketika melihat isterinya menunggu di ruang tamu sampai tertidur. "Bukankah Mas bilang sudah sampai Bandara sejak pukul 8. Kenapa baru pulang?" "Ada masalah tadi di jalan, kamu bisa pastikan pada Mbak Widi besok kalau bertemu. Akh!" Rintihan lirih ketika Damar membuka jaket
Damar sampai di Bandara dan menunggu Dika yang akan menjemput, katanya mobil yang ditumpangi mengalami pecah ban di dekat Bandara, jadi Damar memilih menghampiri Dika menggunakan Taksi online. Jam menunjukan pukul 8 malam saat sampai di Solo. Rasa lelah dia rasakan, apalagi pesawat delay beberapa jam karena cuaca buruk. "Maaf, Komandan, harusnya saya tidak terlambat," ucap Dika ketika melihat Damar menghampirinya. "Apa sudah selesai?" Setelah meletakkan tas yang dibawa, Damar memghampiri Dika yang merapikan ban yang pecah itu ke bagasi, seperti baru selesai. "Mohon izin, baru selesai, Komandan, apa kita—" "Pak, tolong saya. Pria di sana mengikuti saya sejak tadi, bisakah saya pulang bersama dengan menggunakan motor di depan mobil Bapak."Seorang wanita pengguna jalan menghampiri Damar yang berniat akan pulang. Wanita itu tampak ketakutan ketika mengatakannya. Jalanan memang tidak begitu ramai, wanita itu langsung menghampiri Damar dan Dika. Wanita itu melihat Dika memakai seragam
"Ngidam pengen suaminya pulang, bagaimana kalau jadi pindah tugas, akan sulit." Suara seseorang menghentikan tangis Jenar karena mendengarkan kata-kata itu. Hatinya semakin gelisah, dia hanya ingin suaminya pulang sekarang, agar merasa lega. "Aku telepon lagi nanti, aku bicara dulu dengan seniorku. Tidak apa-apa kan?" Meski bekerja di lingkup orang yang lebih tua, tidak membuat Damar besar kepala, karena dia juga masih baru di posisinya sekarang dan harus banyak belajar dari seniornya. "Sudahlah, makin bikin kesal saja." Jenar mematikan sambungan telepon begitu saja karena suaminya masih saja sibuk, padahal dia merindukannya. Lawan bicaranya hanya menatap layar ponsel sesaat panggilan masuk itu tertutup. Mood Jenae Hal seperti ini tidak biasa dia lakukan, mungkin juga karena efek hamil karena beberapa hari kemarin terus bersama dan sekarang ada tugas keluar kota. Namun, jika memang suaminya di pindah tugas, dia sunggu harus merelakan pekerjaannya untuk fokus pada keluarganya.
"Rumah rapi walau kamu sedang sakit, kalau bukan suami yang baik, apa coba. Yang banyak bersyukur, Nak." "Jangan terus memarahi anakmu, nanti dia malah kabur dan Damar menyalahkan kita tidak becus merawatnya," sahut Anggi pada besan yang juga temannya. Mereka dekat karena memang sudah berteman sejak lama. "Aku gemas padanya kalau sudah keras kepala." Yang di marahi hanya diam bersandar di ruang tengah rumah dinas Damar, baru tadi siang dia pulang dan sesampainya di rumah diperlakukan bak ratu karena tidak boleh melakukan apapun, apalagi Dokter bilang harus melewati trimester pertama ini agar janinnya benar-benar kuat untuk diajak melakukan kegiatan. "Kamu tidak menginginkan sesuatu, Je? Makan apa gitu?" tanya Wulan. "Apa ya, Mbak, pengen ketemu Mas Damar saja sih, gak pengen makan apa-apa." "Mau di tungguin suamimu ya. Sabar ya, Nak, kita di sini bersamamu. Lain kali kalau ada apa-apa bilang. Atau kamu mau pulang ke Jakarta saja agar bisa kita bantu," tutur Anggi. "Dan m