Sebagai orang yang suka mengamati orang lain dan mengingat detail kecil yang sering ia dapatkan, Asa yakin bahwa Athalia memang jarang menggunakan satu kata itu dalam meminta sesuatu.
Please.
Maka dari itu, Asa memilih untuk membawa beberapa pekerjaannya ke rumah supaya bisa pulang lebih cepat. Langit belum sepenuhnya gelap ketika ia tiba di area parkir kos-kosan Athalia.
Meski bingung kenapa Athalia meminta bertemu dengannya dan memilih untuk pulang sendiri—tidak mau dijemput, Asa tetap turun dari mobilnya. Di tangan kanannya sudah terdapat satu tote bag berukuran cukup besar berisi menu makan malam yang sengaja ia beli di restoran favorit mereka.
“Hai, Sayang,” sapa Asa begitu tiba di depan pintu kamar Athalia yang dibukakan oleh perempuan itu.
“Nggak mau di Bali aja? Atau Lombok, mungkin?”“Duh….” Athalia menggeleng dan ketika ia menoleh, senyum jahil Asa-lah yang ia lihat. “Kamu tuh seneng banget ya ngejahilin dengan bikin aku bingung.”Asa tertawa, tawanya lepas dan mengisi ballroom yang kini lengang karena tak ada pesta atau acara yang tengah digelar di sana. Walau tahu kalau Asa bertanya hanya untuk menjahilinya, Athalia tetap ikut tertawa dengan calon suaminya itu.“Kenapa bingung? Kan acara seumur hidup sekali, Sayang,” ucap Asa usai tawanya reda. “Kalau mau pilih tempat lain selain Jakarta dan akan punya kesan tersendiri untuk kita—apalagi kamu, aku nggak masalah.”Bukannya Athalia tak tergiur dengan tawaran itu. Sejak tanggal pernikahan mereka telah ditetapkan
“Apa Papa sakit ya, Sayang?”Samar-samar derai hujan yang terdengar dari luar jendela kafe tempat mereka berada sekarang beradu dengan lagu yang mengalun dari speaker. Sama seperti beberapa hari belakangan ini, hari ini hujan turun di siang hari. Hujan memang turun setiap hari selama sebulan belakangan ini. Mungkin hanya satu atau dua hari saja, hujan memilih tak menyapa mereka.Walau begitu, Athalia masih bisa mendengar pertanyaan Asa dengan jelas. “Papa Badai sakit?”“Bukan, maksudku Papa Teguh,” jelas Asa kala Athalia salah mengira siapa yang ia bicarakan barusan.“Oh?”“Harusnya kemarin kami ketemuan untuk main catur bareng,” jelas Asa lagi seraya menatap ke sekeliling kafe dengan pandangan menerawang
Asa tidak suka dengan rumah sakit.Dahulu, saat ia masih kecil dan mengalami delay speech, ia rutin pergi ke rumah sakit untuk terapi. Meski pertemuan-pertemuan itu membantunya untuk dapat bicara seperti anak normal lainnya, bukan berarti Asa menyukai tempat beraroma disinfektan tersebut.“Sebenernya papamu itu udah ngerasa nggak enak badan sejak kemarin, makanya nggak jadi ketemu Asa,” jelas Jihan pada Asa dan Athalia yang kini duduk berhadapan dengannya.Lima belas menit yang lalu Asa dan Athalia akhirnya tiba di rumah sakit. Jihan yang seperti sudah menunggu kedatangan mereka, menggiring pasangan tersebut ke toko donat yang tak jauh dari apotek.Teguh pingsan setelah muntah darah beberapa jam yang lalu. Dokter sudah menanganinya dan kini lelaki paruh baya itu tengah beristirahat di baw
“Aku nggak mau tahu, pokoknya Papa harus kemoterapi secepatnya.”Diam-diam, Asa menahan senyum gelinya kala melihat Athalia merajuk seperti itu. Athalia bukan perempuan yang mudah merajuk, sebenarnya. Jangankan merajuk, meminta sesuatu dengan gaya kenes seperti yang biasa dilakukan Ilana saja, Asa hampir tak pernah melihatnya.Alunan tawa berat Teguh menyadarkan Asa kalau lelaki paruh baya itu sepertinya juga berpikiran yang sama dengannya. Walau begitu, tidak ada yang keberatan dengan bagaimana Athalia meminta saat ini. Justru Asa yakin, Teguh langsung luluh di detik tatapannya bertemu dengan Athalia.“Tapi nanti Papa bisa botak waktu hari nikahnya kamu,” tukas Teguh. Nada suaranya yang serius malah membuat Athalia mengernyit seraya mengerucutkan bibirnya. “Papa punya temen yang juga ngejalanin kemo dan tubuhnya ja
Ritme kehidupan Athalia bisa dibilang hampir kembali ke jalur semula. Teguh sudah mau menjalani proses kemoterapi dan sesekali, ia ikut mengantar ayahnya menjalani kemoterapi, bergantian dengan Jihan dan anak-anaknya.Athalia sendiri sudah berkenalan dan bertemu dengan ketiga anak Jihan. Tentu saja pertemuan itu berjalan dengan canggung, tapi lama kelamaan kecanggungan di antara mereka pun terkikis, meski tidak bisa dibilang kalau mereka langsung cepat akrab.Satu bulan terlah berlalu dan baru hari ini lagi, Asa dan Athalia bisa istirahat bersama di akhir pekan. Atas permintaan Padma, sejak Jumat kemarin Athalia sudah menginap di kediaman Tanaka. Padma mengajak Athalia menginap di rumahnya karena kebetulan Senin nanti adalah tanggal merah dan supaya Athalia bisa beristirahat tanpa harus pusing harus memasak apa selagi libur.Tentu saja dengan pe
“Belum pusing kan ngurusin nikahan kalian, Bang?”“Belum, Ma.” Pertanyaan bernada jahil yang keluar dari bibir mamanya—Padma—membuat Asa jadi ikut tersenyum.“Syukurlah,” desah Padma lega.“Makasih lho, Ma, udah ngurusin Abang dan Athalia,” ucap Asa dengan sungguh-sungguh.Yang dimaksud Asa bukan soal sepanjang long weekend kemarin saja, di mana ia dan Athalia benar-benar dimanja oleh orangtuanya—bukan seperti dua orang dewasa yang hendak menikah dan diberi ujian mendadak oleh para orangtua. Tetapi, untuk semua kasih sayang yang Padma berikan selama ini untuknya dan Athalia.Padma sudah benar-benar menganggap Athalia layaknya anak sendiri. Asa hampir tidak melihat adanya perbedaan dari baga
“Hujannya deras, Tha. Kalau Asa udah berangkat dari kantor, pasti kena macet di jalan. Ikut ke rumah aja yuk, Tha.”Di tempatnya, diam-diam Athalia mematung begitu ajakan tersebut meluncur dari bibir ibu tirinya tersebut. Jihan tidak melihat keraguan Athalia karena saat ini perempuan itu sibuk mengirim pesan pada anak bungsunya yang tengah mengambil mobil di area parkir, selagi mereka bertiga dengan Teguh menunggu di lobi rumah sakit.“Coba chat Asa aja, Tha,” pinta Teguh dengan pelan. Tubuhnya masih terlihat lemas, tapi setidaknya sudah lebih baik dari hari kemarin. “Dari sini lebih deket ke rumah Papa. Biar sekalian kamu istirahat dulu, Tha. Nanti kalau hujannya udah mendingan, Asa bisa jemput ke rumah Papa atau kamu bisa dianter sama Fahri.”“Iya, Tha.” Kini perhatian Jihan kembali pada Athalia. Mereka berdua memang tahu kalau Asa sudah berjanji untuk menjemput Athalia di rumah sakit sore ini—sebelum hujan tiba-tiba turun dengan deras seperti sekarang. “Coba tanya dulu Asa udah di
“Dari semua tempat yang Papa pikir akan kamu kunjungin sebelum kamu menikah, Papa nggak nyangka kamu akan minta ke tempat ini.”Cengiran menjadi respons Asa terhadap omongan ayahnya yang masih mencabuti rumput liar di sekeliling makam.Beberapa hari yang lalu Badai memang bertanya padanya, tempat apa yang Asa ingin kunjungi sebelum menikah untuk sekadar melebur stress atau semacamnya. Badai bersedia menemaninya seharian penuh dan Asa langsung menyambut tawaran itu dengan senyum lebar di wajahnya.“Papa pikir kamu akan pilih klub malam.”“Ngapain? Berisik banget tempatnya, Pa,” canda Asa. “Lagian Papa udah punya klub malam, aku juga meskipun jarang ke sana, udah biasa aja sama tempat itu.”“Bener juga sih.” Badai meringis dan mengusap peluh di keningnya dengan lengan atas pakaian yang ia kenakan, sebab tangannya masih memakai sarung tangan untuk mencabut rumput. “Yah, siapa tahu kamu mau Papa temenin ke sana karena kamu seringnya dateng buat kerja, bukan buat hangout.”Sekarang giliran
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel