Kalau ada pilihan untuk memutar kembali waktu, mungkin detik ini Athalia akan berubah menjadi pengecut dan memutar waktu kembali ke tiga hari yang lalu. Di mana ia meminta bertemu dengan ayahnya dan… istri barunya.
Iya, Athalia sendiri yang meminta Teguh untuk mengajak istrinya, yang hanya pernah sekali Athalia temui bertahun-tahun yang lalu.
Namanya Jihan, ia seorang guru Matematika di sebuah SMA swasta bertaraf internasional. Athalia tak pernah tahu bagaimana Teguh bisa bertemu dengan Jihan, tapi yang pasti ayahnya benar-benar terlihat bahagia saat bersama Jihan.
Seperti saat ini.
“Mereka kelihatan bahagia ya.”
Gumaman itu berasal dari sebelahnya, di mana Aline duduk berdampingan dengan Athalia. Teguh dan Jih
“Aku seneng karena kamu seneng.” Asa tak sengaja menatap rear-view mirror di mobilnya dan semakin lebar senyumnya kala mendapati, ia bahkan bisa tersenyum hanya karena Athalia terdengar senang di seberang sana. “Kapan-kapan ajak aku ketemu Tante Jihan juga ya.”“Pasti,” balas Athalia. “Ketemu sebelum acara di rumah Mbak Aline, gimana?”“Boleh, biar nanti nggak terlalu canggung lagi waktu kita tuker cincin.”Di sambungan telepon itu, Athalia tertawa kecil. Keluarga mereka yang terbilang rumit membuat keduanya jadi sering berada dalam situasi yang canggung saat harus berhadapan dengan beberapa anggota keluarga untuk yang pertama kalinya.Kecanggungan itu berubah jadi berlipat ganda, selain karena mer
“Percaya deh, suatu hari nanti, Abang pasti akan berubah pikiran ketika Abang udah ketemu sama perempuan yang ditakdirkan untuk bareng dengan Abang.”Dari semua memori yang dimiliki Asa bersama mamanya, kalimat itulah yang terngiang di kepalanya sewaktu orangtuanya dan Athalia setuju atas tanggal pernikahan yang diajukan oleh mereka.Ternyata omongan mamanya benar, Asa tidak akan hidup sendirian selamanya dan hanya berkutat dengan keluarganya saja. Pada akhirnya, ia menemukan seseorang yang ia rasa adalah takdirnya. Seseorang yang mampu membuat hidupnya jauh lebih berwarna dan bermakna.“Kamu capek?”Bisikan yang disertai embusan napas yang menggelitik di tengkuknya tersebut sontak mengeluarkan Asa dari lamunannya. Ia meneng
“Selamat ya, Tha! Wah, nggak nyangka malah kamu duluan yang lamaran padahal pas di antara kita, aku duluan yang udah pacaran.”“Iya, aku juga nggak nyangka.” Athalia ikut tertawa dengan Safira. Athalia tahu kalau Safira dan kekasihnya sudah menjalin hubungan yang cukup lama, bahkan jauh sebelum Safira lulus kuliah.“Udah nentuin tanggalnya?”“Boleh minta tolong ambilin kecap nggak, Saf?” pinta Athalia sebelum menjawab pertanyaan Safira. “Dan ya, kami udah nentuin tanggalnya. Kalau nggak ada halangan, kira-kira tahun depan di tanggal 3 Maret.”“Nih.” Safira menyerahkan botol kecap yang tersedia di meja warung bakso tempat mereka makan siang, lalu terpekik sendiri dengan riang hingga mengundang tatapan penasaran dari penghuni di meja lain.
Athalia harus mengucapkan terima kasih dan mengungkapkan kekagumannya pada dirinya sendiri, yang kini mulai berani bernegosiasi dengan Ika dan tidak hanya menerima diktenya.Setelah makan siang tadi, Ika mengatakan jika ia sudah siap berangkat dari rumahnya untuk menemui Athalia saat itu juga. Athalia tidak mengiakan perintah tersebut. Sekeras apa pun Ika menyuruhnya, Athalia terus membantah dan mengatakan lebih baik mereka tidak bertemu sama sekali jika Ika tak setuju untuk menunggu sampai jam pulang kantor.“Saya makin heran kenapa anak saya malah mau sama kamu.” Ika mendengus pelan. “Perempuan nggak punya sopan santun kayak kamu kok bisa dipilih sama Marcell.”Kalimat pembuka Ika begitu mereka hanya berdua di meja restoran yang tak begitu jauh dari Heavenly & Co, membuat Athalia mengernyit tak suka.
Sebagai orang yang suka mengamati orang lain dan mengingat detail kecil yang sering ia dapatkan, Asa yakin bahwa Athalia memang jarang menggunakan satu kata itu dalam meminta sesuatu.Please.Maka dari itu, Asa memilih untuk membawa beberapa pekerjaannya ke rumah supaya bisa pulang lebih cepat. Langit belum sepenuhnya gelap ketika ia tiba di area parkir kos-kosan Athalia.Meski bingung kenapa Athalia meminta bertemu dengannya dan memilih untuk pulang sendiri—tidak mau dijemput, Asa tetap turun dari mobilnya. Di tangan kanannya sudah terdapat satu tote bag berukuran cukup besar berisi menu makan malam yang sengaja ia beli di restoran favorit mereka.“Hai, Sayang,” sapa Asa begitu tiba di depan pintu kamar Athalia yang dibukakan oleh perempuan itu.
“Nggak mau di Bali aja? Atau Lombok, mungkin?”“Duh….” Athalia menggeleng dan ketika ia menoleh, senyum jahil Asa-lah yang ia lihat. “Kamu tuh seneng banget ya ngejahilin dengan bikin aku bingung.”Asa tertawa, tawanya lepas dan mengisi ballroom yang kini lengang karena tak ada pesta atau acara yang tengah digelar di sana. Walau tahu kalau Asa bertanya hanya untuk menjahilinya, Athalia tetap ikut tertawa dengan calon suaminya itu.“Kenapa bingung? Kan acara seumur hidup sekali, Sayang,” ucap Asa usai tawanya reda. “Kalau mau pilih tempat lain selain Jakarta dan akan punya kesan tersendiri untuk kita—apalagi kamu, aku nggak masalah.”Bukannya Athalia tak tergiur dengan tawaran itu. Sejak tanggal pernikahan mereka telah ditetapkan
“Apa Papa sakit ya, Sayang?”Samar-samar derai hujan yang terdengar dari luar jendela kafe tempat mereka berada sekarang beradu dengan lagu yang mengalun dari speaker. Sama seperti beberapa hari belakangan ini, hari ini hujan turun di siang hari. Hujan memang turun setiap hari selama sebulan belakangan ini. Mungkin hanya satu atau dua hari saja, hujan memilih tak menyapa mereka.Walau begitu, Athalia masih bisa mendengar pertanyaan Asa dengan jelas. “Papa Badai sakit?”“Bukan, maksudku Papa Teguh,” jelas Asa kala Athalia salah mengira siapa yang ia bicarakan barusan.“Oh?”“Harusnya kemarin kami ketemuan untuk main catur bareng,” jelas Asa lagi seraya menatap ke sekeliling kafe dengan pandangan menerawang
Asa tidak suka dengan rumah sakit.Dahulu, saat ia masih kecil dan mengalami delay speech, ia rutin pergi ke rumah sakit untuk terapi. Meski pertemuan-pertemuan itu membantunya untuk dapat bicara seperti anak normal lainnya, bukan berarti Asa menyukai tempat beraroma disinfektan tersebut.“Sebenernya papamu itu udah ngerasa nggak enak badan sejak kemarin, makanya nggak jadi ketemu Asa,” jelas Jihan pada Asa dan Athalia yang kini duduk berhadapan dengannya.Lima belas menit yang lalu Asa dan Athalia akhirnya tiba di rumah sakit. Jihan yang seperti sudah menunggu kedatangan mereka, menggiring pasangan tersebut ke toko donat yang tak jauh dari apotek.Teguh pingsan setelah muntah darah beberapa jam yang lalu. Dokter sudah menanganinya dan kini lelaki paruh baya itu tengah beristirahat di baw