“Selamat ya, Tha! Wah, nggak nyangka malah kamu duluan yang lamaran padahal pas di antara kita, aku duluan yang udah pacaran.”
“Iya, aku juga nggak nyangka.” Athalia ikut tertawa dengan Safira. Athalia tahu kalau Safira dan kekasihnya sudah menjalin hubungan yang cukup lama, bahkan jauh sebelum Safira lulus kuliah.
“Udah nentuin tanggalnya?”
“Boleh minta tolong ambilin kecap nggak, Saf?” pinta Athalia sebelum menjawab pertanyaan Safira. “Dan ya, kami udah nentuin tanggalnya. Kalau nggak ada halangan, kira-kira tahun depan di tanggal 3 Maret.”
“Nih.” Safira menyerahkan botol kecap yang tersedia di meja warung bakso tempat mereka makan siang, lalu terpekik sendiri dengan riang hingga mengundang tatapan penasaran dari penghuni di meja lain.
Athalia harus mengucapkan terima kasih dan mengungkapkan kekagumannya pada dirinya sendiri, yang kini mulai berani bernegosiasi dengan Ika dan tidak hanya menerima diktenya.Setelah makan siang tadi, Ika mengatakan jika ia sudah siap berangkat dari rumahnya untuk menemui Athalia saat itu juga. Athalia tidak mengiakan perintah tersebut. Sekeras apa pun Ika menyuruhnya, Athalia terus membantah dan mengatakan lebih baik mereka tidak bertemu sama sekali jika Ika tak setuju untuk menunggu sampai jam pulang kantor.“Saya makin heran kenapa anak saya malah mau sama kamu.” Ika mendengus pelan. “Perempuan nggak punya sopan santun kayak kamu kok bisa dipilih sama Marcell.”Kalimat pembuka Ika begitu mereka hanya berdua di meja restoran yang tak begitu jauh dari Heavenly & Co, membuat Athalia mengernyit tak suka.
Sebagai orang yang suka mengamati orang lain dan mengingat detail kecil yang sering ia dapatkan, Asa yakin bahwa Athalia memang jarang menggunakan satu kata itu dalam meminta sesuatu.Please.Maka dari itu, Asa memilih untuk membawa beberapa pekerjaannya ke rumah supaya bisa pulang lebih cepat. Langit belum sepenuhnya gelap ketika ia tiba di area parkir kos-kosan Athalia.Meski bingung kenapa Athalia meminta bertemu dengannya dan memilih untuk pulang sendiri—tidak mau dijemput, Asa tetap turun dari mobilnya. Di tangan kanannya sudah terdapat satu tote bag berukuran cukup besar berisi menu makan malam yang sengaja ia beli di restoran favorit mereka.“Hai, Sayang,” sapa Asa begitu tiba di depan pintu kamar Athalia yang dibukakan oleh perempuan itu.
“Nggak mau di Bali aja? Atau Lombok, mungkin?”“Duh….” Athalia menggeleng dan ketika ia menoleh, senyum jahil Asa-lah yang ia lihat. “Kamu tuh seneng banget ya ngejahilin dengan bikin aku bingung.”Asa tertawa, tawanya lepas dan mengisi ballroom yang kini lengang karena tak ada pesta atau acara yang tengah digelar di sana. Walau tahu kalau Asa bertanya hanya untuk menjahilinya, Athalia tetap ikut tertawa dengan calon suaminya itu.“Kenapa bingung? Kan acara seumur hidup sekali, Sayang,” ucap Asa usai tawanya reda. “Kalau mau pilih tempat lain selain Jakarta dan akan punya kesan tersendiri untuk kita—apalagi kamu, aku nggak masalah.”Bukannya Athalia tak tergiur dengan tawaran itu. Sejak tanggal pernikahan mereka telah ditetapkan
“Apa Papa sakit ya, Sayang?”Samar-samar derai hujan yang terdengar dari luar jendela kafe tempat mereka berada sekarang beradu dengan lagu yang mengalun dari speaker. Sama seperti beberapa hari belakangan ini, hari ini hujan turun di siang hari. Hujan memang turun setiap hari selama sebulan belakangan ini. Mungkin hanya satu atau dua hari saja, hujan memilih tak menyapa mereka.Walau begitu, Athalia masih bisa mendengar pertanyaan Asa dengan jelas. “Papa Badai sakit?”“Bukan, maksudku Papa Teguh,” jelas Asa kala Athalia salah mengira siapa yang ia bicarakan barusan.“Oh?”“Harusnya kemarin kami ketemuan untuk main catur bareng,” jelas Asa lagi seraya menatap ke sekeliling kafe dengan pandangan menerawang
Asa tidak suka dengan rumah sakit.Dahulu, saat ia masih kecil dan mengalami delay speech, ia rutin pergi ke rumah sakit untuk terapi. Meski pertemuan-pertemuan itu membantunya untuk dapat bicara seperti anak normal lainnya, bukan berarti Asa menyukai tempat beraroma disinfektan tersebut.“Sebenernya papamu itu udah ngerasa nggak enak badan sejak kemarin, makanya nggak jadi ketemu Asa,” jelas Jihan pada Asa dan Athalia yang kini duduk berhadapan dengannya.Lima belas menit yang lalu Asa dan Athalia akhirnya tiba di rumah sakit. Jihan yang seperti sudah menunggu kedatangan mereka, menggiring pasangan tersebut ke toko donat yang tak jauh dari apotek.Teguh pingsan setelah muntah darah beberapa jam yang lalu. Dokter sudah menanganinya dan kini lelaki paruh baya itu tengah beristirahat di baw
“Aku nggak mau tahu, pokoknya Papa harus kemoterapi secepatnya.”Diam-diam, Asa menahan senyum gelinya kala melihat Athalia merajuk seperti itu. Athalia bukan perempuan yang mudah merajuk, sebenarnya. Jangankan merajuk, meminta sesuatu dengan gaya kenes seperti yang biasa dilakukan Ilana saja, Asa hampir tak pernah melihatnya.Alunan tawa berat Teguh menyadarkan Asa kalau lelaki paruh baya itu sepertinya juga berpikiran yang sama dengannya. Walau begitu, tidak ada yang keberatan dengan bagaimana Athalia meminta saat ini. Justru Asa yakin, Teguh langsung luluh di detik tatapannya bertemu dengan Athalia.“Tapi nanti Papa bisa botak waktu hari nikahnya kamu,” tukas Teguh. Nada suaranya yang serius malah membuat Athalia mengernyit seraya mengerucutkan bibirnya. “Papa punya temen yang juga ngejalanin kemo dan tubuhnya ja
Ritme kehidupan Athalia bisa dibilang hampir kembali ke jalur semula. Teguh sudah mau menjalani proses kemoterapi dan sesekali, ia ikut mengantar ayahnya menjalani kemoterapi, bergantian dengan Jihan dan anak-anaknya.Athalia sendiri sudah berkenalan dan bertemu dengan ketiga anak Jihan. Tentu saja pertemuan itu berjalan dengan canggung, tapi lama kelamaan kecanggungan di antara mereka pun terkikis, meski tidak bisa dibilang kalau mereka langsung cepat akrab.Satu bulan terlah berlalu dan baru hari ini lagi, Asa dan Athalia bisa istirahat bersama di akhir pekan. Atas permintaan Padma, sejak Jumat kemarin Athalia sudah menginap di kediaman Tanaka. Padma mengajak Athalia menginap di rumahnya karena kebetulan Senin nanti adalah tanggal merah dan supaya Athalia bisa beristirahat tanpa harus pusing harus memasak apa selagi libur.Tentu saja dengan pe
“Belum pusing kan ngurusin nikahan kalian, Bang?”“Belum, Ma.” Pertanyaan bernada jahil yang keluar dari bibir mamanya—Padma—membuat Asa jadi ikut tersenyum.“Syukurlah,” desah Padma lega.“Makasih lho, Ma, udah ngurusin Abang dan Athalia,” ucap Asa dengan sungguh-sungguh.Yang dimaksud Asa bukan soal sepanjang long weekend kemarin saja, di mana ia dan Athalia benar-benar dimanja oleh orangtuanya—bukan seperti dua orang dewasa yang hendak menikah dan diberi ujian mendadak oleh para orangtua. Tetapi, untuk semua kasih sayang yang Padma berikan selama ini untuknya dan Athalia.Padma sudah benar-benar menganggap Athalia layaknya anak sendiri. Asa hampir tidak melihat adanya perbedaan dari baga