“Tumben nggak dianter Asa hari ini?”
“Iya, kemarin dia lembur.” Athalia terdiam sebentar, bingung memilih hijau mana yang akan ia pilih untuk melukis daun di pohonnya. “Aku nggak enaklah kalau minta dia nganterin aku, mending dia istirahat dulu mumpung libur.”
Aline mengangguk mengerti sambil terus melukis kanvasnya menggunakan cat akrilik yang disediakan. “Nanti dia jemput kamu?”
“Nggak tahu, kayaknya aku nggak mau minta dia jemput deh.”
“Emang selama ini kalau dia anter-jemput kamu, kamu yang minta?”
Athalia langsung nyengir saat mengerti pertanyaan kakaknya. “Hehehe, nggak sih. Malah selalu dia yang nawarin anter-jemput aku, bahkan di saat aku lagi n
Kalau dipikir-pikir, Athalia jarang mengkhawatirkan Asa yang tiba-tiba menghilang karena lelaki itu hampir tidak pernah melakukannya.“Ke mana ya Asa?” gumam Athalia setelah keluar dari taksi yang mengantarnya sampai halaman rumah kediaman Tanaka.Di mana pun Asa berada, ia akan selalu mengabari Athalia. Mau itu saat Asa ke luar kota, sedang sibuk-sibuknya, dan bahkan saat sakit. Lelaki itu tidak pernah membiarkan Athalia tak tahu kabarnya dan melakukan hal yang sama juga kepada Athalia, selalu menanyakan kondisi Athalia dan memastikannya aman.Namun, hari ini Asa tidak membalas pesannya sama sekali. Kalau cuma sekali-dua kali, mungkin Athalia tidak heran, tapi pesannya tidak dibalas sejak kemarin.Athalia pikir kemarin Asa hibernasi seharian, tapi dugaan itu kini sepertinya salah dan Ath
Pernahkah kamu merasa kalau waktu ternyata bisa berhenti dan membiarkanmu ada di dalam satu fase waktu tertentu, dengan dimensi yang juga seakan berhenti bergerak?Athalia pikir hal itu adalah hal yang mustahil. Kini, ia mulai memikirkan ulang pemikirannya tersebut karena bersama dengan Asa di kamarnya saat ini, membuat Athalia merasa kalau waktu tengah berhenti.Waktu tengah berhenti dan memberi kesempatan kepada mereka untuk mengambil jeda sejenak.“Kamu nggak pegel?”“Nggak.” Athalia menjawab tanpa menoleh, hanya tangannya yang lanjut mengusap puncak kepala Asa,Di bawah sentuhannya, rambut Asa terasa halus dan sangat lembut, bak rambut bayi yang membuatnya gemas ingin menyentuhnya lagi dan lagi.
“Kamu pasti akan bilang bosen Papa tanyain ini.”Asa tertawa, bahkan sebelum Badai Tanaka menyuarakan pertanyaannya. Ia tahu apa yang sekiranya akan ditanyakan sang ayah.“Athalia mana, Pa?” tanya Asa sebelum Badai bertanya padanya.Dengan perut yang mulai bergemuruh karena lapar, Asa yang baru tiba di ruang makan segera duduk di kursi yang biasa ia duduki dan mulai mengisi piringnya.Sepertinya sang mama menyadari kalau Asa pasti akan bangun kesiangan dan langsung kelaparan, makanya sisa sarapan tadi pagi masih disediakan di meja makan, walaupun saat ini jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas siang.“Ada di halaman belakang, lagi diajarin mamamu merajut sama Ilana dan Meisie juga,&rdqu
“Mamamu sukanya bunga apa?”“Aku nggak tahu.”“Oke.” Athalia tak ambil pusing atas jawaban Asa. Wajar jika Asa tak tahu apa bunga kesukaan ibu kandungnya karena dari apa yang Athalia dengar, Asa tak menghabiskan banyak waktu dengan perempuan tersebut.“Kita beli yang ada aja ya,” usul Athalia lagi.“Boleh, biasanya aku juga begitu.” Asa mengangguk setuju. “Beli yang kelihatan cantik aja di antara semua bunga.”Athalia menggandeng tangan Asa dengan lebih erat saat mereka berjalan dari mobil yang telah terparkir, ke toko bunga yang tak jauh dari gerbang TPU.Siang ini, ia dan Asa pergi ke makam Anastasya. Sepanjang perjalanan, Asa bercerita kalau ia hanya bisa ke maka
Athalia mengetuk ujung sepatunya ke lantai pelataran lobi dengan gelisah. Hujan masih turun dengan derasnya. Tempiasnya yang disebabkan angin yang agak menderu mulai membasahi setengah lantai pelataran tersebut.Walau begitu, Athalia memilih untuk tetap bertahan di tempatnya. Sebentar lagi seharusnya mobil GoCar yang ia pesan akan memasuki kawasan gedung kantornya, jadi ia bisa segera sampai di kosan dan menghangatkan diri, sembari menunggu Asa tiba untuk makan malam.“Mbak, pesen GoCar ya? Platnya yang belakangnya EVJ bukan?”Pertanyaan satpam yang berjaga di pelataran lobi itu segera Athalia sambut dengan anggukan. Jika di jam pulang kerja begini, satpam tersebut memang akan memastikan kalau mobil yang masuk benar-benar ditunggu oleh penghuni gedung tersebut.Karena ada mobil yang sering keluar-
“Mau nitip salam buat Athalia nggak, Bang?”Senyum jahil di wajah Ksatria–teman ayah Asa yang sudah ia anggap seperti omnya sendiri, mau tak mau menular pada ayahnya dan bahkan Asa.Siang ini ia diajak makan siang bersama dengan ayahnya dan Ksatria. Sambil makan siang, mereka ingin membicarakan prospek bisnis Red House ke depannya yang saat ini mulai diambil alih oleh Asa dan anak-anak sahabat ayahnya yang lain.“Nggak usah, Om,” elak Asa setelahnya. “Om kan sibuk.”“Alah, mampir ke lab sebentar masih bisalah.”Badai mendengus mendengar bagaimana Ksatria menampik penolakan Asa. “Bilang aja kamu butuh bahan keisengan baru, makanya ngorbanin Asa.”Ksatria tertawa dan tak me
“Jadi sama cowok yang kemarin gimana? Nggak jadi juga?”Ilana terkikik begitu mendengar pertanyaan Athalia. Minggu lalu ia mengenalkan seorang lelaki pada Athalia, yang notabenenya memang sudah ia anggap seperti kakak perempuannya sendiri. Makanya selain Asa dan Ilana yang tahu sepak terjangnya selama ini, sekarang bertambahlah Athalia.“Nggak, Mbak,” jawab Ilana sambil tetap mengemudikan mobilnya dengan lihai.“Kenapa? Kayaknya dia orang baik.”“Yah, baik sih, tapi aku sama dia nggak ada sparks-nya gitu lho, Mbak,” jawab Ilana lagi, kali ini jemarinya mengetuk stir dengan irama yang statis. “Kesannya kayak mengada-ada sih, tapi emang itu yang aku rasain. Aku sama dia nggak ada percikan-percikan yang bikin aku mau ngehabisin waktu lama-lama dan berharap hari nggak cepet habis gitu. Mbak Atha pasti ngerti kan maksudku?”Di samping Ilana, Athalia mengangguk. Kurang lebih apa yang ia rasakan dengan Asa memang seperti apa yang dideskripsikan Ilana barusan.“Mbak Atha pengen mampir beli se
“Kamu mau temenin Mama nggak, Tha?”“Temenin ke mana, Ma?”Sejak sebulan yang lalu, Padma Hardjaja bersikukuh untuk dipanggil Mama oleh Athalia. Tidak hanya Padma, Badai pun ikut-ikutan. Saat Athalia beberapa kali keceplosan masih memanggil Om dan Tante, Asa hanya tertawa dan tidak membantu Athalia yang mendapat delikan dari orangtuanya.“Nggak apa-apa, pelan-pelan emang harus kamu biasain. Kamu kan emang udah dianggep anak sendiri sama papa dan mamaku,” kata Asa saat Athalia berkali-kali keceplosan, masih belum terbiasa dan mulai bingung sendiri apa yang harus ia lakukan.“Jengukin Khansa.”“Eh?” Athalia tidak menyangka kalau itulah yang dimaksud Padma. “Khansa sakit, Ma?”“Nggak, dia baru melahirkan.” Padma menaruh buah persik yang sudah ia kupas ke dalam piring dan menyodorkannya kepada Athalia. “Denger-denger sih, kemarin udah pulang ke rumah. Mama belum sempet jenguk pas dia di rumah sakit.”Di Sabtu pagi ini, Athalia sudah berada di kediaman Tanaka karena sudah berjanji untuk be