Ini pertama kalinya ada orang lain yang menginap di kamar Asa dan orang itu bukanlah keluarga atau teman masa kecilnya—seperti anak-anak sahabat ayah dan ibunya.
Selalu ada yang pertama, begitulah kata orang-orang.
Kini melihat Athalia sudah bersiap tidur di kamarnya, membuat Asa jadi bimbang.
Apa boleh jika ini bukan kali pertama dan terakhir Athalia ada di sini?
“Kamu yakin nggak mau tidur di sini aja dan aku yang di kamar tamu?”
“Yakin seribu persen.” Asa mengulum senyumnya saat menjawab pertanyaan Athalia. Sejak tadi Athalia sudah menanyakan hal yang sama dan Asa masih sabar untuk menjawabnya dengan jawaban yang sama. “Kamu di sini aja, lebih nyaman. Jendelanya lebih lebar
“Gimana tidurnya, Mbak? Nyenyak kan?”“Nyenyak kok.” Athalia berharap rambut yang ia gerai saat menjawab pertanyaan Ilana barusan, mampu menutupi rona wajahnya yang memerah.Athalia tahu, tidak seharusnya ia merona hanya karena pertanyaan sesederhana dan sewajar itu. Hanya saja, kejadian semalam langsung melintas di benak Athalia dan membuatnya merasa menjadi seperti orang mesum.But he kissed me, batin Athalia yang masih tak percaya kalau kejadian semalam benar-benar nyata.“Tidurnya menjelang tengah malem ya, Mbak? Kayaknya sekilas aku denger ada suara-suara orang ngobrol dari kamar Abang pas semalem,” tambah Ilana yang sepertinya tak tahu kalau seandainya Athalia bisa menutup
Asa tidak pernah menyangka kalau sebuah ciuman bisa mengubah banyak hal.“Mikirin apaan sih? Serius banget, Bang.”Celetukan yang berasal dari Ilana itu hanya ditanggapi dengan gelengan samar dari Asa. Walau begitu, bibirnya tetap menyunggingkan senyum yang tanpa ia sadari sudah muncul di wajahnya sejak tadi.“Mikir jorok ya?” goda Ilana lagi yang diiringi cekikikan Meisie. “Hayooo, ngaku deh, Bang!”“Nggaklah.” Asa menjitak kening Ilana, tapi ia merasa geli karena kali ini ia mungkin bisa dibilang tengah berbohong kepada adiknya.Apa mikirin ciumanku dengan Athalia minggu lalu bisa dibilang mikir jorok? batin Asa yang merasa kalau dirinya malah seperti remaja yang tengah b
“Emang nggak apa-apa kamu nggak makan sama pacarmu hari ini?”“Ya nggak apa-apa, Saf,” jawab Athalia yang tak bisa menghalangi wajahnya yang merona. Perlukah untuk dirinya mengoreksi kata pacar yang Safira asosiasikan dengan Asa? “Kan kita udah janjian juga.”Safira terkikik sambil mengangguk paham. Memang pagi tadi ia mengajak Athalia untuk mencoba warung ayam gepuk yang baru buka di belakang kantor mereka. Dengar-dengar dari pegawai di divisi lain, ayam gepuk di sana jadi yang paling enak di sepanjang jalan area perkantoran ini.Athalia yang sudah sering makan siang dengan Asa pun memutuskan untuk mengiakan ajakan Safira. Toh sudah lama juga ia tidak makan siang bersama dengan rekan kerjanya itu.“Semoga kita masi
“Khansa pingsan di kantorku dan sekarang aku baru sampai di rumah sakit, Sa. Kamu… kira-kira bisa hubungin keluarganya nggak? Aku nggak mungkin biarin dia sendirian terus di sin kan? She needs her family….”Asa tahu ia dilarang berlari di area rumah sakit, tapi ia tak bisa untuk tidak melakukannya. Syukurlah Athalia tidak kenapa-kenapa. Jantung Asa sudah mencelos sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, saat Athalia hanya memintanya untuk datang tanpa menjelaskan apa yang terjadi.Barulah saat tadi Asa terjebak cukup lama di lampu lalu lintas yang lampu merahnya cukup lama, ia menelepon Athalia untuk mengabarinya dan Athalia menjelaskan secara singkat apa yang terjadi.Apa sih yang dimau Khansa? Kenapa dia nggak kenal kata menyerah? batin Asa yang me
“She is crazy.”Asa meringis saat mendengar umpatan Janar yang duduk di sebelahnya. Ingar bingar di The Clouds malam itu membuat suara Janar sebenarnya tidak terlalu jelas. Sejujurnya Asa enggan menceritakan soal apa yang terjadi di antara dirinya dengan Khansa belakangan ini, baik kepada Janar atau siapa pun.Tapi dasarnya Janar memang suka gosip, begitu mendengar kabar soal kejadian di rumah sakit dengan Khansa, Janar segera mengajaknya bertemu untuk mendapatkan detailnya. Pastilah orangtuanya yang berteman dengan orangtua Janar sempat menceritakan soal peristiwa yang cukup menggemparkan keluarganya tersebut.Orangtua Asa memang tahu soal kejadian Khansa di rumah sakit, karena Asa meminta nomor orangtua Khansa dari mamanya, Padma, Begitu Asa pulang setelah kejadian itu,
“Kamu nggak salah alamat? Atau salah orang?”Athalia tertawa karena pertanyaan Asa, apalagi ekspresinya yang benar-benar bingung dan clueless. “Nggak kok. Aku nggak salah. Kita udah di tempat yang bener.”“Kamu yakin?”“Aku yakin kok, Sa.” Athalia tersenyum setenang mungkin supaya Asa juga bisa merasakan ketenangannya.“Ya udah, aku ikut turun aja ya?” tawar Asa seraya mematikan mesin mobilnya. “Aku bisa hubungin Papa untuk reschedule kunjungan ke Red House hari ini.”“No, no, no,” sergah Athalia dengan cepat. “Jangan dong, Sa. Aku nggak enak sama papa kamu kalau gitu. Lagipula nggak ada yang harus dikh
Athalia merasa ada yang aneh di hari ini, tapi entah apa. Sejak siang tadi Athalia terus mencari apa yang membuatnya merasa kurang pada dirinya, hanya saja ia tak kunjung menemukannya.Athalia tidak salah kostum. Pakaiannya hari ini biasa saja–setelan kulot berwarna cream dengan kemeja beraksen crinkle putih susu yang kini membalut tubuhnya dengan pas di balik jas lab.Pagi tadi pun ia sempat minum Energen sebelum masuk lab, jadi ia tidak sakit perut karena terlambat makan. Yah, meskipun Energen bukan benar-benar makanan, tapi setidaknya perut Athalia tidak terlalu kosong.Ponselnya ada di tempat, tidak hilang atau ia lupa taruh di mana. Jadi, apa yang hilang hingga membuatnya merasa kurang?“Kamu kayak nggak fokus hari ini. Ad
Hari ini Asa sudah merasa lebih baik setelah kemarin dijenguk Athalia Iya, ini terdengar gombal tapi Asa selalu mengatakan hal ini kepada Athalia, sejak pagi tadi mereka bertemu untuk berangkat ke kantor bersama.Maka dari itu sepulang kerja, Asa mengajak Athalia makan malam bersama dan Athalia memberi usul supaya mereka makan malm di kos-kosannya. Khusus malam ini, Athalia memasak sendiri makan malam mereka karena tak ingin Asa jatuh sakit lagi kalau mereka makan sembarangan.“Aku nggak sempet tanya ini seminggu yang lalu ke kamu….” Asa melirik Athalia yang tengah menyantap makan malamnya. “Seminggu yang lalu pas kita pulang dari rumah kakakmu, kamu kayak banyak pikiran. Kamu baik-baik aja?
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel