“She is crazy.”
Asa meringis saat mendengar umpatan Janar yang duduk di sebelahnya. Ingar bingar di The Clouds malam itu membuat suara Janar sebenarnya tidak terlalu jelas. Sejujurnya Asa enggan menceritakan soal apa yang terjadi di antara dirinya dengan Khansa belakangan ini, baik kepada Janar atau siapa pun.
Tapi dasarnya Janar memang suka gosip, begitu mendengar kabar soal kejadian di rumah sakit dengan Khansa, Janar segera mengajaknya bertemu untuk mendapatkan detailnya. Pastilah orangtuanya yang berteman dengan orangtua Janar sempat menceritakan soal peristiwa yang cukup menggemparkan keluarganya tersebut.
Orangtua Asa memang tahu soal kejadian Khansa di rumah sakit, karena Asa meminta nomor orangtua Khansa dari mamanya, Padma, Begitu Asa pulang setelah kejadian itu,
“Kamu nggak salah alamat? Atau salah orang?”Athalia tertawa karena pertanyaan Asa, apalagi ekspresinya yang benar-benar bingung dan clueless. “Nggak kok. Aku nggak salah. Kita udah di tempat yang bener.”“Kamu yakin?”“Aku yakin kok, Sa.” Athalia tersenyum setenang mungkin supaya Asa juga bisa merasakan ketenangannya.“Ya udah, aku ikut turun aja ya?” tawar Asa seraya mematikan mesin mobilnya. “Aku bisa hubungin Papa untuk reschedule kunjungan ke Red House hari ini.”“No, no, no,” sergah Athalia dengan cepat. “Jangan dong, Sa. Aku nggak enak sama papa kamu kalau gitu. Lagipula nggak ada yang harus dikh
Athalia merasa ada yang aneh di hari ini, tapi entah apa. Sejak siang tadi Athalia terus mencari apa yang membuatnya merasa kurang pada dirinya, hanya saja ia tak kunjung menemukannya.Athalia tidak salah kostum. Pakaiannya hari ini biasa saja–setelan kulot berwarna cream dengan kemeja beraksen crinkle putih susu yang kini membalut tubuhnya dengan pas di balik jas lab.Pagi tadi pun ia sempat minum Energen sebelum masuk lab, jadi ia tidak sakit perut karena terlambat makan. Yah, meskipun Energen bukan benar-benar makanan, tapi setidaknya perut Athalia tidak terlalu kosong.Ponselnya ada di tempat, tidak hilang atau ia lupa taruh di mana. Jadi, apa yang hilang hingga membuatnya merasa kurang?“Kamu kayak nggak fokus hari ini. Ad
Hari ini Asa sudah merasa lebih baik setelah kemarin dijenguk Athalia Iya, ini terdengar gombal tapi Asa selalu mengatakan hal ini kepada Athalia, sejak pagi tadi mereka bertemu untuk berangkat ke kantor bersama.Maka dari itu sepulang kerja, Asa mengajak Athalia makan malam bersama dan Athalia memberi usul supaya mereka makan malm di kos-kosannya. Khusus malam ini, Athalia memasak sendiri makan malam mereka karena tak ingin Asa jatuh sakit lagi kalau mereka makan sembarangan.“Aku nggak sempet tanya ini seminggu yang lalu ke kamu….” Asa melirik Athalia yang tengah menyantap makan malamnya. “Seminggu yang lalu pas kita pulang dari rumah kakakmu, kamu kayak banyak pikiran. Kamu baik-baik aja?
“Tumben nggak dianter Asa hari ini?”“Iya, kemarin dia lembur.” Athalia terdiam sebentar, bingung memilih hijau mana yang akan ia pilih untuk melukis daun di pohonnya. “Aku nggak enaklah kalau minta dia nganterin aku, mending dia istirahat dulu mumpung libur.”Aline mengangguk mengerti sambil terus melukis kanvasnya menggunakan cat akrilik yang disediakan. “Nanti dia jemput kamu?”“Nggak tahu, kayaknya aku nggak mau minta dia jemput deh.”“Emang selama ini kalau dia anter-jemput kamu, kamu yang minta?”Athalia langsung nyengir saat mengerti pertanyaan kakaknya. “Hehehe, nggak sih. Malah selalu dia yang nawarin anter-jemput aku, bahkan di saat aku lagi n
Kalau dipikir-pikir, Athalia jarang mengkhawatirkan Asa yang tiba-tiba menghilang karena lelaki itu hampir tidak pernah melakukannya.“Ke mana ya Asa?” gumam Athalia setelah keluar dari taksi yang mengantarnya sampai halaman rumah kediaman Tanaka.Di mana pun Asa berada, ia akan selalu mengabari Athalia. Mau itu saat Asa ke luar kota, sedang sibuk-sibuknya, dan bahkan saat sakit. Lelaki itu tidak pernah membiarkan Athalia tak tahu kabarnya dan melakukan hal yang sama juga kepada Athalia, selalu menanyakan kondisi Athalia dan memastikannya aman.Namun, hari ini Asa tidak membalas pesannya sama sekali. Kalau cuma sekali-dua kali, mungkin Athalia tidak heran, tapi pesannya tidak dibalas sejak kemarin.Athalia pikir kemarin Asa hibernasi seharian, tapi dugaan itu kini sepertinya salah dan Ath
Pernahkah kamu merasa kalau waktu ternyata bisa berhenti dan membiarkanmu ada di dalam satu fase waktu tertentu, dengan dimensi yang juga seakan berhenti bergerak?Athalia pikir hal itu adalah hal yang mustahil. Kini, ia mulai memikirkan ulang pemikirannya tersebut karena bersama dengan Asa di kamarnya saat ini, membuat Athalia merasa kalau waktu tengah berhenti.Waktu tengah berhenti dan memberi kesempatan kepada mereka untuk mengambil jeda sejenak.“Kamu nggak pegel?”“Nggak.” Athalia menjawab tanpa menoleh, hanya tangannya yang lanjut mengusap puncak kepala Asa,Di bawah sentuhannya, rambut Asa terasa halus dan sangat lembut, bak rambut bayi yang membuatnya gemas ingin menyentuhnya lagi dan lagi.
“Kamu pasti akan bilang bosen Papa tanyain ini.”Asa tertawa, bahkan sebelum Badai Tanaka menyuarakan pertanyaannya. Ia tahu apa yang sekiranya akan ditanyakan sang ayah.“Athalia mana, Pa?” tanya Asa sebelum Badai bertanya padanya.Dengan perut yang mulai bergemuruh karena lapar, Asa yang baru tiba di ruang makan segera duduk di kursi yang biasa ia duduki dan mulai mengisi piringnya.Sepertinya sang mama menyadari kalau Asa pasti akan bangun kesiangan dan langsung kelaparan, makanya sisa sarapan tadi pagi masih disediakan di meja makan, walaupun saat ini jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas siang.“Ada di halaman belakang, lagi diajarin mamamu merajut sama Ilana dan Meisie juga,&rdqu
“Mamamu sukanya bunga apa?”“Aku nggak tahu.”“Oke.” Athalia tak ambil pusing atas jawaban Asa. Wajar jika Asa tak tahu apa bunga kesukaan ibu kandungnya karena dari apa yang Athalia dengar, Asa tak menghabiskan banyak waktu dengan perempuan tersebut.“Kita beli yang ada aja ya,” usul Athalia lagi.“Boleh, biasanya aku juga begitu.” Asa mengangguk setuju. “Beli yang kelihatan cantik aja di antara semua bunga.”Athalia menggandeng tangan Asa dengan lebih erat saat mereka berjalan dari mobil yang telah terparkir, ke toko bunga yang tak jauh dari gerbang TPU.Siang ini, ia dan Asa pergi ke makam Anastasya. Sepanjang perjalanan, Asa bercerita kalau ia hanya bisa ke maka
“Mama tahu florist yang bagus dan bisa cepet jadi nggak? Florist langgananku tutup.”“Tahu, Mama ada beberapa florist langganan.” Padma meraih ponselnya dan dugaan Asa, mamanya itu sedang mengirim beberapa kontak florist untuknya.Denting singkat di ponselnya membuktikan dugaan Asa. Asa meraih ponselnya dan tersenyum lebar melihat sederet kontak yang dikirimkan Padma.“Thank you, Ma!” Asa tersenyum lebar dan ia bisa merasakan tatapan ingin tahu dari kedua orangtuanya.Siang ini Asa makan siang bertiga dengan orangtuanya. Padma datang ke kantor dan mengajaknya untuk ikut makan siang bersama. Asa pun mengiakan tanpa pikir panjang. Ia selalu suka berada di sekitar keluarganya sekalipun saat ia sudah menikah seperti sekarang.
“Sekarang aku ngerti perasaannya Mbak Aline.”“Mbak Aline?”Asa mengangguk, ia menaruh ponselnya ke saku jas dengan asal, lalu menghampiri Athalia yang masih duduk di depan meja rias. Istrinya hari ini sangat terlihat cantik, padahal mereka hanya akan menghadiri pernikahan dari anak rekan bisnisnya.Kalau sudah begini, Asa harus mengubur dalam-dalam ketidakrelaannya untuk mengajak Athalia ke pesta tersebut. Asa tidak boleh egois dengan berpikir bahwa orang lain tidak boleh melihat istrinya yang secantik ini.“Dulu kan Mbak Aline kayaknya nggak begitu suka sama aku, waktu kita baru deket dan pacaran,” ungkap Asa yang kini sudah berdiri di belakang Athalia.Dengan perlahan dan lembut, Asa mengambil alih kalung yang sedang Athalia berusaha
“Ika Handaru tertangkap dalam OTT KPK pada Jumat malam, di kediaman salah satu pejabat terkait kasus suap untuk tender proyek pemerintahan di kawasan….”“Wow.”Asa berdecak pelan saat benar-benar mendengar apa yang dikatakan oleh pembawa acara di siaran berita pagi. Terlihat sosok Ika Handaru berjalan dengan tangan diborgol di depan dan ada dua orang berseragam yang mengapitnya.Setelah Marcell dipenjara dan vonis hakim diserukan lantang, Ika memang masih mencoba mengintimidasi Asa dan Athalia. Tapi semua itu selesai saat Asa kembali melaporkan perbuatannya ke polisi.Tidak cukup dengan itu, Asa juga mengancam supaya Ika ti
“Kamu nggak mau istirahat sebentar, Bang?”Asa menggeleng tanpa menatap mamanya, yang baru saja bertanya. Lelaki itu tetap bertahan duduk di samping ranjang Banyu—sang kakek yang tengah tertidur setelah beberapa jam lalu mengeluh dadanya terasa nyeri.“Kamu belum makan dan tidur lho, Bang.”“Iya sih, Ma, tapi aku mau nemenin Eyang dulu di sini….”“Sampai kapan?”Sampai kapan?Asa tidak benar-benar tahu jawabannya, jadi ia hanya menggeleng sekenanya. Apakah sampai tengah malam nanti bisa dibilang cukup? Atau lebih baik sampai besok pagi?
“Kayaknya setiap kita ketemu, Naya makin cantik deh, Tha,” puji Aline. Ia menyenggol pelan bahu Athalia yang duduk di sebelahnya dengan iseng.Athalia tersenyum malu. Padahal yang dipuji adalah anaknya, tapi rasanya ia tetap tidak bisa meyembunyikan senyum malu sekaligus bangganya.“Makasih, Tante Aline.” Athalia menirukan suara anak kecil, seolah yang baru saja membalas pujian dari Aline adalah anaknya, Naya.Aline yang duduk di samping Athalia pun tertawa karenanya. “Tapi beneran lho, Naya makin cantik deh. Hati-hati nih, pas gede yang deketin pasti banyak banget.”Athalia meringis. “Bapaknya bakal jadi super duper protektif kayaknya.”
Rasa tidak percaya diri mulai menguasai Athalia, tapi ia memutuskan untuk tetap memulas wajahnya dengan makeup. Semenjak beberapa bulan ini, Athalia jadi agak malas merawat kulit wajahnya.Berjibaku menjadi ibu baru membuat Athalia masih jungkir balik untuk mengatur waktunya dan tentu saja, memakai serangkaian skincare menjadi hal terakhir yang melintas di benaknya.Makanya saat kemarin Asa mengajaknya keluar untuk dinner berdua saja dalam rangka hari jadi pernikahan mereka yang kedua, Athalia sempat ragu.Sepertinya Asa menyadari apa yang menjadi keraguan Athalia. Asa meyakinkannya kalau Athalia baik-baik saja, ia masih cantik—dan bahkan lebih cantik dari sebelumnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya untuk pergi keluar malam ini.“Inget, Tha, jangan minderan.&rdq
Sudahkah Asa mengatakan pada orang-orang di luar sana, kalau ia sangat suka menggenggam tangan istrinya, Athalia?Hmm, Asa lupa. Tapi seingat Asa, kedua adiknya pernah iseng bertanya mengenai kebiasaan Asa yang satu itu. Kadang-kadang pun Athalia masih suka keheranan, kenapa Asa suka sekali menggenggam tangannya hingga mereka menjadi seperti dua orang yang nyaris tidak terpisahkan.Seperti saat ini.“Tangan kamu nggak lembap emangnya?”Asa mengernyit. “Lembap kenapa?”“Soalnya dari tadi kita gandengan terus.”Kekehan kecil meluncur dari bibir Asa yang segera menggeleng, sebagai jawaban untuk pertanyaan Athalia. “Nggak. Kamu emangnya ngerasa begitu?”&ld
“Si Kakak udah mulai kelihatan ya.”“Iya.” Athalia setuju dengan pernyataan suaminya barusan. “Berarti aku kelihatan lebih gemukan dong ya? Perutku kelihatan lebih besar lima kali lipat dari sebelumnya.”“Hmmm.” Asa berhenti melangkah dan menjauh sedikit dari Athalia. Matanya menyipit, menatap sang istri dari puncak kepala hingga ujung kaki.Gestur pura-pura serius itu memancing tawa Athalia. Athalia menggoyangkan genggaman tangan mereka yang masih menyatu.“Ya nggak perlu ngelihatin aku segitunya juga dong, Sayang,” rajuk Athalia.Ganti Asa yang tertawa dan ia pun kembali memangkas jarak di antara mereka. Keduanya kembali berjalan menelusuri mall yang sore ini mereka da
"Kayaknya Mbak Atha belum tidur deh, Bang. Abang langsung temenin Mbak Atha aja gih sana."Baru saja Asa tiba di ruang tengah rumahnya, ia disambut kedua adiknya yang menatapnya dengan khawatir.“Athalia udah di kamar?” Asa melonggarkan dasinya. Sepulangnya dari kantor, Asa lanjut ke kantor polisi dan menemui pengacaranya untuk berkonsultasi mengenai laporannya dan Athalia terhadap Marcell.“Udah,” jawab Meisie. “Tapi… tadi tuh mamanya si brengsek itu telepon Mbak Atha. Mbak Atha udah balik marahin dia sih, tapi nggak lama setelah itu Mbak Atha minta waktu sendiri di kamarnya dan kita nggak tega buat gangguin dia.”Meisie adalah sosok yang jarang memaki atau menyebut seseorang sebagai bajingan atau brengsek. Tapi saat sekarang adiknya itu dengan mudah menyebut Marcel