"Kau!? Mau apa kau datang kesini?" ucap Anna refleks bangkit dari meja rias dan mundur beberapa langkah.
Wanita itu terlihat sangat terkejut saat mendengar suara pintu kamar yang tiba-tiba saja terbuka bahkan menampakkan sosok pria berwajah dingin yang dengan santainya berjalan memasuki ruangan itu begitu saja.
"Aku?" Pria itu menaikkan alisnya dan kembali berkata, "Aku kesini untuk menemui istriku, kau lupa kalau sekarang kita sudah resmi menjadi suami istri?"
Mendengar penuturannya yang percaya diri lantas membuat Anna semakin geram, wanita itu pun menautkan alis seraya berdecih, "Ck! Jangan mimpi, Darren! Bukankah kita sudah sepakat tidak akan-
BRAK!
Tanpa aba-aba Darren menarik tubuh Anna dan memojokkannya hingga menyentuh dinding. Lelaki itu menatap lekat manik coklat yang tampak bergetar, tapi hal itu tidak lantas membuatnya tersadar bahwa perempuan di hadapannya tengah menunjukkan rasa takutnya.
Bahkan Darren hanya memasang wajah sangar dan sedikit mengangkat sebelah bibirnya. Hingga akhirnya pria itu menautkan bibirnya, memainkannya dengan beberapa sentuhan intens dan sukses membuat Anna terkejut sampai-sampai debaran jantungnya tak karuan.
"S-stop, Darren!" Anna meronta berusaha melepaskan diri tetapi tenaganya tentu kalah jika dibandingkan dengan tenaga seorang lelaki.
Darren terus menyerang Anna di beberapa titik sensitifnya. Hal itu membuat Anna merasakan bahwa sentuhan tersebut semakin lama semakin kasar dan menyebabkan rasa ngilu pada beberapa bagian tubuhnya.
"Darren ... p-please ... "
Alih-alih menuruti permintaan Anna. Rintihan itu justru membuat Darren semakin terpacu karena suara yang dikeluarkan Anna terdengar seksi baginya.
Anna berusaha sekuat tenaga untuk tetap menjaga kesadarannya. Di tengah kesunyian malam, hanya deru napasnya yang terdengar, berpadu dengan bisikan angin yang menerpa tirai jendela. Matanya memejam rapat, mencoba menghalau sensasi yang mengalir dari ujung jemari Darren yang terus menerus memberikan rangsangan pada bagian paling sensitif dari tubuhnya.
"Darren, hentikan ... " suaranya terdengar serak dan hampir hilang, namun Darren hanya tersenyum tipis, seolah tidak mendengar permintaan Anna.
Sementara itu, dalam benaknya, Anna memutar kenangan-kenangan masa kecilnya, berusaha menciptakan benteng yang kuat untuk menahan gelombang sensasi yang menghantam dirinya. Dia membayangkan dirinya berlari di padang rumput, mencium aroma bunga liar, dan merasakan hangatnya sinar matahari di wajahnya.
Namun, setiap kali dia hampir berhasil, Darren kembali menggoyahkan pertahanannya dengan berbagai sentuhan yang selalu membuat tubuhnya bereaksi dengan sendirinya.
"Sial! Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri," umpatnya dalam hati. "Sadarlah, Anna!"
Dengan desakan terakhir yang tersisa, Anna mengumpulkan semua kekuatan yang masih dimilikinya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpuljan kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya hingga, tetapi sialnya ... tenaganya tentu tidak cukup untuk melawan tubuh kekar milik pria di hadapannya. Alih-alih berusaha menggerakkan tubuhnya, hanya gemetar tubuhnya saja yang semakin kuat.
Sedangkan Darren merasakan tubuh Anna yang gemetar di bawah sentuhannya. Sejenak dia terdiam, lalu mendengkus kesal hingga menghentikan aksinya. Tatapan matanya berubah dingin, menatap Anna dengan penuh cemoohan.
"Tch! Gadis polos!" Darren mencibir, suaranya sarat dengan kekecewaan dan kemarahan terpendam. "Kamu benar-benar menyebalkan."
Anna mengerutkan tubuhnya, merasakan dinginnya sandaran dinding dan kata-kata Darren yang menusuk. Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk menatap Darren, meskipun tatapannya sendiri dipenuhi air mata yang tertahan.
"Segera berbenah dan istirahat. Aku tidak ingin mendengar lagi keluhan darimu malam ini." Darren berkata dengan nada perintah, seolah-olah Anna hanyalah benda yang bisa dia atur sesuka hati.
"Kau-"
Gerakkan Darren pun terhenti kala dia hendak memutar tubuhnya untuk meninggalkan Anna. Pria itu lantas menyeringai, melempar senyuman sinisnya saat melihat keadaan istrinya yang berantakkan.
"Tidurlah, kau pasti lelah," cetusnya.
Anna lantas terdiam dan tidak lantas menimpali, namun keterdiamannya ternyata membuat Darren merasa aneh. Dia pun menatap istrinya sembari menautkan alis.
"Ada apa lagi denganmu?"
Belum sempat Anna menjawab pertanyaanya, lelaki itu kembali menimpalinya, "Ah! Ya. Sepertinya aku harus menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk mengajarimu karena ternyata aku mendapatkan istri yang saaangat polos, sepertimu. Aku sungguh takjub karena keluargamu berhasil menjaga anak gadisnya."
Darren kemudian tersenyum sinis, mencemooh dengan tatapannya. Hal itu tentu membuat Anna kembali geram! Wanita itu segera bangkit dari sandarannya dan membenahi diri
"Apa katamu!? Kau pikir aku wanita seperti apa!?" elaknya, "Aku tidak pernah sudi disentuh oleh pria licik sepertimu!"
"Licik!?"
Darren tiba-tiba merubah raut wajahnya, dia menatap Anna dengan nyalang seolah tersinggung dengan perkataannya
Sembari berpangku tangan Anna pun mendengkus kesal, "Apa perkataanku kurang jelas? Kau laki-laki yang tidak lebih dari seorang penjilat, tamak, tidak jauh dengan seekor musang."
"Apa maksudmu? Kenapa kau terus bicara melantur seperti itu? Kau habis meminum alkohol?" sergahnya tak terima.
"Ck! Jangan berkelit! Aku tahu apa yang sedang kau rencanakan pada keluargaku," ucap Anna kembali mengambil napas sebelum akhirnya dia melanjutkan perkataannya, "Kau sengaja merencanakan kematian orang tuaku dengan menyuruh mereka membuat wasiat sialan itu agar kau bisa menguasai bisnis keluarga kami dan merebutnya saat aku lengah. Ya! Kau pria serakah yang berambisi memiliki semua yang kau inginkan, tidak peduli berapa nyawa yang harus hilang karena keserakahan yang kau miliki."
Deg!
Seketika saja hatinya terasa panas, jantungnya berdebar sangat kencang saat mengingat kematian kedua orang tuanya yang sangat mendadak dan terasa ganjil.
Masih teringat dengan jelas bagaimana hari setelah pemakaman kedua orang tuanya yang penuh haru akibat kecelakaan tragis itu, Anna harus menghadapi kenyataan bahwa dia kini sendirian. Dia kemudian menemukan sebuah amplop yang disembunyikan di dalam brankas pribadi ayahnya. Di dalam amplop itu terdapat surat wasiat yang ditulis oleh kedua orang tuanya.
Anna membuka surat wasiat itu dengan tangan gemetar. Isinya membuatnya terkejut dan bingung. Di dalam surat itu, tertulis bahwa kedua orang tuanya ingin dia menikah dengan seorang pria bernama Darren yang tak lain merupakan CEO dari pesaing bisnis keluarganya.
"Apa ini?" gumam Anna. "Mengapa mereka meminta hal ini?"
Di akhir surat itu, terdapat catatan yang menjelaskan bahwa Darren adalah putra dari sahabat lama ayahnya, meski saat ini perusahaan keduanya tengah bersaing. Bahkan pernikahan ini bertujuan untuk memastikan Anna tetap aman sampai dia bisa mengelola sendiri bisnis peninggalan keluarganya.
Anna pun berdecih dan meragukan pilihan mendiang ayahnya terkait pria yang kini telah sah menjadi suaminya.
"Ck! Sulit dipercaya, bisa-bisanya ayahku memilihmu ... " Anna menatap Darren dengan nyalang, menyiratkan bahwa gadis itu begitu tidak menyukai keberadaannya.
Sedangkan Darren semakin menyipitkan matanya, "Apa kau bergurau!? Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu?"
Anna pun tertawa sinis, "Kenapa? Kau terkejut karena aku mengetahui rencana busukmu?"
"Kau!" Darren melayangkan tatapan tajamnya, dia tampak sangat kesal karena penuturan istrinya tentang dirinya.
"Dengar! Kau bisa menipu semua kerabatku hingga sangat menggilaimu sampai memaksaku memenuhi wasiat itu, tapi tidak denganku. Aku tidak akan pernah membiarkan pria ular sepertimu mengambil semua harta Donovan. Kecuali kau melangkahi mayatku terlebih dahulu," ungkap Anna secara lantang meski dengan suara yang bergetar masih saja terdengar.
Ya! Anna terus berusaha memberikan pertahanan dan tidak memberinya kesempatan untuk bisa berkelit dari semua tuduhannya karena dia ingin melihat reaksi Darren meski situasi terasa pengap begitu pula dengan perasaan sedih yang terus meluap karena teringat dengan kematian kedua orang tuanya.
Usaha itupun berhasil! Darren terlihat diam dengan kedua tangan yang terkepal serta sorot mata yang terus menatap Anna bagai seorang pemangsa.
Tiba-tiba Darren menatap Anna dan tersenyum sinis, "Baiklah, anggap saja semua tuduhanmu terhadapku itu benar. Lantas, apa yang akan kamu lakukan?"
"Ah! Jadi benar kau ini pria licik yang berusaha mengambil keuntungan dari keluargaku!?" tuduh Anna seraya mengerutkan kening.Melihat raut wajah Darren yang tidak tersinggung dengan ucapannya lantas saja membuat Anna semakin yakin bahwa dia memanglah pria berbahaya. Anna pun mengembuskan napas kasar, "Jika kau berani macam-macam denganku, akan kupastikan kau menyesal," katanya dengan tegas.Akan tetapi alih-alih merasa terancam dengan perkataan itu, Darren tiba-tiba tertawa, "Menyesal katamu!?"Lelaki itu seolah meremehkan dan menganggap ancaman itu hanya sekadar bualan, Darren bahkan tidak gentar sedikitpun dan membuat amarah Anna semakin meluap dengan sikapnya yang arogan dan terlalu percaya diri.Akan tetapi saat Anna hendak kembali berkata sesuatu, Darren dengan cepat menimpali, "Sudahlah, apapun yang kamu pikirkan aku tidak peduli. Aku lelah dan hanya ingin beristirahat, aku akan tidur di ruang kerjaku," katanya seraya berbalik hendak pergi."Kau-" Ucapan Anna tiba-tiba terhent
"Ck! Menyebalkan! Darren benar-benar ingin mengurungku. Kenapa aku harus terjebak disini dan lagi ... dengan pria itu!?"Mau tidak mau, Anna harus menunda rencananya untuk menemui tuan Freddy karena dia tertahan bersama Jason, pria itu benar-benar tidak melepaskan pengawasannya terhadap Anna.Dia bahkan menyediakan apapun yang mungkin Anna butuhkan padahal yang butuhkannya hanyalah kebebasan. Selama beberapa saat wanita itu terus memikirkan cara untuk bisa mengelabuhi Jason."Berpikirlah, Anna! Kau harus segera bertindak sebelum pria licik itu berindak lebih jauh!" batinnya.Anna pun kembali memutar otak, mengingat-ngingat dengan sesekali melihat Jason yang terus berdiri di dekat pintu balkon. Hingga pada menit berikutnya sebuah ide gila pun muncul memenuhi pikirannya."Ah! Sepertinya cara itu akan berhasil," gumamnya menyeringai.Sembari berdeham Anna pun melirik ke arah Jason dan berkata, "Aku ingin jus, tolong bawakan itu untukku.""Baik, Nyonya." Tanpa berlama-lama Jason segera b
"Tunggu, Anna!" teriak Darren berusaha menghentikan istrinya yang terus berjalan menuju lantai dua.Akan tetapi oanggilan Darren tentu tidak kunjung mendapat respon sehingga lelaki itu pun secara refleks mengejarnya hingga masuk ke dalam kamar hendak menuntut penjelasan darinya atas kejadian hari ini."Kita harus bicara, Anna! Kau berhutang penjelasan padaku." Darren terus berjalan mengikuti langkahnya sampai wanita itu menghentikan langkahnya dan berbalik."Penjelasan?" Anna menatap suaminya dengan tajam, "Aku tidak harus menjelaskan apapun padamu, karena kaulah yang terlalu ikut campur urusanku."Darren seketika mengerutkan kening, merasa heran dengan penuturannya yang membuat amarah Anna semakin membesar sampai-sampai wanita itu menatapnya dengan penuh amarah dan kebencian."Urusanmu? Apa kau lupa bahwa sekarang urusanmu juga urusanku, kau istriku dan kaulah yang harus menuruti kata-kataku, termasuk tidak pergi kemanapun tanpa seizinku. Bukankah sudah kuperingatkan tentang itu?" c
"Tuan! Ada kabar buruk!" ujar Rhodes sesaat setelah Darren mempersilakannya untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.Dia datang dengan masih memegangi ponsel di tangannya. Napasnya terengah-engah serta raut wajahnya begitu khawatir, sontak saja hal itu membuat konsentrasi Darren terganggu dan bergantikan menjadi rasa penasaran."Ck! Kau menggangguku, Rhodes. Tenanglah, ada apa?" tanya pria itu berusaha menenangkan asistennya."Maaf, Tuan. Tetapi ini tentang klien yang kemarin anda tinggalkan di tengah-tengah rapat. Beliau marah besar dan akan membatalkan kerja samanya dengan perusahaan kita," tuturnya dengan suara bergetar."Apa!?" Darren sontak terkesiap sampai-sampai bangkit dari duduknya lalu berusaha memikirkan jalan keluar dari masalah yang tengah dihadapi."Ya sudah, aku akan menemui mereka dan minta maaf secara langsung. Aku tidak ingin perusahaanku merugi karena hal kecil," jelasnya, "Kau juga harus bersiap dan temani aku."Tanpa berpikir panjang lelaki itu segera merapikan meja k
"Nyonya. Ada kiriman lagi," ucap Jason setelah tiba di balkon tempat Anna biasa menghabiskan waktu.Anna yang sedang serius membaca buku pun sontak terkejut seraya membelalakkan matanya, "Lagi?? Dari siapa?""Dari tuan Darren, Nyonya."Anna pun mendesis, menerima sebuah paper bag yang disodorkan oleh Jason. Sedangkan Jason sedikit meringis mendapati ekspresi majikkannya yang tak biasa.Betapa tidak? Ini merupakan kiriman yang kesekian kalinya padahal hari masih siang. Anna lantas membuka paper bag tersebut yang ternyata berisi sebuah Dress cantik berwarna merah serta satu kotak Redvelvet yang sudah dihias secantik mungkin.Tak hanya itu, di dalamnya pun terdapat sebuah kartu yang berisikan kata-kata manis yang justru membuat Anna semakin meringis kala ia membacanya"Cake manis dan Dress cantik untuk wanita yang manis. Semoga kau suka ... " tulisnya melalui kartu ucapan tersebut.Anna kemudian berdecih, "Wanita yang manis? Aku bahkan masih ingat saat kamu mencibirku dengan sebutan wani
"Oh! Akhirnya kau datang!" Darren pun menoleh dan bangkit dari kursinya, melayangkan senyuman manisnya seolah tak terjadi apapun.Pria itu menatap ke arah Anna yang berjalan mendekat, sama seperti Jason yang menatapnya tanpa berkata apapun lagi. Hal itu sungguh membuat Anna risih!"Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu??" tanya Anna bernada ketus meski sedikit menahan rasa kesalnya.Darren lalu memicingkan matanya, "A-ah! Tidak, aku hanya merasa khawatir kamu tidak akan datang.""Khawatir?" Anna lantas menautkan alisnya, merasa konyol dengan pertanyaan Darren yang membuatnya semakin geram, "Kau sungguh khawatir padaku??"Anna lalu mendengkus kesal, sadar bahwa saat ini ia harus terus waspada dan tidak gegabah dalam bertindak. Hingga pada akhirnya wanita itu membuang napasnya dengan kasar mencoba menguasai dirinya yang sempat hilang kendali di depan suaminya."Kau hanya akan berdiri seperti itu?" cetus Anna hingga berhasil membuat Darren terkejut."Ah! Silakan duduk," ucap Darren lalu
"Makan dan habiskan saja dulu, setelah itu kita pulang." Darren berkata dengan nada dinginnya, lalu kembali memotong steak dan memasukkannya ke dalam mulut.Begitu tenang, tanpa memedulikan istrinya yang mulai menatapnya dengan nyalang. Kesal dengan sikap Darren yang seenaknya dan bahkan tidak mendengarkan keinginannya.Anna pun mendengkus kesal, "Kalau begitu aku pulang lebih dulu. Aku akan menghubungi Jason agar segera menjemputku," tukasnya bernada kesal.Namun ketika wanita itu merogoh tas hendak mengeluarkan ponselnya, tiba-tiba Darren meletakkan alat makannya dengan kasar sehingga menimbulkan suara.TAK!"Simpan kembali ponselmu, kita pulang," cetus Darren.Anna yang masih terkejut pun lantas menaikkan sebelah alisnya, heran dengan perkataan Darren yang tiba-tiba melarangnya menghubungi Jason, asisten pribadi yang ditugaskan sendiri olehnya."Kenapa? Kita memang pulang bersama tapi tidak satu mobil. Aku ingin-" "Kita pulang sekarang dengan mobilku, atau tetap tinggal sampai mak
"Kita sudah sampai, Tuan, Nyonya." Rhodes berkata setelah mematikan mesin mobil, menatap ke arah belakang yang ternyata disambut oleh tatapan Anna ya g menajam ke arahnya."Terima kasih!" ketus Anna.Rhodes pun meringis mendapati sahutan Anna yang terdengar sangat dingin dan menusuk. Ia melirik ke arah Darren yang bahkan ikut terdiam seraya menggelengkan kepalanya perlahan seolah memberi isyarat agar Rhodes tidak mempermasalahkan sikap perempuan itu.Tanpa menunggu Darren, Anna segera membuka pintu mobil dan keluar dengan langkah cepat menuju pintu depan. Tidak betah berlama-lama satu mobil dengan suaminya.Darren dan Rhodes lantas mengantar kepergian Anna hingga sesaat setelah Anna menapaki teras rumah dengan langkahnya yang cepat, Rhodes pun mendelik ke arah Darren."Apa yang sebenarnya terjadi?"Namun alih-alih mendapat jawaban, Rhodes justru melihat atasan sskaligus sahabatnya yang tampak terburu-buru melepas sabuk pengaman, "Nanti kujelaskan."Darren bergegas keluar dan menutup
Hari-hari Anna tanpa Darren berjalan seperti yang ia bayangkan. Ia menikmati kebebasan yang baru, menjalani setiap momen tanpa perlu merasa terkekang. Tidak ada lagi Darren yang menegurnya karena pulang larut, tidak ada lagi perdebatan panjang tentang siapa yang ditemuinya, atau mengapa ia mengenakan pakaian tertentu. Anna merasa ringan, seperti beban yang selama ini menahannya telah terangkat.Seperti saat ini, wanita itu telah siap dengan pakaian ternyamannya dan menuruni tangga menuju ruang makan."Selamat pagi, Nyonya. Anda terlihat bersemangat sekali," sapa bu Ratna.Dengan mengembangkan senyumnya, Anna menjawab. "Apakah jelas terlihat? Aku hanya merasa kembali seperti dulu, menikmati waktu-waktu kesendirianku."Bu Ratna pun mengangguk pelan. "Saya turut senang melihatnya."Anna lalu memulai sarapannya dengan lahap, dengan asyik memainkan tab di sampingnya melihat beberapa tempat menyenangkan yang hendak ia kunjungi."Sepertinya tempat ini menyenangkan," gumamnya membayangkan. "
"Nyonya??"Terdengar suara Jason dari balik pintu berusaha membangunkan Anna sembari mengetuk pintu beberapa kali. Anna lalu mengerjap-ngerjapkan matanya, tubuhnya menggeliat di atas kasur besar."Ya, ya ... aku sudah bangun.""Baiklah. Sarapan juga sudah siap, sebentar lagi bu Lasmi juga izin masuk ke dalam untuk membersihkan kamar Nyonya."Anna lalu berdecih. "Ya, ya, ya ... aku mengerti.""Baiklah, saya pamit menunggu di bawah, Nyonya."Anna hanua berdeham, mengiyakan pernyataan Jason.Suasana pun hening mendandakan bahwa Jason sudah tidak ada di balik pintu itu lagi. Sedangkan Anna tidak langsung bangkit dari tempat tidurnya. Begitu Anna tersadar dari tidurnya yang tak nyenyak, hal pertama yang terlintas di benaknya adalah sosok Darren yang tiba-tiba menghilang tanpa pamit. Rasa marahnya masih tersisa, tetapi rasa penasaran yang lebih besar mendorongnya untuk segera mencari tahu lebih banyak. Ia berjalan cepat ke arah pintu, keluar dari kamar dan menuruni tangga menuju ruang depan
"Dia belum turun? Tumben sekali," gumam Anna, sembari mengunyah sarapannya.Wanita itu seketika menyapukan pandangannya ke seluruh ruang makan bahkan sesekali melirik ke arah pintu masuk ruang makan tersebut. Namun, ia tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Darren."Apa dia berangkat pagi-pagi sekali?" terkanya lagi, kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, "kalau benar, aku tidak peduli."Ya, Anna akhirnya tidak terlalu mempedulikan keberadaan suaminya. Ia malah segera menyelesaikan sarapannya dan bergegas pergi bersama Jason karena hari ini ia akan mendatangi makam mendiang kedua orang tuanya. Di dalam mobil, Anna melihat ke arah luar jendela, entah mengapa perasaannya sedikit tak menentu. Ia pun melihat ke arah Jason yang tengah fokus di balik kemudinya."Jason?""Ya, Nyonya?" sahut Jason, sekilas melirik majikannya melalui kaca spion tengah."Kau tahu kemana Darren? Aku belum melihatnya pagi ini, apakah dia berangkat sejak pagi buta?" tanya Anna, tanpa sadar memberondingi Jas
"Ah! T-tidak apa-apa, Nyonga." Jason berusaha menutupi raut wajahnya setelah berbincang dengan Darren, "apakah anda sudah siap?"Anna mengangguk pelan, meski masih merasa penasaran dengan apa yang terjadi pada Jason.Ya, setiap pagi, Jason sudah menunggu Anna di depan pintu, siap mengantarnya ke berbagai tempat. Bagi Anna, kehadiran Jason adalah semacam pelarian, seseorang yang bisa ia ajak bicara tanpa perlu merasakan tekanan atau pengawasan yang selalu ia rasakan dari Darren. Meski Jason tetap menjaga profesionalisme sebagai pengawal, Anna mulai merasa lebih nyaman bersamanya, dan bahkan mulai menyadari betapa pentingnya Jason dalam rutinitas barunya."Jason, apakah Darren tidak bicara apapun padamu?" tanya Anna, setelah berada di dalam mobil.Ia masih merasa penasaran dengan sikap Jason yang tiba-tiba terlihat canggung bahkan cenderung tertekan. Walaupun Anna sudah menahan dan berusaha untuk tidak membahasnya, tetapi sikap Jason terlalu kentara untuk dilewatkan.Jason sejak tadi me
"Aku pergi dulu," ucap Darren, pamit setelah selesai menyantap sarapannya.Anna hanya diam tanpa menanggapi, lalu melihat sekilas kepergian suaminya yang langsung menghilang dari balik pintu.Betapa tidak? Setelah malam perdebatan keduanya malam itu, suasana di rumah tampak berbeda dari biasanya. Ada ketegangan yang terasa di antara mereka, seakan keduanya berada dalam dunia masing-masing tanpa saling menyapa. Darren yang akhir-akhir ini menghabiskan waktu di ruang kerjanya, sibuk dengan tumpukan dokumen dan menerima panggilan telepon, seolah-olah tidak ada waktu atau perhatian yang tersisa untuk Anna. Sebaliknya, Anna sibuk dengan kegiatannya sendiri, menghabiskan waktu di luar rumah, sering kali ditemani oleh Jason, pengawal yang kini lebih banyak mengisi kekosongan di hidupnya daripada suaminya sendiri.Sedangkan di luar rumah, begitu Darren muncul dari balik pintu dengan memasang wajah dinginnya, Rhodes dan Jason yang tengah asyik berbincang sambil duduk pun segera bangkit dan men
"Pesta sudah selesai, Tuan Putri." Darren berdiri dengan tatapan tegas di hadapan Anna."K-kau??" Anna terkejut bukan main seraya mengemhentikan gerakkan badannya yang sebelumnya meliuk-liuk menikmati musik.Suasana di sekeliling mereka mulai berubah tegang. Anna yang tadinya tersenyum dan menikmati waktunya, mendadak merasa terganggu oleh kehadiran suaminya yang tiba-tiba muncul di klub malam ini tanpa peringatan. Tatapan Darren tak lepas darinya, sorot matanya penuh dengan ketidaksetujuan yang tak tertutupi. Ia bahkan tak perlu bicara banyak, satu pandangannya saja cukup untuk menyingkirkan pria-pria yang mengelilingi Anna, membuat mereka pergi dengan wajah ragu-ragu."Kita pulang sekarang," ujar Darren, suaranya terdengar tegas tetapi rendah, lebih seperti perintah daripada ajakan.Anna yang sudah setengah mabuk dan dikuasai suasana malam yang menyenangkan, menatap Darren dengan wajah kesal dan menolak mentah-mentah. "Tidak. Aku belum ingin pulang. Aku sedang bersenang-senang, tol
"Ck! Kenapa kau tidak bisa diam dan hidup dengan tenang saja, Anna!?" lirih Darren. Darren duduk di belakang meja kerjanya, tangannya menggenggam ponsel erat-erat, mencoba menahan gejolak emosi yang terus membara dalam dirinya. Sudah beberapa kali ia mencoba fokus pada tumpukan dokumen di depannya, tetapi pikirannya terus melayang kepada istrinya, yang saat ini berada di luar kendalinya. Ia tahu betul sifat keras kepala Anna, tapi situasi kali ini benar-benar membuatnya gelisah. Apalagi dengan rencananya berangkat ke luar kota beberapa hari lagi, urusannya belum selesai, namun pikiran tentang Anna semakin mendominasi. "Haruskah aku sendiri yang membawanya pulang seperti waktu itu?" gumamnya menimbang-nimbang. Tetapi niatan itu cepat terurungkan mengingat bagaimana kejadian tersebut membuat hubungan keduanya semakin kacau dan Anna tidak menyukainya. Sementara di sudut ruangan, Rhodes, tangan kanannya yang sudah lama bekerja bersamanya, melihat dengan jelas kegelisahan Darren. Rhodes
"Ada apa? Apa terjadi sesuatu dengan wanita itu?" tanua Darren setelah menerima panggilan telepon dari salah satu pengawal yang bertugas mengawasi istrinya. Untuk seketika raut wajah Darren berubah, matanya terbelalak, terkejut setelah mendengar laporan bahwa Anna sedang menuju klub malam, wajahnya langsung berubah merah padam karena marah. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal kuat. “Apa? Anna pergi ke klub?” Darren berbicara dengan nada dingin namun penuh kemarahan yang membara. “Dimana Jason? Kenapa dia tidak mengabariku? Apa dia membiarkannya begitu saja?” Sang pengawal di seberang telepon hanya bisa menjawab dengan nada takut-takut, “Jason sudah mencoba memperingatkan, Tuan, tapi Nyonya tidak mau mendengarkan.” Darren berdiri dari kursinya dengan kasar, melemparkan map di atas meja ke lantai. “Ck! Aki membayar kalian bukan untuk mendenhar laporan seperti ini. Bawa dia pulang sekarang! Aku tak ingin istriku berada di tempat seperti itu!” Amarah Darren seketika memunc
"Tunggu di sini dan bersikap baiklah, aku ada urusan dulu dengan pengacara keluargaku," ujar Anna setelah tiba di dalam Lobi Kantor tuan Freddy. Jason pun mengangguk dan menjawab, "Baik, Nyonyam hubungi saya jika butuh sesuatu." ia segera berjalan menuju tempat duduk yang sudah tersedia di sana. Sedangkan Anna melangkah masuk ke dalam ruangan tuan Freddy setelah mengonfirmasi kedatangannya kepada seorang resepsionis. Ruangan itu terasa sunyi, hanya terdengar bunyi detak jam di dinding. "Selamat siang, Nona muda." Tuan Freddy, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih itu pun menyambut kedatangan Anna dan mempersilakannya duduk. Wajahnya serius, tetapi ada sorot simpati di matanya. "Terima kasih, Tuan Freddy." Anna membuka pembicaraan dengan suara yang tegas, meski dalam hatinya, ia merasa bingung. "Sebelumnya saya mau minta maaf atas kejadian beberapa hari lalu, saya merasa malu karena Darren-" "Ah! Tidak apa-apa, Nona. Jangan terlalu dipikirkan, saya men