"Tuan! Ada kabar buruk!" ujar Rhodes sesaat setelah Darren mempersilakannya untuk masuk ke dalam ruang kerjanya.
Dia datang dengan masih memegangi ponsel di tangannya. Napasnya terengah-engah serta raut wajahnya begitu khawatir, sontak saja hal itu membuat konsentrasi Darren terganggu dan bergantikan menjadi rasa penasaran.
"Ck! Kau menggangguku, Rhodes. Tenanglah, ada apa?" tanya pria itu berusaha menenangkan asistennya.
"Maaf, Tuan. Tetapi ini tentang klien yang kemarin anda tinggalkan di tengah-tengah rapat. Beliau marah besar dan akan membatalkan kerja samanya dengan perusahaan kita," tuturnya dengan suara bergetar.
"Apa!?" Darren sontak terkesiap sampai-sampai bangkit dari duduknya lalu berusaha memikirkan jalan keluar dari masalah yang tengah dihadapi.
"Ya sudah, aku akan menemui mereka dan minta maaf secara langsung. Aku tidak ingin perusahaanku merugi karena hal kecil," jelasnya, "Kau juga harus bersiap dan temani aku."
Tanpa berpikir panjang lelaki itu segera merapikan meja kerja dan beranjak hendak bersiap menemui klien saat itu juga, namun gerakannya tiba-tiba terhenti saat melihat raut wajah Rhodes yang penuh dengan keraguan.
"Tapi, Tuan-"
Darren pun menatap Rhodes dengan kening lantas, "Ada apa lagi? Kita tidak punya banyak waktu."
"Mereka menolak bertemu lagi dengan kita, Tuan. Karena mereka menganggap kita sudah meremehkan mereka."
"Sial!" Darren pun bertolak pinggang merasa begitu frustasi dengan situasi tersebut, "Ini semua karena wanita itu, kalau saja dia menurut padaku dan tidak membuat masalah. Aku tidak akan mengalami hal seperti ini."
Seketika saja dadanya bergemuruh merasakan amarah yang cukup besar menguasai dirinya hingga tidak bisa berpikir jernih bahkan untuk menemukan solusi dari permasalahan perusahaan saat ini.
"Ck! Kupikir semuanya akan berjalan dengan mudah, aku tinggal menikahi wanita itu dan membuatnya patuh padaku saja sampai dia bisa mengurus diri sendiri. Tapi nyatanya?" Darren berkacak pinggang seraya menggeleng-gelengkan kepala merasa tak habis pikir, "Dia benar-benar membuat ketenangan hidupku terganggu!"
Bagaimana tidak? Mulanya hidup pria itu terasa sangat tenang bahkan berjalan dengan semestinya, namun semenjak kehadiran Anna dalam hidupnya, tidak sedetikpun dia merasakan ketenangan.
Tanpa sadar Darren terus merutuki nasibnya tanpa menghiraukan keberadan Rhodes yang masih berada di dalam ruangan tersebut dan turut menyaksikan amarah atasannya yang meledak begitu saja.
Darren lantas mendelik ke arah asistennya, "Apa yang harus aku lakukan, Rhodes? Apa kau hanya akan menyaksikan kesengsaraanku tanpa membantuku berpikir!?"
Rhodes pun mengerjap, dia tampak terkejut melihat amukan Darren yang bahkan bukan karena dirinya.
"M-maaf, Tuan. Saya hanya-"
"Apa aku harus berbuat kasar padanya agar dia patuh!?" tanya Darren pada dirinya sendiri.
Akan tetapi hal itu membuat Rhodes kembali terkesiap.
"Sepertinya itu bukan cara yang tepat, Tuan," tanggap Rhodes tiba-tiba.
"Apa maksudmu?" Darren menatap Rhodes seraya menaikkan kedua alisnya yang terangkat.
Rhodes pun membungkukkan tubuhnya, "Maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud menggurui tetapi jika Tuan mmemikirkan cara itu sepertinya tidak akan berhasil."
Darren terdiam seketika saat mendengar penuturan asistennta, dia berusaha mengatur pernapasannya yang terasa menyesakkan. Pria itu kembali menatap Rhodes dengan lekat seolah menanti penjelasan dari penuturannya.
"Apa kamu punya cara?" tanyanya pada Rhodes dengan datar.
Mulanya Rhodes masih terdiam seolah ragu untuk mengungkapkan pendapatnya, namun tatapan tajam atasannya kembali membuat Rhodes merasa terintimidasi hingga akhirnya dia pun berkata, "Mungkin Tuan harus membuat nyonya merasa nyaman terlebih dahulu."
Darren kembali mengerutkan kening, sedikit belum mengerti dengan perkataan asistennya. Rhodes pun mengerti dengan kebingungan itu, dia lantas tersenyum dan kembali menjelaskan beberapa cara yang bisa dipilih. Meski hal itu sedikit membuat Darren terkejut karena saran yang Rhodes sebutkan terdengar asing baginya
Dengan mata menyipit Darren kembali berkata, "Bunga? Ck! Kau pikir dia orang mati?"
Akan tetapi Rhodes seketika terkekeh, "Astaga! Kenapa Tuan bisa berpikir seperti itu? Wanita mana di dunia ini yang tidak menyukai bunga?"
"Atau Tuan bisa membelikannya makanan kesukaan nyonya, atau bisa juga perhiasan?" ucapnya kembali menyarankan.
Darren pun terdiam, jujur saja dia tidak terlalu paham dengan beberapa hal mengenai wanita karena lelaki itu terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak punya waktu untuk mengenal wanita dan semua tentangnya. Terlebih Anna? Dia sungguh belum memahami wanita itu sebab mereja belum sempat mengenal satu sama lain sebelum menikah.
"Bagaimana, Tuan? Apa saran saya masih kurang?" Suara Rhodes kembali membuyarkan lamunan sang CEO yang tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Ah! Ya, terima kasih atas saranmu ... aku akan kembali memikirkannya," ucapnya.
Rhodes pun mengangguk, "Sama-sama, Tuan." Dia tersenyum mendengar respon Darren dan cukup memahami keadaannya yang tidak terlalu memahami wanita karena dia merupakan saksi perjalanan hidup Darren yang hanya dipenuhi urusan mengenai perusahaan.
Darren juga tidak terlalu terkejut mendengar pemahaman Rhodes tentang wanita, karena di balik pengabdiannya, Rhodes tetaplah seorang lelaki yang cukup handal dalam urusan mengenai wanita. Dia selalu berhasil membuat wanita terpesona dengan paras tampan yang dimilikinya.
Sedangkan Darren? Selama ini dua selalu acuh terhadap makhluk bernamakan wanita meski beberapa wanita selalu mengejarnya tanpa harus berusaha keras, namun kini keadaan rasanya berbalik. Dia harus mulai berjuang untuk meluluhkan hari wanita keras kepala yang tinggal satu atap dengannya.
Setelah Rhodes pamit meninggalkan ruangan, Darren kembali dengan kesibukkannya sembari memikirkan saran dari Rhodes. Tak dapat disangka hal itu membuatnya cukup pusing hingga tak bisa fokus dengan pekerjaan yang sedang dia kerjakan.
"Apakah bunga dan coklat bisa membuatnya merasa lebih baik?" lirihnya saat sedanf melamun sembari duduk memutar kursi kerja memandangi pemandangan kota melalui jendela ruangan tersebut.
"Sepertinya itu ide bagus, Tuan. Bunga akan membuatnya merasa tersanjung sedangkan coklat akan membuat suasana hatinya merasa lebih baik."
"Benarkah? Lalu-" Ucapannta seketika terhenti saat mendengar suara aneh dari arah belakang, Darren pun sontak berbalik, "Kau!"
Betapa terkejutnya aku saat menyadari Rhodes yang tiba-tiba berada di ruanganku dan menyahutiku.
"Sejak kapan kau disini!?"
Rhodes menundukkan kepalanya sembari tersenyum, "Maaf karena saya sudah lancang, Tuan. Saya sudah mengetuk pintu terlebih dahulu tapi Tuan tidak menjawab, saya khawatir takut terjadi sesuatu jadi saya masuk untuk memastikan keadaan Tuan," tuturnya.
Seketika saja Darren menghela napas panjang merasa malu dengan sikapnya yang tak biasa bahkan di hadapan asistennya.
"Ya sudah, setelah ini tolong carikan buket bunga dan satu kotak coklat yang bagus," titahnya pada Rhodes, "Pastikan kau membungkusnya sebagus mungkin."
"Baik, Tuan!" Rhodes menyeringai dan segera berlalu dengan penuh semangat.
Sementara CEO itu kembali menyandarkan punggung memikirkan keputusan yang baru saja dia ambil, yaitu dengan memberi Anna hadiah meski dia sendiri ragu wanita itu akan menerimanya atau bahkan akan menolaknya mentah-mentah.
"Yah, anggap saja ini sebagai hadiah perdamaian."
"Nyonya. Ada kiriman lagi," ucap Jason setelah tiba di balkon tempat Anna biasa menghabiskan waktu.Anna yang sedang serius membaca buku pun sontak terkejut seraya membelalakkan matanya, "Lagi?? Dari siapa?""Dari tuan Darren, Nyonya."Anna pun mendesis, menerima sebuah paper bag yang disodorkan oleh Jason. Sedangkan Jason sedikit meringis mendapati ekspresi majikkannya yang tak biasa.Betapa tidak? Ini merupakan kiriman yang kesekian kalinya padahal hari masih siang. Anna lantas membuka paper bag tersebut yang ternyata berisi sebuah Dress cantik berwarna merah serta satu kotak Redvelvet yang sudah dihias secantik mungkin.Tak hanya itu, di dalamnya pun terdapat sebuah kartu yang berisikan kata-kata manis yang justru membuat Anna semakin meringis kala ia membacanya"Cake manis dan Dress cantik untuk wanita yang manis. Semoga kau suka ... " tulisnya melalui kartu ucapan tersebut.Anna kemudian berdecih, "Wanita yang manis? Aku bahkan masih ingat saat kamu mencibirku dengan sebutan wani
"Oh! Akhirnya kau datang!" Darren pun menoleh dan bangkit dari kursinya, melayangkan senyuman manisnya seolah tak terjadi apapun.Pria itu menatap ke arah Anna yang berjalan mendekat, sama seperti Jason yang menatapnya tanpa berkata apapun lagi. Hal itu sungguh membuat Anna risih!"Ada apa? Kenapa menatapku seperti itu??" tanya Anna bernada ketus meski sedikit menahan rasa kesalnya.Darren lalu memicingkan matanya, "A-ah! Tidak, aku hanya merasa khawatir kamu tidak akan datang.""Khawatir?" Anna lantas menautkan alisnya, merasa konyol dengan pertanyaan Darren yang membuatnya semakin geram, "Kau sungguh khawatir padaku??"Anna lalu mendengkus kesal, sadar bahwa saat ini ia harus terus waspada dan tidak gegabah dalam bertindak. Hingga pada akhirnya wanita itu membuang napasnya dengan kasar mencoba menguasai dirinya yang sempat hilang kendali di depan suaminya."Kau hanya akan berdiri seperti itu?" cetus Anna hingga berhasil membuat Darren terkejut."Ah! Silakan duduk," ucap Darren lalu
"Makan dan habiskan saja dulu, setelah itu kita pulang." Darren berkata dengan nada dinginnya, lalu kembali memotong steak dan memasukkannya ke dalam mulut.Begitu tenang, tanpa memedulikan istrinya yang mulai menatapnya dengan nyalang. Kesal dengan sikap Darren yang seenaknya dan bahkan tidak mendengarkan keinginannya.Anna pun mendengkus kesal, "Kalau begitu aku pulang lebih dulu. Aku akan menghubungi Jason agar segera menjemputku," tukasnya bernada kesal.Namun ketika wanita itu merogoh tas hendak mengeluarkan ponselnya, tiba-tiba Darren meletakkan alat makannya dengan kasar sehingga menimbulkan suara.TAK!"Simpan kembali ponselmu, kita pulang," cetus Darren.Anna yang masih terkejut pun lantas menaikkan sebelah alisnya, heran dengan perkataan Darren yang tiba-tiba melarangnya menghubungi Jason, asisten pribadi yang ditugaskan sendiri olehnya."Kenapa? Kita memang pulang bersama tapi tidak satu mobil. Aku ingin-" "Kita pulang sekarang dengan mobilku, atau tetap tinggal sampai mak
"Kita sudah sampai, Tuan, Nyonya." Rhodes berkata setelah mematikan mesin mobil, menatap ke arah belakang yang ternyata disambut oleh tatapan Anna ya g menajam ke arahnya."Terima kasih!" ketus Anna.Rhodes pun meringis mendapati sahutan Anna yang terdengar sangat dingin dan menusuk. Ia melirik ke arah Darren yang bahkan ikut terdiam seraya menggelengkan kepalanya perlahan seolah memberi isyarat agar Rhodes tidak mempermasalahkan sikap perempuan itu.Tanpa menunggu Darren, Anna segera membuka pintu mobil dan keluar dengan langkah cepat menuju pintu depan. Tidak betah berlama-lama satu mobil dengan suaminya.Darren dan Rhodes lantas mengantar kepergian Anna hingga sesaat setelah Anna menapaki teras rumah dengan langkahnya yang cepat, Rhodes pun mendelik ke arah Darren."Apa yang sebenarnya terjadi?"Namun alih-alih mendapat jawaban, Rhodes justru melihat atasan sskaligus sahabatnya yang tampak terburu-buru melepas sabuk pengaman, "Nanti kujelaskan."Darren bergegas keluar dan menutup
"Kau!? Mau apa kau datang kesini?" ucap Anna refleks bangkit dari meja rias dan mundur beberapa langkah.Wanita itu terlihat sangat terkejut saat mendengar suara pintu kamar yang tiba-tiba saja terbuka bahkan menampakkan sosok pria berwajah dingin yang dengan santainya berjalan memasuki ruangan itu begitu saja."Aku?" Pria itu menaikkan alisnya dan kembali berkata, "Aku kesini untuk menemui istriku, kau lupa kalau sekarang kita sudah resmi menjadi suami istri?"Mendengar penuturannya yang percaya diri lantas membuat Anna semakin geram, wanita itu pun menautkan alis seraya berdecih, "Ck! Jangan mimpi, Darren! Bukankah kita sudah sepakat tidak akan-BRAK!Tanpa aba-aba Darren menarik tubuh Anna dan memojokkannya hingga menyentuh dinding. Lelaki itu menatap lekat manik coklat yang tampak bergetar, tapi hal itu tidak lantas membuatnya tersadar bahwa perempuan di hadapannya tengah menunjukkan rasa takutnya.Bahkan Darren hanya memasang wajah sangar dan sedikit mengangkat sebelah bibirnya.
"Ah! Jadi benar kau ini pria licik yang berusaha mengambil keuntungan dari keluargaku!?" tuduh Anna seraya mengerutkan kening.Melihat raut wajah Darren yang tidak tersinggung dengan ucapannya lantas saja membuat Anna semakin yakin bahwa dia memanglah pria berbahaya. Anna pun mengembuskan napas kasar, "Jika kau berani macam-macam denganku, akan kupastikan kau menyesal," katanya dengan tegas.Akan tetapi alih-alih merasa terancam dengan perkataan itu, Darren tiba-tiba tertawa, "Menyesal katamu!?"Lelaki itu seolah meremehkan dan menganggap ancaman itu hanya sekadar bualan, Darren bahkan tidak gentar sedikitpun dan membuat amarah Anna semakin meluap dengan sikapnya yang arogan dan terlalu percaya diri.Akan tetapi saat Anna hendak kembali berkata sesuatu, Darren dengan cepat menimpali, "Sudahlah, apapun yang kamu pikirkan aku tidak peduli. Aku lelah dan hanya ingin beristirahat, aku akan tidur di ruang kerjaku," katanya seraya berbalik hendak pergi."Kau-" Ucapan Anna tiba-tiba terhent
"Ck! Menyebalkan! Darren benar-benar ingin mengurungku. Kenapa aku harus terjebak disini dan lagi ... dengan pria itu!?"Mau tidak mau, Anna harus menunda rencananya untuk menemui tuan Freddy karena dia tertahan bersama Jason, pria itu benar-benar tidak melepaskan pengawasannya terhadap Anna.Dia bahkan menyediakan apapun yang mungkin Anna butuhkan padahal yang butuhkannya hanyalah kebebasan. Selama beberapa saat wanita itu terus memikirkan cara untuk bisa mengelabuhi Jason."Berpikirlah, Anna! Kau harus segera bertindak sebelum pria licik itu berindak lebih jauh!" batinnya.Anna pun kembali memutar otak, mengingat-ngingat dengan sesekali melihat Jason yang terus berdiri di dekat pintu balkon. Hingga pada menit berikutnya sebuah ide gila pun muncul memenuhi pikirannya."Ah! Sepertinya cara itu akan berhasil," gumamnya menyeringai.Sembari berdeham Anna pun melirik ke arah Jason dan berkata, "Aku ingin jus, tolong bawakan itu untukku.""Baik, Nyonya." Tanpa berlama-lama Jason segera b
"Tunggu, Anna!" teriak Darren berusaha menghentikan istrinya yang terus berjalan menuju lantai dua.Akan tetapi oanggilan Darren tentu tidak kunjung mendapat respon sehingga lelaki itu pun secara refleks mengejarnya hingga masuk ke dalam kamar hendak menuntut penjelasan darinya atas kejadian hari ini."Kita harus bicara, Anna! Kau berhutang penjelasan padaku." Darren terus berjalan mengikuti langkahnya sampai wanita itu menghentikan langkahnya dan berbalik."Penjelasan?" Anna menatap suaminya dengan tajam, "Aku tidak harus menjelaskan apapun padamu, karena kaulah yang terlalu ikut campur urusanku."Darren seketika mengerutkan kening, merasa heran dengan penuturannya yang membuat amarah Anna semakin membesar sampai-sampai wanita itu menatapnya dengan penuh amarah dan kebencian."Urusanmu? Apa kau lupa bahwa sekarang urusanmu juga urusanku, kau istriku dan kaulah yang harus menuruti kata-kataku, termasuk tidak pergi kemanapun tanpa seizinku. Bukankah sudah kuperingatkan tentang itu?" c