"Ren, belakangan ini artis senior yang namanya Adhisty lagi laris manis loh di tv. Kamu udah lihat beritanya?" tanya Ami yang masih sibuk memoles wajahnya dengan peralatan make up.Rena menjeda kunyahan sarapan salad sayurnya. Beruntung sisa makanan di dalam mulut gadis itu tinggal sedikit lagi. Bisa-bisa karena ulah rekan kerjanya ini dia hampir tersedak."Kemarin wartawan sempat ngeliput ada cewek pake jaket kulit yang keluar dari ruangannya si artis senior Adhisty itu, nggak asing sih aku ngelihat tuh jaket, cuma ya sayang banget nggak bisa lihat wajahnya karena keburu kabur pas dikejar, mereka ketinggalan jejak maybe," lanjut Ami lagi. Rena kembali melanjutkan sarapannya seolah memang tak mendengar apa yang dikatakan Ami barusan.Menyadari tak ada respon dari Rena yang menyahuti obrolan panjangnya, Ami berdecak kesal. Gadis itu tergerak melambaikan telapak tanga
“Matikan saja televisinya!” ujar Bara tanpa menoleh ke arah sang mantan yang hampir menitikkan air mata. Pria itu sengaja untuk duduk di belakang meja kerjanya. Bersikap seolah tak menyaksikan bagaimana si mantan berusaha terlihat tegar. Dia tak tahu harus berbuat apa jika sang gadis menangis di depannya. Jelas saja pertahanannya akan runtuh seperti saat melihat Rena kehilangan papinya dua bulan yang lalu. Rena menghela pelan napasnya. Tangan gadis itu mulai bergerak untuk menyusun beberapa berkas dokumen yang berserakan di atas meja ruangan diskusi mereka tadi.“Temui chef Arnold sekarang. Aku ingin apa yang kita bahas tadi segera dilaksanakan hari ini juga. Sampaikan hasilnya secepat mungkin,” kata Bara yang sempat melirik sekilas ke arah sang mantan.“Baik, Pak,” sahut Rena seraya pamit undur diri dari hadapannya. Bahkan hingga punggung gadis itu sampai benar-benar menghilang dari pandangannya, Bara masih memperhatikan sang mantan can
Baik Rena maupun Tora sama-sama membelalak kaget melihat Tita yang sudah tersungkur di lantai. Selang beberapa saat kakak ipar Bara itu berteriak histeris usai meraba bagian belakang dressnya yang terasa basah. Bahkan bagian bawah perutnya mulai bereaksi tak biasa.Rena yang melihat kejadian itu segera meraih ponselnya sementara Tora segera mendekat ke arah Tita.“Mas, anak kita,” ringis Tita sembari mengalungkan lengannya di leher Tora.“Tenanglah, Tit. Kita akan ke rumah sakit sekarang!” ucap Tora yang sudah membopong tubuh sang istri. Sementara Rena yang baru saja menelepon ambulans segera menghampiri sepasang suami istri itu.“Kak, ambulannya udah di depan,” lapor Rena yang kini berjalan di belakang Tora.“Pergi kamu jalang! Pergi!!” hardik Tita masih sempat meluapkan emosinya.“Mas, aku
Sang dokter menggeleng pelan, “Maaf, Pak. Kami tidak bisa menyelamatkan janin yang ada di kandungan pasien.” Bagai disambar petir rasanya usai mendengar keterangan dari dokter itu. Tora terduduk lemas di depan ruangan IGD tanpa ada seorang pun yang mengetahui rasa sakit yang dialami olehnya.“Apakah Bapak suami dari nyonya Tita Arsetya?” tanya seorang perawat yang baru saja keluar ruangan. Tora mengangguk lalu dia segera melangkah menemui sang istri. Tanpa bicara apapun Tita langsung menangis sesenggukan sembari meraba perutnya yang tak lagi berisi buah cinta mereka. Sepasang suami istri itu saling berpelukan melepas rasa sesak di hati keduanya.“Anak kita udah pergi, Mas. Hiks hiks, aku udah enggak hamil lagi. Kita kehilangan dia,” isak Tit
Melihat tak ada tanggapan dari sang adik ipar, lantas tak membuat Tita berhenti sampai di situ saja.“Kenapa setiap pria mudah sekali tertarik padanya. Kamu juga menyukainya ‘kan?” Kata-kata barusan membuat Bara melirik ke arah Tita. Dahinya berkerut seolah sedang mempertanyakan apa maksud perkataan perempuan yang tengah berbaring itu.“Kalau aku sudah keguguran, sangat mudah bagi si jalang itu untuk mendekati Mas Tora. Masa depan pernikahan kami akan sirna karena kehadirannya.”“Hiks, entahlah. Apalagi kemarin mereka sangat terlihat akrab. Tentu saja aku tak terima. Kami terlibat pertengkaran hingga ya ...Kamu bahkan tahu siapa yang memenangkannya,” tambah Tita lagi.&
Bara yang mendengar kata-kata itu hanya bergumam. Tak ingin mencari tahu maknanya karena otaknya sedang tak bisa bekerja dengan baik. Satu hal yang ingin dia buktikan sekarang, bahwa dirinya juga bisa merasakan nikmatnya tubuh seorang Serena Queen Adhisty seperti rumor yang beredar belakangan. Karena sudah dikuasai gairah dan amarah, Bara tak lagi peduli dengan apapun yang terjadi. Bahkan isakan pilu yang mengaung di kamar hotel menjadikan dirinya bagai kerasukan setan.“Jangan, please,” gumam Rena yang sekarang hanya bisa pasrah menerima serangan Bara secara membabi buta. Dalam hati gadis itu berteriak penuh kesakitan karena tak bisa lagi menutupi kekurangannya. Kedua manik mata sang GM pun berdecak penuh kekaguman saat melihat tubuh polos di hadapannya. Senyumnya terbit saat melihat tanda merah bekas jejak kepemilikan dirinya di ceruk leher dan dada gadis itu.“Aku menginginkan lebih dari ini, Ren,” lirihnya yang semakin m
“Ya ampun, Ren. Kamu kenapa??” tanya Fina yang menatap Rena penuh iba. Gadis itu menggeleng dan segera memeluk erat tubuh sang sahabat yang sudah berada di hadapannya. “Ya udah kita tenangin diri kamu dulu,” kata Fina. Perempuan itu mengusap pelan bahu Rena lalu membimbingnya menuju sofa yang ada di kamar hotel. Satu jam setelah kepergian Bara, dia segera menghubungi Fina dan meminta untuk dijemput. Bahkan dia tak memiliki pakaian yang layak lagi untuk dikenakan keluar kamar. Fina memberikan sebotol air mineral pada Rena. Wajahnya begitu sendu saat kembali melihat Rena dengan kerapuhan yang sama seperti sebelas tahun yang lalu. Hanya dirinya yang tahu bagaimana keluh kesah Rena selama ini. Tentu saja dia tak dapat berkata apa-apa dan membiarkan sang sahabat tenang sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Thanks ya, Fin. Aku benar-benar ngerepotin kamu jadinya,” sesal Rena yang sudah kembali mengumpulkan tenagan
“Brengsek, apa yang telah kukatakan tadi?? Hah!!” umpat Bara bermonolog pada dirinya sendiri. Tangan kanannya mengepal sempurna dengan memukul-mukul meja kerja yang berada di depannya. Tak seharusnya dia mengatakan hal itu pada gadis yang masih ia cintai. Hanya karena dirinya yang gugup sehingga kata-kata yang keluar dari mulutnya tak sesuai dengan isi hati. Terlambat sudah. Tamparan dari Rena tadi juga tidak akan membuat semua kembali seperti semula. Bara mengembuskan napasnya dengan kasar. Ucapan sang Tante malam tadi perlahan kembali berputar di otaknya. “Apa karena sindrom itu dia menjauhiku? Ren, apa kamu menderita sindrom MRKH seperti yang dikatakan Tanteku? Kalau iya, kamu tidak sedang baik-baik saja sekarang,” gumam pria itu kembali bermonolog pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir lagi dia segera bergegas ke luar ruangan. Pandangannya menyapu habis semua sisi meja kerja Rena yang berada di samping meja sekretarisnya. Kosong. S