Baik Rena maupun Tora sama-sama membelalak kaget melihat Tita yang sudah tersungkur di lantai. Selang beberapa saat kakak ipar Bara itu berteriak histeris usai meraba bagian belakang dressnya yang terasa basah. Bahkan bagian bawah perutnya mulai bereaksi tak biasa.Rena yang melihat kejadian itu segera meraih ponselnya sementara Tora segera mendekat ke arah Tita.“Mas, anak kita,” ringis Tita sembari mengalungkan lengannya di leher Tora.“Tenanglah, Tit. Kita akan ke rumah sakit sekarang!” ucap Tora yang sudah membopong tubuh sang istri. Sementara Rena yang baru saja menelepon ambulans segera menghampiri sepasang suami istri itu.“Kak, ambulannya udah di depan,” lapor Rena yang kini berjalan di belakang Tora.“Pergi kamu jalang! Pergi!!” hardik Tita masih sempat meluapkan emosinya.“Mas, aku
Sang dokter menggeleng pelan, “Maaf, Pak. Kami tidak bisa menyelamatkan janin yang ada di kandungan pasien.” Bagai disambar petir rasanya usai mendengar keterangan dari dokter itu. Tora terduduk lemas di depan ruangan IGD tanpa ada seorang pun yang mengetahui rasa sakit yang dialami olehnya.“Apakah Bapak suami dari nyonya Tita Arsetya?” tanya seorang perawat yang baru saja keluar ruangan. Tora mengangguk lalu dia segera melangkah menemui sang istri. Tanpa bicara apapun Tita langsung menangis sesenggukan sembari meraba perutnya yang tak lagi berisi buah cinta mereka. Sepasang suami istri itu saling berpelukan melepas rasa sesak di hati keduanya.“Anak kita udah pergi, Mas. Hiks hiks, aku udah enggak hamil lagi. Kita kehilangan dia,” isak Tit
Melihat tak ada tanggapan dari sang adik ipar, lantas tak membuat Tita berhenti sampai di situ saja.“Kenapa setiap pria mudah sekali tertarik padanya. Kamu juga menyukainya ‘kan?” Kata-kata barusan membuat Bara melirik ke arah Tita. Dahinya berkerut seolah sedang mempertanyakan apa maksud perkataan perempuan yang tengah berbaring itu.“Kalau aku sudah keguguran, sangat mudah bagi si jalang itu untuk mendekati Mas Tora. Masa depan pernikahan kami akan sirna karena kehadirannya.”“Hiks, entahlah. Apalagi kemarin mereka sangat terlihat akrab. Tentu saja aku tak terima. Kami terlibat pertengkaran hingga ya ...Kamu bahkan tahu siapa yang memenangkannya,” tambah Tita lagi.&
Bara yang mendengar kata-kata itu hanya bergumam. Tak ingin mencari tahu maknanya karena otaknya sedang tak bisa bekerja dengan baik. Satu hal yang ingin dia buktikan sekarang, bahwa dirinya juga bisa merasakan nikmatnya tubuh seorang Serena Queen Adhisty seperti rumor yang beredar belakangan. Karena sudah dikuasai gairah dan amarah, Bara tak lagi peduli dengan apapun yang terjadi. Bahkan isakan pilu yang mengaung di kamar hotel menjadikan dirinya bagai kerasukan setan.“Jangan, please,” gumam Rena yang sekarang hanya bisa pasrah menerima serangan Bara secara membabi buta. Dalam hati gadis itu berteriak penuh kesakitan karena tak bisa lagi menutupi kekurangannya. Kedua manik mata sang GM pun berdecak penuh kekaguman saat melihat tubuh polos di hadapannya. Senyumnya terbit saat melihat tanda merah bekas jejak kepemilikan dirinya di ceruk leher dan dada gadis itu.“Aku menginginkan lebih dari ini, Ren,” lirihnya yang semakin m
“Ya ampun, Ren. Kamu kenapa??” tanya Fina yang menatap Rena penuh iba. Gadis itu menggeleng dan segera memeluk erat tubuh sang sahabat yang sudah berada di hadapannya. “Ya udah kita tenangin diri kamu dulu,” kata Fina. Perempuan itu mengusap pelan bahu Rena lalu membimbingnya menuju sofa yang ada di kamar hotel. Satu jam setelah kepergian Bara, dia segera menghubungi Fina dan meminta untuk dijemput. Bahkan dia tak memiliki pakaian yang layak lagi untuk dikenakan keluar kamar. Fina memberikan sebotol air mineral pada Rena. Wajahnya begitu sendu saat kembali melihat Rena dengan kerapuhan yang sama seperti sebelas tahun yang lalu. Hanya dirinya yang tahu bagaimana keluh kesah Rena selama ini. Tentu saja dia tak dapat berkata apa-apa dan membiarkan sang sahabat tenang sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Thanks ya, Fin. Aku benar-benar ngerepotin kamu jadinya,” sesal Rena yang sudah kembali mengumpulkan tenagan
“Brengsek, apa yang telah kukatakan tadi?? Hah!!” umpat Bara bermonolog pada dirinya sendiri. Tangan kanannya mengepal sempurna dengan memukul-mukul meja kerja yang berada di depannya. Tak seharusnya dia mengatakan hal itu pada gadis yang masih ia cintai. Hanya karena dirinya yang gugup sehingga kata-kata yang keluar dari mulutnya tak sesuai dengan isi hati. Terlambat sudah. Tamparan dari Rena tadi juga tidak akan membuat semua kembali seperti semula. Bara mengembuskan napasnya dengan kasar. Ucapan sang Tante malam tadi perlahan kembali berputar di otaknya. “Apa karena sindrom itu dia menjauhiku? Ren, apa kamu menderita sindrom MRKH seperti yang dikatakan Tanteku? Kalau iya, kamu tidak sedang baik-baik saja sekarang,” gumam pria itu kembali bermonolog pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir lagi dia segera bergegas ke luar ruangan. Pandangannya menyapu habis semua sisi meja kerja Rena yang berada di samping meja sekretarisnya. Kosong. S
Ami tak lagi dapat menjawab saat seorang pria menyembul dari arah belakang. Menyadari adanya hal yang akan dibicarakan oleh kedua kakak-beradik itu, dirinya segera pamit undur diri. “Ada apa Kakak ke sini?” tanya Bara usai menghela napasnya. Tora menerbitkan senyuman miringnya, “Kamu enggak merasa telah berbuat sesuatu ke Rena?” “Daripada mempedulikan urusanku, lebih baik urus saja istri Kakak yang telah mengacaukan semuanya,” sanggah Bara tak ingin merasa disalahkan. “Hah, kamu udah dewasa. Seharusnya jangan lagi menyalahkan orang lain dengan kesalahanmu. Oke, waktu itu Tita memang sedang emosi dan memancingmu, lantas apa semua memang murni karena ulahnya?” sambar Tora sengaja mengintimidasi sang Adik. Sang GM dari Rose Hotel itu kemudian mendudukkan diri di kursi yang ada di belakang Bara. Sejenak keduanya hening dan berbicara dengan diri masing-masing. “Kakak heran, sejak kapan kamu peduli dengan kisah cinta kami?
“Saya malah baru tahu kalau ada asparagus yang warnanya putih loh, Bu Rena,” jujur Bu Risa sambil tersenyum.“Iya sih. Memang aspragus yang putih itu dibudidayakan di dataran tinggi dan enggak banyak juga dijumpai di Indonesia. Saya juga sepertinya enggak bakalan tahu kalau enggak ikutan kursus masak,” papar Rena sembari terus mengamati bagaimana proses perendaman benih biji tumbuhan asaparagus di hadapannya. Rena memutuskan untuk tidak menerima tawaran Tora agar bekerja di Rose Hotel. Dirinya yakin khawatir akan memperkeruh rumah tangga pria itu. Lebih tepatnya lagi dia tak ingin terlibat dengan Bara. Meskipun berbeda perusahaan, tetap saja kemungkinan bahwa dia akan bertemu dengan sang mantan akan terulang. Begitulah yang dipikirkan olehnya saat itu. Seperti
Rena tampak begitu anggun mengenakan kebaya putih dengan desain yang terlihat elegan membungkus tubuhnya. Sang Mami menuntunnya berjalan menuruni gundukan anak tangga tanpa melepas tangannya sama sekali. Gugup. Itulah yang tengah dirasakan oleh gadis cantik tersebut. Dirinya didudukkan tak jauh dari sang pria yang sebentar lagi akan melaksanakan ijab kabul dalam hitungan menit. Tak ubahnya dengan Rena, Bara bahkan tak berani menatap sang calon istrinya itu karena sibuk mengingat lafal yang dikatakan Pak Penghulu tadi. Jelas dia tak mau mengulang kesalahan saat melangsungkan ikrar suci pernikahannya nanti. Jadilah sang GM Erlangga Hotel tersebut memilih untuk menundukkan pandangan.“Bagaimana? Apa ada lagi yang mau ditunggu?” tanya Pak Penghulu. Kedua pihak calon mempelai pengantin sepakat untuk memulai proses akad nikah. Karena tak ada keluarga dari pihak sang Papi yang tersisa, jadilah wali hakim ditunjuk untuk menjadi perantaranya.
Singkat, padat dan jelas. Itulah yang diutarakan Tita barusan. Istri Tora yang semula bersifat kasar dan egois itu menggenggam tangan Rena lalu membawanya menyentuh perut yang sedikit membuncit. “Kita besarkan anak ini sama-sama ya, Ren.” Rena masih bergeming. Kedua matanya berkaca-kaca karena tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas permintaan sang calon Kakak Iparnya. “Kamu mau ‘kan? Anak ini akan punya dua orang ibu dan ayah. Dia pasti senang sekali,” gumam Tita. “I-iya, Kak,” jawab Rena akhirnya. Lantas keduanya saling berpelukan untuk menyalurkan perasaan kasih antar sesama wanita. Tak berapa lama Bara pun datang untuk memisahkan mereka. “Cepatlah, Sayang. Nanti kamu akan terlambat,” bisik Bara kemudian. Rena mengangguk pelan. Senyumnya mengembang sempurna ketika menuruni eskalator yang menjadi fasilitas menuju langkahnya ke arah gate maskapai penerbangan. Sang Mami mengusap pelan lengannya untuk memberikan ketenangan. *** [“Lihat nih! Kakak udah bisa main
“Aku percayakan semua sama Kakak aja ya.” “Enggak. Pokoknya Kakak mau kita yang urus sendiri untuk itu,” putus Bara yang sama sekali tak ingin mendengar adanya bantahan. “Please, Sayang!” Wajah puppy eyes dan penuh harap dari seorang Adibara Erlangga membuat Rena mengangguk sambil mengulum senyum. Tak pelak dia bergerak untuk melepaskan sabuk pengaman yang masih melekat di tubuh sang tunangan. CUP! “Makasih, Sayang,” gumam Bara tepat setelah gadisnya hendak beringsut mundur. “Enggak mau balas hemm?” “Enggak,” tolak Rena cepat. “Yang ada nanti kita enggak masuk-masuk. Tuh lihat Papa udah berdiri di balkon sana!” “Alasan saja,” cibir Bara. Rena seolah menulikan indera pendengarannya. Lantas membuka pintu mobilnya dengan segera. Pemandangan yang pertama kali dilihat membuatnya mengerling malas. Ada Tita yang tengah duduk bersantai di ruang tamu sembari menikmati susu hamilnya. “Jangan hiraukan dia. Ayo masuk!” “Enggak, Kak. Aku pulang saja ya.
Pemandangan hijau nan asri membuat senyum Rena merekah sempurna. Gadis itu memapah sang tunangan dengan tangan kiri yang menenteng sebuah keranjang berisi kotak bekal yang dibawanya dari rumah. Parfum dengan aroma citrus blossom yang menguar dari tubuh tunangan Bara tersebut seolah menyatu dengan alam. Segar dan membuat perasaan yang menghidunya jadi menumbuhkan kesan positif. “Anaknya Tante Cintya itu emang top kasih terapi ke Kakak. Buktinya bisa terapi,” gumam Rena sambil tersenyum. “Suaranya mirip nyamuk. Melengking dan menyebalkan. Makanya mau tak mau Kakak terpaksa menurut saja,” kekeh Bara yang kini sedang menaik-turunkan pergelangan tangan kanannya. “Kalau enggak kayak gitu aku yakin Kakak pasti sembuhnya lama. Entar kalau kita nikah mana bisa gendong aku untuk photo shoot,” kata Rena sambil menahan tawanya. “Bisa. Harus bisa dong,” kata Bara dengan penuh keyakinan tingkat tinggi. “Dalam waktu dua bulan ke depan kamu akan lihat Kakak bisa kembali seperti dulu
Istri Tora yang merasa tersinggung itu hendak maju untuk menyerang Sandra, akan tetapi langkahnya terhenti ketika mengingat pengalaman pahit kehilangan bayinya beberapa bulan yang lalu.“Lebih baik Kakak fokus pada kehamilan saja. Sudah mau jadi ibu tetapi kelakuannya sama sekali tak berubah,” ketus Sandra yang segera menghilang dari pandangan Tita. Napasnya masih memburu hingga kembali menghampiri Jason yang masih tetap dalam posisi semula. Bahkan saking kesalnya dia merebut gelas pria itu dan menenggak isinya hingga tak bersisa.“Kenapa?” tanya sandra begitu melihat tatapan sinis Jason.“Kau mengambil gelasku,” cibir sang pria.Sandra langsung mengerjap cepat. Lantas memandang gelas kaca miliknya yang masih bersisi setengah. Jelas dia merasa malu bukan main. “Maaf. Aku akan gantikan gelasmu yang lain.”“Tak usah,” ketus Jason segera. Tak pelak dia menatap Sandra yang tampak seperti kehabisan tenaga. “Kau habis cakar-cakaran?” tanyanya kemudian. Sa
Rena segera menoleh ketika mendengar suara ketukan dari arah luar. Lantas dia pun mengangguk seolah memberikan kode pada tim penatas rias yang baru saja memperindah penampilannya.“Kau cantik,” gumam Jason sambil tersenyum. “Papi pasti senang kalau dia berada di sini sekarang.”“Ya. Mungkin saja dia akan menghentikan acara ini. Apalagi kalau Papi tahu akan menikah dengan anak musuh bebuyutannya.”Ucapan barusan membuat Jason terkekeh. “Kau memang sok tahu. Papi mana begitu. Dia akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia. Bahkan ketika tahu bahwa kau pacaran dengan Bara waktu itu.”Alis Rena langsung naik sebelah. Merasa heran dengan penuturan Jason beberapa detik yang lalu. Lantas Abang angkatnya tersebut menarik kursi agar bisa berbicara lebih lama lagi. Tak pelak
“Jangan membantah. Atau aku culik kamu sekarang,” gumam Bara dengan sorotan mata tajamnya. “Siapkan dirimu, Sayang. Lusa acara tunangan kita akan digelar di hotel Erlangga jam 7 malam.” Setelahnya pria itu mengecup singkat pipi Rena lalu bergerak ke luar dari mobil. Memanggil sopir Rena sebelum akhirnya melambaikan tangan sambil mengerdipkan mata. Baru saja menghempaskan diri atas ranjang, gadis itu kembali dikejutkan dengan panggilan video dari sang kekasih. Senyumnya mengembang sempurna usai membersihkan diri pulang dari acara tadi.[“Hai, Cantik. Sedang apa?”] Rena tak menjawab. Hanya menunjukkan deretan gigi putihnya yang bersih dan rapi.[“Kamu cosplay jadi iklan pasta gigi ya?”]
Acara utama syukuran tujuh bulanan untuk kehamilan Fina sudah berakhir. Para tamu dipersilakan berbaur dan mencicipi hidangan yang telah tersedia.“Selamat ya, Fin. Semoga kamu sehat sampai lahiran nanti,” gumam Rena sambil mengelus lembut perut buncit sahabat karibnya itu. Ada perasaan gembira bercampur iri yang sedang dipendamnya sendiri. Sedangkan Fina yang paham betul bagaimana perubahan raut wajah sendu tersebut segera menggenggam tangannya.“Anak aku akan jadi anak kamu juga. Dia akan manggil kamu Mama juga, Ren. Ini hanya perkara mengandung dan melahirkan. Kamu juga akan dianggap sebagai ibunya,” ucap Fina dengan air mata yang sudah menggenang. Keduanya saling berpelukan erat. Tak ada yang berbicara hingga suami Fina menghampiri mereka.“Cemburu nih aku sama kalian. Udah kayak Kakak Adik aja.”Buru-buru Fina menyeka air matanya, lalu menyikut pelan lengan sang suami. “Anak kita bakalan punya dua Mama. Iya ‘kan, Mas?”Suami Fina yang tahu bagaimana kondis
CUP! Bukannya menjawab pertanyaan Rena, Bara malah mendaratkan kecupannya di bibir ranum mantan cantiknya itu. Jelas membuat sang empu terkejut bukan main.“Kau!!”CUP! CUP!! Sontak kedua manik mata kecokelatan milik gadis cantiknya sukses membelalak dengan sempurna. Bibirnya menganga hendak mengucapkan sesuatu, namun sayangnya lidah pun mendadak kelu.“Aku tak sabar menghabiskan sisa hidup denganmu. Makanya ayo cepat-cepat menikah,” gumam Bara kemudian. Sang gadis berubah manyun sambil mengubah posisi duduknya menjadi lurus ke depan. Tak lagi saling berhadapan dengan sang mantan yang akhir-akhir ini selalu bisa membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Sementara Nyonya Adhisty yang hendak memanggil Putrinya turut menghentikan langkah di ambang pintu. Sadar bahwa keduanya sedang terlibat percakapan serius, dia pun kembali mengurungkan niat tadi. Bara mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Tak lagi pedulikan bagian klaviku