“Saya malah baru tahu kalau ada asparagus yang warnanya putih loh, Bu Rena,” jujur Bu Risa sambil tersenyum.“Iya sih. Memang aspragus yang putih itu dibudidayakan di dataran tinggi dan enggak banyak juga dijumpai di Indonesia. Saya juga sepertinya enggak bakalan tahu kalau enggak ikutan kursus masak,” papar Rena sembari terus mengamati bagaimana proses perendaman benih biji tumbuhan asaparagus di hadapannya. Rena memutuskan untuk tidak menerima tawaran Tora agar bekerja di Rose Hotel. Dirinya yakin khawatir akan memperkeruh rumah tangga pria itu. Lebih tepatnya lagi dia tak ingin terlibat dengan Bara. Meskipun berbeda perusahaan, tetap saja kemungkinan bahwa dia akan bertemu dengan sang mantan akan terulang. Begitulah yang dipikirkan olehnya saat itu. Seperti
Mendengar ucapan sang GM yang sepertinya hampir putus asa itu, David menghela napasnya. Selang beberapa saat Ami muncul dengan sekotak perlengkapan P3K berikut dengan dua orang petugas OB yang diperintahkan oleh David tadi. “Jangan sentuh aku!!” sentak Bara saat sekretarisnya berniat mengobati luka di tangannya. “Tapi, Pak. Lukanya—“ Ami membeku di tempatnya saat kedua manik mata sang atasan menusukkan pandangan tak senangnya. Perlahan tubuh perempuan itu mundur hingga tak lagi dapat bergerak. “Sudahlah. Biar aku yang akan mengurus Pak GM,” ucap David yang segera mengambil alih kotak yang berada di genggaman Ami. Sekretaris itu beranjak dari tempatnya lalu segera pamit undur diri. Sementara kedua petugas OB sedang membersihkan kekacauan tadi, David kembali disibukkan dengan Bara yang kini masih memasang wajah penuh protesnya. “Sini, Pak. Saya akan bantu mengobati luka Anda,” ucap David. Bara hanya bungkam. Tangan kirinya ditarik perlahan oleh sang asisten tanpa mengatakan sep
Rena bergerak untuk sedikit memajukan tubuhnya. Gadis itu ingin memastikan bahwa indera pendengarannya tidak keliru. “Pewaris dari pemilik tanah yang saya katakan akan datang, Bu. Saya enggak tahu harus mengatakan apa kalau sampai dia hendak ...” ucapan bu Risa terjeda sesaat. “Saya tak sanggup lagi harus bagaimana,” lanjutnya. “Sudahlah, Bu. Sebaiknya Ibu istirahat. Jangan terlalu banyak yang dipikirkan. Kesehatan Ibu lebih utama,” ucap Rena yang kemudian mengelus pelan lengan sang pemilik panti itu. Hening. Kedua perempuan beda usia itu saling bertatap kemudian hanyut dengan pikiran mereka masing-masing. Satu jam kemudian Bu Risa terlelap akibat efek obat yang telah dikonsumsinya. Rena yang melihat keadaan itu perlahan melangkah keluar untuk membiarkan sang pemilik panti beristirahat dengan tenang. Dia mengembuskan napasnya pelan lalu menatap para anak panti yang baru saja ke luar dari ruang makan.
Paru-paru gadis itu mengembang sempurna sembari menghirup pasukan oksigen lebih banyak lagi. Dia sungguh tidak menyangka mengapa takdir seolah selalu saja menyudutkannya. Hingga senyuman tipis dari pria itu berhasil membuat lamunan buruk seorang Rena memudar seketika. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya sang pria saat melihat Rena yang tiba-tiba sudah berada di depannya. Pria itu memberikan isyarat agar para pengawalnya segera menjauh. “Kita harus bicara,” ujar Rena tak ingin berbasa-basi lagi. “Dengan senang hati,” sambut lawan bicaranya sambil terus tersenyum. Keduanya segera menepi hingga duduk di taman yang tak jauh dari parkiran mobil tadi. “Apa ini kebetulan jika kita bertemu di sini Nona Rena?” Gadis itu tak menjawab. Pandangannya tetap melihat sang pria dengan penuh tanda tanya. “Oh ayolah. Apa begini caramu menyambutku?” “Diamlah, Jason. Apa maksudmu untuk menganggu panti ini
Setelah berdebat dengan Jason kemarin, sang GM dari Erlangga Hotel itu mulai dilanda kecemasan yang tak karuan. Dia benar-benar merutuki kelengahannya karena kecolongan satu kesempatan emas untuk membuat Rena kembali bersamanya. Baru kali ini dia tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan nasib sang mantan. Oh, lebih tepatnya takdir bagi dirinya sendiri karena masih belum bisa move on dari pesona Rena. Terlepas dari penyebab hubungan mereka yang kandas 11 tahun lalu, gadis itu tak pernah membuatnya murung seperti sekarang. Bahkan satu malaman dia memikirkan jalan keluar, tetap saja hasilnya nihil. “Apa kita masih ada jadwal meeting hari ini?” tanya Bara saat memeriksa berkas yang diserahkan oleh David. “Iya, Pak. Jam 11, setelah itu —“ “Handle setelahnya. Aku ingin pergi setelah jam makan siang,” potong GM itu tak ingin dibantah. Untuk sesaat David menghela napas pelan, dia bisa melihat kantung mata sang atasan yang jelas sekali menampakka
“Mari, Pak. Silakan diminum,” ucap Bu Risa sembari menunjuk dua gelas teh yang diberikan oleh salah satu pengurus panti. Bara mengangguk pelan. Dia mulai celingukan seolah sedang mencari sesuatu. Bu Risa yang sepertinya paham dengan apa yang dilakukan pria di hadapannya hanya mengulum senyum. “Bu Rena di mana sekarang?” tanya sang pemilik panti itu pada orang yang mengantarkan nampan berisi teh barusan. “Di dapur, Bu. Dia sedang menyiapkan menu makan malam,” jawab pengurus itu sembari pamit undur diri. “Oh, mungkin Bu Rena sedang menghangatkan makanan,” ucap Bu Risa bermonolog ria. Bara hanya memilih sikap acuh tak acuh seolah tak peduli dengan ungkapan sang pemilik panti barusan. Tak banyak yang dibicarakan oleh sang GM dan pemilik panti itu. Apalagi sejatinya Bara memang tak suka mengobrol banyak dan lebih memilih menjawab pertanyaan Bu Risa dengan kata ya dan tidak saja. Wajar saja jika perempuan paruh baya ini sedikit kebin
“Tolong antarkan Pak Bara ke kamar tamu ya, Ji,” titah Bu Risa yang segera diiyakan oleh pengurus panti itu. HASHYIM!! Baru saja berjalan beberapa langkah meninggalkan Rena dan Bu Risa, sang GM tampan itu kembali mengalihkan perhatian kedua perempuan yang masih menghuni ruangan tadi. “Pak, apakah Anda —“ “Saya baik-baik aja, Buk,” kata Bara memotong ucapan sang pemilik panti. Tanpa menunggu respon apapun, sang GM kembali berjalan mengikuti Aji yang akan mengantarkannya untuk beristirahat malam ini. Langkah kakinya terhenti saat menyadari tujuan mereka telah sampai. Sembari menunggu Aji membukakan pintu, Bara kembali menyapukan pandangannya ke sekitar area panti yang sudah berubah menjadi sepi. Meskipun ada cahaya temaram yang menerangi teras kamar itu, Bara tak menampik jika dia masih saja teringat dengan kejadian memalukan saat suasana mati listrik di sana beberapa bulan yang lalu. “Apa tidak ad
“Kenapa kau diam?” tanya Bara saat Rena tak memberikan jawaban apapun. “Bukan urusanmu,” ucap Rena yang kemudian meninggalkan Bara seorang diri. Sang GM tampan itu menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Benar yang dikatakan Rena bahwa dia tak harus ikut campur dengan apa yang dilakukan oleh sang gadis. Sayang sekali dia harus kembali ke kantor saat ini juga. “Sudah mau berangkat ya, Pak?” tanya Bu Risa. Bara mengangguk, “Saya akan kembali lagi setelah semua urusan selesai, Bu. Tolong kabari kalau pihak Raksana Group datang sewaktu-waktu.” Pemilik panti itu mengiyakan dan mengantarkan sang GM hingga ke mobilnya. Pun ada Aji dan beberapa pengurus lain yang juga menemani Bu Risa melepas kepergian Bara. “Ada yang tertinggal, Pak?” tanya Aji saat melihat sang GM mengedarkan pandangannya ke sekitar mereka. Pria pemilik lesung pipi itu mendesah pelan lalu menggelengkan kepalanya. Dia memutar k