Rena bergerak untuk sedikit memajukan tubuhnya. Gadis itu ingin memastikan bahwa indera pendengarannya tidak keliru. “Pewaris dari pemilik tanah yang saya katakan akan datang, Bu. Saya enggak tahu harus mengatakan apa kalau sampai dia hendak ...” ucapan bu Risa terjeda sesaat. “Saya tak sanggup lagi harus bagaimana,” lanjutnya. “Sudahlah, Bu. Sebaiknya Ibu istirahat. Jangan terlalu banyak yang dipikirkan. Kesehatan Ibu lebih utama,” ucap Rena yang kemudian mengelus pelan lengan sang pemilik panti itu. Hening. Kedua perempuan beda usia itu saling bertatap kemudian hanyut dengan pikiran mereka masing-masing. Satu jam kemudian Bu Risa terlelap akibat efek obat yang telah dikonsumsinya. Rena yang melihat keadaan itu perlahan melangkah keluar untuk membiarkan sang pemilik panti beristirahat dengan tenang. Dia mengembuskan napasnya pelan lalu menatap para anak panti yang baru saja ke luar dari ruang makan.
Paru-paru gadis itu mengembang sempurna sembari menghirup pasukan oksigen lebih banyak lagi. Dia sungguh tidak menyangka mengapa takdir seolah selalu saja menyudutkannya. Hingga senyuman tipis dari pria itu berhasil membuat lamunan buruk seorang Rena memudar seketika. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya sang pria saat melihat Rena yang tiba-tiba sudah berada di depannya. Pria itu memberikan isyarat agar para pengawalnya segera menjauh. “Kita harus bicara,” ujar Rena tak ingin berbasa-basi lagi. “Dengan senang hati,” sambut lawan bicaranya sambil terus tersenyum. Keduanya segera menepi hingga duduk di taman yang tak jauh dari parkiran mobil tadi. “Apa ini kebetulan jika kita bertemu di sini Nona Rena?” Gadis itu tak menjawab. Pandangannya tetap melihat sang pria dengan penuh tanda tanya. “Oh ayolah. Apa begini caramu menyambutku?” “Diamlah, Jason. Apa maksudmu untuk menganggu panti ini
Setelah berdebat dengan Jason kemarin, sang GM dari Erlangga Hotel itu mulai dilanda kecemasan yang tak karuan. Dia benar-benar merutuki kelengahannya karena kecolongan satu kesempatan emas untuk membuat Rena kembali bersamanya. Baru kali ini dia tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan nasib sang mantan. Oh, lebih tepatnya takdir bagi dirinya sendiri karena masih belum bisa move on dari pesona Rena. Terlepas dari penyebab hubungan mereka yang kandas 11 tahun lalu, gadis itu tak pernah membuatnya murung seperti sekarang. Bahkan satu malaman dia memikirkan jalan keluar, tetap saja hasilnya nihil. “Apa kita masih ada jadwal meeting hari ini?” tanya Bara saat memeriksa berkas yang diserahkan oleh David. “Iya, Pak. Jam 11, setelah itu —“ “Handle setelahnya. Aku ingin pergi setelah jam makan siang,” potong GM itu tak ingin dibantah. Untuk sesaat David menghela napas pelan, dia bisa melihat kantung mata sang atasan yang jelas sekali menampakka
“Mari, Pak. Silakan diminum,” ucap Bu Risa sembari menunjuk dua gelas teh yang diberikan oleh salah satu pengurus panti. Bara mengangguk pelan. Dia mulai celingukan seolah sedang mencari sesuatu. Bu Risa yang sepertinya paham dengan apa yang dilakukan pria di hadapannya hanya mengulum senyum. “Bu Rena di mana sekarang?” tanya sang pemilik panti itu pada orang yang mengantarkan nampan berisi teh barusan. “Di dapur, Bu. Dia sedang menyiapkan menu makan malam,” jawab pengurus itu sembari pamit undur diri. “Oh, mungkin Bu Rena sedang menghangatkan makanan,” ucap Bu Risa bermonolog ria. Bara hanya memilih sikap acuh tak acuh seolah tak peduli dengan ungkapan sang pemilik panti barusan. Tak banyak yang dibicarakan oleh sang GM dan pemilik panti itu. Apalagi sejatinya Bara memang tak suka mengobrol banyak dan lebih memilih menjawab pertanyaan Bu Risa dengan kata ya dan tidak saja. Wajar saja jika perempuan paruh baya ini sedikit kebin
“Tolong antarkan Pak Bara ke kamar tamu ya, Ji,” titah Bu Risa yang segera diiyakan oleh pengurus panti itu. HASHYIM!! Baru saja berjalan beberapa langkah meninggalkan Rena dan Bu Risa, sang GM tampan itu kembali mengalihkan perhatian kedua perempuan yang masih menghuni ruangan tadi. “Pak, apakah Anda —“ “Saya baik-baik aja, Buk,” kata Bara memotong ucapan sang pemilik panti. Tanpa menunggu respon apapun, sang GM kembali berjalan mengikuti Aji yang akan mengantarkannya untuk beristirahat malam ini. Langkah kakinya terhenti saat menyadari tujuan mereka telah sampai. Sembari menunggu Aji membukakan pintu, Bara kembali menyapukan pandangannya ke sekitar area panti yang sudah berubah menjadi sepi. Meskipun ada cahaya temaram yang menerangi teras kamar itu, Bara tak menampik jika dia masih saja teringat dengan kejadian memalukan saat suasana mati listrik di sana beberapa bulan yang lalu. “Apa tidak ad
“Kenapa kau diam?” tanya Bara saat Rena tak memberikan jawaban apapun. “Bukan urusanmu,” ucap Rena yang kemudian meninggalkan Bara seorang diri. Sang GM tampan itu menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal. Benar yang dikatakan Rena bahwa dia tak harus ikut campur dengan apa yang dilakukan oleh sang gadis. Sayang sekali dia harus kembali ke kantor saat ini juga. “Sudah mau berangkat ya, Pak?” tanya Bu Risa. Bara mengangguk, “Saya akan kembali lagi setelah semua urusan selesai, Bu. Tolong kabari kalau pihak Raksana Group datang sewaktu-waktu.” Pemilik panti itu mengiyakan dan mengantarkan sang GM hingga ke mobilnya. Pun ada Aji dan beberapa pengurus lain yang juga menemani Bu Risa melepas kepergian Bara. “Ada yang tertinggal, Pak?” tanya Aji saat melihat sang GM mengedarkan pandangannya ke sekitar mereka. Pria pemilik lesung pipi itu mendesah pelan lalu menggelengkan kepalanya. Dia memutar k
“Kau masih terlalu gampang dalam menilai arti sebuah kebahagiaan, Bar,” ucap Tora dengan pandangan tajamnya. Bara menyeringai pelan. “Oh ya? Katakan padaku apa yang Kakak dapatkan setelah menikahi kak Tita? Apa sikapnya yang posesif itu ‘kah?” “Apa maksud kalian?” Tuan William memandang kedua putranya itu secara bergantian. “Sudahlah, Pa. Tidak ada gunanya berbicara dengan Bara sekarang,” ucap Tora berusaha menghentikan perdebatan mereka. Tuan William mendesah pelan. Dia mengangguk saat sang putra sulung mengajaknya meninggalkan ruang kerja Bara. “Jangan berbicara sepatah kata pun, Vid. Kau sudah melihat bagaimana papa sangat membanggakan putranya itu ‘kan?” lirih Bara. David hanya diam dan kembali mengatupkan mulutnya yang hampir menganga. Sang asisten itu perlahan memundurkan langkahnya karena tak jadi mengucapkan sesuatu. Selang beberapa saat Ami mengetuk pintu ruangan dan berjalan menuju meja
Pembicaraan ringan yang penuh tawa itu terhenti saat Rena mendengar suara pekikan dari seorang anak panti yang ada di belakang mereka. “Bu, kami sudah selesai olah raganya. Apa boleh sekalian mandi?” tanya bocah lelaki berumur 11 tahun yang sudah berada di hadapan Rena. “Tentu. Keringkan dulu keringat kalian ya.” “Oke, Bu.” Setelah melihat kepergian anak itu, Rena mengerutkan sedikit dahinya karena memandang ekspresi Tora yang tak biasa. “Pantesan kayak bau asem. Eh, rupanya hmmm,” cibir Tora sembari mengenduskan indera penciumannya ke arah Rena. Gadi itu terkikik menahan malu karena ucapan barusan benar adanya. “Oh ya. Kakak belum bilang loh alasan datang kemari,” gumam Rena seakan sedang menuntut jawaban atas ucapannya. “Mandi dulu gih, enggak minat ngomong sama cewek cantik yang baunya kecut,” kilah Tora ada benarnya. Rena beranjak dari duduknya sembari mengerucutkan bibir. Masih diikuti oleh Tora yang berada
Rena tampak begitu anggun mengenakan kebaya putih dengan desain yang terlihat elegan membungkus tubuhnya. Sang Mami menuntunnya berjalan menuruni gundukan anak tangga tanpa melepas tangannya sama sekali. Gugup. Itulah yang tengah dirasakan oleh gadis cantik tersebut. Dirinya didudukkan tak jauh dari sang pria yang sebentar lagi akan melaksanakan ijab kabul dalam hitungan menit. Tak ubahnya dengan Rena, Bara bahkan tak berani menatap sang calon istrinya itu karena sibuk mengingat lafal yang dikatakan Pak Penghulu tadi. Jelas dia tak mau mengulang kesalahan saat melangsungkan ikrar suci pernikahannya nanti. Jadilah sang GM Erlangga Hotel tersebut memilih untuk menundukkan pandangan.“Bagaimana? Apa ada lagi yang mau ditunggu?” tanya Pak Penghulu. Kedua pihak calon mempelai pengantin sepakat untuk memulai proses akad nikah. Karena tak ada keluarga dari pihak sang Papi yang tersisa, jadilah wali hakim ditunjuk untuk menjadi perantaranya.
Singkat, padat dan jelas. Itulah yang diutarakan Tita barusan. Istri Tora yang semula bersifat kasar dan egois itu menggenggam tangan Rena lalu membawanya menyentuh perut yang sedikit membuncit. “Kita besarkan anak ini sama-sama ya, Ren.” Rena masih bergeming. Kedua matanya berkaca-kaca karena tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas permintaan sang calon Kakak Iparnya. “Kamu mau ‘kan? Anak ini akan punya dua orang ibu dan ayah. Dia pasti senang sekali,” gumam Tita. “I-iya, Kak,” jawab Rena akhirnya. Lantas keduanya saling berpelukan untuk menyalurkan perasaan kasih antar sesama wanita. Tak berapa lama Bara pun datang untuk memisahkan mereka. “Cepatlah, Sayang. Nanti kamu akan terlambat,” bisik Bara kemudian. Rena mengangguk pelan. Senyumnya mengembang sempurna ketika menuruni eskalator yang menjadi fasilitas menuju langkahnya ke arah gate maskapai penerbangan. Sang Mami mengusap pelan lengannya untuk memberikan ketenangan. *** [“Lihat nih! Kakak udah bisa main
“Aku percayakan semua sama Kakak aja ya.” “Enggak. Pokoknya Kakak mau kita yang urus sendiri untuk itu,” putus Bara yang sama sekali tak ingin mendengar adanya bantahan. “Please, Sayang!” Wajah puppy eyes dan penuh harap dari seorang Adibara Erlangga membuat Rena mengangguk sambil mengulum senyum. Tak pelak dia bergerak untuk melepaskan sabuk pengaman yang masih melekat di tubuh sang tunangan. CUP! “Makasih, Sayang,” gumam Bara tepat setelah gadisnya hendak beringsut mundur. “Enggak mau balas hemm?” “Enggak,” tolak Rena cepat. “Yang ada nanti kita enggak masuk-masuk. Tuh lihat Papa udah berdiri di balkon sana!” “Alasan saja,” cibir Bara. Rena seolah menulikan indera pendengarannya. Lantas membuka pintu mobilnya dengan segera. Pemandangan yang pertama kali dilihat membuatnya mengerling malas. Ada Tita yang tengah duduk bersantai di ruang tamu sembari menikmati susu hamilnya. “Jangan hiraukan dia. Ayo masuk!” “Enggak, Kak. Aku pulang saja ya.
Pemandangan hijau nan asri membuat senyum Rena merekah sempurna. Gadis itu memapah sang tunangan dengan tangan kiri yang menenteng sebuah keranjang berisi kotak bekal yang dibawanya dari rumah. Parfum dengan aroma citrus blossom yang menguar dari tubuh tunangan Bara tersebut seolah menyatu dengan alam. Segar dan membuat perasaan yang menghidunya jadi menumbuhkan kesan positif. “Anaknya Tante Cintya itu emang top kasih terapi ke Kakak. Buktinya bisa terapi,” gumam Rena sambil tersenyum. “Suaranya mirip nyamuk. Melengking dan menyebalkan. Makanya mau tak mau Kakak terpaksa menurut saja,” kekeh Bara yang kini sedang menaik-turunkan pergelangan tangan kanannya. “Kalau enggak kayak gitu aku yakin Kakak pasti sembuhnya lama. Entar kalau kita nikah mana bisa gendong aku untuk photo shoot,” kata Rena sambil menahan tawanya. “Bisa. Harus bisa dong,” kata Bara dengan penuh keyakinan tingkat tinggi. “Dalam waktu dua bulan ke depan kamu akan lihat Kakak bisa kembali seperti dulu
Istri Tora yang merasa tersinggung itu hendak maju untuk menyerang Sandra, akan tetapi langkahnya terhenti ketika mengingat pengalaman pahit kehilangan bayinya beberapa bulan yang lalu.“Lebih baik Kakak fokus pada kehamilan saja. Sudah mau jadi ibu tetapi kelakuannya sama sekali tak berubah,” ketus Sandra yang segera menghilang dari pandangan Tita. Napasnya masih memburu hingga kembali menghampiri Jason yang masih tetap dalam posisi semula. Bahkan saking kesalnya dia merebut gelas pria itu dan menenggak isinya hingga tak bersisa.“Kenapa?” tanya sandra begitu melihat tatapan sinis Jason.“Kau mengambil gelasku,” cibir sang pria.Sandra langsung mengerjap cepat. Lantas memandang gelas kaca miliknya yang masih bersisi setengah. Jelas dia merasa malu bukan main. “Maaf. Aku akan gantikan gelasmu yang lain.”“Tak usah,” ketus Jason segera. Tak pelak dia menatap Sandra yang tampak seperti kehabisan tenaga. “Kau habis cakar-cakaran?” tanyanya kemudian. Sa
Rena segera menoleh ketika mendengar suara ketukan dari arah luar. Lantas dia pun mengangguk seolah memberikan kode pada tim penatas rias yang baru saja memperindah penampilannya.“Kau cantik,” gumam Jason sambil tersenyum. “Papi pasti senang kalau dia berada di sini sekarang.”“Ya. Mungkin saja dia akan menghentikan acara ini. Apalagi kalau Papi tahu akan menikah dengan anak musuh bebuyutannya.”Ucapan barusan membuat Jason terkekeh. “Kau memang sok tahu. Papi mana begitu. Dia akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia. Bahkan ketika tahu bahwa kau pacaran dengan Bara waktu itu.”Alis Rena langsung naik sebelah. Merasa heran dengan penuturan Jason beberapa detik yang lalu. Lantas Abang angkatnya tersebut menarik kursi agar bisa berbicara lebih lama lagi. Tak pelak
“Jangan membantah. Atau aku culik kamu sekarang,” gumam Bara dengan sorotan mata tajamnya. “Siapkan dirimu, Sayang. Lusa acara tunangan kita akan digelar di hotel Erlangga jam 7 malam.” Setelahnya pria itu mengecup singkat pipi Rena lalu bergerak ke luar dari mobil. Memanggil sopir Rena sebelum akhirnya melambaikan tangan sambil mengerdipkan mata. Baru saja menghempaskan diri atas ranjang, gadis itu kembali dikejutkan dengan panggilan video dari sang kekasih. Senyumnya mengembang sempurna usai membersihkan diri pulang dari acara tadi.[“Hai, Cantik. Sedang apa?”] Rena tak menjawab. Hanya menunjukkan deretan gigi putihnya yang bersih dan rapi.[“Kamu cosplay jadi iklan pasta gigi ya?”]
Acara utama syukuran tujuh bulanan untuk kehamilan Fina sudah berakhir. Para tamu dipersilakan berbaur dan mencicipi hidangan yang telah tersedia.“Selamat ya, Fin. Semoga kamu sehat sampai lahiran nanti,” gumam Rena sambil mengelus lembut perut buncit sahabat karibnya itu. Ada perasaan gembira bercampur iri yang sedang dipendamnya sendiri. Sedangkan Fina yang paham betul bagaimana perubahan raut wajah sendu tersebut segera menggenggam tangannya.“Anak aku akan jadi anak kamu juga. Dia akan manggil kamu Mama juga, Ren. Ini hanya perkara mengandung dan melahirkan. Kamu juga akan dianggap sebagai ibunya,” ucap Fina dengan air mata yang sudah menggenang. Keduanya saling berpelukan erat. Tak ada yang berbicara hingga suami Fina menghampiri mereka.“Cemburu nih aku sama kalian. Udah kayak Kakak Adik aja.”Buru-buru Fina menyeka air matanya, lalu menyikut pelan lengan sang suami. “Anak kita bakalan punya dua Mama. Iya ‘kan, Mas?”Suami Fina yang tahu bagaimana kondis
CUP! Bukannya menjawab pertanyaan Rena, Bara malah mendaratkan kecupannya di bibir ranum mantan cantiknya itu. Jelas membuat sang empu terkejut bukan main.“Kau!!”CUP! CUP!! Sontak kedua manik mata kecokelatan milik gadis cantiknya sukses membelalak dengan sempurna. Bibirnya menganga hendak mengucapkan sesuatu, namun sayangnya lidah pun mendadak kelu.“Aku tak sabar menghabiskan sisa hidup denganmu. Makanya ayo cepat-cepat menikah,” gumam Bara kemudian. Sang gadis berubah manyun sambil mengubah posisi duduknya menjadi lurus ke depan. Tak lagi saling berhadapan dengan sang mantan yang akhir-akhir ini selalu bisa membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Sementara Nyonya Adhisty yang hendak memanggil Putrinya turut menghentikan langkah di ambang pintu. Sadar bahwa keduanya sedang terlibat percakapan serius, dia pun kembali mengurungkan niat tadi. Bara mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Tak lagi pedulikan bagian klaviku