Melihat tak ada tanggapan dari sang adik ipar, lantas tak membuat Tita berhenti sampai di situ saja.
“Kenapa setiap pria mudah sekali tertarik padanya. Kamu juga menyukainya ‘kan?”
Kata-kata barusan membuat Bara melirik ke arah Tita. Dahinya berkerut seolah sedang mempertanyakan apa maksud perkataan perempuan yang tengah berbaring itu.
“Kalau aku sudah keguguran, sangat mudah bagi si jalang itu untuk mendekati Mas Tora. Masa depan pernikahan kami akan sirna karena kehadirannya.”
“Hiks, entahlah. Apalagi kemarin mereka sangat terlihat akrab. Tentu saja aku tak terima. Kami terlibat pertengkaran hingga ya ...Kamu bahkan tahu siapa yang memenangkannya,” tambah Tita lagi.
&
Bara yang mendengar kata-kata itu hanya bergumam. Tak ingin mencari tahu maknanya karena otaknya sedang tak bisa bekerja dengan baik. Satu hal yang ingin dia buktikan sekarang, bahwa dirinya juga bisa merasakan nikmatnya tubuh seorang Serena Queen Adhisty seperti rumor yang beredar belakangan. Karena sudah dikuasai gairah dan amarah, Bara tak lagi peduli dengan apapun yang terjadi. Bahkan isakan pilu yang mengaung di kamar hotel menjadikan dirinya bagai kerasukan setan.“Jangan, please,” gumam Rena yang sekarang hanya bisa pasrah menerima serangan Bara secara membabi buta. Dalam hati gadis itu berteriak penuh kesakitan karena tak bisa lagi menutupi kekurangannya. Kedua manik mata sang GM pun berdecak penuh kekaguman saat melihat tubuh polos di hadapannya. Senyumnya terbit saat melihat tanda merah bekas jejak kepemilikan dirinya di ceruk leher dan dada gadis itu.“Aku menginginkan lebih dari ini, Ren,” lirihnya yang semakin m
“Ya ampun, Ren. Kamu kenapa??” tanya Fina yang menatap Rena penuh iba. Gadis itu menggeleng dan segera memeluk erat tubuh sang sahabat yang sudah berada di hadapannya. “Ya udah kita tenangin diri kamu dulu,” kata Fina. Perempuan itu mengusap pelan bahu Rena lalu membimbingnya menuju sofa yang ada di kamar hotel. Satu jam setelah kepergian Bara, dia segera menghubungi Fina dan meminta untuk dijemput. Bahkan dia tak memiliki pakaian yang layak lagi untuk dikenakan keluar kamar. Fina memberikan sebotol air mineral pada Rena. Wajahnya begitu sendu saat kembali melihat Rena dengan kerapuhan yang sama seperti sebelas tahun yang lalu. Hanya dirinya yang tahu bagaimana keluh kesah Rena selama ini. Tentu saja dia tak dapat berkata apa-apa dan membiarkan sang sahabat tenang sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Thanks ya, Fin. Aku benar-benar ngerepotin kamu jadinya,” sesal Rena yang sudah kembali mengumpulkan tenagan
“Brengsek, apa yang telah kukatakan tadi?? Hah!!” umpat Bara bermonolog pada dirinya sendiri. Tangan kanannya mengepal sempurna dengan memukul-mukul meja kerja yang berada di depannya. Tak seharusnya dia mengatakan hal itu pada gadis yang masih ia cintai. Hanya karena dirinya yang gugup sehingga kata-kata yang keluar dari mulutnya tak sesuai dengan isi hati. Terlambat sudah. Tamparan dari Rena tadi juga tidak akan membuat semua kembali seperti semula. Bara mengembuskan napasnya dengan kasar. Ucapan sang Tante malam tadi perlahan kembali berputar di otaknya. “Apa karena sindrom itu dia menjauhiku? Ren, apa kamu menderita sindrom MRKH seperti yang dikatakan Tanteku? Kalau iya, kamu tidak sedang baik-baik saja sekarang,” gumam pria itu kembali bermonolog pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir lagi dia segera bergegas ke luar ruangan. Pandangannya menyapu habis semua sisi meja kerja Rena yang berada di samping meja sekretarisnya. Kosong. S
Ami tak lagi dapat menjawab saat seorang pria menyembul dari arah belakang. Menyadari adanya hal yang akan dibicarakan oleh kedua kakak-beradik itu, dirinya segera pamit undur diri. “Ada apa Kakak ke sini?” tanya Bara usai menghela napasnya. Tora menerbitkan senyuman miringnya, “Kamu enggak merasa telah berbuat sesuatu ke Rena?” “Daripada mempedulikan urusanku, lebih baik urus saja istri Kakak yang telah mengacaukan semuanya,” sanggah Bara tak ingin merasa disalahkan. “Hah, kamu udah dewasa. Seharusnya jangan lagi menyalahkan orang lain dengan kesalahanmu. Oke, waktu itu Tita memang sedang emosi dan memancingmu, lantas apa semua memang murni karena ulahnya?” sambar Tora sengaja mengintimidasi sang Adik. Sang GM dari Rose Hotel itu kemudian mendudukkan diri di kursi yang ada di belakang Bara. Sejenak keduanya hening dan berbicara dengan diri masing-masing. “Kakak heran, sejak kapan kamu peduli dengan kisah cinta kami?
“Saya malah baru tahu kalau ada asparagus yang warnanya putih loh, Bu Rena,” jujur Bu Risa sambil tersenyum.“Iya sih. Memang aspragus yang putih itu dibudidayakan di dataran tinggi dan enggak banyak juga dijumpai di Indonesia. Saya juga sepertinya enggak bakalan tahu kalau enggak ikutan kursus masak,” papar Rena sembari terus mengamati bagaimana proses perendaman benih biji tumbuhan asaparagus di hadapannya. Rena memutuskan untuk tidak menerima tawaran Tora agar bekerja di Rose Hotel. Dirinya yakin khawatir akan memperkeruh rumah tangga pria itu. Lebih tepatnya lagi dia tak ingin terlibat dengan Bara. Meskipun berbeda perusahaan, tetap saja kemungkinan bahwa dia akan bertemu dengan sang mantan akan terulang. Begitulah yang dipikirkan olehnya saat itu. Seperti
Mendengar ucapan sang GM yang sepertinya hampir putus asa itu, David menghela napasnya. Selang beberapa saat Ami muncul dengan sekotak perlengkapan P3K berikut dengan dua orang petugas OB yang diperintahkan oleh David tadi. “Jangan sentuh aku!!” sentak Bara saat sekretarisnya berniat mengobati luka di tangannya. “Tapi, Pak. Lukanya—“ Ami membeku di tempatnya saat kedua manik mata sang atasan menusukkan pandangan tak senangnya. Perlahan tubuh perempuan itu mundur hingga tak lagi dapat bergerak. “Sudahlah. Biar aku yang akan mengurus Pak GM,” ucap David yang segera mengambil alih kotak yang berada di genggaman Ami. Sekretaris itu beranjak dari tempatnya lalu segera pamit undur diri. Sementara kedua petugas OB sedang membersihkan kekacauan tadi, David kembali disibukkan dengan Bara yang kini masih memasang wajah penuh protesnya. “Sini, Pak. Saya akan bantu mengobati luka Anda,” ucap David. Bara hanya bungkam. Tangan kirinya ditarik perlahan oleh sang asisten tanpa mengatakan sep
Rena bergerak untuk sedikit memajukan tubuhnya. Gadis itu ingin memastikan bahwa indera pendengarannya tidak keliru. “Pewaris dari pemilik tanah yang saya katakan akan datang, Bu. Saya enggak tahu harus mengatakan apa kalau sampai dia hendak ...” ucapan bu Risa terjeda sesaat. “Saya tak sanggup lagi harus bagaimana,” lanjutnya. “Sudahlah, Bu. Sebaiknya Ibu istirahat. Jangan terlalu banyak yang dipikirkan. Kesehatan Ibu lebih utama,” ucap Rena yang kemudian mengelus pelan lengan sang pemilik panti itu. Hening. Kedua perempuan beda usia itu saling bertatap kemudian hanyut dengan pikiran mereka masing-masing. Satu jam kemudian Bu Risa terlelap akibat efek obat yang telah dikonsumsinya. Rena yang melihat keadaan itu perlahan melangkah keluar untuk membiarkan sang pemilik panti beristirahat dengan tenang. Dia mengembuskan napasnya pelan lalu menatap para anak panti yang baru saja ke luar dari ruang makan.
Paru-paru gadis itu mengembang sempurna sembari menghirup pasukan oksigen lebih banyak lagi. Dia sungguh tidak menyangka mengapa takdir seolah selalu saja menyudutkannya. Hingga senyuman tipis dari pria itu berhasil membuat lamunan buruk seorang Rena memudar seketika. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya sang pria saat melihat Rena yang tiba-tiba sudah berada di depannya. Pria itu memberikan isyarat agar para pengawalnya segera menjauh. “Kita harus bicara,” ujar Rena tak ingin berbasa-basi lagi. “Dengan senang hati,” sambut lawan bicaranya sambil terus tersenyum. Keduanya segera menepi hingga duduk di taman yang tak jauh dari parkiran mobil tadi. “Apa ini kebetulan jika kita bertemu di sini Nona Rena?” Gadis itu tak menjawab. Pandangannya tetap melihat sang pria dengan penuh tanda tanya. “Oh ayolah. Apa begini caramu menyambutku?” “Diamlah, Jason. Apa maksudmu untuk menganggu panti ini