Ellysia mulai mengambil langkah. Ia akan segera berlari saat sang papa sudah fokus pada kedua orang yang sedang menunggu di meja makan. Tampaknya mereka berdua yang akan mengecek kondisi mental dan fisik diri Ellysia.
Hati Ellysia mulai bersiap menghitung. Cukup diawali dengan langkah perlahan lalu lari secepatnya.
"Satu dua tiga!" batin Ellysia berucap.
Mereka yang sedang menunggu David beserta putrinya terlihat bingung. David sendiri tak menyadari putrinya sudah lari. Karena tak ada suara yang bisa ia curigai. Kecuali keramaian hiruk pikuk pengunjung restoran.
David dengan sangat ramah menjabat tangan kedua rekan yang telah menunggu kedatangan dirinya. Ia pun mempersilahkan Ellysia untuk ikut bersalaman. Namun, sudah terlambat.
"Lho, mana Ell?" ucap David yang cukup bisa didengar oleh kedua orang tadi.
"Maksud Pak David, anak perempuan yang tadi jalan bareng sama Pak David kesini tadi?" tanya salah satu dari mereka.
"Iya, apa kalian melihat juga?" sahut David bertanya.
"Dia tadi kayak lari waktu Pak David tegur kita!"
"Apa! jadi dia kabur."
**
Ellysia berlari sambil melihat arah belakangnya. Berharap Papanya tak mengejar. Namun karena kecerobohanya, ia pun menabrak seseorang. Seseorang yang semalam sudah menolongnya agar bisa sampai di rumah dengan selamat.
"Awww! Sakit!" keluh Ellysia karena dirinya harus terjerembab ke lantai.
Pria yang menabraknya juga tak kalah terkejut. Apalagi saat itu sang pria sedang membawa botol air mineral yang belum tertutup sempurna usai diminumnya.
"Hey, ini bukan lapangan. Kenapa lari-lari di sini sih?" omel pria tersebut. Ia juga makin terkejut, ternyata wanita yang menabraknya adalah wanita yang semalam ditolongnya.
"Yang bilang ini lapangan, siapa?" omel Ellysia tak kalah emosi.
"Dia kan?" batin pria tersebut.
"Apa, ngapain melotot. Pingin aku cubit itu mata. Bukannya minta maaf malah nyolot!" omel Ellysia lagi. Padahal dirinyalah yang sebenarnya bersalah.
Alvan seketika menggigit bibir bawahnya menahan emosi. Ada janji dengan klien siang ini. Namun baju yang ia gunakan harus basah karena ulah wanita di depannya.
"Harusnya kamu yang minta maaf, kamu sudah menabrak orang sembarangan. Sampai bajuku basah?" protes Alvan.
"Aku minta maaf, no no no!" Ellysia menolak dan langsung berlalu pergi.
Alvan membiarkan saja sambil gemas. "Jangan sampai aku bertemu lagi sama dia," batin Alvan. Ia pun membiarkan wanita tersebut menghilang. Karena percuma juga harus memaksa ribut dengannya, tak akan ada guna.
**
Alvan berusaha fokus. Pertemuannya dengan klien kali ini. Hampir saja mengalami akhir yang mengecewakan. Beruntung, dirinya sangat lihai memikat klien dengan cara bicaranya yang jujur dan tak dibuat-buat.
"Jadi, kerja sama kita sudah siap ya!" ucap pria berkebangsaan Singapura itu.
"Iya, semoga kerjasama kita bisa berjalan dengan lancar," tambah Alvan.
Alvan pun tersenyum. Akhirnya ia bisa kembali menyelesaikan tugas dari Papanya.
Usai bertemu klien, Alvan memutuskan kembali ke rumah. Rasanya ia hanya ingin merilekskan otaknya yang sempat tegang.
Sampai di rumah, Alvan disambut istimewa oleh sang mama. Ternyata di balik pesona Alvan yang gagah dan penuh kharisma, ia adalah sosok yang manja pada orang tua.
"Kok tumben kamu udah pulang?" tanya mamanya.
"Capek Ma! Aku tadi juga sempet kesel gara-gara ketemu cewek yang semalam aku tolongin!"
"Hah! kok bisa ketemu lagi, jangan-jangan kalian jodoh!"
"Apaan. Itu sih bukan jodoh. Tapi apes!"
"Jangan gitu. Kalau udah jodoh, dia bakal ketemu lagi sama kamu!"
Alvan menyandarkan tubuh di kursi makan. Melahap sepotong roti isi kesukaannya. Matanya terpejam lalu makin menyandarkan kepala hingga mendongak ke atas.
Mamanya mendekat, ia melihat putranya itu sangat lelah. Dibelai rambut hitam pekat milik Alvan yang halus. Sambil sedikit menekan keningnya agar merasa lebih baik.
"Jangan dipijat lagi Ma, nanti mama capek!"
"Mama nggak capek, Sayang!"
"Jangan Ma!"
"Ya udah kalau gitu, kamu istirahat dulu. Papa hari ini pulang agak larut."
"Kenapa Ma?"
"Papa dapat kabar, di desa yang sebagian besar sawahnya udah Papa beli ternyata lagi krisis bahan baku."
"Kok bisa. Emang kita nggak suplai sendiri?"
"Udah, tapi kayaknya ada penyelewengan di kampung itu. Makanya Papa berusaha mencari tahu."
"Rugi banyak nggak Ma?"
"Lumayan sih, udah lama soalnya. Tapi papamu selalu aja cuek. Sekarang malah nggak ada hasil."
Alvan pun mengangkat kepalanya. Ditumpangkan pipinya ke jari jemarinya yang mengepal di atas meja.
"Udah jangan dipikirin, sekarang kamu mandi terus istirahat."
"Iya Ma."
**
Malam ini Alvan tak bisa tidur. Ia sengaja menunggu kepulangan sang papa. Ada kecemasan yang mencuri waktu tenangnya sejak sore tadi.
Terdengar suara langkah kaki yang sangat dikenal. Langkah kaki seseorang yang sudah membesarkannya.
Alvan yang sedang memainkan ponsel di tepi kolam renang rumahnya, akhirnya berdiri. Dilihat dan dipastikan lagi. Siapa yang datang, dan ternyata memang itu sang papa.
"Kok malam Pa pulangnya?" tanya Alvan sambil mendekat pada papanya.
Sosok yang ditegur Alvan itu meletakkan tas kerjanya di meja depan. Lalu berjalan menuju dapur sambil diikuti langkahnya oleh Alvan.
"Kita punya banyak masalah di lahan sawah yang sempat Papa beli beberapa tahun yang lalu," terang Tomi, Papa Alvan.
"Masalah apa Pa?" tanya Alvan makin penasaran.
"Ada yang jual bahan baku yang kita kirim ke petani dengan harga mahal. Tapi kita nggak dapat hasil penjualannya dengan nominal yang benar. Laporan dan data di komputer, nggak ada yang sama."
Alvan tak menjawab. Ia sendiri belum pernah ke perkampungan yang sebagian besar lahan pertaniannya sudah dibeli papanya. Lalu disewakan pada petani yang kurang mampu.
"Van!"
"Iya Pa!"
"Gimana kalau besok kamu datang ke perkampungan itu. Kamu tinggal di sana sementara, sampai masalah bisa selesai," ucap Tomi sambil melepas ikatan dasinya.
"Alvan harus tinggal di kampung?" tanya Alvan terkejut.
"Iya, kamu selidiki siapa yang bikin usaha kita di sana macet."
"Iya deh Pa!" Alvan mengiyakan meski berat dalam hatinya.
"Tapi, kamu nyamar ya. Jangan jadi anak Papa. Nanti si Bima yang temani kamu. Biar nggak ada yang curiga."
"iya Pa!" ucap Alvan pasrah.
**
Seorang pria sedang menatap sinar matahari yang menerobos masuk ke kamarnya. Sambil memegang tas koper yang akan ia bawa. Tatapannya lurus ke depan, berharap masalah yang akan dihadapinya akan bisa terselesaikan dengan segera.
"Permisi Mas Alvan, Mas Bima udah siap di ruang tamu," ucap seorang asisten rumah tangga yang masuk ke kamar Alvan.
"Iya Bi, sebentar lagi," pinta Alvan.
Pria itu masih merenung di jendela kamarnya. Menyentuh jendela yang setiap hari dilewati oleh sinar matahari.
Ini bukan hari terakhir dirinya berada di kamar tersebut tapi, ia akan meninggalkan kamar ini cukup lama. Pasti dirinya merasa rindu.
"Hah, gimana nasibku nanti tinggal di kampung. Apa aku bisa beradaptasi," batin Alvan. "Kenapa Papa ada aja sih masalahnya."
Alvan lalu memutar tubuhnya. Melangkah dengan pasti meninggalkan ruang pribadi yang selama ini ditempatinya.
Sebuah mobil mewah mulai memasuki perkampungan. Jalanan yang semakin sempit terpaksa menghentikan laju mobil itu."Van, kayaknya ini mobil udah nggak bisa masuk deh!" ucap Bima."Kayaknya masih jauh. Udah paksa jalan aja!""Kita bisa tabrakan. Ini jalan cuma muat mobil sebiji!" tambah Bima.Alvan menghela nafas panjang. Dilipat lengan kemejanya hingga siku. Berharap lelahnya selama perjalanan bisa sedikit berkurang."Terus, gimana kita bisa sampai ke penginapan?" tanya Alvan sambil menggeser layar gawai. Barangkali ia menemukan kontak yang bisa dihubungi.Bima masih memperhatikan lalu lalang jalanan. Jarang ada mobil yang lewat, kecuali mobil pickup untuk mengangkut barang. Sisanya hanya ada motor, sepeda dan si roda tiga. Selain itu tak terlihat jenis angkutan umum lainnya."Kamu nggak simpan nomornya Pak Seno, yang ngurusin penginapan?" tanya Bima."Ada sih, tapi dari tadi aku hubungi nggak bisa. Udah jalan aja lagi!""Jalannya
Ellysia harus menarik napas dalam. Ia berusaha keras meyakinkan hatinya. Bahwa yang ada di depannya sekarang adalah kamarnya.Kakinya melangkah lagi untuk masuk, terasa cukup berat. Aroma kayu yang tersiram air hujan masih bisa dihirup. Atapnya terlihat seperti kebocoran. Tapi, gadis yang kerap disapa dengan nama Ell tersebut masih berusaha menerima."Ini seperti mimpi buruk," gumam Ellysia."Apa Nona," sahut Tari. Ia seperti mendengar sedikit ucapan nona mudanya itu."Bukan apa-apa Bi.""Kalau gitu, Bibi tinggal ke dapur dulu ya. Kebetulan Bibi belum siapkan makan siang."Ellysia tersenyum. "Iya Bi!"Kedua pasang mata Ellysia tak bisa berhenti melihat setiap sudut kamarnya. Jendela kecil yang pengaitnya hanya terbuat dari paku yang dibengkokkan. Baginya terlalu mengenaskan. Belum lagi lemari yang ukurannya begitu kecil bagi Ellysia."Ya ampunnn," ucap Ellysia sekali lagi.Kini tubuhnya berusaha duduk di kasur.
Satu per satu lumpur yang menempel di tubuh Ellysia terkikis. Jatuh bersama air yang mengalir langsung ke sungai."Tadi Pak Heru kan udah bilang. Awas kepereset. Nggak tahunya kepereset beneran," ucap Pak Heru yang melihat Ellysia membersihkan tubuhnya dibantu oleh Bibi Tari."Udah Non, lanjutin di kamar mandi aja!" pinta bibi Tari pada Ellysia yang masih kesal dengan aroma yang berasal dari tubuhnya sendiri.Ellysia membuang napas kaaar. Matanya terpejam merasa lelah dengan segalanya. Ia seperti sudah jatuh harus tertimpa tangga. Susah payah dirinya mencoba mencari hiburan di sebuah kampung kecil yang tidak ada apa-apa. Yang terjadi dirinya malah harus terpelosok di sawah. Ia merasa hidupnya mulai mengenaskan."Ya udah deh. Bantuin Bi!" Ellysia menegakkan tubuh. Menjulurkan tangan agar Bibi Tari membatunya untuk berdiri. Rasanya ia masih tak percaya dengan keadaan yang menimpa dirinya sekarang.Ellysia seperti malas bergerak. Ia geli dengan tubuhn
"Cepat nak, bantuin Bapak ya!" pinta Pak Heru saat itu juga. Ia melihat Alvan masih terbengong sendiri. Agak bingung sebenarnya, mengapa Alvan melihat Ellysia sampai seperti itu."I, iya Pak," jawab Alvan agak terbata.Alvan menarik napas cukup dalam. Ia kini berhadapan lagi dengan gadis yang selalu menyusahkan sejak pertama kali bertemu.Bagaimana bisa takdir bertindak seperti ini. Ia seperti dipermainkan keadaan. Sejauh ia berjalan ke bagian terpencil bumi. Tetap saja sosok gadis ini yang ditemui. Apa tidak ada lagi wanita lain untuk dipertemukan dengan dirinya.Tidak butuh banyak tenaga untuk menggendong Ellysia. Alvan melakukannya dengan begitu mudah. Tapi tidak dengan hatinya yang seperti menahan beban cukup berat.Dengan jarak sedekat itu, Alvan bisa melihat tiap garis wajah dari gadis muda tersebut. Mata yang tertutup terlihat cantik dengan bulu mata lentik. Alis tebalnya tampak menawan ditambah ada tahi lalat kecil
Ellysia berusaha duduk dengan tegap di atas motornya. Sesekali Alvan harus mengerem tiba-tiba hingga membuat Ellyisa berpikir pria di depannya adalah pria mesum yang suka memanfaatkan keadaan.Spontan karena motor kembali direm mendadak. Ellyisa memukul bahu kanan Alvan. Cukup keras pukulan itu. Hingga membuat Alvan sangat terkejut dan merasa sakit."Hey, hati-hati. Kamu mau kita jatuh. Emang kamu nggak mau kita sampai rumah dengan selamat?" teriak Alvan di tengah hujan yang kembali mengguyur. Tidak sederas tadi. Namun, tetesannya berhasil masuk ke mulut Alvan saat dirinya sedang berbicara dan ia merasa gak terganggu dengan hal tersebut."Aku juga maunya selamat sampai tujuan
"Ngelamun Si Alvan. Ihhhhh, ogah banget. Emang dia siapa. Cuma cowok yang kebetulan lewat dan mengacaukan hariku," gumam Ellysia yang sedang mandi.Ia mulai membuat dirinya basah. Sabun dengan aroma vanilla disebar di seluruh tubuh hingga harumnya membuat tenang.Sesaat rasanya Ellysia bisa sejenak melupakan masalah yang menimpanya. Bukan perkara gampang bagi seorang Ell menerima kenyataan pahit yang tiba-tiba datang dalam hidupnya.Kenyataan tentang keluarganya yang bangkrut. Belum lagi ia harus tinggal di perkampungan yang amat jauh dari kota. Mimpinya mengenyam pendidikan di luar negeri juga harus pupus."Menyebalkannn, terus gimana nasibku setelah ini," ucap Ellysia yang masih di dalam kamar mandi.
Alvan membuang wajahnya menatap bagian lain dari langit yang gelap. Dipejamkan matanya sesaat setelan meletakkan gelas kopinya di atas meja.Tiba-tiba sebuah langkah kaki yang cukup keras mengejutkan. Alvan menoleh ke langkah kaki yang berasal dari dalam rumahnya itu."Bima, apaaan sih lari-lari di dalam rumah," ucap Alvan sedikit berteriak karena kesal merasa dikegeti.Bima dengan cepat duduk di sebelah Alvan sambil menunjukkan ponsel pintarnya. "Gawat Van. Kayaknya kita emang harus masuk ke pabrik Papa kamu buat memastikan semuanya. Aku udah minta perkiraan laba bulan lalu ke perusahaan pusat dan mencocokkan dengan hasil di komputer pabrik yang ada di sini. Hasilnya, ternyata selisih banyak Bro. Banyak banget," terang Bima sambil menunjukkan perbandingan laporan.Alvan
Bima terdengar mengalunkan lagu cinta dari bibir tipisnya. Ia terlihat sangat senang dengan mata yang tampak berbinar.Seperti kebiasaannya beberapa hari ini. sepulang dari pasar, ia akan menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Juga untuk makan siang beserta makan malam jika bisa. Namun, ada sedikit perbedaan yang dirasakan oleh Alvan sepulang Bima dari pasar.Putra tunggal dari Tomi Anderson itu, tiba-tiba merasa fokusnya pecah. Ia yang tadinya sibuk meneliti denah bangunan pabrik yang hari ini akan dieksekusinya. Terpaksa berhenti untuk melanjutkan kegiatannya.“Aneh, kayak denger suara orang nyanyi,” batin Alvan ragu-ragu.
Rasanya sudah seperti perang dingin. Antara Alvan dan Bima. Selama ini tidak hanya hubungan sebagai teman kerja saja di antara, mereka berdua. Tapi, juga sebagai sahabat karib, yang kemanapun bisa dibilang selalu bersama.Ya, tapi meski begitu, Alvan sadar. Ia bukan anak laki-laki yang baru menginjak remaja. Hati pria dewasa memang rumit. Jika ada yang bisa menjelaskan pun belum tentu orang yang mendapat penjelasan itu akan paham. Dicoba oleh Alvan untuk membuang sikap egois yang mungkin muncul dan tanpa sadar juga dirasakan juga oleh Bima."Bima!" panggil Alvan seperti biasa di ruangan kerjanya."Iya!" Bima mendekat. Ia tersenyum ceria seperti biasa. Mungkin karena merasa sudah menang satu kosong pagi ini dalam mencari perhatian dari Ellysia. Makanya ia bisa bersikap
Malam ini rasanya sulit sekali untuk tidur. Ellysia menatap langit-langit kamarnya yang kosong dan terlihat berlubang. Atapnya berwarna hitam karena adabekas air yang menetes dan agak berlumut. Dulu hal itu terlihat seram. Tapi, untuk saat ini, Ellysa seperti sudah terbiasa.“Besok Papa datang. Mungkin nggak sih kalau papa bakal bawa aku balik ke kota,” gumam Ellysia sendiri. Ia bertanya pada hatinya.Rasanya ingin sekali memejamkan sepasang matanya. Berharap ia bisa segera masuk ke alam mimpi dan bertemu dengan sang papa. Namun, saat dirinya memejamkan mata. Yang muncul bukannya sang papa. Tapi, justru malah pria sok yang akhir-akhir ini terlihat baik.“Alvan!” Ellysia membuka matanya dengan
Ellysia bergegas meninggalkan Alvan dan Pak Heru.. Ia sudah tidak berselera lagi untuk berbasa-basi dengan Alvan.Pak Heru menjadi tidak nyaman. Ia menatap pada Alvan karena merasa bersalah. “Maaf ya Nak. Nak Alvan jdi lihat pemandangan kayak tadi,” ucap Pak Heru.“Nggak papa Paman. Ell emang kayak gitu kan!” Alvan seolah mengerti dengan sifat Ellysia. Dari tempatnya berada, ia bisa melihat Ellysia yang akan masuk ke dalam rumah.Sebelum Ellysia benar-benar masuk. Ia berhenti sejenak pada bibi Tari. Diserahkan amplop yang diterimanya tadi dari Alvan. Amplop yang berisi uang dari hasil kerjanya seharian ini.‘Amplop itu diberikan pada Bibi Tari. Yang bener aja.’ A
Ellysia bisa merasakan peluhnya. Panas siang ini, benar-benar terasa menyengat. Beruntung, ia mampu melewati semua itu. Saat ini ia memutuskan untuk beristirahat. Menunggu waktu yang lima menit lagi adalah waktu untuk pulang kerja.Gadis itu memutuskan untuk berada di salah satu sudut. Di mana sudut itu bisa membuat dirinya mampu untuk melihat senja yang ada di ujung persawahan.Dia mengagumi pemandangan itu. Pemandangan matahari terbenam yang berdiri sendiri dan begitu menyilaukan bagi setiap pasang mata yang melihatnya. Hilang begitu saja, tapi kemunculannya sangat ditunggu-tunggu. Apalagi jika bisa melihatnya di tempat yang nyaman dan tenang, seperti pantai mungkin. Tapi itu, hanya imajinasi dari keinginan terdalam seorang Ellysia.Tak lama setelah itu, seorang pria terli
Alvan kembali ke ruangan miliknya. Diletakkan kembali minuman yang diibawanya tadi di atas meja. Lalu duduk bersandar di kursi. Kedua matanya menerawang ke atap kantor. Hanya kosong yang dilihat. "Perasaan apa ini? Gimana bisa aku jadi kesel banget sama Bima gara-gara lihat dia beri minuman ke Ellysia." Bingung merajai perasaan Alvan. Ia tak paham apa yang menimpa hatinya. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Sementara itu, Ellysia yang merasa diperhatikan oleh seseorang tiba-tiba mengawasi sekeliling. Ia mencermati yang ada, tapi dilihat lebih detail. Ternyata tidak ada siapa-siapa yang tampak mencurigakan. Namun, rasanya seperti ada sepasang mata yang melihat ke arahnya. "Ell, kamu kenapa? Kok kayak bingung gitu?" tanya Bima. Ia lalu meneguk minumannya.
Di waktu malam yang begitu dingin, semilir angin sejuk mengalir dari sawah yang ada di sekeliling tempat tinggal Ellysia. Ia menikmati dingin itu, meski terasa tajam menyentuh pada kulit halusnya. Tapi, dibiarkan saja.Tersenyum menatap langit yang banyak bintang, Ellysia sedikit demi sedikit bisa merasa bahagia di tengah keterbatasan yang ada. Tinggal di desa yang sebagian besar dipenuhi persawahan. Baginya ini yang pertama dan paling mengesankan.Sulit sebenarnya menerima apa yang telah terjadi. Namun, seiring waktu ada kesadaran dari hati seorang Ellysia. Ia sadar bahwa dirinya harus berjuang. Mungkin sudah hampir terlambat, tapi ia tetap akan berusaha.Apalagi, mengingat sore ini. Saat dirinya baru pulang bekerja dari tempat Alvan. Ia dengan gaji harian
Siapa sangka, matahari ternyata akan mendung. Cuaca yang tadinya cerah, sudah berubah dengan sangat cepat. Hari yang sudah hampir sore. Jam pulang kerja kan segera tiba. Tapi, yang terjadi justru terasa ada gerimis.Ellysia sudah hampir selesai. Ia mendapatkan tugas untuk membereskan segala perlengkapan yang tadi digunakan untuk menyortir ikan kering. Beberapa kotak baskom yang terbuat dari plastik harus segera dikembalikan ke tempat sanitasi. Sudah ada karyawan yang menunggu untuk membersihkan di sana."Aduhhh …., banyak juga yang perlu dibersihkan. Apa jamku cukup ya?" gumam Ellysia.Ia membawa setumpuk kotak baskom di tangannya. Hampir saja karena buru-buru ia kembali akan terjatuh. Tapi, Alvan berhasil menolongnya."Hati-hati, jangan sampai keteledoran s
Pagi ini matahari bersinar cukup cerah tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dimana mendung lebih sering menghiasi langit. Kali ini mentari tersenyum. Menunjukkan kekuasaan sinarnya yang begitu luar biasa.Alvan sudah bersiap di tempat pengepulan. Ia sudah bekerja cukup giat pagi ini. Beberapa karyawan yang juga telah datang ikut menunjukkan loyalitasnya termasuk Ellysia.Gadis itu tampak cukup cekatan enteng membantu beberapa pekerjaan yang dulu sempat membuatnya terkesan sulit untuk melakukan. Namun akhir-akhir ini gadis itu tampak begitu bersemangat.Masih ingat dalam bayangan Alvan, kejadian beberapa hari yang lalu. Saat ia mengetahui Ellysia terisak di dalam kamar mandi. Ia sebenarnya ingin mencari tahu mengapa gadis itu melakukannya. Tapi, dia langsung mengur
Senja terlukis di langit yang begitu luas. Hamparan air di persawahan yang bergelombang menari diterpa angin menghasilkan pemandangan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. membuat tenang setiap mata memandang. Apalagi ada angin sejuk yang menyentuh kulit memberi kenyamanan tak terhingga. Senang rasanya bisa berada di persawahan seperti ini.“Ell, cepet bereskan ikan-ikan ini. masukkan ke dalam keranjang!” pinta Bima yang sejak tadi menemani Ellysia bekerja di sawah.Ellysia menoleh. Ia yang sejak tadi memandang hamparan air sawah yang hijau bergegas menghampiri Bima. “Ikan yang mana?” tanya Ellysia.“Yang ini!” jawab Bima sambil menunjuk sebuah keranjang besar. “Itu yang loncat-loncat kamu masukkan lagi ke tempatnya sesuai ukur