Ellysia berusaha duduk dengan tegap di atas motornya. Sesekali Alvan harus mengerem tiba-tiba hingga membuat Ellyisa berpikir pria di depannya adalah pria mesum yang suka memanfaatkan keadaan.
Spontan karena motor kembali direm mendadak. Ellyisa memukul bahu kanan Alvan. Cukup keras pukulan itu. Hingga membuat Alvan sangat terkejut dan merasa sakit.
"Hey, hati-hati. Kamu mau kita jatuh. Emang kamu nggak mau kita sampai rumah dengan selamat?" teriak Alvan di tengah hujan yang kembali mengguyur. Tidak sederas tadi. Namun, tetesannya berhasil masuk ke mulut Alvan saat dirinya sedang berbicara dan ia merasa gak terganggu dengan hal tersebut.
"Aku juga maunya selamat sampai tujuan. Tapi, kamu pria paling modus yang pernah aku temui," ucap Ellysia tepat di telinga Alvan yang bisa dijangkau suaranya hanya dengan beberapa centimeter saja.
Telinga Alvan rasanya berdengung. Ingin sekali dirinya mengeluarkan emosi yang terus menerus muncul karena sikap Ellysia yang seenaknya sendiri. Padahal tanpa berteriak sekalipun, Alvan pasti bisa mendengar dengan baik meski di bawah hujan. Namun, Ellysia tampak sengaja berkata cukup keras sehingga mengganggu dirinya.
"Dendam apa sih ini cewek sama aku. Perasaan dari awal ketemu, dia terus yang merepotkan. Tahu gitu pas dia mau nyetir sendiri. Nggak perlu aku tolongin aja. Biarin dia mabuk sambil bawa mobil, nabrak terus nggak perlu ketemu aku. Lagian meski aku antar pulang dengan selamat juga, Bapaknya nggak ucapin terimakasih. Dia malah nuduh aku macam-macam sama putrinya," batin Alvan yang mulai kacau. Ia pun menambah kecepatan motornya karena tak baik rasanya berada satu motor dengan Ellysia dalam jangka waktu yang lama.
**
Motor akhirya berhenti tepat di depan rumah Pak Heru. Sayup-sayup suara hujan masih tersisa. Ellysia segera turun dari motor dengan terburu-buru. Ia merasa tak betah berlama-lama berada dalam satu motor dengan pria yang sama sekali tidak ingin dikenalnya.
Alvan sendiri masih merasa begitu dingin. Tetes hujan yang tidak begitu deras, nyatanya mampu membuat basah baju bagian depannya. Tangannya yang tidak terbiasa membawa motor. Ditambah lagi jalanan yang dilalui begitu licin dan bergelombang. Membuat tangannya merasa sangat lelah.
"Ya ampun, ini cewek nggak ada ucapan terimakasih atau apa gitu. Udah diantar ke dokter sampai pulang lagi ke rumahnya. Kehujanan lagi, dikira aku sopir atau gimana sih," batin Alvan merasa kesal karena terpaksa harus berbuat baik pada gadis yang tampak seenaknya sendiri.
Ia kemudian turun dan menghampiri Bibi Tari di depan teras. Tampak Bibi Tari menunggu dirinya. Diberikannya kunci motor milik Pak Heru sambil tersenyum.
"Ini Nak Alvan, handuknya dipakai dulu," ucap Bibi Tari yang cemas karena melihat bagian depan baju Alvan yang basah.
Alvan menerima handuk itu sambil tersenyum. "Makasih Bi!"
"Iya!" jawab Bibi Tari. Ia sempat linglung melihat senyuman barusan. "Ternyata Nak Alvan ganteng banget ya," puji Biji Tari sambil tersenyum malu.
Alvan yang mendengarnya sedikit terkejut. Ia kemudian tersenyum cukup lebar dan makin membuat Bibi Tari terpesona. "Kalau gitu saya pamit ya Bi. Terimakasih atas kopi dan tumpangannya tadi pas masih hujan deras."
"Aduh, tapi kan. Jangan pergi dulu Nak Alvan. Di dalam rumah udah Bibi buatkan kopi hangat lagi. Enak banget lho."
Alvan menyerahkan handuknya. "Aku harus cepat balik Bi. Ada hal yang harus aku kerjakan. Sekali lagi terimakasih ya Bi."
Bibi Tari terlihat kecewa. "Kalau gitu, lain kali Nak Alvan kalau ke sawah. Mampir sini ya!" pinta Bibi Tari.
Ellysia yang kebetulan sedang menuju ke teras untuk memanggil Bibi Tari. Ternyata mendengar apa yang baru saja Bibi Tari katakan pada Alvan. Ia berpikir rasanya tak perlu menyuruh pria bernama Alvan itu untuk datang ke rumah ini lagi. Bahkan kalau bisa jangan sampai dirinya harus bertemu dengannya untuk yang kesekian kalinya.
"Bi, ngapain sih cowok kayak gitu disuruh mampir lagi ke sini," ucap Ellysia yang tiba-tiba muncul di teras.
Suasana yang tadinya akrab berubah menjadi tak nyaman. Bibi Tari memasang senyum sungkan pada Alvan. Ia tak mengira Ellysia akan berkata seperti itu.
"Tapi Nona Ell, dia kan yang udah bantuin Pak Heru buat antar ke dokter tadi. Kalau nggak, Nona Ell bisa makin memburuk," terang Bibi Tari.
"Itu, cuma kebetulan Bi. Asal Bibi Tari tahu aja, yang buat aku sampai mandi lumpur itu ya orang ini," terang Ellysia sambil menatap kesal.
Bibi Tari semakin bingung dengan situasi yang dihadapi. Alvan sendiri tak menyangka akan bertemu dengan Ellysia. Jika tahu ini adalah rumah dari asisten keluarga Ell, ia pasti tak akan menginjakkan kakinya di sana.
"Maaf Bi, aku buru-buru ambil hasil panen ikan para petani dan tanpa sengaja nabrak Ell yang berdiri seenaknya sendiri," terang Alvan.
Mendengar itu, Ellysia langsung melotot. Apa yang terjadi pada dirinya tadi yang harus mandi lumpur. Itu semua murni kesalahan Alvan. Bukan dirinya. Lagipula permintaan maaf itu seharusnya ditujukan pada dirinya bukan pada Bibit Tari. Ia pun segera menarik bahu Alvan dan membuat pria itu mau menatap dirinya.
"Yang kecebur di sawah itu aku, bukan Bibi Tari. Kok kamu malah minta maaf sama Bibi Tari sih," ucap Ellysia dengan begitu kesal.
Tubuh Alvan kini menghadap tepat di depan Ellysia. Ia sontak saja memasang wajah malas untuk melihat gadis itu. Karena tak ingin berbicara pada Ell, ia pun kembali meminta izin untuk segera pulang.
"Aku nggak mau minta maaf sama kamu," ucap Alvan dengan suara yang lirih. Ia kemudian memutar tubuhnya menatap Bibi Tari yang yang dirasa sangat baik pada dirinya. "Aku pamit pulang dulu ya Bi. Lain kali, kalau butuh sesuatu bilang aja nggak papa. Aku permisi," ucap Alvan pada Bibi Tari.
Pria itu kemudian pergi meninggalkan Bibi Tari dan Ellysia. Ia menerobos air hujan yang sudah tidak begitu deras.
"Hati-hati Nak Alvan," ucap Bibi Tari sambil melihat kepergian Alvan.
Ellysia sendiri ikut melihat punggung pria itu pergi. "Jadi, namanya Alvan. Sebenarnya dia ngapain ada di sini. Bukannya dia itu kerja di kota ya. Ini kan desa terpencil yang sebagian besar orangnya kerja jadi petani ikan. Apa mungkin dia itu cuma petani ya. Dasar pembohong. Berarti penampilannya yang kemarin sok borju itu cuma kedok. Ahhhh, dia bukan orang kaya yang sesungguhnya. Pria yang menyebalkan," batin Ellysia yang semakin bertambah kesal.
"Nona Ell, Nona Ellllll," panggil Bibi Tari membuyarkan lamunan Ellysia. "Nona Ell, jangan melamun," ucapnya.
Ellysia tersadar. "Aku nggak melamun kok."
"Ihhh, pasti Nona Ell sebenarnya terkesima sama Nak Alvan. Iyakan?"
"Ngelamun Si Alvan. Ihhhhh, ogah banget. Emang dia siapa. Cuma cowok yang kebetulan lewat dan mengacaukan hariku," gumam Ellysia yang sedang mandi.Ia mulai membuat dirinya basah. Sabun dengan aroma vanilla disebar di seluruh tubuh hingga harumnya membuat tenang.Sesaat rasanya Ellysia bisa sejenak melupakan masalah yang menimpanya. Bukan perkara gampang bagi seorang Ell menerima kenyataan pahit yang tiba-tiba datang dalam hidupnya.Kenyataan tentang keluarganya yang bangkrut. Belum lagi ia harus tinggal di perkampungan yang amat jauh dari kota. Mimpinya mengenyam pendidikan di luar negeri juga harus pupus."Menyebalkannn, terus gimana nasibku setelah ini," ucap Ellysia yang masih di dalam kamar mandi.
Alvan membuang wajahnya menatap bagian lain dari langit yang gelap. Dipejamkan matanya sesaat setelan meletakkan gelas kopinya di atas meja.Tiba-tiba sebuah langkah kaki yang cukup keras mengejutkan. Alvan menoleh ke langkah kaki yang berasal dari dalam rumahnya itu."Bima, apaaan sih lari-lari di dalam rumah," ucap Alvan sedikit berteriak karena kesal merasa dikegeti.Bima dengan cepat duduk di sebelah Alvan sambil menunjukkan ponsel pintarnya. "Gawat Van. Kayaknya kita emang harus masuk ke pabrik Papa kamu buat memastikan semuanya. Aku udah minta perkiraan laba bulan lalu ke perusahaan pusat dan mencocokkan dengan hasil di komputer pabrik yang ada di sini. Hasilnya, ternyata selisih banyak Bro. Banyak banget," terang Bima sambil menunjukkan perbandingan laporan.Alvan
Bima terdengar mengalunkan lagu cinta dari bibir tipisnya. Ia terlihat sangat senang dengan mata yang tampak berbinar.Seperti kebiasaannya beberapa hari ini. sepulang dari pasar, ia akan menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Juga untuk makan siang beserta makan malam jika bisa. Namun, ada sedikit perbedaan yang dirasakan oleh Alvan sepulang Bima dari pasar.Putra tunggal dari Tomi Anderson itu, tiba-tiba merasa fokusnya pecah. Ia yang tadinya sibuk meneliti denah bangunan pabrik yang hari ini akan dieksekusinya. Terpaksa berhenti untuk melanjutkan kegiatannya.“Aneh, kayak denger suara orang nyanyi,” batin Alvan ragu-ragu.
Cara berpikir yang tak bisa berbuat apa-apa tanpa uang benar-benar tertanam pada seorang Ellysia Prayogi. Harta banyak yang selama 18 tahun menemaninya setiap hari. Menjadikannya pribadi dengan pola pikir yang tak pernah tahu bagaimana berada di luar zona nyaman.Saat ini, dirinya berada di zona tersebut. Zona yang tidak nyaman. Zona yang tidak pernah terpikirkan oleh Ellysia, bahwa dirinya akan berada di sana. Zona yang sengaja diciptakan oleh sang papa agar Ellysia mau dan bisa berubah.“Tak tak tak tak.” Terdengar suara meja yang dipukul dengan jari telunjuk secara terus menerus.Pria dengan setelan jas rapi tengah serius membaca dokumen di tangan kirinya. Sementara tangan
"Jadi, kalian ini mahasiswa yang sedang KKN. Aneh sekali, kenapa nggak ada pemberitahuan?" tanya Denis. Pria yang bertugas menerimanya kedatangan Alvan dan Bima.Alvan hanya tersenyum. begitu juga dengan Bima."Mungkin, karena kami memilih sendiri tempat untuk KKN. Kebetulan paman saya orang sini dulu. Dan kebetulan ada rumah juga sedikit kenalan di sini. Jadi, kami memutuskan untuk mencoba saja di sini. Bukan begitu Van," ucap Bima mencari teman berbicara.Alvan sedikit terkejut. Sejak tadi, ia tidak memperhatikan perbincangan antara Bima dengan Pak Denis."Iya. Bisa jadi," jawab Alvan yang dibuat sesantai mungkin."Ada apa sih sama Alvan. Kenapa dia
Kayla yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Mulai berjalan mendekat ke arah Alvan. Ia melihat ada keributan di sana.“Tidak salah lagi. Itu pria yang waktu itu,” batin Kayla.Terdengar pertengkaran terjadi. Alvan berusaha menjelaskan sesuatu kepada petugas keamanan tersebut. Begitu juga Bima. Terjadi adu mulut diantara mereka.“Kami berdua minta maaf Pak. Kami terkendala macet di jalan tadi,” terang Bima.“Kamu pikir ini jalanan kota!” sahut satpam tersebut.“Udah gini aja Pak. Sekarang, kita boleh masuk. Apa enggak?” tanya Alvan. Ia yang sudah turun dari motor terpaksa menanyakan hal tersebut.“Kalian nggak boleh masuk. Enak aja, anak KKN mau masuk jam sembarangan.”Tiba-tiba Kayla datang sambil mendengar arah pembicaraan mereka.“Ohhhh, jadi kalian anak KKN. Silahkan ikut saya. Nggak papa telat. Saya aja barusan telat,” ucap Kayla yang sontak membuat Alvan dan Bima bingung.Petugas keamanan pun ikut terkejut. Ia kemudi
Suasana hati terasa sangat buruk. Mendengar ucapan yang lebih mirip taktik jahat membuat Alvan tak betah berlama-lama di dalam ruangan Pak Hendra.Ia berusaha tetap sopan meski rasanya kaki ingin lari saja. Senyum mengembang coba diciptakan. Menata hati dan pikiran agar bisa mencari cara agar keluar dari ruangan itu secepatnya."Baik, saya terima tawaran Pak Hendra. Saya rasa, Anda bisa jadi panutan yang baik." Alvan mengambil hati lawan bicaranya. Memasang wajah datar seolah ia tak punya niat apa-apa.Sementara itu, Hendra Sudrajat tersenyum puas. Ia akan mendapatkan laba lebih besar lagi. Tak lama, ia pun menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Alvan.
Sore menjelang dengan caranya. Alam telah bekerja dengan baik melakukan hal itu. Tak ada mendung yang menghias di langit. Yang ada hanya warna jingga terlukis abstrak begitu indah dipandang mata.Kilauan warna jingga itu masuk melalui celah jendela dan ventilasi yang ada di kamar rawat Ellysia. Gadis itu amat suka warna itu. Segala sesuatu terasa menyenangkan jika dipikir sambil memandang senja jingga. Lalu sekarang ia ingin melakukannya."Biiii," panggil Ellysia.Bibi Tari menoleh, ia kemudian mendekatkan dirinya ke arah Ellyisa. "Iya Non!""Apa di klinik ini ada taman Bi?"
Rasanya sudah seperti perang dingin. Antara Alvan dan Bima. Selama ini tidak hanya hubungan sebagai teman kerja saja di antara, mereka berdua. Tapi, juga sebagai sahabat karib, yang kemanapun bisa dibilang selalu bersama.Ya, tapi meski begitu, Alvan sadar. Ia bukan anak laki-laki yang baru menginjak remaja. Hati pria dewasa memang rumit. Jika ada yang bisa menjelaskan pun belum tentu orang yang mendapat penjelasan itu akan paham. Dicoba oleh Alvan untuk membuang sikap egois yang mungkin muncul dan tanpa sadar juga dirasakan juga oleh Bima."Bima!" panggil Alvan seperti biasa di ruangan kerjanya."Iya!" Bima mendekat. Ia tersenyum ceria seperti biasa. Mungkin karena merasa sudah menang satu kosong pagi ini dalam mencari perhatian dari Ellysia. Makanya ia bisa bersikap
Malam ini rasanya sulit sekali untuk tidur. Ellysia menatap langit-langit kamarnya yang kosong dan terlihat berlubang. Atapnya berwarna hitam karena adabekas air yang menetes dan agak berlumut. Dulu hal itu terlihat seram. Tapi, untuk saat ini, Ellysa seperti sudah terbiasa.“Besok Papa datang. Mungkin nggak sih kalau papa bakal bawa aku balik ke kota,” gumam Ellysia sendiri. Ia bertanya pada hatinya.Rasanya ingin sekali memejamkan sepasang matanya. Berharap ia bisa segera masuk ke alam mimpi dan bertemu dengan sang papa. Namun, saat dirinya memejamkan mata. Yang muncul bukannya sang papa. Tapi, justru malah pria sok yang akhir-akhir ini terlihat baik.“Alvan!” Ellysia membuka matanya dengan
Ellysia bergegas meninggalkan Alvan dan Pak Heru.. Ia sudah tidak berselera lagi untuk berbasa-basi dengan Alvan.Pak Heru menjadi tidak nyaman. Ia menatap pada Alvan karena merasa bersalah. “Maaf ya Nak. Nak Alvan jdi lihat pemandangan kayak tadi,” ucap Pak Heru.“Nggak papa Paman. Ell emang kayak gitu kan!” Alvan seolah mengerti dengan sifat Ellysia. Dari tempatnya berada, ia bisa melihat Ellysia yang akan masuk ke dalam rumah.Sebelum Ellysia benar-benar masuk. Ia berhenti sejenak pada bibi Tari. Diserahkan amplop yang diterimanya tadi dari Alvan. Amplop yang berisi uang dari hasil kerjanya seharian ini.‘Amplop itu diberikan pada Bibi Tari. Yang bener aja.’ A
Ellysia bisa merasakan peluhnya. Panas siang ini, benar-benar terasa menyengat. Beruntung, ia mampu melewati semua itu. Saat ini ia memutuskan untuk beristirahat. Menunggu waktu yang lima menit lagi adalah waktu untuk pulang kerja.Gadis itu memutuskan untuk berada di salah satu sudut. Di mana sudut itu bisa membuat dirinya mampu untuk melihat senja yang ada di ujung persawahan.Dia mengagumi pemandangan itu. Pemandangan matahari terbenam yang berdiri sendiri dan begitu menyilaukan bagi setiap pasang mata yang melihatnya. Hilang begitu saja, tapi kemunculannya sangat ditunggu-tunggu. Apalagi jika bisa melihatnya di tempat yang nyaman dan tenang, seperti pantai mungkin. Tapi itu, hanya imajinasi dari keinginan terdalam seorang Ellysia.Tak lama setelah itu, seorang pria terli
Alvan kembali ke ruangan miliknya. Diletakkan kembali minuman yang diibawanya tadi di atas meja. Lalu duduk bersandar di kursi. Kedua matanya menerawang ke atap kantor. Hanya kosong yang dilihat. "Perasaan apa ini? Gimana bisa aku jadi kesel banget sama Bima gara-gara lihat dia beri minuman ke Ellysia." Bingung merajai perasaan Alvan. Ia tak paham apa yang menimpa hatinya. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Sementara itu, Ellysia yang merasa diperhatikan oleh seseorang tiba-tiba mengawasi sekeliling. Ia mencermati yang ada, tapi dilihat lebih detail. Ternyata tidak ada siapa-siapa yang tampak mencurigakan. Namun, rasanya seperti ada sepasang mata yang melihat ke arahnya. "Ell, kamu kenapa? Kok kayak bingung gitu?" tanya Bima. Ia lalu meneguk minumannya.
Di waktu malam yang begitu dingin, semilir angin sejuk mengalir dari sawah yang ada di sekeliling tempat tinggal Ellysia. Ia menikmati dingin itu, meski terasa tajam menyentuh pada kulit halusnya. Tapi, dibiarkan saja.Tersenyum menatap langit yang banyak bintang, Ellysia sedikit demi sedikit bisa merasa bahagia di tengah keterbatasan yang ada. Tinggal di desa yang sebagian besar dipenuhi persawahan. Baginya ini yang pertama dan paling mengesankan.Sulit sebenarnya menerima apa yang telah terjadi. Namun, seiring waktu ada kesadaran dari hati seorang Ellysia. Ia sadar bahwa dirinya harus berjuang. Mungkin sudah hampir terlambat, tapi ia tetap akan berusaha.Apalagi, mengingat sore ini. Saat dirinya baru pulang bekerja dari tempat Alvan. Ia dengan gaji harian
Siapa sangka, matahari ternyata akan mendung. Cuaca yang tadinya cerah, sudah berubah dengan sangat cepat. Hari yang sudah hampir sore. Jam pulang kerja kan segera tiba. Tapi, yang terjadi justru terasa ada gerimis.Ellysia sudah hampir selesai. Ia mendapatkan tugas untuk membereskan segala perlengkapan yang tadi digunakan untuk menyortir ikan kering. Beberapa kotak baskom yang terbuat dari plastik harus segera dikembalikan ke tempat sanitasi. Sudah ada karyawan yang menunggu untuk membersihkan di sana."Aduhhh …., banyak juga yang perlu dibersihkan. Apa jamku cukup ya?" gumam Ellysia.Ia membawa setumpuk kotak baskom di tangannya. Hampir saja karena buru-buru ia kembali akan terjatuh. Tapi, Alvan berhasil menolongnya."Hati-hati, jangan sampai keteledoran s
Pagi ini matahari bersinar cukup cerah tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dimana mendung lebih sering menghiasi langit. Kali ini mentari tersenyum. Menunjukkan kekuasaan sinarnya yang begitu luar biasa.Alvan sudah bersiap di tempat pengepulan. Ia sudah bekerja cukup giat pagi ini. Beberapa karyawan yang juga telah datang ikut menunjukkan loyalitasnya termasuk Ellysia.Gadis itu tampak cukup cekatan enteng membantu beberapa pekerjaan yang dulu sempat membuatnya terkesan sulit untuk melakukan. Namun akhir-akhir ini gadis itu tampak begitu bersemangat.Masih ingat dalam bayangan Alvan, kejadian beberapa hari yang lalu. Saat ia mengetahui Ellysia terisak di dalam kamar mandi. Ia sebenarnya ingin mencari tahu mengapa gadis itu melakukannya. Tapi, dia langsung mengur
Senja terlukis di langit yang begitu luas. Hamparan air di persawahan yang bergelombang menari diterpa angin menghasilkan pemandangan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. membuat tenang setiap mata memandang. Apalagi ada angin sejuk yang menyentuh kulit memberi kenyamanan tak terhingga. Senang rasanya bisa berada di persawahan seperti ini.“Ell, cepet bereskan ikan-ikan ini. masukkan ke dalam keranjang!” pinta Bima yang sejak tadi menemani Ellysia bekerja di sawah.Ellysia menoleh. Ia yang sejak tadi memandang hamparan air sawah yang hijau bergegas menghampiri Bima. “Ikan yang mana?” tanya Ellysia.“Yang ini!” jawab Bima sambil menunjuk sebuah keranjang besar. “Itu yang loncat-loncat kamu masukkan lagi ke tempatnya sesuai ukur