"Jadi, kalian ini mahasiswa yang sedang KKN. Aneh sekali, kenapa nggak ada pemberitahuan?" tanya Denis. Pria yang bertugas menerimanya kedatangan Alvan dan Bima.
Alvan hanya tersenyum. begitu juga dengan Bima.
"Mungkin, karena kami memilih sendiri tempat untuk KKN. Kebetulan paman saya orang sini dulu. Dan kebetulan ada rumah juga sedikit kenalan di sini. Jadi, kami memutuskan untuk mencoba saja di sini. Bukan begitu Van," ucap Bima mencari teman berbicara.
Alvan sedikit terkejut. Sejak tadi, ia tidak memperhatikan perbincangan antara Bima dengan Pak Denis.
"Iya. Bisa jadi," jawab Alvan yang dibuat sesantai mungkin.
"Ada apa sih sama Alvan. Kenapa dia
Kayla yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Mulai berjalan mendekat ke arah Alvan. Ia melihat ada keributan di sana.“Tidak salah lagi. Itu pria yang waktu itu,” batin Kayla.Terdengar pertengkaran terjadi. Alvan berusaha menjelaskan sesuatu kepada petugas keamanan tersebut. Begitu juga Bima. Terjadi adu mulut diantara mereka.“Kami berdua minta maaf Pak. Kami terkendala macet di jalan tadi,” terang Bima.“Kamu pikir ini jalanan kota!” sahut satpam tersebut.“Udah gini aja Pak. Sekarang, kita boleh masuk. Apa enggak?” tanya Alvan. Ia yang sudah turun dari motor terpaksa menanyakan hal tersebut.“Kalian nggak boleh masuk. Enak aja, anak KKN mau masuk jam sembarangan.”Tiba-tiba Kayla datang sambil mendengar arah pembicaraan mereka.“Ohhhh, jadi kalian anak KKN. Silahkan ikut saya. Nggak papa telat. Saya aja barusan telat,” ucap Kayla yang sontak membuat Alvan dan Bima bingung.Petugas keamanan pun ikut terkejut. Ia kemudi
Suasana hati terasa sangat buruk. Mendengar ucapan yang lebih mirip taktik jahat membuat Alvan tak betah berlama-lama di dalam ruangan Pak Hendra.Ia berusaha tetap sopan meski rasanya kaki ingin lari saja. Senyum mengembang coba diciptakan. Menata hati dan pikiran agar bisa mencari cara agar keluar dari ruangan itu secepatnya."Baik, saya terima tawaran Pak Hendra. Saya rasa, Anda bisa jadi panutan yang baik." Alvan mengambil hati lawan bicaranya. Memasang wajah datar seolah ia tak punya niat apa-apa.Sementara itu, Hendra Sudrajat tersenyum puas. Ia akan mendapatkan laba lebih besar lagi. Tak lama, ia pun menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Alvan.
Sore menjelang dengan caranya. Alam telah bekerja dengan baik melakukan hal itu. Tak ada mendung yang menghias di langit. Yang ada hanya warna jingga terlukis abstrak begitu indah dipandang mata.Kilauan warna jingga itu masuk melalui celah jendela dan ventilasi yang ada di kamar rawat Ellysia. Gadis itu amat suka warna itu. Segala sesuatu terasa menyenangkan jika dipikir sambil memandang senja jingga. Lalu sekarang ia ingin melakukannya."Biiii," panggil Ellysia.Bibi Tari menoleh, ia kemudian mendekatkan dirinya ke arah Ellyisa. "Iya Non!""Apa di klinik ini ada taman Bi?"
Seperti sedang berada di dalam sebuah labirin. Begitulah pikiran seorang Alvan saat ini. Terjebak dan tidak tahu harus kemana. Ia terus saja teringat dengan tatapan mata Ellysia. Begitu teduh dan membuat rindu. ‘Siallllll, perasaan apa ini?’ batin Alvan yang masih berada di kamar rawat Bima.Ia pun bangun dari sofa. Menatap langit klinik yang berwarna putih. Tak ada jawaban yang bisa ditemukan. Yang ada ada senyum Ellysia mencoba merayunya.“Arghhhh, apaan sih cewek manja muncul terus.” Alvan bergumam sendiri. Dibaringkan lagi tubuhnya, tapi rasanya masih belum nyaman. Diatur lagi bantalnya, tetap saja tubuhnya tidak mau menerima.
Hari belum terlalu sore. Sepasang mata sedang memandang serius ke arah para pekerja. Ia dengan pakaian cassualnya begitu santai memberi perintah dan petunjuk ke beberapa orang yang sedang akan mengirim pesanan pelanggan ke kota.Perlahan, tampak dari tempat pria itu berdiri. Ada sebuah mobil berhenti. Mobil dengan warna cerah itu mulai terbuka pintunya, dan muncul sosok Kayla dari sana.'Diakan, Kayla, ngapain dia kesini,’ batin Alvan. Ia pun hanya menatapnya dari kejauhan sambil tetap memberi arahan kepada para pekerja.“Hay!” sapa Kayla lebih dulu. Dibuka kacamata hitamnya untuk memandang wajah Alvan agar lebih jelas.“Hay juga, kamu ngapain ke sini?”
Pagi ini cerah, banyak hasil panen yang masuk ke tempat Alvan. Ia bahkan memutuskan untuk tidak datang dulu ke pabrik. Apalagi semenjak Kayla menawarkan diri untuk membantunya mendapat informasi apapun. Ya, asal ada kaitannya dengan tugas KKN nya.“Jadi, pagi ini kita nggak perlu ke pabriknya pak Tomi,” ucap Bima terkejut. Ia kemudian meletakkan cangkir cappucinonya yang terpaksa ia buat sendiri. Karena di kampung itu belum ada yang menjualnya.“Hemb!” jawab Alvan singkat.Bima tampak jelas sedang berpikir. Ini pasti sangat berkaitan dengan keinginan pak Hendra untuk mendapat bahan baku secara murah. Didekati Alvan di mejanya. “Bro, terus, apa
“Jadi, ini cara kamu Ell, buat bisa kerja di sini?” Alvan menekan nada suaranya. Sontak saja Bima menoleh ke arah Alvan.Ellysia mengusap bekas air matanya. Membuat dirinya setegak mungkin, agar mampu menatap Alvan. Ia ingin tahu apa maksud ucapan pria itu.“Kok kamu bilang gitu sih Bro!” Bima menatap kesal. Ia merasa Alvan sudah sangat salah paham.“Pergi kamu dari sini. Di sini bukan tempat gadis manja kayak kamu.” Alvan menatap tajam ke arah Ellysia.Ellysia menelan saliva. Menahan gejolak emosi yang sudah hampir tak bisa dibendung lagi. “Aku nggak akan pergi. Aku butuh kerjaan ini.”Alvan melangkah l
Sebuah ruangan terasa begitu menegangkan. Seorang pria dengan pakaian cassual sedang duduk di kursi kebesaran. Ia benar-benar berwibawa, sedikit tampak sombong tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya."Aku nggak dengar kamu tadi ngomong apa?" Alvan akhirnya berucap. Ia sedang menggunakan kekuasaannya untuk mempermainkan Ellysia. Ia tampak memandang tak suka.Ellysia menelan saliva. Kerongkongannya seperti tercekat tak bisa berucap. Sudah berkali-kali ia mengatakan maaf. Namun, pria di hadapannya seolah tak puas. Ia coba terima meski ada harga diri yang seakan-akan ingin diinjak oleh Alvan."Aku tadi kan udah bilang minta maaf." Ellysia tidak ingin lagi mengulang kata maafnya. Sudah puluhan rasanya tadi ia mengucapkan."Kalau gitu. Jangan berharap dapat kerjaan lagi di sini."Kesabaran Ellysia sudah habis. Ia sudah teramat kesal dengan apa yang telah dilakukan Alvan pagi ini kepadanya."Dasar manusia nggak tahu diri. Kamu pikir kamu s
Rasanya sudah seperti perang dingin. Antara Alvan dan Bima. Selama ini tidak hanya hubungan sebagai teman kerja saja di antara, mereka berdua. Tapi, juga sebagai sahabat karib, yang kemanapun bisa dibilang selalu bersama.Ya, tapi meski begitu, Alvan sadar. Ia bukan anak laki-laki yang baru menginjak remaja. Hati pria dewasa memang rumit. Jika ada yang bisa menjelaskan pun belum tentu orang yang mendapat penjelasan itu akan paham. Dicoba oleh Alvan untuk membuang sikap egois yang mungkin muncul dan tanpa sadar juga dirasakan juga oleh Bima."Bima!" panggil Alvan seperti biasa di ruangan kerjanya."Iya!" Bima mendekat. Ia tersenyum ceria seperti biasa. Mungkin karena merasa sudah menang satu kosong pagi ini dalam mencari perhatian dari Ellysia. Makanya ia bisa bersikap
Malam ini rasanya sulit sekali untuk tidur. Ellysia menatap langit-langit kamarnya yang kosong dan terlihat berlubang. Atapnya berwarna hitam karena adabekas air yang menetes dan agak berlumut. Dulu hal itu terlihat seram. Tapi, untuk saat ini, Ellysa seperti sudah terbiasa.“Besok Papa datang. Mungkin nggak sih kalau papa bakal bawa aku balik ke kota,” gumam Ellysia sendiri. Ia bertanya pada hatinya.Rasanya ingin sekali memejamkan sepasang matanya. Berharap ia bisa segera masuk ke alam mimpi dan bertemu dengan sang papa. Namun, saat dirinya memejamkan mata. Yang muncul bukannya sang papa. Tapi, justru malah pria sok yang akhir-akhir ini terlihat baik.“Alvan!” Ellysia membuka matanya dengan
Ellysia bergegas meninggalkan Alvan dan Pak Heru.. Ia sudah tidak berselera lagi untuk berbasa-basi dengan Alvan.Pak Heru menjadi tidak nyaman. Ia menatap pada Alvan karena merasa bersalah. “Maaf ya Nak. Nak Alvan jdi lihat pemandangan kayak tadi,” ucap Pak Heru.“Nggak papa Paman. Ell emang kayak gitu kan!” Alvan seolah mengerti dengan sifat Ellysia. Dari tempatnya berada, ia bisa melihat Ellysia yang akan masuk ke dalam rumah.Sebelum Ellysia benar-benar masuk. Ia berhenti sejenak pada bibi Tari. Diserahkan amplop yang diterimanya tadi dari Alvan. Amplop yang berisi uang dari hasil kerjanya seharian ini.‘Amplop itu diberikan pada Bibi Tari. Yang bener aja.’ A
Ellysia bisa merasakan peluhnya. Panas siang ini, benar-benar terasa menyengat. Beruntung, ia mampu melewati semua itu. Saat ini ia memutuskan untuk beristirahat. Menunggu waktu yang lima menit lagi adalah waktu untuk pulang kerja.Gadis itu memutuskan untuk berada di salah satu sudut. Di mana sudut itu bisa membuat dirinya mampu untuk melihat senja yang ada di ujung persawahan.Dia mengagumi pemandangan itu. Pemandangan matahari terbenam yang berdiri sendiri dan begitu menyilaukan bagi setiap pasang mata yang melihatnya. Hilang begitu saja, tapi kemunculannya sangat ditunggu-tunggu. Apalagi jika bisa melihatnya di tempat yang nyaman dan tenang, seperti pantai mungkin. Tapi itu, hanya imajinasi dari keinginan terdalam seorang Ellysia.Tak lama setelah itu, seorang pria terli
Alvan kembali ke ruangan miliknya. Diletakkan kembali minuman yang diibawanya tadi di atas meja. Lalu duduk bersandar di kursi. Kedua matanya menerawang ke atap kantor. Hanya kosong yang dilihat. "Perasaan apa ini? Gimana bisa aku jadi kesel banget sama Bima gara-gara lihat dia beri minuman ke Ellysia." Bingung merajai perasaan Alvan. Ia tak paham apa yang menimpa hatinya. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Sementara itu, Ellysia yang merasa diperhatikan oleh seseorang tiba-tiba mengawasi sekeliling. Ia mencermati yang ada, tapi dilihat lebih detail. Ternyata tidak ada siapa-siapa yang tampak mencurigakan. Namun, rasanya seperti ada sepasang mata yang melihat ke arahnya. "Ell, kamu kenapa? Kok kayak bingung gitu?" tanya Bima. Ia lalu meneguk minumannya.
Di waktu malam yang begitu dingin, semilir angin sejuk mengalir dari sawah yang ada di sekeliling tempat tinggal Ellysia. Ia menikmati dingin itu, meski terasa tajam menyentuh pada kulit halusnya. Tapi, dibiarkan saja.Tersenyum menatap langit yang banyak bintang, Ellysia sedikit demi sedikit bisa merasa bahagia di tengah keterbatasan yang ada. Tinggal di desa yang sebagian besar dipenuhi persawahan. Baginya ini yang pertama dan paling mengesankan.Sulit sebenarnya menerima apa yang telah terjadi. Namun, seiring waktu ada kesadaran dari hati seorang Ellysia. Ia sadar bahwa dirinya harus berjuang. Mungkin sudah hampir terlambat, tapi ia tetap akan berusaha.Apalagi, mengingat sore ini. Saat dirinya baru pulang bekerja dari tempat Alvan. Ia dengan gaji harian
Siapa sangka, matahari ternyata akan mendung. Cuaca yang tadinya cerah, sudah berubah dengan sangat cepat. Hari yang sudah hampir sore. Jam pulang kerja kan segera tiba. Tapi, yang terjadi justru terasa ada gerimis.Ellysia sudah hampir selesai. Ia mendapatkan tugas untuk membereskan segala perlengkapan yang tadi digunakan untuk menyortir ikan kering. Beberapa kotak baskom yang terbuat dari plastik harus segera dikembalikan ke tempat sanitasi. Sudah ada karyawan yang menunggu untuk membersihkan di sana."Aduhhh …., banyak juga yang perlu dibersihkan. Apa jamku cukup ya?" gumam Ellysia.Ia membawa setumpuk kotak baskom di tangannya. Hampir saja karena buru-buru ia kembali akan terjatuh. Tapi, Alvan berhasil menolongnya."Hati-hati, jangan sampai keteledoran s
Pagi ini matahari bersinar cukup cerah tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dimana mendung lebih sering menghiasi langit. Kali ini mentari tersenyum. Menunjukkan kekuasaan sinarnya yang begitu luar biasa.Alvan sudah bersiap di tempat pengepulan. Ia sudah bekerja cukup giat pagi ini. Beberapa karyawan yang juga telah datang ikut menunjukkan loyalitasnya termasuk Ellysia.Gadis itu tampak cukup cekatan enteng membantu beberapa pekerjaan yang dulu sempat membuatnya terkesan sulit untuk melakukan. Namun akhir-akhir ini gadis itu tampak begitu bersemangat.Masih ingat dalam bayangan Alvan, kejadian beberapa hari yang lalu. Saat ia mengetahui Ellysia terisak di dalam kamar mandi. Ia sebenarnya ingin mencari tahu mengapa gadis itu melakukannya. Tapi, dia langsung mengur
Senja terlukis di langit yang begitu luas. Hamparan air di persawahan yang bergelombang menari diterpa angin menghasilkan pemandangan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. membuat tenang setiap mata memandang. Apalagi ada angin sejuk yang menyentuh kulit memberi kenyamanan tak terhingga. Senang rasanya bisa berada di persawahan seperti ini.“Ell, cepet bereskan ikan-ikan ini. masukkan ke dalam keranjang!” pinta Bima yang sejak tadi menemani Ellysia bekerja di sawah.Ellysia menoleh. Ia yang sejak tadi memandang hamparan air sawah yang hijau bergegas menghampiri Bima. “Ikan yang mana?” tanya Ellysia.“Yang ini!” jawab Bima sambil menunjuk sebuah keranjang besar. “Itu yang loncat-loncat kamu masukkan lagi ke tempatnya sesuai ukur