"Ngelamun Si Alvan. Ihhhhh, ogah banget. Emang dia siapa. Cuma cowok yang kebetulan lewat dan mengacaukan hariku," gumam Ellysia yang sedang mandi.
Ia mulai membuat dirinya basah. Sabun dengan aroma vanilla disebar di seluruh tubuh hingga harumnya membuat tenang.
Sesaat rasanya Ellysia bisa sejenak melupakan masalah yang menimpanya. Bukan perkara gampang bagi seorang Ell menerima kenyataan pahit yang tiba-tiba datang dalam hidupnya.
Kenyataan tentang keluarganya yang bangkrut. Belum lagi ia harus tinggal di perkampungan yang amat jauh dari kota. Mimpinya mengenyam pendidikan di luar negeri juga harus pupus.
"Menyebalkannn, terus gimana nasibku setelah ini," ucap Ellysia yang masih di dalam kamar mandi.
Gadis itu kembali membasuh tubuhnya. Membiarkan dingin menyentuh tiap pori kulit. Segar dan membuat hilang segala pikiran negatif.
Sudah cukup waktu yang dihabiskan untuk mandi. Ellysia pun meraih sebuah handuk. dan mengenakan bajunya.
"Serba susah kalau kayak gini," keluh Ellysia.
Ia kemudian membuka pintu. Betapa terkejutnya setelah pintu yang terbuat dari seng itu terbuka.
Kamar mandi yang letaknya memang berada di luar rumah. Berjarak sekitar lima meter dari dapur. Ellysia lupa sudah mandi berapa lama. Namun, kini ia bisa melihat suasana horor tampak dan terasa menakutkan di sepanjang jalan yang hanya lima meter itu.
Di langit sudah tidak terlihat warna jingga. Yang ada hanya hitam gelap tanpa cahaya. Sepertinya mendung telah merebut tempat untuk para bintang bersinar.
"Perasaan tadi masih terang. Kenapa tiba-tiba aku keluar dari kamar mandi jadi segelap ini. Emang, ini jam berapa? Terus itu suara apa lagi?" Ellysia mendengar suara hewan yang sangat berisik. Ia merasa ketakutan setengah mati. Apalagi di dekat pintu dapur rumah bibi tari ada rumput yang tampak tinggi.
"Jangan-jangan ada ular lagi di situ, kenapa juga di sini enggak dikasi lampu sih?" Ellysia merasa sudah sangat ketakutan.
Kedua kaki gadis itu rasanya membeku. Ragu sekali untuk melangkah masuk ke dalam rumah. Dibiarkan tubuhnya mematung tanpa tahu harus berbuat apa.
"Terus aku mau sampai kapan di sini?" tanya Ellysia pada dirinya. Kedua matanya menatap sekitar. Ada yang bergerak dari semak belukar mencuri perhatiannya.
"Itu apa. Semoga bukan ular atau hewan mengerikan lainnya," pikir Ellysia.
Ia pun mengumpulkan keberanian untuk berjalan. Atau lebih baik berlari saja agar bisa segera masuk ke dalam rumah.
"Lagian ngapain sih bikin kamar mandi di sini. Kenapa nggak di dalam rumah atau di dalam kamar sekalian." Ellysia kembali mengoceh tanpa ada yang menjawab.
Dalam hitungan detik, Ellyisa bersiap untuk lari. Sambil tetap fokus pada semak belukar yang dicurigai ada hewan buasnya.
"Satu, dua, tiga," hitung Ellysia dan mengambil langkah seribu.
Bersamaan dengan itu, ternyata semak belukar yang ada di samping pintu masuk semakin terlihat menakutkan bagi Ellysia. Tiba-tiba saat gadis itu tepat di sebelahnya, sebuah hewan pengerat loncat dari sana.
"Ahhhhhhhhh!" Ellysia menjerit sejadinya.
Pak Heru yang berada di kamar segera lari menuju asal suara jeritan yang didengar barusan. Ia kemudian memergoki Ellysia sudah berada di atas kursi dapur.
"Ada apa Nona Ell?" tanya Pak Heru.
"Ada tikus di samping pintu Pak," ucap Ellysia ketakutan.
"Ohhhhhh, tikus. Pak Heru pikir ada apa?" sahut Pak Heru dengan enteng.
"Pak Heru bilang cuma ada apa. Ya ampunnnn, ada tikus Pak. Tikusnya gede banget. Harusnya Pak Heru usir dulu tikusnya tadi. Gimana kalau tikusnya gigit Ell, atau loncat ke tubuh Ell." Ellysia merasa ingin mengamuk saja.
"Lhooo, ada apa ini?" tanya Bibi Tari yang baru datang. Ia terlihat bingung melihat Ellysia di dapur.
Ellysia langsung turun dari kursi. Ia berlari memeluk Bibi Tari yang sudah seperti sosok ibu pengganti baginya.
"Bibiiiiii, ada tikus. Aku takut banget," ucap Ellysia menjelaskan.
Bibi Tari membalas pelukannya. Ia berusaha menenangkan Ellysia. Rasanya seperti ada yang menetes di bahunya.
"Kenapa kamar mandinya nggak ditaruh di kamar aja sih Bi? Akukan takut kalau harus keluar rumah, kelihatan gelap banget," ucap Ellysia dengan nada merengek.
"Ya gelap dong Non. Ini kan udah magrib. Nona Ell sendiri mandinya lama banget," gurau Pak Heru sambil menahan tawa.
"Dari dulu, aku kalau mandi emang lama Pak Heruuu," sahut Ellysia.
Bibi Tari langsung memberi kode pada Pak Heru agar diam dan tak menertawakan tingkah Ellysia yang kekanakan. Ia merasa gadis itu semakin deras meneteskan air matanya. Ditarik bahu Ellysia agar ia bisa melihat wajahnya.
"Nona Ell menangis?" tanya Bibi Tari yang sudah bertatap muka dengan Ellysia.
Ellysia merasa seperti sudah tak kuat. Ia hanya mengangguk, kemudian menghamburkan diri lagi ke pelukan Bibi Tari. Tangisnya pecah.
"Biiiiii, aku nggak mau tinggal di sini Bi. Aku pengen kayak dulu. Aku nggak kuat Bi. Seandainya Papa nggak bangkrut. Bibi juga pasti masih bekerja di rumahku. Aku juga masih bisa kuliah," ucap Ellysia dengan begitu cepat sambil terisak.
Bibi Tari membelai lembut rambut panjang Ellysia. Ia berharap bisa mengabulkan nona mudanya itu. Namun, tidak mungkin juga mengatakan apa yang sebenarnya sudah terjadi pada Ellysia.
"Nona Ell, jangan begini. Nona Ell harus kuat dan bisa melewati ini semua," ucap Bibi Tari yang terus menerus membelai lembut Ellysia.
Pak Heru ikut tersentuh. Betapa manja dan seenaknya sendiri majikan mudanya itu, tetap saja ada segian hati kecilnya yang tidak tega jika melihat Ellysia harus menangis. Didekatinya Bibi Tari dan Ellysia.
"Nona Ell takut ya, kalau kamar mandinya ada di luar. Kalau gitu, biar besok Pak Heru beri lampu penerangan ya. Untuk malam ini, Nona Ell bilang aja sama Bibi Tari kalau mau ke kamar mandi,” ucap Pak Heru.
Ellysia mengangguk. Ia berusaha menghentikan isakannya, tapi sudah terlanjur. Ingatannya mengulang bayangan dirinya masih tinggal di rumahnya yang dulu. Sungguh betapa nyamannya saat itu. Akan tetapi, untuk saat ini. Semua hal yang terjadi dulu berbanding terbalik dengan yang sekarang. Ia pun masih meneteskan air matanya.
“Nona Ell harus kuat ya. Pak Prayogi juga lagi berjuang buat mengembalikan semua asetnya. Meski katanya nggak akan bisa sekaya dulu,” ucap Bibi Tari.
“Apa Bi, jadi Papa nggak bakalan sekaya dulu lagi.” Ellysia tampak terkejut dan mendadak merasa pusing mendengar itu. Ia rasanya ingin kembali pingsan. “Tenang Ell, jangan pingsan dan membuat mereka berdua repot lagi,” batin Ellysia berusaha kuat.
**
Angin malam begitu dingin menusuk kulit. Seorang pria dengan jaket tebalnya sedang menghirup kopi hangat yang aromanya begitu kuat.
“Kenapa aku harus ketemu lagi sih sama gadis kota itu. Padahal udah sejauh ini perjalananku,” ucap Alvan sambil menatap langit malam.
Pria itu segera menghilangkan pikirannya pada Ellysia. Diusap wajahnya dengan kasar. “Harusnya aku cari tahu orang yang membuat Papa rugi. Bukannya mikirin gadis kota manja, norak dan super nyebelin itu.”
Alvan membuang wajahnya menatap bagian lain dari langit yang gelap. Dipejamkan matanya sesaat setelan meletakkan gelas kopinya di atas meja.Tiba-tiba sebuah langkah kaki yang cukup keras mengejutkan. Alvan menoleh ke langkah kaki yang berasal dari dalam rumahnya itu."Bima, apaaan sih lari-lari di dalam rumah," ucap Alvan sedikit berteriak karena kesal merasa dikegeti.Bima dengan cepat duduk di sebelah Alvan sambil menunjukkan ponsel pintarnya. "Gawat Van. Kayaknya kita emang harus masuk ke pabrik Papa kamu buat memastikan semuanya. Aku udah minta perkiraan laba bulan lalu ke perusahaan pusat dan mencocokkan dengan hasil di komputer pabrik yang ada di sini. Hasilnya, ternyata selisih banyak Bro. Banyak banget," terang Bima sambil menunjukkan perbandingan laporan.Alvan
Bima terdengar mengalunkan lagu cinta dari bibir tipisnya. Ia terlihat sangat senang dengan mata yang tampak berbinar.Seperti kebiasaannya beberapa hari ini. sepulang dari pasar, ia akan menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Juga untuk makan siang beserta makan malam jika bisa. Namun, ada sedikit perbedaan yang dirasakan oleh Alvan sepulang Bima dari pasar.Putra tunggal dari Tomi Anderson itu, tiba-tiba merasa fokusnya pecah. Ia yang tadinya sibuk meneliti denah bangunan pabrik yang hari ini akan dieksekusinya. Terpaksa berhenti untuk melanjutkan kegiatannya.“Aneh, kayak denger suara orang nyanyi,” batin Alvan ragu-ragu.
Cara berpikir yang tak bisa berbuat apa-apa tanpa uang benar-benar tertanam pada seorang Ellysia Prayogi. Harta banyak yang selama 18 tahun menemaninya setiap hari. Menjadikannya pribadi dengan pola pikir yang tak pernah tahu bagaimana berada di luar zona nyaman.Saat ini, dirinya berada di zona tersebut. Zona yang tidak nyaman. Zona yang tidak pernah terpikirkan oleh Ellysia, bahwa dirinya akan berada di sana. Zona yang sengaja diciptakan oleh sang papa agar Ellysia mau dan bisa berubah.“Tak tak tak tak.” Terdengar suara meja yang dipukul dengan jari telunjuk secara terus menerus.Pria dengan setelan jas rapi tengah serius membaca dokumen di tangan kirinya. Sementara tangan
"Jadi, kalian ini mahasiswa yang sedang KKN. Aneh sekali, kenapa nggak ada pemberitahuan?" tanya Denis. Pria yang bertugas menerimanya kedatangan Alvan dan Bima.Alvan hanya tersenyum. begitu juga dengan Bima."Mungkin, karena kami memilih sendiri tempat untuk KKN. Kebetulan paman saya orang sini dulu. Dan kebetulan ada rumah juga sedikit kenalan di sini. Jadi, kami memutuskan untuk mencoba saja di sini. Bukan begitu Van," ucap Bima mencari teman berbicara.Alvan sedikit terkejut. Sejak tadi, ia tidak memperhatikan perbincangan antara Bima dengan Pak Denis."Iya. Bisa jadi," jawab Alvan yang dibuat sesantai mungkin."Ada apa sih sama Alvan. Kenapa dia
Kayla yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Mulai berjalan mendekat ke arah Alvan. Ia melihat ada keributan di sana.“Tidak salah lagi. Itu pria yang waktu itu,” batin Kayla.Terdengar pertengkaran terjadi. Alvan berusaha menjelaskan sesuatu kepada petugas keamanan tersebut. Begitu juga Bima. Terjadi adu mulut diantara mereka.“Kami berdua minta maaf Pak. Kami terkendala macet di jalan tadi,” terang Bima.“Kamu pikir ini jalanan kota!” sahut satpam tersebut.“Udah gini aja Pak. Sekarang, kita boleh masuk. Apa enggak?” tanya Alvan. Ia yang sudah turun dari motor terpaksa menanyakan hal tersebut.“Kalian nggak boleh masuk. Enak aja, anak KKN mau masuk jam sembarangan.”Tiba-tiba Kayla datang sambil mendengar arah pembicaraan mereka.“Ohhhh, jadi kalian anak KKN. Silahkan ikut saya. Nggak papa telat. Saya aja barusan telat,” ucap Kayla yang sontak membuat Alvan dan Bima bingung.Petugas keamanan pun ikut terkejut. Ia kemudi
Suasana hati terasa sangat buruk. Mendengar ucapan yang lebih mirip taktik jahat membuat Alvan tak betah berlama-lama di dalam ruangan Pak Hendra.Ia berusaha tetap sopan meski rasanya kaki ingin lari saja. Senyum mengembang coba diciptakan. Menata hati dan pikiran agar bisa mencari cara agar keluar dari ruangan itu secepatnya."Baik, saya terima tawaran Pak Hendra. Saya rasa, Anda bisa jadi panutan yang baik." Alvan mengambil hati lawan bicaranya. Memasang wajah datar seolah ia tak punya niat apa-apa.Sementara itu, Hendra Sudrajat tersenyum puas. Ia akan mendapatkan laba lebih besar lagi. Tak lama, ia pun menyodorkan tangannya untuk bersalaman dengan Alvan.
Sore menjelang dengan caranya. Alam telah bekerja dengan baik melakukan hal itu. Tak ada mendung yang menghias di langit. Yang ada hanya warna jingga terlukis abstrak begitu indah dipandang mata.Kilauan warna jingga itu masuk melalui celah jendela dan ventilasi yang ada di kamar rawat Ellysia. Gadis itu amat suka warna itu. Segala sesuatu terasa menyenangkan jika dipikir sambil memandang senja jingga. Lalu sekarang ia ingin melakukannya."Biiii," panggil Ellysia.Bibi Tari menoleh, ia kemudian mendekatkan dirinya ke arah Ellyisa. "Iya Non!""Apa di klinik ini ada taman Bi?"
Seperti sedang berada di dalam sebuah labirin. Begitulah pikiran seorang Alvan saat ini. Terjebak dan tidak tahu harus kemana. Ia terus saja teringat dengan tatapan mata Ellysia. Begitu teduh dan membuat rindu. ‘Siallllll, perasaan apa ini?’ batin Alvan yang masih berada di kamar rawat Bima.Ia pun bangun dari sofa. Menatap langit klinik yang berwarna putih. Tak ada jawaban yang bisa ditemukan. Yang ada ada senyum Ellysia mencoba merayunya.“Arghhhh, apaan sih cewek manja muncul terus.” Alvan bergumam sendiri. Dibaringkan lagi tubuhnya, tapi rasanya masih belum nyaman. Diatur lagi bantalnya, tetap saja tubuhnya tidak mau menerima.
Rasanya sudah seperti perang dingin. Antara Alvan dan Bima. Selama ini tidak hanya hubungan sebagai teman kerja saja di antara, mereka berdua. Tapi, juga sebagai sahabat karib, yang kemanapun bisa dibilang selalu bersama.Ya, tapi meski begitu, Alvan sadar. Ia bukan anak laki-laki yang baru menginjak remaja. Hati pria dewasa memang rumit. Jika ada yang bisa menjelaskan pun belum tentu orang yang mendapat penjelasan itu akan paham. Dicoba oleh Alvan untuk membuang sikap egois yang mungkin muncul dan tanpa sadar juga dirasakan juga oleh Bima."Bima!" panggil Alvan seperti biasa di ruangan kerjanya."Iya!" Bima mendekat. Ia tersenyum ceria seperti biasa. Mungkin karena merasa sudah menang satu kosong pagi ini dalam mencari perhatian dari Ellysia. Makanya ia bisa bersikap
Malam ini rasanya sulit sekali untuk tidur. Ellysia menatap langit-langit kamarnya yang kosong dan terlihat berlubang. Atapnya berwarna hitam karena adabekas air yang menetes dan agak berlumut. Dulu hal itu terlihat seram. Tapi, untuk saat ini, Ellysa seperti sudah terbiasa.“Besok Papa datang. Mungkin nggak sih kalau papa bakal bawa aku balik ke kota,” gumam Ellysia sendiri. Ia bertanya pada hatinya.Rasanya ingin sekali memejamkan sepasang matanya. Berharap ia bisa segera masuk ke alam mimpi dan bertemu dengan sang papa. Namun, saat dirinya memejamkan mata. Yang muncul bukannya sang papa. Tapi, justru malah pria sok yang akhir-akhir ini terlihat baik.“Alvan!” Ellysia membuka matanya dengan
Ellysia bergegas meninggalkan Alvan dan Pak Heru.. Ia sudah tidak berselera lagi untuk berbasa-basi dengan Alvan.Pak Heru menjadi tidak nyaman. Ia menatap pada Alvan karena merasa bersalah. “Maaf ya Nak. Nak Alvan jdi lihat pemandangan kayak tadi,” ucap Pak Heru.“Nggak papa Paman. Ell emang kayak gitu kan!” Alvan seolah mengerti dengan sifat Ellysia. Dari tempatnya berada, ia bisa melihat Ellysia yang akan masuk ke dalam rumah.Sebelum Ellysia benar-benar masuk. Ia berhenti sejenak pada bibi Tari. Diserahkan amplop yang diterimanya tadi dari Alvan. Amplop yang berisi uang dari hasil kerjanya seharian ini.‘Amplop itu diberikan pada Bibi Tari. Yang bener aja.’ A
Ellysia bisa merasakan peluhnya. Panas siang ini, benar-benar terasa menyengat. Beruntung, ia mampu melewati semua itu. Saat ini ia memutuskan untuk beristirahat. Menunggu waktu yang lima menit lagi adalah waktu untuk pulang kerja.Gadis itu memutuskan untuk berada di salah satu sudut. Di mana sudut itu bisa membuat dirinya mampu untuk melihat senja yang ada di ujung persawahan.Dia mengagumi pemandangan itu. Pemandangan matahari terbenam yang berdiri sendiri dan begitu menyilaukan bagi setiap pasang mata yang melihatnya. Hilang begitu saja, tapi kemunculannya sangat ditunggu-tunggu. Apalagi jika bisa melihatnya di tempat yang nyaman dan tenang, seperti pantai mungkin. Tapi itu, hanya imajinasi dari keinginan terdalam seorang Ellysia.Tak lama setelah itu, seorang pria terli
Alvan kembali ke ruangan miliknya. Diletakkan kembali minuman yang diibawanya tadi di atas meja. Lalu duduk bersandar di kursi. Kedua matanya menerawang ke atap kantor. Hanya kosong yang dilihat. "Perasaan apa ini? Gimana bisa aku jadi kesel banget sama Bima gara-gara lihat dia beri minuman ke Ellysia." Bingung merajai perasaan Alvan. Ia tak paham apa yang menimpa hatinya. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Sementara itu, Ellysia yang merasa diperhatikan oleh seseorang tiba-tiba mengawasi sekeliling. Ia mencermati yang ada, tapi dilihat lebih detail. Ternyata tidak ada siapa-siapa yang tampak mencurigakan. Namun, rasanya seperti ada sepasang mata yang melihat ke arahnya. "Ell, kamu kenapa? Kok kayak bingung gitu?" tanya Bima. Ia lalu meneguk minumannya.
Di waktu malam yang begitu dingin, semilir angin sejuk mengalir dari sawah yang ada di sekeliling tempat tinggal Ellysia. Ia menikmati dingin itu, meski terasa tajam menyentuh pada kulit halusnya. Tapi, dibiarkan saja.Tersenyum menatap langit yang banyak bintang, Ellysia sedikit demi sedikit bisa merasa bahagia di tengah keterbatasan yang ada. Tinggal di desa yang sebagian besar dipenuhi persawahan. Baginya ini yang pertama dan paling mengesankan.Sulit sebenarnya menerima apa yang telah terjadi. Namun, seiring waktu ada kesadaran dari hati seorang Ellysia. Ia sadar bahwa dirinya harus berjuang. Mungkin sudah hampir terlambat, tapi ia tetap akan berusaha.Apalagi, mengingat sore ini. Saat dirinya baru pulang bekerja dari tempat Alvan. Ia dengan gaji harian
Siapa sangka, matahari ternyata akan mendung. Cuaca yang tadinya cerah, sudah berubah dengan sangat cepat. Hari yang sudah hampir sore. Jam pulang kerja kan segera tiba. Tapi, yang terjadi justru terasa ada gerimis.Ellysia sudah hampir selesai. Ia mendapatkan tugas untuk membereskan segala perlengkapan yang tadi digunakan untuk menyortir ikan kering. Beberapa kotak baskom yang terbuat dari plastik harus segera dikembalikan ke tempat sanitasi. Sudah ada karyawan yang menunggu untuk membersihkan di sana."Aduhhh …., banyak juga yang perlu dibersihkan. Apa jamku cukup ya?" gumam Ellysia.Ia membawa setumpuk kotak baskom di tangannya. Hampir saja karena buru-buru ia kembali akan terjatuh. Tapi, Alvan berhasil menolongnya."Hati-hati, jangan sampai keteledoran s
Pagi ini matahari bersinar cukup cerah tidak seperti hari-hari sebelumnya. Dimana mendung lebih sering menghiasi langit. Kali ini mentari tersenyum. Menunjukkan kekuasaan sinarnya yang begitu luar biasa.Alvan sudah bersiap di tempat pengepulan. Ia sudah bekerja cukup giat pagi ini. Beberapa karyawan yang juga telah datang ikut menunjukkan loyalitasnya termasuk Ellysia.Gadis itu tampak cukup cekatan enteng membantu beberapa pekerjaan yang dulu sempat membuatnya terkesan sulit untuk melakukan. Namun akhir-akhir ini gadis itu tampak begitu bersemangat.Masih ingat dalam bayangan Alvan, kejadian beberapa hari yang lalu. Saat ia mengetahui Ellysia terisak di dalam kamar mandi. Ia sebenarnya ingin mencari tahu mengapa gadis itu melakukannya. Tapi, dia langsung mengur
Senja terlukis di langit yang begitu luas. Hamparan air di persawahan yang bergelombang menari diterpa angin menghasilkan pemandangan yang tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. membuat tenang setiap mata memandang. Apalagi ada angin sejuk yang menyentuh kulit memberi kenyamanan tak terhingga. Senang rasanya bisa berada di persawahan seperti ini.“Ell, cepet bereskan ikan-ikan ini. masukkan ke dalam keranjang!” pinta Bima yang sejak tadi menemani Ellysia bekerja di sawah.Ellysia menoleh. Ia yang sejak tadi memandang hamparan air sawah yang hijau bergegas menghampiri Bima. “Ikan yang mana?” tanya Ellysia.“Yang ini!” jawab Bima sambil menunjuk sebuah keranjang besar. “Itu yang loncat-loncat kamu masukkan lagi ke tempatnya sesuai ukur