Hai sayang2nya Chinta! Yuklah, kasih feedback yang banyak biar Chinta bisa update banyak nih.. hehe!
Pernyataaan Kayla barusan membuat William makin heran. “Kenapa kamu minta maaf? Sepertinya kesalahpahaman ini karena aku tidak meluangkan banyak waktu untuk menceritakan banyak hal padamu.”Kayla menggeleng. “Sepertinya aku benar-benar kurang memahamimu,” ucap Kayla dengan menghela napas berat.“Tidak, Kay, sepertinya aku yang tidak terlalu terbuka masalah ini. Ke depan, aku janji akan menceritakan padamu dengan jelas agar tidak salah paham.” William menggenggam hangat tangan Kayla.Kayla menunduk lalu mengangguk, dia kemudian teringat lagi dengan sahabatnya dan melihat ke arah William, “Apa … Stella tahu tentang hal ini?”William diam sejenak dan mengangguk.“Artinya si Dan … ehm, maksudku … dia juga tahu?” Kayla tidak meneruskan menyebut nama mantan pacarnya itu, karena Kayla paham sekali kalau William akan mengubah raut wajahnya menjadi gelap kalau dirinya mengatakan hal itu.William kembali mengangguk.“Lalu … apa Kak Ghafa dan keluargaku juga tahu tentang Kak William?” tanya Kayla
Setelah beres-beres dan membersihkan dirinya, Kayla mendengar pintu diketuk dari luar. Gegas dia berjalan ke arah pintu dan mendapati pelayan membawa makanan sesuai dengan ucapan William tadi.Awalnya Kayla berpikir kalau mereka hanya membawa makanan dengan baki, tapi nyatanya permintaan William itu cukup banyak hingga pelayan membawa makanan itu dengan troli makanan layaknya di hotel berbintang!“Nyonya, ini makan malamnya.” Marco berkata pada Kayla dengan rasa hormat dan sedikit membungkukkan badannya.Setidaknya Kayla harus menyeimbangkan bagaimana harus bersikap. “Tolong bawa ke dalam saja.” Kayla membukakan pintu kamar dengan lebar dan mempersilakan pelayan itu untuk masuk.Tepat setelah mereka keluar dan Kayla menutup pintu kamar, William keluar dari dalam kamar mandi.“Makanannya sudah datang?” tanya William.Kayla mengangguk sambil melipat kedua tangannya di depan dada sambil melihat ke atas meja yang ada di kamar ini.“Kenapa?” William berjalan mendekati Kayla.“Tidak, aku han
Kayla menelan ludah dengan susah payah, pikirannya penuh dengan berbagai spekulasi liar. Sorot matanya melirik ke arah William, pria yang kini duduk di sebelahnya. Wajahnya tetap datar, tak sedikit pun memperlihatkan emosi."Seperti yang kukatakan sebelumnya, dia adalah Kayla, istriku." Suara William terdengar tegas, menusuk keheningan yang menggantung.Kayla mendongak, terkejut sekaligus gugup. William meliriknya, memberikan anggukan kecil."Kayla, kenalkan. Mereka adalah kakek dan nenekku, Tuan Walter Drake dan Nyonya Daisy Drake." Suara William terdengar lebih santai saat memperkenalkan kedua orang tua itu.Kayla tersenyum kaku, mencoba meredam gemetar di tangannya. "Selamat pagi, Kakek, Nenek," sapanya dengan suara bergetar.Daisy membalas dengan anggukan kecil dan senyum tipis, sementara Walter hanya menggerakkan kepala tanpa ekspresi. Atmosfer di ruangan itu begitu kaku, seolah udara tak bisa mengalir dengan leluasa."Duduklah. Mari kita sarapan," ucap Daisy, nadanya sedikit lebi
Kayla merasakan gelombang emosi berdesir di dadanya. Untuk sesaat, dia panik dan bingung, tetapi dia berusaha menjaga ketenangan yang terpancar di wajahnya. Dia tahu, sejak menyadari siapa William sebenarnya, hidupnya tidak akan pernah berjalan seperti biasa lagi. Sosok William bukan hanya sekadar pria biasa; dia adalah seseorang yang punya dunia berbeda, penuh dengan tanggung jawab besar, dan keluarga yang tidak mudah untuk dihadapi. Berusaha untuk tetap tenang, Kayla akhirnya bicara, suaranya terdengar stabil meskipun hatinya sedikit bergetar. “Saya lahir dari keluarga yang cukup bahagia dan dekat satu sama lain. Keluarga yang hangat, yang selalu membuat saya merasa terlindungi dan nyaman. Itulah sebabnya saya selalu ingat untuk pulang,” katanya, dengan pandangan tulus mengarah ke Walter Drake, kakek William. Ucapan Kayla membawa hawa keheningan ke dalam ruangan. Walter menatap Kayla dengan kilatan mata tajam dan penuh penilaian. Di sisi lain, William tampak sedikit terkejut mend
Setelah Daisy membawa Kayla menjauh dari ruangan itu, Walter melihat tajam ke arah cucunya. William masih duduk dengan tenang di hadapan Walter Drake, meskipun pikirannya tengah berkecamuk. Dia tahu, percakapan ini tidak akan mudah, tetapi sejak awal dia sudah mempersiapkan diri. Walter bukan pria yang bisa diajak berdiskusi dengan santai, apalagi menyangkut sesuatu yang dianggap melawan kehendaknya. “Kamu pulang hanya untuk menikah?” tanya Walter dingin, tanpa basa-basi. Suaranya datar, namun menusuk seperti jarum yang menembus lapisan pertahanan William. William mengangkat dagunya sedikit, mencoba menunjukkan ketegasan meskipun ada rasa lelah di balik matanya. “Kakek menyuruhku untuk menikah, kan? Aku sudah menikah sekarang,” jawabnya tanpa ragu. Alih-alih menerima jawaban itu dengan baik, Walter mendengus kecil. “Kamu pikir semudah itu, Will?” Nada suaranya rendah, tetapi penuh ketidaksukaan. “Kek, aku sudah menikah secara resmi, sesuai dengan hukum negara dan agama. Tidak
Langkah-langkah Daisy dan Kayla bergema di sepanjang lorong menuju dapur. Kesunyian yang menyelimuti mereka membuat suasana terasa semakin menegangkan. Kayla hanya bisa mengikuti wanita itu dengan perasaan cemas yang perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Daisy, ini terasa berbeda seperti sebelumnya yang seolah-olah terasa dia cukup hangat.Sesampainya di dapur, dua pelayan yang sedang membereskan meja langsung membungkuk hormat.“Ada yang bisa kami bantu, Nyonya?” tanya salah satu pelayan dengan sopan.“Keluarlah, tinggalkan kami berdua,” ucap Daisy dengan nada dingin yang tak memberikan ruang untuk pertanyaan.Tanpa banyak bicara, kedua pelayan itu segera meninggalkan dapur. Kayla hanya bisa berdiri kaku, menatap Daisy yang kini duduk di salah satu kursi dekat meja besar. Hening sejenak, hanya terdengar suara langkah terakhir para pelayan yang perlahan menghilang di balik pintu. “Kayla, itu namamu, kan?” Daisya berkata datar melihat ke
Setelah ketegangannya dengan sang kakek, William masuk ke kamarnya, di ruangan ini ada ruang kerja khusus untuk dirinya. Dia duduk di depan layar komputer yang mati, memikirkan apa yang harus dia lakukan ke depannya. Pikirannya berkecamuk hebat, walaupun dia sudah memikirkan matang-matang rencana ini dan tahu akan menjadi seperti ini, tetapi dia tetap nekat melakukannya karena berharap hasilnya akan berbeda. Namun, siapa sangka kenyataan malah sesuai dengan apa yang dia pikirkan sebelumnya. Kembali terlihat William menghela napas berat, pikirannya makin bertumpuk saja, apalagi saat ini, dia sedang ditekan oleh sang kakek untuk mendapatkan mega proyek yang bekerja sama dengan salah satu perusahaan besar dari Uni Eropa, dan target ini harus bisa diwujudkan dalam tahun ini.Ponselnya berdering, Gabriel menghubunginya, lekas dia menerima panggilan tersebut.“Ada hal penting apa Gab?” tanyanya.“Will, bagaimana masalahmu? Apa cukup besar? Apa aku harus menjemputmu dari sana dan pulang ke r
Sesaat sebelumnya. “Dua jam dua puluh lima menit,” suara Daisy terdengar dingin seperti es, memecah keheningan. Kayla yang baru saja membawa kue itu ke hadapannya langsung merasa seolah-olah dirinya seorang terdakwa di ruang sidang. Tatapan tajam Daisy menghujam tepat ke arahnya.“Apa… terlalu lama, Nek?” tanya Kayla dengan hati-hati, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik senyum kecil.“Tidak juga,” jawab Daisy singkat, namun nada tajamnya sudah cukup membuat Kayla menjadi sedikit gemetar. “Tapi aku ingin mencobanya, apakah ini cukup enak untuk lidahku atau tidak.”Kayla tersenyum canggung, lalu meletakkan piring kue di meja di hadapan Daisy. Dalam hati, dia terus menyemangati dirinya sendiri. “Sabarlah, Kayla. Kamu pasti bisa melewati ini.” Bahkan untuk menghela napas saja, rasanya dia tidak mampu.Saat kue itu masuk ke dalam mulut Daisy, ada perasaan gugup yang langsung menyergap Kayla, bukan karena dia tidak bisa membuat makanan ini, hanya saja, seperti yang dikatakan oleh
Ghafa duduk di bangku kayu di taman kota, tempat yang mereka sepakati sebelumnya. Pakaian santainya tampak sedikit kusut, menandakan bahwa ia sudah berada di sana cukup lama. Ia menatap lurus ke depan, namun kakinya bergerak-gerak tanpa sadar—sebuah kebiasaan yang muncul saat dirinya mulai gelisah.Sesekali, ia melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah lebih dari lima menit berlalu sejak waktu yang mereka sepakati. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk lututnya, pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Apakah Sandra benar-benar akan datang?Lagi-lagi ia melirik jam tangannya. Lima menit berubah menjadi sepuluh, lalu dua puluh. Hatinya mulai terasa aneh. Bukan marah, bukan kesal—lebih kepada sebuah perasaan yang sulit dijelaskan.Ia menggigit bibirnya, lalu menyandarkan tubuhnya ke belakang. Satu tarikan napas panjang lagi. Saat ia mulai mengangkat ponselnya, ragu apakah harus menghubungi Sandra lebih dulu. Namun, dia matikan ponselnya dan memasu
Belum sempat berlama-lama sibuk dengan pikirannya sendiri, wanita itu menyapa Sandra."Hei, bukannya kamu wanita yang ada di pameran tadi?" Dia mendekati Sandra dengan tersenyum ringan.Rambut pirangnya dan wajah bulenya itu membuat Sandra mengernyitkan keningnya."Kamu kenal dengannya, Stella?" Ghafa berkata ramah. Stella, ternyata wanita itu bernama Stella, dan cara Ghafa bicara dengannya sangat berbeda ketika dia bicara dengan Sandra, kesannya terasa sangat hangat dan cukup akrab."Tentu saja! Dia adalah penyelamat Kayla saat di acara itu saat si wanita jahat itu ingin menjatuhkan Kayla!" Stella berkata dengan antusias pada Ghafa. "Kau harus berterima kasih padanya, Kak Ghafa!" Stella lalu menepuk lengan Ghafa dengan lembut, menunjukkan keakraban mereka."Memangnya Kayla kenapa?" tanya Ghafa melihat ke arah Sandra dengan tatapan tajam menuntut jawab.Sandra tersenyum penuh misteri, sengaja dia lakukan dengan sedkit menggoda. "Itu ... ceritanya panjang. Aku akan cerita kalau kamu ma
Setelah acara selesai, Ghafa mengajak Sandra untuk pergi menemaninya ke acara pesta pernikahan temannya. Kebetulan sekali acara Sandra bersamaan dengan acara pernikahan temannya ini, hingga dia yang gengsi untuk hanya sekadar mendatangi pameran Sandra pun, ada alasan lainnya yang dia ucapkan pada wanita itu.Ghafa paham sekali dari bahasa tubuh Sandra bahwa wanita itu sepertinya menyukainya, hanya saja dirinya yang masih belum mau memikirkan masalah percintaan ini karena terlanjut banyak kecewa dengan para mantannya membuatnya membentengi dirinya dengan sangat tinggi."Ke acara pernikahan temanmu?" tanya Sandra dengan wajah sumringah saat itu.Ghafa mengangguk pasti. "Ya Kebetulan sekali acaramu ini bertepatan dengan acara pernikahan temanku, kebetulan aku sudah membeli tiket dari jauh hari, dan acaranya tidak bersamaan, jadi aku bisa datang ke semua acara."Mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Ghafa sekilas Sandra tampak murung. Mungkin dia sudah merasa sangat spesia
Sandra menatap layar ponselnya dengan perasaan yang semakin tak menentu. Pesan yang ia kirimkan ke Ghafa sudah berstatus "terbaca", tetapi seolah hanya berbisik ke dalam kehampaan tanpa balasan yang diperolehnya. Apa pria itu benar-benar berpikir kalau hubungan mereka hanya putus sampai malam itu saja?Wanita itu terlihat mendesah panjang, jari-jarinya menggenggam erat ponsel, menahan desakan perasaan yang semakin kuat mencengkeram dadanya. Ia menggigit bibir, mencoba menghalau gelombang kekecewaan yang mulai menghantamnya. Hatinya berdegup tak menentu, seperti menanti sesuatu yang mungkin takkan pernah datang. "Kenapa aku masih berharap?" bisiknya, nyaris tanpa suara."Apa aku terlalu berharap?" gumamnya pelan, menatap langit-langit kamar hotelnya di Los Angeles. Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir semua keraguan yang berkecamuk di dalam pikirannya. Besok adalah hari penting itu, tapi sampai detik ini, Ghafa tidak ada memberi kabar sedikit pun.Sejak bertemu dengan Ghafa saat
Sandra menatap Ghafa dengan mata yang masih sembab, mengerucutkan bibirnya.Hal ini tentu saja membuat Ghafa melihat ada ekspresi manja yang mirip dengan Kayla.Sementara Sandra yang melihat Ghafa tidak memiliki respons padanya, membuatnya menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang sedikit bergetar."Aku baru saja ribut besar dengan orang tuaku," ucapnya pelan. "Ayahku ingin aku mengurus bisnis keluarga, tapi aku nggak bisa ... aku nggak mau."Ghafa menatapnya dengan sedikit rasa ingin tahu, tetapi tetap diam."Bahkan waktu itu, dia mencoba mengenalkanku dengan seseorang yang katanya cocok jadi pasangan hidupku." Kembali Sandra berkata dengan nada berat.Sandra menarik napas panjang, lalu melanjutkan, "Aku sebenarnya kagum dengan pria itu, tapi aku harus tau diri juga."Mata Ghafa sedikit menyipit, tetapi ia tetap mendengarkan."Aku nggak tahu apa-apa waktu itu," lanjut Sandra dengan suara lebih pelan. "Saat aku bertengkar dengan Kayla di kantor William, aku ba
Ghafa menarik Sandra keluar dari kafe dengan langkah cepat, meninggalkan pegawai dan pelanggan yang sibuk berbisik-bisik, mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi. Begitu mereka sampai di luar, Sandra mencoba melepaskan tangannya, tetapi Ghafa menggenggamnya lebih erat."Heh, sakit! Lepasin tanganku!" protes Sandra sambil mencoba menarik tangannya.Ghafa berhenti dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu sadar nggak apa yang baru saja kamu lakukan di dalam? Kamu bikin aku terlihat seperti—""Seorang ayah yang kabur dari tanggung jawab?" potong Sandra dengan nada datar. Wajah Ghafa langsung berubah tegang."Hei Nona," katanya dengan suara rendah, nyaris seperti sebuah ancaman, "kalau kamu sedang bosan dan ingin bermain-main, ayo, jangan tanggung. Aku tahu bagaimana caranya bisa membuat anak dengan--""Maaf-maaf, aku tidak ada bermaksud seperti itu aku hanya ...." Sandra memperlihatkan wajah frustrasinya. "Tuan, bisa bawa aku ke tempat yang lebih tenang?" pintanya dengan suara rendah
Extra Chapter. Ghafa Sandra 1. Pertemuan Kembali.Sandra melangkah masuk ke dalam kafe dengan wajah kusut. Rambutnya yang biasanya rapi terlihat berantakan, menandakan betapa kacau harinya. Ia baru saja berdebat sengit dengan ayahnya, seorang pebisnis sukses yang selalu memandang dunia seni sebagai hal remeh. Sang ayah menginginkan Sandra fokus pada perusahaan keluarga, namun hatinya menolak keras. Dunia seni adalah rumah bagi Sandra, tempat ia menemukan kebebasan dan ekspresi sejati dan itu sejak dulu tidak disukai oleh ayahnya.Dan ayahnya makin marah karena dia gagal membawa proposal kerjasama dengan Ellysium Luminar Indonesia. Sandra melewati kursi seseorang yang saat itu posisinya berada sedikit menghalangi jalan. Dia duduk di bangku pojok yang bisa melihat ke arah jalan. Beberapa kali Sandra menghela napasnya. Mencoba mengingat kejadian beberapa hari lalu. Pria yang bernama William itu ternyata juga sudah beristri dan istirnya mungkin memiliki hubungan yang rumit dan tidak baik
Setelah beberapa bulan penuh suka dan duka, bayi Kayla dan William kini telah berusia 6 bulan. Hari itu, mereka membawa bayi mereka untuk imunisasi di klinik langganan keluarga. Perjalanan mereka merawat bayi prematur ini tidaklah mudah. Kayla sempat hampir terkena baby blues syndrome karena kurangnya tidur dan kekhawatiran berlebih terhadap kondisi bayinya. Namun, berkat dukungan William yang selalu hadir, membantu bangun tengah malam, dan memberikan semangat, Kayla mampu melewati masa-masa sulit tersebut dengan cepat. Saat ini, Kayla merasa campur aduk antara lega dan sedikit gugup, tetapi kehadiran William di sisinya memberikan ketenangan yang ia butuhkan.Sore itu, sebuah mobil keluarga berhenti di depan rumah besar keluarga Drake. Di depan pintu, Hana, Andre, Risda, Anthony, Daisy, dan Walter sudah menunggu dengan antusias. Bahkan Ghafa, Kakak Kayla sudah datang bersama dengan kekasih hatinya.William memeluk tubuh sang istrinya dengan lembut. Di tangannya yang lain, ia menggendon
William segera pergi ke rumah sakit dimana tempat Kayla berada, dalam perjalan tersebut dia juga sudah menghubungi Hana dan juga Risda, yang kebetulan keduanya masih ada di sini saat ini. Mereka bergerak ke rumah sakit tersebut dengan cepat. Sesampainya di sana, dia bertemu dengan dokter yang langsung menanganinya.“Nyonya Kayla harus segera dilakukan tindakan operasi agar tidak membahayakan dirinya dan juga anak yang ada dalam kandungannya.” Itu yang dikatakan dokter saat itu.Hal ini tentu membuat Kepala William berputar dan terasa sangat sakit sekali, rasanya penyesalan sangat kuat menjalar dalam tubuhnya sekarang ini.“Bagaimana Kayla, Will?” tanya Hana saat bertemu dengan William yang terlihat cukup gugup di depan ruang operasi.“Kayla harus dilakukan tindakan segera, Ma.” William berkata dengan suara lemah.“Bagaimana bisa Kayla mengalami kecelakaan? Apa sopir kamu tidak membawa kendaraan dengan hati-hati?” Risda kali ini bicara dengan nada cemas.“Tadi ada kendaraan yang remnya