Next ~~!
Cahaya matahari menyusup melalui sela-sela tirai kamar, menerangi wajah Kayla yang sedang menatap William. Suaminya masih terlelap di sebelahnya, napasnya teratur dan tenang. Melihat wajah William yang polos dalam tidurnya, Kayla tak kuasa menahan senyum. Tapi itu bukan hanya karena wajah William—melainkan kejadian semalam yang begitu melekat dalam ingatannya.Kayla teringat dengan jelas momen mereka. Semuanya berjalan begitu cepat, sampai akhirnya dia memberanikan diri menghentikan William di tengah gairah yang mulai membara.“Kak Will, berhenti,” katanya dengan suara gemetar, hampir tertelan oleh detak jantungnya sendiri.William, yang napasnya berat dan penuh hasrat, langsung menghentikan gerakannya. Tatapannya lembut, penuh pengertian. “Apa aku terlalu terburu-buru?” tanyanya dengan nada pelan.“Bukan begitu… hanya saja…” Kayla tergagap, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Mungkin… kita bersih-bersih dulu?”Sejenak William terdiam sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Baiklah. Aku
Kayla duduk diam di balkon, pikirannya melayang ke percakapan dengan William yang baru saja terjadi. Suara hujan yang turun perlahan seperti gema di dalam kepalanya, berbaur dengan rasa kecewa dan kebingungan yang terus menghantui. Ia menatap kosong ke depan, mencoba mengurai apa yang sebenarnya terjadi. Namun, semakin ia berpikir, semakin hatinya terasa remuk.“Jadi … selama ini Kak Will sengaja melakukannya?” gumam Kayla pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Tangannya gemetar saat meremas lutut, mencoba menahan segala emosi yang membuncah di dadanya.Dia menggigit bibir bawah, kenangan malam itu kembali menyeruak seperti film yang terus diputar ulang tanpa henti. Pikirannya tak bisa berhenti bertanya-tanya, bagaimana bisa ia bangun tanpa pakaian lengkap dan juga pun sama dengan William.Kayla menghela napas panjang, mencoba mengingat setiap detail yang William ceritakan padanya barusan.“Malam itu, aku tidak menyangka kalau akan ada wanita yang menarikku dan menciumku begitu
“Apa yang harus aku lakukan?” Kayla berkata lirih, perasaannya sangat campur aduk sekarang. Beberapa kali dia menghela napas berat. Dia kembali mengintip dari dalam kamar, William terlihat duduk di sofa sambil memegang kepala dengan kedua tangannya, wajahnya terlihat menunduk.Ini pertama kali Kayla melihat William seperti ini, cukup terlihat frustrasi dan sedikit kacau, dan ini tentu membuat hatinya merasa terketuk.“Apa … aku sudah keterlaluan?” tanyanya pada diri sendiri. Namun, Kayla dengan cepat menepis perasaan itu.Kemudian, terlihat kembali William seperti sedang menghubungi seseorang. “Besok, siapkan penerbangan pagi untuk kembali ke Amerika. Ada hal penting yang segera diselesaikan.” Suaranya terdengar tegas.Namun, mendengar hal itu, hati Kayla kembali gamang. Besok, artinya besok dirinya dan William akan bertolak ke Amerika, tetapi sekarang dia sedang dalam keadaan marah pada pria itu.William beranjak dari tempat duduknya, Kayla menebak bahwa William akan masuk ke kamar me
Sejujurnya Kayla merasa bersalah membuat William harus memilih seperti ini, namun egonya cukup tinggi untuk tidak membiarkan masalah ini selesai dengan mudah. Saat mengatakan hal itu, dia juga sebenarnya gugup dan khawatir, apakah William benar-benar bersedia atau malah akan meninggalkannya sendiri. Namun, semuanya sudah terlanjur terlontar, Kayla tidak bisa menarik kata-katanya.“Baiklah, aku akan membatalkan penerbangan untuk besok.” William berkata dengan nada lemah, lalu beranjak dari tempat duduknya.Saat William berjalan masuk ke dalam mata Kayla terus mengawasi pria itu, hingga akhirnya William tak terlihat saat dia masuk ke ruang kerjanya.Setelah melakukannya, Kayla menjadi gelisah, dia jelas tidak enak hati dengan William, hal ini setidaknya akan membuat William banyak mengalami kerugian secara materi dan waktu. Belum lagi, tempat William bekerja pasti akan mempertanyakan loyalitas kerjanya, hal ini pasti akan berpengaruh pada karier suaminya. Apa dia mau menjadi orang yang
Belum sempat Kayla melanjutkan kalimatnya lantaran terkejut, suara Ghafa dari arah tangga sudah terdengar. “Astaga! Kalian berdua ini apa bisa hal semacam ini jangan dilakukan di ruang terbuka?”“Ka-kak Ghafa?” Kayla berkata dengan terbata, lalu melihat ke arah William, tatapan pria itu padanya sangat lembut, membuat hati Kayla menjadi lemah, padahal Kayla menyadari sepertinya William melakukan hal itu dengan sengaja agar hubungan mereka terlihat baik-baik saja. Atau dia memang mencari kesempatan agar Kayla bisa berbaik hati untuk memaafkannya.“Kalian ini kalau mau mesra-mesraan mending balik ke kamar deh, kan bisa bebas mau ngapain aja,” cibir Ghafa sembari menuruni anak tangga dengan cepat ke arah keduanya.Namun, William tidak terlalu menanggapinya dan mengajak Kayla untuk berkumpul bersama dengan keluarganya sebelum mereka istirahat malam ini.Di ruang kaluarga ini, hubungan mereka sangat terasa dekat dan hangat, disela-sela tawa itu, mata William lebih banyak memperhatikan Kayla
Setelah beberapa saat menggeliat di atas tempat tidur, akhirnya Kayla membuka mata. Namun, dia sangat terkejut tatkala sudah melihat sinar matahari yang sudah masuk ke dalam kamar ini dengan sangat terang, Dia juga tidak mendapati William di kamar ini. “Tunggu! Jam berapa sekarang?!” Dia ingat hari ini adalah hari keberangkatannya ke Amerika, walaupun dia tidak tahu pagi yang dimaksud William itu pukul berapa, tapi seharusnya dia sekarang harus cepat beberes agar tidak ketinggalan penerbangan. Dan … Kayla makin terkejut karena jam sudah menunjukkan nyaris pukul 8 pagi! Apa mereka akan terlambat? Gegas dia turun dari tempat tidur dan segera berlari kecil ke kamar mandi, baru saja akan membuka pintu kamar mandi, William masuk ke kamar. “Bagaimana tidurmu semalam, Kay?” tanya William dengan suara lembut. Hal ini tentu membuat Kayla mengerutkan keningnya. Pertanyaan macam apa itu?! Dan lagi pria itu sudah terlihat rapi dengan pakaian kasualnya. Lalu Kayla melihat dirinya sendiri yang
Kayla terdiam beberapa saat. Matanya menatap pesawat pribadi yang berdiri megah di depannya. Dia belum pernah naik pesawat pribadi sebelumnya. Kehidupannya bersama William benar-benar penuh kejutan.“Ayo, Kay.” William menggenggam tangan Kayla, menariknya menuju tangga pesawat.“Apa ini tidak terlalu berlebihan?” gumam Kayla pelan nyaris tak terdengar sambil tetap mengikuti langkah William.“Kenapa? Apa kamu merasa tidak nyaman?” William menoleh, wajahnya tampak serius menanggapi gumaman pelan Kayla itu.“Ah?! Tidak-tidak, aku hanya … tidak terbiasa dengan hal seperti ini.” Kayla menjawab dengan jujur. William mengangguk pelan. “Ke depannya kamu harus mulai terbiasa.” Ucapan itu sederhana, namun entah kenapa membuat Kayla merasa sedikit tergelitik tanya.“Pelan-pelan,” ucap William yang menuntun Kayla saat menaiki tangga. Perhatian William ini yang membuat Kayla benar-benar tidak tahan untuk marah lama-lama dengan suaminya, hanya saja gengsi ini masih sangat tinggi.Saat masuk ke pes
Pernyataan William barusan membuat Kayla terkejut. Dia terdiam, mencoba mencerna maksud dari kalimat pria itu. Apa maksudnya? Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di benaknya, namun sebelum dia sempat bertanya, William kembali membuka suara. “Tapi sepertinya, semesta benar-benar berpihak padaku. Kamu datang ke hidupku dengan cara yang tidak pernah kuduga sebelumnya, bahkan lebih cepat dari rencana awalku,” ujar William dengan tenang, namun penuh arti. Kayla mengerutkan kening. “Maksud Kak Will apa?” tanyanya pelan, merasa bingung sekaligus penasaran. Otaknya dipenuhi spekulasi-spekulasi liar yang membuatnya semakin resah. William menarik napas panjang, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat. Namun, sebelum dia sempat menjelaskan, Gabriel datang menghampiri dengan langkah tergesa. “Tuan William, ada sesuatu yang penting dari perusahaan, aku baru menerima kabar ini.” Gabriel lalu memperlihatkan tablet pada pria itu. William memasang wajah serius lalu mengangguk. Sementara,
Daisy lalu melihat ke arah Laura dan Walter yang masih duduk di sofa ruangan ini. "Laura, kakek William, aku harus pamit sebentar untuk mengurus sesuatu di kamar dan bersiap-siap untuk pergi," katanya dengan suara lembut namun tegas. Tatapannya sejenak beralih ke Kayla, memberikan anggukan kecil yang penuh makna sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Langkahnya tenang, tapi kehadirannya masih terasa kuat bahkan setelah menghilang di balik pintu.Kini, hanya William, Kayla, Laura, dan Walter yang tersisa di ruangan. Suasana semakin hening, hanya terdengar suara detik jam di sudut ruangan. Keheningan itu pecah oleh suara Laura, yang kembali bersuara hingga suasana menjadi tidak menyenangkan."William, kamu mau ke kantor, kan? Kebetulan sekali aku ingin ikut juga ke sana. Kita bisa pergi bersama," ucapnya sekali lagi sambil melirik ke arah William dengan tatapan penuh arti. Nada suaranya sengaja dibuat lebih keras, memastikan semua orang di ruangan mendengar.Kayla menelan ludah, hat
Seperti yang dikatakan oleh William semalam, dia yang akan mengantar Kayla sendiri ke kediaman Drake untuk menemui neneknya dan pagi ini juga Kayla tidak melihat Frank ada di rumah mereka.William, dengan tangan kokohnya di setir, tampak begitu santai. Dia menoleh sesekali, memastikan Kayla baik-baik saja, sementara jarinya secara naluriah menyesuaikan posisi dasi.Kayla memainkan ujung jaketnya, terlihat sedikit cemas. Dia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang muncul saat dia merasa gugup. "Apa ini tidak berlebihan dan membuat Kak Will menjadi repot?" tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh alunan lembut musik klasik dari pemutar musik di dalam mobil.William menoleh sekilas, pandangannya tetap tenang tanpa ekspresi berlebihan. Dia mengulurkan tangannya, mengusap puncak kepala Kayla dengan gerakan mantap, seolah ingin meyakinkannya. "Mengantar istri sendiri bukanlah sebuah kerepotan."Kayla merasakan wajahnya memanas. Dia buru-buru mengalihkan pandangannya, mencoba me
Di dalam mobil yang melaju pelan Kayla hanya terdiam. Wajahnya menghadap ke jendela, memandangi bayangan gedung-gedung yang berkelebat dalam senja. Tangannya bermain di pangkuan, menggenggam ujung mantel yang ia kenakan. Ada segumpal rasa ragu dan penasaran yang terus berputar di kepalanya sejak insiden tadi. Namun, ia memilih bungkam.Hening yang menyelimuti kabin mobil akhirnya pecah ketika suara Daisy terdengar. Suaranya tenang, tapi ada nada otoritas yang tidak bisa diabaikan. “Frank, antarkan Kayla pulang lebih dulu ke rumahnya. Setelah itu, baru kau antar aku pulang.”Frank, sopir yang duduk tegap di depan, melirik melalui kaca spion dengan ekspresi yang tampak ragu. Dia mengernyitkan dahi sejenak sebelum akhirnya berkata, “Tapi Nyonya ...?”Daisy menoleh sedikit, menatap Frank dengan sorot tajam yang membuat udara di dalam mobil seolah menegang. “Apa kau keberatan?”Frank langsung menundukkan kepalanya sedikit, menyesali pertanyaannya. “Ma-maaf, Nyonya Besar. Saya akan mengantar
Daisy tidak langsung menjawab. Wanita tua itu menatap Kayla dengan ekspresi datar, seolah-olah pertanyaan itu tidak membutuhkan penjelasan panjang. "Tenangkan dirimu, Kayla. Kau tahu posisi ini bukan sesuatu yang mudah. Keluarga Drake butuh seseorang yang bisa diandalkan, dan itu termasuk kamu.""Diandalkan?" Kayla hampir tertawa, tetapi suaranya terdengar getir. "Nenek menyeretku ke sini, memberikan gelar adik William? Apa ini tidak salah? Apa aku hanya pion dalam permainan keluarga ini?" Suaranya meninggi, mencerminkan gejolak emosi yang ia tahan selama ini. Ketenangan yang biasanya ia tunjukkan runtuh dalam sekejap.“Nona, rendahkan suara Anda saat bicara dengan Nyonya besar,” ucap seorang wanita berpostur langsing yang berdiri di samping Daisy, suaranya dingin dan penuh otoritas."Kamu yang diam dan tutup mulut!" Kayla menunjuk wanita itu dengan tatapan tajam.Wanita itu terperangah, tetapi sebelum ia bisa membalas, seorang wanita lain yang bertubuh gempal ikut menyahut, suaranya t
Kayla berdiri mematung di depan villa megah itu, matanya tertuju pada dinding putih yang tampak pucat di bawah sinar matahari pagi musim dingin. Angin menusuk kulitnya, membawa aroma tanah basah yang menyelinap ke dalam napasnya, tetapi tak mampu menenangkan gejolak di dadanya. Ranting-ranting gundul pepohonan di sekitar villa berayun pelan, seperti mencerminkan pikirannya yang kusut. Beban berat seolah menekan pundaknya, menciptakan sensasi tidak nyaman yang tak kunjung hilang. Ia merapatkan mantel lebih erat, mencoba menghalau hawa dingin, tapi kekhawatiran dan rasa tak percaya diri justru membuatnya semakin kaku. "Kamu harus bisa, Kayla," gumamnya dalam hati, namun suaranya tenggelam di antara desir angin yang dingin.“Ayo masuk.” Suara Daisy memotong lamunannya. Wanita tua itu melangkah lebih dulu, tak menunggu respon dari Kayla. Kayla menelan ludah, mencoba menghapus keraguan yang menggantung di dadanya, lalu mengikuti langkah tegas Daisy ke dalam villa.Di ruang tamu yang luas d
Kayla dan William pulang dari tempat itu saat pagi hari. Rose menyambut Kayla dengan wajah yang cukup cerah. Semalam dia juga menghubungi William dan mengatakan kalau Kayla belum pulang, nadanya terdengar khawatir, tetapi saat William mengatakan kalau Kayla bersamanya dia cukup terdengar lega.Setelah William pergi ke kantor, Kayla duduk di depan televisi yang dinyalakan dengan lumayan keras, pikirannya melayang ke acara yang akan dia hadiri nanti, lalu acara yang akan dia tinggalkan. Ternyata benar, menjadi orang yang sangat penting itu memang selalu dihadapkan dengan dilema.“Nyonya, silakan diminum tehnya,” ucap Rose memecah pikiran Kayla.“Ah, Iya, Bi, terima kasih.” Kayla berkata dengan sopan. Setelah Rose meninggalkan tempat itu, dia memandang punggung pelayannya itu dari kejauhan dan teringat akan beberapa percakapan singkatnya dengan William semalam.“Apa mungkin yang memberi tahu nenek adalah Bibi Rose?” gumama Kayla singkat.Memikirkan hal ini, rasanya kepala Kayla mau pecah
Frank membawa Kayla menuju salah satu villa yang ada di pinggiran kota, tempat ini memiliki suasana yang cukup nyaman dan tenang. “Ini tempatnya, Nyonya.” Frank berkata pelan.Kayla melangkah keluar, sedikit menggigil karena udara dingin. Namun, tatapan hangat William yang sudah menunggunya di pintu vila langsung menghapus rasa dinginnya. Pria itu mengenakan pakaian kasual — kaos polos dengan sweater bewarna gelap dengan celana panjang santai — membuatnya terlihat begitu berbeda dari sosok formal seperti sebelum William berangkat ke kantor“Kak Will!” seru Kayla sambil berlari kecil menghampiri William dan langsung memeluk pria itu.“Ayo cepat masuk, di luar sangat dingin.” William membawa Kayla masuk ke dalam dan di tempat ini memang sangat hangat. William menuntunnya berjalan ke ruang makan. Di atas meja sudah terlihat hidangan makanan yang sangat lezat. Kayla lalu melihat ke arah William, mempertanyakan maksud pria itu.“Ini …?”“Dinner di luar selain di rumah,” jawab William sin
Kayla terdiam, pikirannya yang semula terfokus pada acara yang akan dihadiri bersama William tiba-tiba buyar begitu saja. Dia tidak tahu harus merespons seperti apa."Tapi ini...," Kayla mencoba mengumpulkan keberanian untuk menolak, namun lidahnya terasa kelu. Rasanya tidak mungkin untuk menentang permintaan Nenek Daisy."Acara ini sangat penting untuk menjaga nama baik keluarga Drake. Kamu hanya perlu datang dan tampil dengan baik. Semua persiapan akan diatur oleh orang-orang nenek," ujar Daisy dengan nada santai, seolah-olah ini hal kecil.Kayla masih terdiam. Hatinya mulai diliputi kegelisahan. Pikirannya bercabang ke berbagai kemungkinan. Apakah ini cara Nenek Daisy untuk memastikan dia benar-benar tidak bisa datang ke acara bersama William?"Kay, nanti selama di sana, tolong perhatikan sikapmu. Akan ada banyak tamu penting, termasuk pejabat dan kemungkinan walikota serta dewan kota. Keluarga Drake memiliki hubungan dekat dengan mereka. Aku harap kamu bisa menjaga citra keluarga i
Stella mengeluarkan beberapa batuk kecil sebelum bersuara, "Aku disuruh masuk atau harus berdiri di depan pintu jadi kurir saja?" ujarnya sambil tersenyum lebar, mengangkat kotak kue di tangannya sebagai bukti tugasnya.Kayla yang tengah sibuk memeriksa pesan di ponselnya langsung tersadar dan terkekeh ringan. "Ah, maaf, sampai lupa! Masuk, dong, Stell."Setelah Stella masuk dan duduk di sofa ruang tamu, dia langsung memulai ceritanya. "Tadi aku ada rapat di kantor Ellysium sama Tuan Kaisar William Drake. Setelah selesai, tiba-tiba dia manggil aku secara khusus dan bilang, ‘Tolong temui istriku, dia pasti sedang kesepian dan butuh teman.’" Stella menirukan nada serius William, lalu terkikik.Kayla, yang kini duduk di sebelah Stella, tersenyum lebar mendengar cerita itu. Pandangannya beralih ke kotak kue yang Stella bawa. Matanya berbinar penuh antusias."Itu kue cokelat, ya? Pasti suamiku yang minta sekretarisnya siapkan. Kak Will memang tahu banget apa yang aku suka!" Kayla berseri-se