Siapa yang akan diganti oleh William ...?
Kayla berdiri mematung di depan villa megah itu, matanya tertuju pada dinding putih yang tampak pucat di bawah sinar matahari pagi musim dingin. Angin menusuk kulitnya, membawa aroma tanah basah yang menyelinap ke dalam napasnya, tetapi tak mampu menenangkan gejolak di dadanya. Ranting-ranting gundul pepohonan di sekitar villa berayun pelan, seperti mencerminkan pikirannya yang kusut. Beban berat seolah menekan pundaknya, menciptakan sensasi tidak nyaman yang tak kunjung hilang. Ia merapatkan mantel lebih erat, mencoba menghalau hawa dingin, tapi kekhawatiran dan rasa tak percaya diri justru membuatnya semakin kaku. "Kamu harus bisa, Kayla," gumamnya dalam hati, namun suaranya tenggelam di antara desir angin yang dingin.“Ayo masuk.” Suara Daisy memotong lamunannya. Wanita tua itu melangkah lebih dulu, tak menunggu respon dari Kayla. Kayla menelan ludah, mencoba menghapus keraguan yang menggantung di dadanya, lalu mengikuti langkah tegas Daisy ke dalam villa.Di ruang tamu yang luas
Daisy tidak langsung menjawab. Wanita tua itu menatap Kayla dengan ekspresi datar, seolah-olah pertanyaan itu tidak membutuhkan penjelasan panjang. "Tenangkan dirimu, Kayla. Kau tahu posisi ini bukan sesuatu yang mudah. Keluarga Drake butuh seseorang yang bisa diandalkan, dan itu termasuk kamu.""Diandalkan?" Kayla hampir tertawa, tetapi suaranya terdengar getir. "Nenek menyeretku ke sini, memberikan gelar adik William? Apa ini tidak salah? Apa aku hanya pion dalam permainan keluarga ini?" Suaranya meninggi, mencerminkan gejolak emosi yang ia tahan selama ini. Ketenangan yang biasanya ia tunjukkan runtuh dalam sekejap.“Nona, rendahkan suara Anda saat bicara dengan Nyonya besar,” ucap seorang wanita berpostur langsing yang berdiri di samping Daisy, suaranya dingin dan penuh otoritas."Kamu yang diam dan tutup mulut!" Kayla menunjuk wanita itu dengan tatapan tajam.Wanita itu terperangah, tetapi sebelum ia bisa membalas, seorang wanita lain yang bertubuh gempal ikut menyahut, suaranya
“Uhh ...” lenguh Kayla selagi memegang kepalanya yang terasa pening. “Kepalaku sakit sekali ….” Sembari menggerutu dengan mata terpejam, wanita bersurai cokelat panjang bergelombang itu berusaha untuk mengingat apa yang terjadi di malam yang lalu. “Minum Kay!” “Habiskan!” “Ah! Kamu kalah lagi!” “Sudah, jangan dipaksa, kamu tidak cukup kuat untuk meneguknya!” “Kamu sudah mabuk, Kay!” Kalimat-kalimat itu masih terngiang di kepala Kayla Semalam, Kayla diajak reuni oleh teman-temannya di salah satu hotel bintang lima. Awalnya, wanita itu berpikir kalau tujuan pertemuan tersebut hanyalah sebatas temu kangen berupa makan malam di restoran atau ruang khusus hotel. Sayangnya, Kayla terlalu bodoh untuk berpikir panjang, sampai-sampai dia lupa bahwa kelompok temannya yang satu ini adalah tipe yang lebih suka menghabiskan waktu dengan minum di bar. Alhasil, di sinilah Kayla sekarang, merutuki kebodohannya yang mau saja lanjut ikut di acara itu, apalagi saat teman-temanny
Kayla sudah sampai di rumah. Usai sepenuhnya sadar, wanita itu langsung pergi tanpa banyak berpikir panjang, meninggalkan teman kakaknya yang masih tertidur dengan sangat pulas. “Bagaimana ini? Bagaimana ini? Bagaimana ini!?” Tidak henti-hentinya Kayla mengulangi kalimat itu seperti merapal mantra sambil menutup wajahnya dengan frustasi. Seumur hidupnya, tidak pernah Kayla membayangkan bahwa dirinya akan tertimpa masalah sebesar dan segila ini! Beruntung, saat ini orang tua Kayla sedang pergi bersama dengan kakak laki-lakinya untuk mengurus bisnis keluarga mereka di luar kota. Demikian, selain para pelayan—yang tentunya tidak akan berani bertanya—tidak ada yang benar-benar tahu alasan dirinya tidak pulang tadi malam! Sejauh yang Kayla ingat, di malam lalu dirinya kalah berkali-kali dalam permainan dengan teman-temannya dan berakhir mabuk. Kemudian, di saat yang bersamaan, teman-teman Kayla ini menantangnya untuk memilih pria tertampan di bar untuk dicium, ya dicium! Kayla y
Visual yang sangat terpahat sempurna ini siapapun yang pernah melihatnya sudah jelas tidak akan bisa dengan mudah melupakannya. Apalagi tatapan mata tajam berwarna abu-abu ini, pria itu tampak jelas sangat memukau. Terutama untukKayla, yang baru beberapa hari lalu tidur dengannya! “K-Kak … Will?!” Panggilan kecil Kayla membuat sang pria yang berdiri tegap selagi menatap teman-temannya itu menurunkan pandangan, memandang lurus mata hitam milik Kayla. “Lama tidak bertemu, Kay,” ucap William dengan suara dalam. Mendengar balasan William, benak Kayla mendadak menjadi ribut. Bukankah Ghafa bilang temannya yang satu ini tidak diundang?! Lalu, kenapa sekarang William berada di sini? Apakah Ghafa membohongi Kayla!? Selagi deretan pertanyaan itu berputar di otak Kayla, terdengar suara seseorang berseru, "William!” Kayla menoleh dan mendapati sosok Ghafa bergegas turun dari panggung untuk kemudian menghampiri sahabat dekatnya itu. Sebuah pelukan hangat dihadiahkan kakak Kayla
Pertanyaan William membuat semua orang langsung terkesiap. “Astaga, Kayla! Sudah dilamar itu!” “Cepat terima!“ Mendengar komentar beberapa temannya itu, Ghafa juga langsung tertawa rendah seraya menatap saudarinya itu dengan tatapan terhibur. “Kalau kamu diam seperti ini, Kakak akan artikan kamu menerima lamaran William loh, ya? Dengan begitu, kita bisa—” PLAK! Suara pukulan mengejutkan semua orang, menyadari bahwa Kayla baru saja menepis tangan Ghafa dengan begitu kencang dari pundaknya. Dengan wajah dingin, gadis itu berkata, “Aku yakin kakak-kakak punya banyak hal untuk dibicarakan selain diriku, jadi aku izin dulu untuk menjamu tamu lain. Permisi.” Usai mengatakan hal tersebut, tanpa menoleh sedikit pun ke arah William maupun Ghafa, Kayla langsung berbalik dan berlari kecil untuk pergi meninggalkan tempat itu. Seorang teman wanita Ghafa yang merasa sedikit tidak enak melihat Kayla pergi seperti itu gegas bertanya, “Dia tidak marah ‘kan, Ghaf? Apa candaan kita tad
Mendengar suara Kayla, empat orang yang terduduk di sofa ruang tamu itu langsung menoleh ke arahnya. "Kayla?" Andre dan Hana—ayah dan ibu Kayla—langsung menatap sang putri dengan kaget. “Ternyata dari tadi kamu sembunyi di kamar tamu? Pantas sulit sekali mencarimu,” ucap Ghafa dengan tangan terlipat dan wajah santai, seakan apa yang baru saja dibicarakan tidak sepenting itu. Sementara itu, Kayla mengabaikan ucapan kakaknya. Dia langsung menatap sang ayah dan bertanya, “Apa aku tidak salah dengar? Papa baru saja berkata kalau aku akan menikah dengan Kak William?” Mendengar pertanyaan putrinya, Andre pun menghela napas. Kentara jelas bahwa Kayla sudah mendengar inti pembicaraan dan tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Alhasil, pria itu langsung menganggukkan kepala tegas. “Ya, itu benar. Kamu dan William akan menikah,” ucap pria paruh baya itu membenarkan. Jantung Kayla berdebar. “Kenapa?!” Dia merasa sangat takut dan bingung. Mungkinkah kejadian di malam itu sudah terbong
Balasan Kayla membuat seisi ruangan menjadi hening. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan penolakan yang begitu keras dari gadis itu! Sampai akhirnya, Ghafa menjadi orang pertama yang memecah keheningan. “Kay, kamu jangan konyol. Selama ini kamu yang terus merengek ingin menikah dengan William, kenapa sekarang malah menolak!?” tanya kakak Kayla itu dengan wajah menekuk. Kayla membalas tatapan Ghafa dengan serius. “Terakhir kali aku mengatakan itu adalah ketika aku masih SD, Kakak percaya omongan anak SD?” balasnya ketus sebelum menatap sang ayah. “Aku sudah dewasa, dan aku punya hak untuk memilih jalan hidupku sendiri. Demikian, aku tidak menerima perjodohan ini.” tegasnya. Andre dan Hana langsung terdiam, tidak bisa berkata-kata. Mereka tidak menyangka reaksi sang putri akan seperti ini. Namun, wasiat dari Nenek Yulia yang juga mengungkit janji dengan kakek Kayla—ayah dari Hana—juga bukan hal yang bisa ditepis begitu saja. Apa kiranya yang harus mereka lakukan?
Daisy tidak langsung menjawab. Wanita tua itu menatap Kayla dengan ekspresi datar, seolah-olah pertanyaan itu tidak membutuhkan penjelasan panjang. "Tenangkan dirimu, Kayla. Kau tahu posisi ini bukan sesuatu yang mudah. Keluarga Drake butuh seseorang yang bisa diandalkan, dan itu termasuk kamu.""Diandalkan?" Kayla hampir tertawa, tetapi suaranya terdengar getir. "Nenek menyeretku ke sini, memberikan gelar adik William? Apa ini tidak salah? Apa aku hanya pion dalam permainan keluarga ini?" Suaranya meninggi, mencerminkan gejolak emosi yang ia tahan selama ini. Ketenangan yang biasanya ia tunjukkan runtuh dalam sekejap.“Nona, rendahkan suara Anda saat bicara dengan Nyonya besar,” ucap seorang wanita berpostur langsing yang berdiri di samping Daisy, suaranya dingin dan penuh otoritas."Kamu yang diam dan tutup mulut!" Kayla menunjuk wanita itu dengan tatapan tajam.Wanita itu terperangah, tetapi sebelum ia bisa membalas, seorang wanita lain yang bertubuh gempal ikut menyahut, suaranya
Kayla berdiri mematung di depan villa megah itu, matanya tertuju pada dinding putih yang tampak pucat di bawah sinar matahari pagi musim dingin. Angin menusuk kulitnya, membawa aroma tanah basah yang menyelinap ke dalam napasnya, tetapi tak mampu menenangkan gejolak di dadanya. Ranting-ranting gundul pepohonan di sekitar villa berayun pelan, seperti mencerminkan pikirannya yang kusut. Beban berat seolah menekan pundaknya, menciptakan sensasi tidak nyaman yang tak kunjung hilang. Ia merapatkan mantel lebih erat, mencoba menghalau hawa dingin, tapi kekhawatiran dan rasa tak percaya diri justru membuatnya semakin kaku. "Kamu harus bisa, Kayla," gumamnya dalam hati, namun suaranya tenggelam di antara desir angin yang dingin.“Ayo masuk.” Suara Daisy memotong lamunannya. Wanita tua itu melangkah lebih dulu, tak menunggu respon dari Kayla. Kayla menelan ludah, mencoba menghapus keraguan yang menggantung di dadanya, lalu mengikuti langkah tegas Daisy ke dalam villa.Di ruang tamu yang luas
Kayla dan William pulang dari tempat itu saat pagi hari. Rose menyambut Kayla dengan wajah yang cukup cerah. Semalam dia juga menghubungi William dan mengatakan kalau Kayla belum pulang, nadanya terdengar khawatir, tetapi saat William mengatakan kalau Kayla bersamanya dia cukup terdengar lega.Setelah William pergi ke kantor, Kayla duduk di depan televisi yang dinyalakan dengan lumayan keras, pikirannya melayang ke acara yang akan dia hadiri nanti, lalu acara yang akan dia tinggalkan. Ternyata benar, menjadi orang yang sangat penting itu memang selalu dihadapkan dengan dilema.“Nyonya, silakan diminum tehnya,” ucap Rose memecah pikiran Kayla.“Ah, Iya, Bi, terima kasih.” Kayla berkata dengan sopan. Setelah Rose meninggalkan tempat itu, dia memandang punggung pelayannya itu dari kejauhan dan teringat akan beberapa percakapan singkatnya dengan William semalam.“Apa mungkin yang memberi tahu nenek adalah Bibi Rose?” gumama Kayla singkat.Memikirkan hal ini, rasanya kepala Kayla mau pecah
Frank membawa Kayla menuju salah satu villa yang ada di pinggiran kota, tempat ini memiliki suasana yang cukup nyaman dan tenang. “Ini tempatnya, Nyonya.” Frank berkata pelan.Kayla melangkah keluar, sedikit menggigil karena udara dingin. Namun, tatapan hangat William yang sudah menunggunya di pintu vila langsung menghapus rasa dinginnya. Pria itu mengenakan pakaian kasual — kaos polos dengan sweater bewarna gelap dengan celana panjang santai — membuatnya terlihat begitu berbeda dari sosok formal seperti sebelum William berangkat ke kantor“Kak Will!” seru Kayla sambil berlari kecil menghampiri William dan langsung memeluk pria itu.“Ayo cepat masuk, di luar sangat dingin.” William membawa Kayla masuk ke dalam dan di tempat ini memang sangat hangat. William menuntunnya berjalan ke ruang makan. Di atas meja sudah terlihat hidangan makanan yang sangat lezat. Kayla lalu melihat ke arah William, mempertanyakan maksud pria itu.“Ini …?”“Dinner di luar selain di rumah,” jawab William sin
Kayla terdiam, pikirannya yang semula terfokus pada acara yang akan dihadiri bersama William tiba-tiba buyar begitu saja. Dia tidak tahu harus merespons seperti apa."Tapi ini...," Kayla mencoba mengumpulkan keberanian untuk menolak, namun lidahnya terasa kelu. Rasanya tidak mungkin untuk menentang permintaan Nenek Daisy."Acara ini sangat penting untuk menjaga nama baik keluarga Drake. Kamu hanya perlu datang dan tampil dengan baik. Semua persiapan akan diatur oleh orang-orang nenek," ujar Daisy dengan nada santai, seolah-olah ini hal kecil.Kayla masih terdiam. Hatinya mulai diliputi kegelisahan. Pikirannya bercabang ke berbagai kemungkinan. Apakah ini cara Nenek Daisy untuk memastikan dia benar-benar tidak bisa datang ke acara bersama William?"Kay, nanti selama di sana, tolong perhatikan sikapmu. Akan ada banyak tamu penting, termasuk pejabat dan kemungkinan walikota serta dewan kota. Keluarga Drake memiliki hubungan dekat dengan mereka. Aku harap kamu bisa menjaga citra keluarga i
Stella mengeluarkan beberapa batuk kecil sebelum bersuara, "Aku disuruh masuk atau harus berdiri di depan pintu jadi kurir saja?" ujarnya sambil tersenyum lebar, mengangkat kotak kue di tangannya sebagai bukti tugasnya.Kayla yang tengah sibuk memeriksa pesan di ponselnya langsung tersadar dan terkekeh ringan. "Ah, maaf, sampai lupa! Masuk, dong, Stell."Setelah Stella masuk dan duduk di sofa ruang tamu, dia langsung memulai ceritanya. "Tadi aku ada rapat di kantor Ellysium sama Tuan Kaisar William Drake. Setelah selesai, tiba-tiba dia manggil aku secara khusus dan bilang, ‘Tolong temui istriku, dia pasti sedang kesepian dan butuh teman.’" Stella menirukan nada serius William, lalu terkikik.Kayla, yang kini duduk di sebelah Stella, tersenyum lebar mendengar cerita itu. Pandangannya beralih ke kotak kue yang Stella bawa. Matanya berbinar penuh antusias."Itu kue cokelat, ya? Pasti suamiku yang minta sekretarisnya siapkan. Kak Will memang tahu banget apa yang aku suka!" Kayla berseri-se
Pagi hari, Kayla membuka matanya perlahan, dan pandangannya langsung tertuju pada William yang masih tertidur di sampingnya. Lengannya melingkar erat di pinggang Kayla, seolah tak ingin melepasnya. Suara dengkuran halus dari suaminya membuat Kayla tersenyum lembut, hatinya terasa hangat melihat sisi William yang begitu tenang. Ditambah lagi setelah pembicaraan panjang semalam.Dengan hati-hati, Kayla menyentuh pipi William, jari-jarinya mengelus lembut kulit suaminya. “Kak Will,” bisiknya pelan, mencoba membangunkannya.Mata William sedikit terbuka, pandangannya masih berat. “Hmm, pagi,” jawabnya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.“Pagi, Kak Will,” sapa Kayla dengan nada manis. Senyuman tipis langsung terukir di wajah William, membuat Kayla merasa seolah mendapatkan hadiah pertama di pagi hari.“Jam berapa sekarang?” William bertanya sambil menarik Kayla lebih dekat dalam pelukannya, memejamkan matanya lagi.“Hampir jam tujuh. Bangun, Kak Will, hari ini kamu masih a
Mendengar kata-kata William yang tulus, Kayla merasa hatinya menghangat. Perasaan dihargai oleh suaminya membuat dadanya penuh dengan emosi. William bahkan rela meluangkan waktu dari kesibukannya hanya untuk mendengarkan ceritanya. Beberapa saat dia hanya diam, matanya terarah pada pria di hadapannya, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia semakin menyadari betapa dirinya makin mencintai suaminya itu.“Kay,” suara lembut William memecah keheningan. “Apa kamu masih ragu, hehm?” tanyanya sambil menarik tubuh Kayla ke dalam pelukannya. Wangi citrus dan mint yang khas dari parfum William menyeruak, mengisi ruang di antara mereka.Kayla memejamkan mata dan membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya. “Kak Will …” ucapnya lembut, suaranya terdengar manja. Tanpa sadar, tangannya memeluk pria itu lebih erat. Pelukan itu, di tengah tekanan yang baru saja ia alami, seolah menjadi tempatnya meluruhkan segala beban.William mengecup lembut puncak kepalanya. “Hehm… apa kamu belum mau menceritakan
“Kay,” tegur William, dan ini membuat lamuan Kayla buyar hingga nyaris menjatuhkan tas yang dipegangnya. Kondisi ini membuat William dengan sigap menolongnya. Bau mint yang menguar dari wangi sabun mandi milik William ini masuk ke dalam indra penciumannya, membuatnya juga cepat tersadar kalau saat ini William sudah berada di dekatnya dengan handuk yang melilit di tubuhnya. “Kamu bertemu dengan Stella hari ini, apa yang dia katakan?” tanya William setelah meletakkan tas itu ke atas meja kembali. Kayla melihat ke arah William dengan tatapan datarnya dan bertanya dalam hati, “Apa … aku harus mengatakan hal ini pada Kak Will?” “Hei, kamu kembali melamun?” William membuyarkan kembali pikiran Kayla. “Ah, Kak Will sudah selesai?” Kayla dengan cepat mengulas senyum di wajahnya, dia memutuskan untuk menunda dulu membicarakan hal ini. William melihat ke arah Kayla dengan tatapan menyelidik. “Kay, aku … minta maaf.” Suara pria itu terdengar sangat lembut di telinga Kayla. “Maaf, karena ak