Seorang pria memasang ekspresi datar ketika ia mendengarkan ayahnya yang sedang menceramahinya tentang masalah perjodohan.
"Ayah sudah tua, jadi kalau ada penerus perusahaan kita nanti--" belum selesai Hartono mengatakan itu, Raka memotong pembicaraannya cepat."Ayah bicara apa? Ayah mau mati? Iya?" Tanya Raka dingin, matanya menatap Hartono tajam. Ia masih ingin Hartono menemaninya dalam beproses memajukan perusahaan."B-bukan seperti itu maksud ayah. Kalau ada seorang cucu, nanti perusahaanmu beralih ke dia. Dan ayah sudah kenal perempuan yang cantik, tubuhnya bagus, dia wanita karier. Kamu harus menikahi dia," jawab Hartono sedikit gugup, Raka jika marah mengeluarkan aura yang menyeramkan. Semenjak Cheryl meninggal, Raka tidak pernah tersenyum dan selalu mudah marah."Betul, apa yang di katakan oleh Tuan Hartono. Pilihannya baik, tidak mungkin buruk. Menikahlah," suara asisten yang selalu membersamai Hartono itu angat bicara.Raka berdiri. "Demi keuntungan bisnis kan? Siapa dia? Pasti dia bukan sembarang wanita yang pekerjaannya di posisi rata-rata zaman sekarang," hati Raka mulai tidak nyaman, lagipula ia tidak mengenal siapa wanita itu."Raka, tenang. Ingat ya, ayah sudah baik sama kamu. Seharusnya kamu berterima kasih sama ayah. Dia itu pemilik perusahaan makanan seafood. Penghasilannya juga besar dan kekayaannya terjamin. Jadi, tidak perlu menolak atau ada saja alasanmu," tegas Hartono serius. Ia tau perkembangan proses Raka dalam mengolah perusahaan semakin menurun. Dalam hitungan waktu sedikit lagi, perusahaan Raka akan gulung tikar, bangkrut.Raka terkekeh, seenaknya saja Hartono mengatur hidupnya. "Maaf ayah, aku tidak mau.""Apa kamu bilang?" Hartono mendengarkan baik-baik, ia mengangkat sebelah alisnya."Aku, tidak mau," Raka menjawabnya dengan malas."Oh, kamu melawan ayah? Atau kamu mau perusahaanmu bangkrut?"Hartono menggeleng heran. "Modal awal ayah ke kamu itu bukan uang yang sedikit.""Dan, aku tetap tidak mau di jodohkan. Aku ingin fokus berproses dari nol. Proses itu tidak ada yang instan, ayah!" Raka emosi, ia ingin belajar mandiri dengan membangun perusahaan yang di modali oleh Hartono. Ia tidak mengeluarkan sepeser uang pun.Hartono melayangkan tamparan ke pipi Raka. "Kamu, semakin lama sekarang berani ya melawan ayah?" Hartono menggertakkan gigi kesal.Rasa panas dan nyeri membuat sudut bibir Raka berdarah. "Ayah menampar aku?" Mata Raka menatap Hartono sedih, sekarang ayahnya berubah me jadi pribadi yang main tangan dan kasar.Hartono terdiam, ia merasa bersalah menampar Raka. Tapi, putra semata wayangnya itu juga perlu di sadarkan."Ayo, tampar Raka lagi. Sini, tampar yang lebih keras," Raka meraih tangan Hartono dan menempelkan di pipinya."Aku capek dengan sikap ayah," Raka berlalu pergi. Ia tidak bisa hidup dalam aturan ayahnya secara terus menerus. Ia ingin bebas dan mandiri."Raka! Kamu mau menurut apa tidak sama ayah?" Suara lantang Hartono yang menggema di seisi rumah itu tidak di pedulikan oleh Raka.Hartono mengikuti langkah Raka, ia menarik tangan Raka dengan kasar. "Kalau kamu masih menolak dan tidak mau menuruti kemauan ayah, lebih baik kamu pergi dari rumah ini."Raka menolehkan kepalanya menatap Hartono. Apakah di hadapannya ini benar-benar ayah kandungnya?"Ayah mengusir aku? Benarkah ayah mengusir putra kesayangannya sendiri?" Raka menatap intens Hartono. Dan untuk pertama kalinya, Hartono saat marah sudah tidak bisa di kontrol. Hartono tidak sesabar dulu.Hartono mengangguk. "Ya! Ayah usir kamu dari rumah ini. Kamu bukannya bersyukur ayah jodohkan, justru kamu tolak mentah-mentah. Kamu tidak mau untung dan maunya berusaha dari awal. Usaha kamu itu tidak ada hasilnya, tidak berguna sama sekali," ucap Hartono merendahkan kemampuan Raka, ia benar-benar memojokkan Raka."Oke!" Raka berteriak kesal. Ternyata Hartono sudah tidak menyayanginya lagi. Hartono sudah berubah. Hartono, bukan ayahnya lagi."Raka bakalan pergi darisini, Raka bisa hidup sendiri tanpa ayah," Raka menunjuk dirinya sendiri, ia pasti bisa menghadapi kerasnya dunia luar tanpa Hartono.Hartono tersenyum remeh. "Dan, pendanaan semuanya ayah cabut. Kamu, jangan membawa apapun dari rumah ini," ucap Hartono memberikan setiap penekanan di ucapannya."Yusa! Seret Raka keluar dari rumah ini," panggil Hartono kepada asistennya.Yusa berlari terburu-buru menghampiri Hartono. "Baik, Tuan," ia langsung menarik Raka dengan paksa, membawanya keluar dari rumah."Lepas!" Raka berontak."Sana! Pergilah!" Yusa mendorong Raka ketika sampai di depan pagar rumah. Raka tersungkur karena dorongan Yusa yang begitu kuat.Raka mengusap siku tangannya yang tergesek dengan kerikil. "Awhh," ia meringis menahan sakit. Saat di lihat, sikunya berdarah.Yusa kemudian menutup pintu pagar rumah, suara gembok yang di kunci menunjukkan siapapun tidak bisa masuk.Raka kembali berdiri. Tapi sebuah uluran tangan yang lentik dengan kuku yang terawat seperti usai dari salon, Raka bisa menebaknya itu adalah wanita."Bagaimana kalau kita kawin lari?" Suara yang di buat-buat manja, bibir merah seksinya tersenyum kepada Raka.'Dia pasti wanita yang akan di jodohkan denganku. Astaga, idenya sudah gila,' batin Raka tak habis pikir.Raka memilih melangkah dan mengabaikan wanita itu."Hei! Kamu mau kemana? Ayo kawin lari sama aku," tangan wanita itu merangkul bahu Raka penuh mesra.Raka menyingkirkannya merasa risih. 'Tidak apa-apa aku di usir tidak membawa apapun. Tapi, aku masih mempunyai kartu bank. Dengan itu, aku bisa menghidupi kebutuhanku untuk beberapa hari ke depan. Dan wanita ini, membuatku tidak nyaman,' batinnya. Ia melirik dari ujung matanya, penampilan wanita itu cukup mencolok dengan make-up tebalnya."Jawab aku! Kamu mau kan kawin lari? Dan aku jamin deh, hidup kamu jauh lebih baik kalau menikah sama aku," ucapnya berbangga diri.Raka sudah muak mendengarnya, kawin lari, tanpa restu orang tua. Ah, tapi ia tidak mempunyai orang tua sekarang. Hartono tidak akan mempedulikannya lagi."Ayo! Kamu mau ya? Kamu ganteng, aku tidak mau kamu di ambil wanita lain," ia merengek berusaha membujuk Raka.Raka mempercepat langkahnya.Mereka berada di kawasan jalan raya. Pada saat lampu merah tersisa 7 detik dan akan berubah menjadi hijau. Raka berlari menyeberangi zebracross. Dan wanita yang mengejarnya tadi tertinggal jauh.Raka sesekali menoleh ke belakang memastikan jaraknya dengan wanita itu jauh. "Huh, semoga saja kita tidak bertemu lagi."Namun ketenangan Raka hanya sesaat, suara genit yang penuh manja itu mulai terdengar di telinga Raka."Raka! Tunggu!"Raka bingung, ia menatap sekitarnya mencari tempat persembunyian yang aman. Dan matanya menemukan sebuah mobil pick up yang terdapat penutup terpal, sepertinya pick up itu sedang mengangkut barang.Tanpa berpikir panjang, Raka segera naik dan menutupi dirinya dengan terpal itu. Ia tiarap, jantungnya berdegup kencang."Raka! Kamu tidak akan lepas dari aku. Kamu jangan coba-coba pergi ya?"Raka menghela napas lega, akhirnya ia bisa lolos dari kejaran wanita menor. "Tapi, aku harus kemana sekarang?" Tanyanya bergumam, mobil pick up mulai bergerak. Ia tidak bisa turun apalagi melompat. Namun itu juga menguntungkannya agar bisa pergi jauh dari Hartono. Selama perjalanan yang cukup lama itu, mobil pick up tiba di sebuah pasar yang berada di perkampungan desa. Raka yang merasa pick up berhenti. Ia segera membuka terpal, ia sampai merasakan sesak karena oksigen yang di hirupnya terbatas. "Astaga," Raka melihat sekeliling, ia terkejut dirinya berada di suatu tempat yang asing, tempat yang tidak pernah ia kunjungi. "Aku dimana?" Raka bertanya bingung. "Hey! Kau siapa?" Seorang pria memakai kaos coklat itu terkejur dengan kebaradaan Raka di belakang.Raka menoleh. "Maaf, aku hanya menumpang kendaraanmu," ucapnya merasa bersalah. "Oh, jangan pikir hanya dengan menumpang kendaraanku, kau dapat tumpangan secara gratis, huh?" Pria itu memarahi Raka, ia merasa kesal. Ya, Raka
"Kamu, sampai kapan fokus kerja terus? Kamu juga butuh menikah, di nafkahi, di bimbing sama laki-laki. Dan punya anak. Kamu menolak laki-laki pilihan ibu ini?" Manda sedikit kesal, padahal menurutnya Raka ini cukup tampan dan gagah, tapi Maya tidak tertarik sama sekali. Maya menghela napas lelah. "Aku bukan menolak, tapi aku tidak mengenal siapa dia dan darimana asalnya. Menikah itu seumur hidup dengan orang yang sama. Memangnya, ibu mau aku salah pilih laki-laki?" Maya seakan tidak mau kalah dalam berdebat. Ia mempertahankan alasan terkuatnya agar Manda tidak memaksakanya lagi untuk membahas soal pernikahan. Manda berdiri dan menghampiri Maya. "Kalau begitu, kamu kenalan sama dia. Bukan marah-marah sama ibu begini. Kenal baik-baik, cocok, menikah. Mudah kan?" Ia berusaha sabar dengan sifat keegoisan Maya. Ia juga ingin melihat Maya di perlakukan romantis dan spesial oleh seorang suami. Maya menatap Manda datar. "Hmm, tapi aku tidak tau cocok tidaknya aku sama dia," ia melirik seki
Setelah gagal melakukan penarikan, Raka hanya mempunyai sebuah ide. Menjual jam tangannya. Benda yang selama 2 tahun selalu ia pakai kemanapun ketika melihat waktu. "Aku akan menjualnya di sosial mediaku," Raka tersenyum bangga. Lebih cepat dan praktis. Namun, suara hatinya tiba-tiba berkata jangan melakukan itu. "Ya ampun! Aku baru ingat kalau aku menyembunyikan identitasku. Jika aku menjual jam ini sekarang di sosial media, semua orang akan tau keberadaanku dimana termasuk ayah," ucap Raka, ia mengurungkan niatnya dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. "Apa ... aku jualnya di pasar saja ya?" Tanya Raka, tidak ada tempat lain kecuali pasar, mengenai ia sekarang berada di sebuah desa perkampungan tentunya tidak sama dengan perkotaan yang beberapa di antaranya ada supermarket dan Mall. Dan Raka menuju ke sebuah pasar. Tiba di pasar Raka mencari penjual jam tangan. Ia melangkah mengelilingi sekitar pasar. Setelah menemukan penjual jam tangan, Raka mulai berbicara
Raka terdiam. Ia sampai tidak kepikiran hal itu, ia lupa membeli dua cincin. Ia terlalu memikirkan jumlah uangnya. Ia takut uangnya habis. "Maaf. Aku lupa beli dua cincin, karena saat membeli, aku hanya mengingat namamu saja," ucap Raka merasa bersalah. Sekarang, Maya marah dan ia gagal membuat Maya bahagia. Biasanya jika wanita manapun setelah di belikan sebuah cincin lamaran, pasti bahagia dan tersenyum senang, tapi reaksi Maya berbeda justru marah-marah hanya masalah kecil saja. "Lalu, dimana maharku? Apa kamu sudah dapat mahar yang aku minta? Mahar satu juta, ya," desaknya tidak sabaran. "Kalau mahar, maaf banget. Uangku habis," Raka menjawabnya dengan lesu. Ia terpaksa berbohong kepada Maya. Uangnya belum habis, ia sengaja agar Maya tidak semakin curiga jika ia sebenarnya memiliki uang yang cukup untuk mahar Maya. "Lihat sendiri kan, ibu? Dia saja tidak memberikanku mahar. Dan ibu memaksaku menikah sama dia?" Maya menunjuk Raka yang hanya diam. "Tapi, aku membelikanmu kebaya
Keesokan harinya, Maya bersiap-siap dan sarapan sebelum ia pergi Kantor Urusan Agama. Ia akan menikah dengan Raka hari ini. "May, kenapa kamu belum ganti kebaya juga?" Tanya Manda heran, ia menatap Maya masih memakai kaos biasa. Raka menatap Maya yang belum dandan atau memoles wajahnya. "Kamu mau ganti kebaya, atau aku yang gantiin?" Tanya Raka dingin. Maya yang sedang memakan mie instan dengan lahap pun tersedak. "O-oh tidak perlu. Aku bisa ganti kebaya sendiri," ia jadi salah tingkah sendiri. Kenapa Raka se-gamblang itu mengucapkan kalimat sedikit mesum tadi? Pipi Maya terasa panas, ia segera menunduk dan berlari ke kamarnya. Bisa gawat jika Raka benar-benar yang memakaikan kebaya di tubuhnya. Manda tersenyum, ternyata Raka semudah itu mengambil hati Maya. "Sampai Maya salah tingkah begitu, gara-gara nak Raka.""Sebaiknya Maya memakai kebaya dari rumah. Agar saat tiba di Kantor Urusan Agama, aku tidak perlu menunggu terlalu lama. Dan pernikahan segera di langsungkan oleh penghu
Raka mendengar omelan Maya hanya tersenyum. 'Maaf, aku buru-buru dan ingin segera sah menjadi suamimu. Aku tidak tau apakah nanti aku bertemu dengan ayah atau wanita itu. Aku tidak mau di jodohkan dengan wanita yang gila harta,' batin Raka dalam hatinya. Karena menikah itu seumur hidup, ia ingin mempunyai istri yang menerima apapun keadaannya dan bersyukur. Saat tiba di Kantor Urusan Agama yang dekat dengan warung pecel lele, Maya langsung turun dan memeriksa sobekan rok batiknya yang melebar sampai lutut. Sobek dari menyamping. "Raka! Kamu lihat? Rok batikku sobek! Masa iya aku nikah roknya sobek?" Bibir Maya cemberut. Ia menghentakkan kedua kakinya kesal. "Sini," Raka meraih tangan Maya dan ia beralih di posisi kiri untuk menutupi sobekan rok."Tidak perlu malu, aku akan berada di sampingmu. Tenang saja, sobekanmu tidak terlihat oleh siapapun," Raka berkata tanpa menoleh menatap Maya. 'Astaga, kenapa dia se-perhatian ini?' Batin Maya bertanya-tanya. Ia menatap wajah tampan Raka
Disinilah Raka mengajak Maya makan di warung pecel lele. Tapi, selama Maya makan, wajah istrinya itu murung dan seperti tidak selera makan. "Kamu masih kepikiran sama yang tadi?" Raka bertanya hati-hati, ia mengerti bagaimana perasaan Maya. Ia merasa bersalah telah membuat Maya dan Manda di permalukan masalah mahar. Maya meletakkan sendok dengan sedikit membantingnya. "Kamu sengaja ya mempermalukan aku? Kamu pura-pura tidak ingat?" Maya menoleh dan menatap Raka dengan tajam. Raka mengernyit, kenapa Maya tiba-tiba marah? "Kamu mempermalukanku, Raka. Apa kamu pura-pura lupa dengan apa yang aku katakan kemarin? Kamu lupa berapa mahar yang aku minta? " Maya memberikan rentetan pertanyaan kepada Raka. Tidak mungkin Raka lupa. Tapi Raka berpura-pura lupa. Raka mengangguk mengerti. Ia tau berapa jumlah mahar yang diminta oleh Maya. "Mahar satu juta kan?" Tapi ia tidak memberitahu Maya yang sebenarnya jika ia langsung memberi mahar sebanyak itu ke Maya, uangnya dari hasil menjual jam tan
Saat Raka baru saja masuk ke dalam kamar, Maya mengambil tikar dan melemparkannya di lantai. "Kamu tidur disitu saja ya? Jangan coba-coba tidur di sebelahku," ketus Maya. Ia tidak peduli Raka kedinginan, padahal udara di kamarnya terasa hangat. "Kenapa di lantai lagi?" Raka merasa bosan, tidak bisakah ia tidur di samping Maya? Ia tidak akan memeluk wanita itu, ia akan tidur dengan posisi yang membelakangi Maya. "Aku cuma tidak mau kamu bertindak lebih seperti menyentuhku. Kamu harus tau, aku belum siap punya anak," Maya naik diatas kasur, ia merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. "Kasih aku bantal dan selimut," pinta Raka cuek. Tidak mungkin ia tidur tanpa bantal dan selimut. Tidur di lantai membuat kepalanya tidak terasa empuk. "Kamu lihat? Bantalku cuma satu. Dan selimut juga punyaku. Maaf, kamu bisa tidur dengan tikar itu saja sudah cukup," seakan tak mempedulikan Raka, Maya menghadap ke tembok dan memejamkan matanya. Lebih baik ia tidur daripada berbicara terus dengan Raka. S
"Halo, bagaimana dengan tugas yang aku berikan. Apa kamu sudah melaksanakannya?" Tanya Hartono dengan seseorang melalui telepon. Hartono berdiri menatap kaca yang menampilkan pemandangan kota, gedung pencakar langit dengan sedikit kabut yang menghalangi. Suara perempuan dari seberang telepon menjawabnya. "Sudah, aku menemukan keberadaan Raka. Tenang saja, aku sudah mengenalnya. Percayalah, Raka tidak akan bisa kabur lagi.""Kapan kamu memberikanku imbalan 50 juta?" Tanyanya dengan suara menggoda dan sedikit genit. Ya, Hartono memang menjanjikan imbalan 50 juta bagi siapapun yang berhasil menemukan Raka dan membawanya kenbali pulang ke rumah. "Aku minta kamu transfer sekarang. Aku harus shopping banyak, Mas," tuntutnya tak sabaran. Siapa yang tidak tergiur uang sebanyak itu. "Kamu, belum membawa Raka pulang. Aku tidak bisa mentransfer uangnya sekarang. Bekerjalah dengan becus," Hartono mengakhiri teleponnya, ia memijat pelipisnya yang terasa pusing. Sedangkan disisi lain, seorang
Disinikah, Raka. Sekolah TK yang ramai pedangang. Mata Raka hanya mencari sosok Manda. Raka melangkah perlahan, ia menatap satu persatu pedagang yang berjejer. Manda menjual pisang coklat. Ada pedangang cilok, cireng, sosis goreng, terambulan, dan crepes. Tapi ia tidak menemukan Manda. "Permisi, apa disini ada pedaganga baru?" Raka bertanya ke pedagang crepes. Pedangang yang letaknya berada di paling ujung sekolah TK. "Pedangang baru?" Pria berperawakan gagah dengan kumis tebal itu mengernyit. Ia berpikir sejenak dengan apa yang di cari Raka. "Sepertinya, tidak ada, Mas. Pedagang disini masih sama. Tidak ada kedatangan pedangang baru," ia menjawabnya. Sembari melayani pembeli anak-anak TK yang sedang beristirahat. "Oh, ya. Terima kasih," Raka tersenyum. Ternyata Manda tidak ada. Lalu, kemana Manda sekarang? "Sama-sama, Mas. Itu dua ribuan, nak. Ya, sebentar ya. Tunggu," ia melayani anak-anak TK dengan telaten dan sabar. Ia membuat crepes diatas teflon. Raka bingung, apakah Ma
Raka meneguk salivanya, yang benar saja menjadi pacar? Raka berusaha tetap tenang. "Kalau jadi pacar, kenapa?" Ia penasaran, mungkin ia sering di ajak jalan dengan Syila dan ia bisa membawa makanan bungkus untuk Maya dan Manda. Ah, tapi itu terlihat jahat. "Apapun yang Mas inginkan, aku kabulkan. Oh, dan ini penawaran satu kali. Tidak ada kesempatan kedua. Pikirkan baik-baik ya, Mas. Dan resikonya juga," Syila tersenyum penuh kemenangan, lihat saja Raka pasti lebih memilih menjadi pacarnya daripada kedoknya berselingkuh di ketahui oleh istrinya. "T-tapi, kamu berjanji tidak akan membocorkan ini?" Suara Raka gemetar ketakutan. Ia yang biasanya dingin kepada wanita, sekarang ia tak berdaya dan pasrah. Semua ini karena takdirnya yang berubah drastis usai di usir Hartono. Kekayaan, fasilitas mobil, dan uang di ATM tak bisa Raka memilikinya. Ia pergi dengan tangan hampa, dan sisa uang yang hanya bisa di tarik tidak banyak sebelum ATM-nya di batasi oleh Hartono. "Hmm," Raka bergumam ti
"Beristri? Aku tidak peduli. Siapa tau dia ingin menikah lagi dan mencari istri kedua, ya kan, Mas?" Syila mencolek dagu Raka. "Menjauhlah dariku," geram Raka, kesabarannya sudah habis. Ingin sekali ia mendorong perempuan itu, tapi ia tidak bisa berbuat kasar karena dia perempuan. Syila bukannya menjauh tapi semakin mengeratkan pelukannya. "Syila, hati-hati nanti di marahi Mbak Maya."Syila tak peduli. "Kamu kerja apa, Mas?" "Aku harus berangkat kerja sekarang. Jangan menahanku seperti ini, Syila," Raka memanggil nama Syila penuh penekanan"Wah, kamu memanggil namaku?" Syila membasahi bibirnya, ia tersenyum menggoda. Ia sama sekali tidak malu di perhatikan oleh orang-orang. Raka tersenyum miring. "Kamu mau aku panggil jalang? Ya, sebutan jalang lebih cocok untukmu," ia mengangguk, nama itu terlalu bagus untuk wajah nakal yang memendam sebuah hasrat itu. "Ssstt," Syila menempelkan jari telunjuknya di bibir Raka seakan memerintahkan laki-laki itu tidak bersuara terlalu keras. "Ak
Raka mengobati luka Maya dengan hati-hati. Ia membersihkannya dengan kapas. "Pelan-pelan, Raka! Sakit!" Maya meringis menahan sakit. Ia menatap Raka kesal. Sedangkan Manda yang tidak tau apa-apa mendengar itu pun sedikit curiga."Waduh, apanya yang pelan?" Tanyanya merasa penasaran. Ia meninggalkan dapur sejenak. Ia melangkah mengendap-endap menuju ke kamar Maya. Manda memasang telinganya baik-baik. Ia mendengarkan setiap suara desahan Maya yang terdengar sampai di luar kamar. "Ahh, Raka! Stop!" Manda membungkam mulutnya tak percaya. Mungkinkah mereka sedang melakukannya sekarang? "Wah, sebentar lagi. Aku bakal dapat seorang cucu," Manda menahan senyumannya. Perasaannya riang gembira. Inilah yang paling ia tunggu-tunggu selama ini. Karena sebelumnya ia tidak mendengar apapun dari kamar. Hanya keheningan malam sampai ia begadang dan tidur jam 1 pagi. "Sudah, masih perih?" Raka sudah menetestakan betadine di lutut Maya. Tidak ada lagi darah, ia tidak menutupi luka Maya dengan han
Raka yang merasakan Maya seperti ingin marah, ia mundur beberapa langkah. Ia sedikit takut. Maya mengambil piring itu, ia menyendok nasi dan menyuapkannya pada Raka. "Kamu saja yang makan. Aku belum lapar."Raka yang tidak siap menerima suapan dari Maya pun terbatuk-batuk. "Berhenti, aku tersedak. Tolong jangan memaksaku," pinta Raka memelas, ia menepuk dadanya, ia menelan paksa nasi suapan dari Maya. "Eh ... maaf," Maya dengan sigap meletakkan piring itu di meja nakas. Ia memijat tengkuk Raka. "Maaf banget ya?" Ia merasa bersalah. Melihat raut wajah Maya yang khawatir, hati Raka sedikit senang. Disaat ia sakit, Maya khawatir, tapi jika tidak sakit Maya bersikap ketus. Dengan ini, Raka memanfaatkan keadaan. "Pijat di pundak juga, ya? Aku masih capek. Tadi angkat-angkat semen dan genteng.""Hmm," Maya hanya bergumam. Ia memijat pundak Raka walaupun merasa tidak ikhlas. Ia tau pasti Raka modus dan ingin mencuri kesempatan romantis. "Aku tadi di tanya teman-teman kerjaku. Mereka tan
Maya menggeleng. "Kenapa? Kamu iri ya?" Maya menanggapinya dengan santai. Salsa terbelalak. "Aku tidak iri! Aku juga bisa nikah sepertimu," ia tidak terima. Ia sudah mempunyai pacar, namun ia belum tau apakah hubungannya serius atau sebatas pacaran saja. Maya tersenyum menyeringai. "Buktikan kalau kamu bisa menikah sepertiku. Apakah pacarmu itu pernah memperkenalkanmu ke orang tuanya?" Jedak sejenak, Maya kemudian melajutkan mengucapkan. "Tanyakan itu ke pacarmu, hubungan juga perlu ada tujuannya," perasaannya lega setelah membalas cibiran Salsa yang meremehkannya. Salsa mengira ia tidak akan pernah menikah seumur hidup. Tapi, karena suatu keberuntungan, ia kedatangan Raka dan langsung menikah dalam waktu dekat. Walaupun umur Raka dan dirinya berjarak, Raka tetap mencoba berani hubungan yang lebih serius dalam ikatan pernikahan. "Kamu!" Salsa menunjuk Maya dengan kesal. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Maya membalas cibirannya. Maya tak peduli. Yang terpenting saat ini adalah ia tid
"Aku berangkat dulu ya bu, daripada telat sampai toko," Maya melihat jam tangannya, sudah pukul 6 pagi. Ia harus segera sampai di tempat kerjanya. "Kamu carikan suamimu pekerjaan dong. Kalian kan bisa kerja bareng," Manda tidak tega Raka mencari pekerjaan di desa dengan luntang lantung tanpa mengenal siapapun. Maya menggeleng. "Maaf, bu. Belum ada lowongan. Raka bisa cari pekerjaan di tempat lain saja," tolak Maya mentah-mentah. Ia langsung bergegas pergi. Ia mengambil sepeda dan mengayuhnya. Hanya sepeda menjadi kendaraan satu-satunya untuk berangkat dan pulang kerja. "Maya! Kamu kenapa tidak peduli dengan suamimu?" Manda berdiri dan melangkah ke halaman rumah. Ia sampai lupa tidak menggunakan sandal. Tapi Maya sudah mengayuh sepedanya cukup jauh. Manda tidak bisa mengejar Maya. "Tidak apa-apa, bu. Aku bisa cari pekerjaan sendiri," hati Raka sedikit kecewa saat Maya mengabaikannya dan tidak peduli dengan hidupnya. Ia mengerti kenapa Maya bersikap seperti itu. Mahar yang tidak se
Saat Raka baru saja masuk ke dalam kamar, Maya mengambil tikar dan melemparkannya di lantai. "Kamu tidur disitu saja ya? Jangan coba-coba tidur di sebelahku," ketus Maya. Ia tidak peduli Raka kedinginan, padahal udara di kamarnya terasa hangat. "Kenapa di lantai lagi?" Raka merasa bosan, tidak bisakah ia tidur di samping Maya? Ia tidak akan memeluk wanita itu, ia akan tidur dengan posisi yang membelakangi Maya. "Aku cuma tidak mau kamu bertindak lebih seperti menyentuhku. Kamu harus tau, aku belum siap punya anak," Maya naik diatas kasur, ia merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. "Kasih aku bantal dan selimut," pinta Raka cuek. Tidak mungkin ia tidur tanpa bantal dan selimut. Tidur di lantai membuat kepalanya tidak terasa empuk. "Kamu lihat? Bantalku cuma satu. Dan selimut juga punyaku. Maaf, kamu bisa tidur dengan tikar itu saja sudah cukup," seakan tak mempedulikan Raka, Maya menghadap ke tembok dan memejamkan matanya. Lebih baik ia tidur daripada berbicara terus dengan Raka. S