"Kamu, sampai kapan fokus kerja terus? Kamu juga butuh menikah, di nafkahi, di bimbing sama laki-laki. Dan punya anak. Kamu menolak laki-laki pilihan ibu ini?" Manda sedikit kesal, padahal menurutnya Raka ini cukup tampan dan gagah, tapi Maya tidak tertarik sama sekali.
Maya menghela napas lelah. "Aku bukan menolak, tapi aku tidak mengenal siapa dia dan darimana asalnya. Menikah itu seumur hidup dengan orang yang sama. Memangnya, ibu mau aku salah pilih laki-laki?" Maya seakan tidak mau kalah dalam berdebat. Ia mempertahankan alasan terkuatnya agar Manda tidak memaksakanya lagi untuk membahas soal pernikahan.Manda berdiri dan menghampiri Maya. "Kalau begitu, kamu kenalan sama dia. Bukan marah-marah sama ibu begini. Kenal baik-baik, cocok, menikah. Mudah kan?" Ia berusaha sabar dengan sifat keegoisan Maya. Ia juga ingin melihat Maya di perlakukan romantis dan spesial oleh seorang suami.Maya menatap Manda datar. "Hmm, tapi aku tidak tau cocok tidaknya aku sama dia," ia melirik sekilas, memang wajahnya tampan, tapi sayangnya tidak tersenyum dan tatapannya terkesan sinis."Nak Raka, maaf ya, Maya cuma kaget ada laki-laki yang datang kesini. Sebelumnya, tidak ada laki-laki yang pernah mampir kesini apalagi mengenal Maya lebih dekat," Manda beralih menatap Raka merasa sungkan.Raka mengangguk. "Tidak apa-apa. Perkenalkan, namaku Raka. Usiaku 24 tahun," singkat, tapi seharusnya ada yang Raka tunjukkan yaitu pekerjaan. Tapi, untuk saat ini ia tidak bekerja dulu dan masih mencari pekerjaan di tempat perkampungan desa ini. Ah, semua terjadi terlalu cepat gara-gara ayahnya.Maya menatap Raka tak berkedip.24 tahun?Jadi, Raka laki-laki berondong?Sudut bibir Maya terangkat sedikit, ternyata Manda membawa laki-laki di bawah umurnya. "Kerja apa kamu?" Tanya Maya dengan suara dingin. Ia juga harus mengetahui pekerjaan Raka apa, apalagi Raka ingin menikahinya dan menjalin hubungan serius tanpa pacaran.Jantung Raka berdegup kencang, perasaannya mulai tidak nyaman. Bagaimana ini? Ia harus menjawab apa? Tidak mungkin ia menjawab telah di usir oleh ayah kandungnya sendiri."Emm ... aku libur hari ini. T-tapi, jika aku jujur kepadamu, apa kamu percaya?" Raka menatap Maya berharap cemas."Apa?" Maya tidak sabar, kalau Raka bekerja itu bagus. Dan sudah semestinya laki-laki bekerja."Aku ... kabur," Raka menunduk. Entah mengapa lidahnya tiba-tiba kelu untuk jujur."Kabur?" Maya meninggikan suaranya."Hey! Kamu jangan teriak-teriak, dengarkan dulu apa kata nak, Raka," ucap Manda kesal, mendengar kalimat kabur, hati nuraninya tidak tega dengan kondisi Raka saat ini."Kenapa kamu kabur? Atau jangan-jangan kamu orang jahat?" Maya melotot dan membungkam mulutnya, ah bisa saja Raka bukan orang yang baik."Astaga, May! Dengarkan dulu!" Manda memperingati Maya yang sejak tadi memotong pembicaraan Raka serta menuduh hal yang belum tentu benar."Aku tidak mau di jodohkan wanita pilihan ayah, aku menolaknya," setelah Raka mengutarakan itu, hatinya terasa lega dan beban yang di pikulnya perlahan hilang, tidak seberat sebelumnya."Terus, kamu kerja apa kalau kabur?" Maya seakan tidak peduli dengan permasalahan hidup Raka tentang perjodohan ayahnya itu."Tenang saja, aku masih ada kartu ATM dan uang yang aku bawa," jawab Raka tersenyum samar."Aku kurang percaya sih, beli cincin, kebaya, mahar, apa uangmu cukup?" Maya mengangkat sebelah alisnya, semoga saja Raka tidak sanggup membeli semua itu."Sepertinya cukup," Raka mengangguk mantap, ia akan menjual jam tangannya. Barang branded kesukaannya yang mungkin akan terjual mahal."Buktikan kalau uangmu cukup. Sekarang juga, belikan aku cincin emas, belikan kebaya, dan mahar 1 juta. Bagaimana?" Maya tersenyum menyeringai, lihat saja nanti Raka pasti menyerah dan perjodohan singkat ini batal."Ya sudah, pergilah sekarang. Dan jangan kembali kesini sebelum kamu membawa semua itu," ucap Maya serius. Menurutnya, jika Raka kabur dan tidak membawa apapun dari rumah, laki-laki itu pasti hanya mengandalkan uang yang ada di dompet dan kartu ATM-nya saja.Manda menatap Raka dengan perasaan gelisah. Baru saja mengenal, Maya langsung memberikan tantangan membeli semua itu hari ini juga."Ibu, aku pergi dulu. Aku pasti kembali kesini," Raka berpamitan kepada Manda. Ia meyakinkan wanita itu jika ia sanggup memenuhi permintaan Maya.'Astaga, apa harga jual jam tanganku nanti cukup untuk semua itu?' Batin Raka bertanya-tanya. Ia merasa ragu kalau harganya masih mahal. Walaupun keluaran edisi 2 tahun yang lalu, tapi design jam tangannya masih terlihat elegan dan mewah.Raka berharap semuanya cukup. Ia hanya ingin menikah dengan wanita yang sederhana dan tidak gila dengan harta atau uang. Mungkin Maya adalah wanita yang tepat.***Raka terpaksa jalan kaki dan mencari bank tapi ia belum menemukannya."Aku lupa kalau ini desa. Mustahil ada bank disini," Raka mengelap pelipisnya yang berkeringat. Terik panas matahari membuatnya haus."Cari bank ya, mas?" Seorang remaja laki-laki menghampiri Raka."Ya, apa ada bank yang dekat disini?""Ada. Mari aku antar," jawabnya mengangguk.Raka merasa lega, akhirnya ia tidak perlu jalan kaki terlalu lama. Ada orang yang baik menunjukkan dimana keberadaan bank terdekat."Ini, mas. Di desa ini, hanya satu bank yang ini saja."Raka melihat bank yang di dalamnya ada satu mesin ATM. Ia mengangguk. "Terima kasih."Raka melangkah masuk, ia mengeluarkan dompetnya dan mengambil kartu ATM."Seingatku, saldoku ada 6 jutaan. Ah, tenang saja. Cukup beli cincin, kebaya, dan mahar," Raka tersenyum senang. Ia mulai menggesekkan kartu ATM-nya. Kemudian memasukkan kata sadninya.Namun, muncul sebuah tulisan yang membuat perasan Raka tidak tenang.[ Mohon maaf, kartu anda telah di batasi. Silahkan coba beberapa saat lagi. ]"Kenapa di batasi?" Raka mencoba sekali lagi, ia menggesek kartu ATM, memasukkan kata sandi dan menunggu prosesnya.[ Mohon maaf, kartu anda telah di batasi. Permintaan gagal. Anda tidak dapat menarik saldo. ]Raka menatap mesin ATM itu sinis. "Apa-apaan ini? Padahal kartu ATM milikku masih ada saldonya, kenapa di batasi?"Raka bingung, jika di batasi, ia tidak bisa membeli cincin, kebaya dan mahar untuk Maya. Dan harapan satu-satunya hanyalah saldo ATM-nya."Ayolah," Raka mencoba lagi, ia harap kali ini berhasil dan ia bisa menarik saldo ATM itu.[ Mohon maaf, kartu anda telah di batasi. Anda tidak dapat melakukan penarikan saldo. ]"Hahhhh!" Raka berteriak kesal, ia memasukkan kembali kartunya ke dalam dompet. Percuma saja ia mencoba berulang kali. Kartu ATM-nya benar-benar di batasi."Semua ini, pasti ulah ayah. Ya, aku yakin ayah sengaja melakukan ini agar aku semakin sengsara setelah di usir dari rumah," Raka mengangguk, dan saldo 6 jutanya sia-sia dan mengendap di dalam ATM. Sampai kapanpun ia tidak akan bisa menariknya kecuali Hartono mencabut pembatasan kartu ATM-nya.Setelah gagal melakukan penarikan, Raka hanya mempunyai sebuah ide. Menjual jam tangannya. Benda yang selama 2 tahun selalu ia pakai kemanapun ketika melihat waktu. "Aku akan menjualnya di sosial mediaku," Raka tersenyum bangga. Lebih cepat dan praktis. Namun, suara hatinya tiba-tiba berkata jangan melakukan itu. "Ya ampun! Aku baru ingat kalau aku menyembunyikan identitasku. Jika aku menjual jam ini sekarang di sosial media, semua orang akan tau keberadaanku dimana termasuk ayah," ucap Raka, ia mengurungkan niatnya dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. "Apa ... aku jualnya di pasar saja ya?" Tanya Raka, tidak ada tempat lain kecuali pasar, mengenai ia sekarang berada di sebuah desa perkampungan tentunya tidak sama dengan perkotaan yang beberapa di antaranya ada supermarket dan Mall. Dan Raka menuju ke sebuah pasar. Tiba di pasar Raka mencari penjual jam tangan. Ia melangkah mengelilingi sekitar pasar. Setelah menemukan penjual jam tangan, Raka mulai berbicara
Raka terdiam. Ia sampai tidak kepikiran hal itu, ia lupa membeli dua cincin. Ia terlalu memikirkan jumlah uangnya. Ia takut uangnya habis. "Maaf. Aku lupa beli dua cincin, karena saat membeli, aku hanya mengingat namamu saja," ucap Raka merasa bersalah. Sekarang, Maya marah dan ia gagal membuat Maya bahagia. Biasanya jika wanita manapun setelah di belikan sebuah cincin lamaran, pasti bahagia dan tersenyum senang, tapi reaksi Maya berbeda justru marah-marah hanya masalah kecil saja. "Lalu, dimana maharku? Apa kamu sudah dapat mahar yang aku minta? Mahar satu juta, ya," desaknya tidak sabaran. "Kalau mahar, maaf banget. Uangku habis," Raka menjawabnya dengan lesu. Ia terpaksa berbohong kepada Maya. Uangnya belum habis, ia sengaja agar Maya tidak semakin curiga jika ia sebenarnya memiliki uang yang cukup untuk mahar Maya. "Lihat sendiri kan, ibu? Dia saja tidak memberikanku mahar. Dan ibu memaksaku menikah sama dia?" Maya menunjuk Raka yang hanya diam. "Tapi, aku membelikanmu kebaya
Keesokan harinya, Maya bersiap-siap dan sarapan sebelum ia pergi Kantor Urusan Agama. Ia akan menikah dengan Raka hari ini. "May, kenapa kamu belum ganti kebaya juga?" Tanya Manda heran, ia menatap Maya masih memakai kaos biasa. Raka menatap Maya yang belum dandan atau memoles wajahnya. "Kamu mau ganti kebaya, atau aku yang gantiin?" Tanya Raka dingin. Maya yang sedang memakan mie instan dengan lahap pun tersedak. "O-oh tidak perlu. Aku bisa ganti kebaya sendiri," ia jadi salah tingkah sendiri. Kenapa Raka se-gamblang itu mengucapkan kalimat sedikit mesum tadi? Pipi Maya terasa panas, ia segera menunduk dan berlari ke kamarnya. Bisa gawat jika Raka benar-benar yang memakaikan kebaya di tubuhnya. Manda tersenyum, ternyata Raka semudah itu mengambil hati Maya. "Sampai Maya salah tingkah begitu, gara-gara nak Raka.""Sebaiknya Maya memakai kebaya dari rumah. Agar saat tiba di Kantor Urusan Agama, aku tidak perlu menunggu terlalu lama. Dan pernikahan segera di langsungkan oleh penghu
Raka mendengar omelan Maya hanya tersenyum. 'Maaf, aku buru-buru dan ingin segera sah menjadi suamimu. Aku tidak tau apakah nanti aku bertemu dengan ayah atau wanita itu. Aku tidak mau di jodohkan dengan wanita yang gila harta,' batin Raka dalam hatinya. Karena menikah itu seumur hidup, ia ingin mempunyai istri yang menerima apapun keadaannya dan bersyukur. Saat tiba di Kantor Urusan Agama yang dekat dengan warung pecel lele, Maya langsung turun dan memeriksa sobekan rok batiknya yang melebar sampai lutut. Sobek dari menyamping. "Raka! Kamu lihat? Rok batikku sobek! Masa iya aku nikah roknya sobek?" Bibir Maya cemberut. Ia menghentakkan kedua kakinya kesal. "Sini," Raka meraih tangan Maya dan ia beralih di posisi kiri untuk menutupi sobekan rok."Tidak perlu malu, aku akan berada di sampingmu. Tenang saja, sobekanmu tidak terlihat oleh siapapun," Raka berkata tanpa menoleh menatap Maya. 'Astaga, kenapa dia se-perhatian ini?' Batin Maya bertanya-tanya. Ia menatap wajah tampan Raka
Disinilah Raka mengajak Maya makan di warung pecel lele. Tapi, selama Maya makan, wajah istrinya itu murung dan seperti tidak selera makan. "Kamu masih kepikiran sama yang tadi?" Raka bertanya hati-hati, ia mengerti bagaimana perasaan Maya. Ia merasa bersalah telah membuat Maya dan Manda di permalukan masalah mahar. Maya meletakkan sendok dengan sedikit membantingnya. "Kamu sengaja ya mempermalukan aku? Kamu pura-pura tidak ingat?" Maya menoleh dan menatap Raka dengan tajam. Raka mengernyit, kenapa Maya tiba-tiba marah? "Kamu mempermalukanku, Raka. Apa kamu pura-pura lupa dengan apa yang aku katakan kemarin? Kamu lupa berapa mahar yang aku minta? " Maya memberikan rentetan pertanyaan kepada Raka. Tidak mungkin Raka lupa. Tapi Raka berpura-pura lupa. Raka mengangguk mengerti. Ia tau berapa jumlah mahar yang diminta oleh Maya. "Mahar satu juta kan?" Tapi ia tidak memberitahu Maya yang sebenarnya jika ia langsung memberi mahar sebanyak itu ke Maya, uangnya dari hasil menjual jam tan
Saat Raka baru saja masuk ke dalam kamar, Maya mengambil tikar dan melemparkannya di lantai. "Kamu tidur disitu saja ya? Jangan coba-coba tidur di sebelahku," ketus Maya. Ia tidak peduli Raka kedinginan, padahal udara di kamarnya terasa hangat. "Kenapa di lantai lagi?" Raka merasa bosan, tidak bisakah ia tidur di samping Maya? Ia tidak akan memeluk wanita itu, ia akan tidur dengan posisi yang membelakangi Maya. "Aku cuma tidak mau kamu bertindak lebih seperti menyentuhku. Kamu harus tau, aku belum siap punya anak," Maya naik diatas kasur, ia merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. "Kasih aku bantal dan selimut," pinta Raka cuek. Tidak mungkin ia tidur tanpa bantal dan selimut. Tidur di lantai membuat kepalanya tidak terasa empuk. "Kamu lihat? Bantalku cuma satu. Dan selimut juga punyaku. Maaf, kamu bisa tidur dengan tikar itu saja sudah cukup," seakan tak mempedulikan Raka, Maya menghadap ke tembok dan memejamkan matanya. Lebih baik ia tidur daripada berbicara terus dengan Raka. S
"Aku berangkat dulu ya bu, daripada telat sampai toko," Maya melihat jam tangannya, sudah pukul 6 pagi. Ia harus segera sampai di tempat kerjanya. "Kamu carikan suamimu pekerjaan dong. Kalian kan bisa kerja bareng," Manda tidak tega Raka mencari pekerjaan di desa dengan luntang lantung tanpa mengenal siapapun. Maya menggeleng. "Maaf, bu. Belum ada lowongan. Raka bisa cari pekerjaan di tempat lain saja," tolak Maya mentah-mentah. Ia langsung bergegas pergi. Ia mengambil sepeda dan mengayuhnya. Hanya sepeda menjadi kendaraan satu-satunya untuk berangkat dan pulang kerja. "Maya! Kamu kenapa tidak peduli dengan suamimu?" Manda berdiri dan melangkah ke halaman rumah. Ia sampai lupa tidak menggunakan sandal. Tapi Maya sudah mengayuh sepedanya cukup jauh. Manda tidak bisa mengejar Maya. "Tidak apa-apa, bu. Aku bisa cari pekerjaan sendiri," hati Raka sedikit kecewa saat Maya mengabaikannya dan tidak peduli dengan hidupnya. Ia mengerti kenapa Maya bersikap seperti itu. Mahar yang tidak se
Maya menggeleng. "Kenapa? Kamu iri ya?" Maya menanggapinya dengan santai. Salsa terbelalak. "Aku tidak iri! Aku juga bisa nikah sepertimu," ia tidak terima. Ia sudah mempunyai pacar, namun ia belum tau apakah hubungannya serius atau sebatas pacaran saja. Maya tersenyum menyeringai. "Buktikan kalau kamu bisa menikah sepertiku. Apakah pacarmu itu pernah memperkenalkanmu ke orang tuanya?" Jedak sejenak, Maya kemudian melajutkan mengucapkan. "Tanyakan itu ke pacarmu, hubungan juga perlu ada tujuannya," perasaannya lega setelah membalas cibiran Salsa yang meremehkannya. Salsa mengira ia tidak akan pernah menikah seumur hidup. Tapi, karena suatu keberuntungan, ia kedatangan Raka dan langsung menikah dalam waktu dekat. Walaupun umur Raka dan dirinya berjarak, Raka tetap mencoba berani hubungan yang lebih serius dalam ikatan pernikahan. "Kamu!" Salsa menunjuk Maya dengan kesal. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Maya membalas cibirannya. Maya tak peduli. Yang terpenting saat ini adalah ia tid
"Halo, bagaimana dengan tugas yang aku berikan. Apa kamu sudah melaksanakannya?" Tanya Hartono dengan seseorang melalui telepon. Hartono berdiri menatap kaca yang menampilkan pemandangan kota, gedung pencakar langit dengan sedikit kabut yang menghalangi. Suara perempuan dari seberang telepon menjawabnya. "Sudah, aku menemukan keberadaan Raka. Tenang saja, aku sudah mengenalnya. Percayalah, Raka tidak akan bisa kabur lagi.""Kapan kamu memberikanku imbalan 50 juta?" Tanyanya dengan suara menggoda dan sedikit genit. Ya, Hartono memang menjanjikan imbalan 50 juta bagi siapapun yang berhasil menemukan Raka dan membawanya kenbali pulang ke rumah. "Aku minta kamu transfer sekarang. Aku harus shopping banyak, Mas," tuntutnya tak sabaran. Siapa yang tidak tergiur uang sebanyak itu. "Kamu, belum membawa Raka pulang. Aku tidak bisa mentransfer uangnya sekarang. Bekerjalah dengan becus," Hartono mengakhiri teleponnya, ia memijat pelipisnya yang terasa pusing. Sedangkan disisi lain, seorang
Disinikah, Raka. Sekolah TK yang ramai pedangang. Mata Raka hanya mencari sosok Manda. Raka melangkah perlahan, ia menatap satu persatu pedagang yang berjejer. Manda menjual pisang coklat. Ada pedangang cilok, cireng, sosis goreng, terambulan, dan crepes. Tapi ia tidak menemukan Manda. "Permisi, apa disini ada pedaganga baru?" Raka bertanya ke pedagang crepes. Pedangang yang letaknya berada di paling ujung sekolah TK. "Pedangang baru?" Pria berperawakan gagah dengan kumis tebal itu mengernyit. Ia berpikir sejenak dengan apa yang di cari Raka. "Sepertinya, tidak ada, Mas. Pedagang disini masih sama. Tidak ada kedatangan pedangang baru," ia menjawabnya. Sembari melayani pembeli anak-anak TK yang sedang beristirahat. "Oh, ya. Terima kasih," Raka tersenyum. Ternyata Manda tidak ada. Lalu, kemana Manda sekarang? "Sama-sama, Mas. Itu dua ribuan, nak. Ya, sebentar ya. Tunggu," ia melayani anak-anak TK dengan telaten dan sabar. Ia membuat crepes diatas teflon. Raka bingung, apakah Ma
Raka meneguk salivanya, yang benar saja menjadi pacar? Raka berusaha tetap tenang. "Kalau jadi pacar, kenapa?" Ia penasaran, mungkin ia sering di ajak jalan dengan Syila dan ia bisa membawa makanan bungkus untuk Maya dan Manda. Ah, tapi itu terlihat jahat. "Apapun yang Mas inginkan, aku kabulkan. Oh, dan ini penawaran satu kali. Tidak ada kesempatan kedua. Pikirkan baik-baik ya, Mas. Dan resikonya juga," Syila tersenyum penuh kemenangan, lihat saja Raka pasti lebih memilih menjadi pacarnya daripada kedoknya berselingkuh di ketahui oleh istrinya. "T-tapi, kamu berjanji tidak akan membocorkan ini?" Suara Raka gemetar ketakutan. Ia yang biasanya dingin kepada wanita, sekarang ia tak berdaya dan pasrah. Semua ini karena takdirnya yang berubah drastis usai di usir Hartono. Kekayaan, fasilitas mobil, dan uang di ATM tak bisa Raka memilikinya. Ia pergi dengan tangan hampa, dan sisa uang yang hanya bisa di tarik tidak banyak sebelum ATM-nya di batasi oleh Hartono. "Hmm," Raka bergumam ti
"Beristri? Aku tidak peduli. Siapa tau dia ingin menikah lagi dan mencari istri kedua, ya kan, Mas?" Syila mencolek dagu Raka. "Menjauhlah dariku," geram Raka, kesabarannya sudah habis. Ingin sekali ia mendorong perempuan itu, tapi ia tidak bisa berbuat kasar karena dia perempuan. Syila bukannya menjauh tapi semakin mengeratkan pelukannya. "Syila, hati-hati nanti di marahi Mbak Maya."Syila tak peduli. "Kamu kerja apa, Mas?" "Aku harus berangkat kerja sekarang. Jangan menahanku seperti ini, Syila," Raka memanggil nama Syila penuh penekanan"Wah, kamu memanggil namaku?" Syila membasahi bibirnya, ia tersenyum menggoda. Ia sama sekali tidak malu di perhatikan oleh orang-orang. Raka tersenyum miring. "Kamu mau aku panggil jalang? Ya, sebutan jalang lebih cocok untukmu," ia mengangguk, nama itu terlalu bagus untuk wajah nakal yang memendam sebuah hasrat itu. "Ssstt," Syila menempelkan jari telunjuknya di bibir Raka seakan memerintahkan laki-laki itu tidak bersuara terlalu keras. "Ak
Raka mengobati luka Maya dengan hati-hati. Ia membersihkannya dengan kapas. "Pelan-pelan, Raka! Sakit!" Maya meringis menahan sakit. Ia menatap Raka kesal. Sedangkan Manda yang tidak tau apa-apa mendengar itu pun sedikit curiga."Waduh, apanya yang pelan?" Tanyanya merasa penasaran. Ia meninggalkan dapur sejenak. Ia melangkah mengendap-endap menuju ke kamar Maya. Manda memasang telinganya baik-baik. Ia mendengarkan setiap suara desahan Maya yang terdengar sampai di luar kamar. "Ahh, Raka! Stop!" Manda membungkam mulutnya tak percaya. Mungkinkah mereka sedang melakukannya sekarang? "Wah, sebentar lagi. Aku bakal dapat seorang cucu," Manda menahan senyumannya. Perasaannya riang gembira. Inilah yang paling ia tunggu-tunggu selama ini. Karena sebelumnya ia tidak mendengar apapun dari kamar. Hanya keheningan malam sampai ia begadang dan tidur jam 1 pagi. "Sudah, masih perih?" Raka sudah menetestakan betadine di lutut Maya. Tidak ada lagi darah, ia tidak menutupi luka Maya dengan han
Raka yang merasakan Maya seperti ingin marah, ia mundur beberapa langkah. Ia sedikit takut. Maya mengambil piring itu, ia menyendok nasi dan menyuapkannya pada Raka. "Kamu saja yang makan. Aku belum lapar."Raka yang tidak siap menerima suapan dari Maya pun terbatuk-batuk. "Berhenti, aku tersedak. Tolong jangan memaksaku," pinta Raka memelas, ia menepuk dadanya, ia menelan paksa nasi suapan dari Maya. "Eh ... maaf," Maya dengan sigap meletakkan piring itu di meja nakas. Ia memijat tengkuk Raka. "Maaf banget ya?" Ia merasa bersalah. Melihat raut wajah Maya yang khawatir, hati Raka sedikit senang. Disaat ia sakit, Maya khawatir, tapi jika tidak sakit Maya bersikap ketus. Dengan ini, Raka memanfaatkan keadaan. "Pijat di pundak juga, ya? Aku masih capek. Tadi angkat-angkat semen dan genteng.""Hmm," Maya hanya bergumam. Ia memijat pundak Raka walaupun merasa tidak ikhlas. Ia tau pasti Raka modus dan ingin mencuri kesempatan romantis. "Aku tadi di tanya teman-teman kerjaku. Mereka tan
Maya menggeleng. "Kenapa? Kamu iri ya?" Maya menanggapinya dengan santai. Salsa terbelalak. "Aku tidak iri! Aku juga bisa nikah sepertimu," ia tidak terima. Ia sudah mempunyai pacar, namun ia belum tau apakah hubungannya serius atau sebatas pacaran saja. Maya tersenyum menyeringai. "Buktikan kalau kamu bisa menikah sepertiku. Apakah pacarmu itu pernah memperkenalkanmu ke orang tuanya?" Jedak sejenak, Maya kemudian melajutkan mengucapkan. "Tanyakan itu ke pacarmu, hubungan juga perlu ada tujuannya," perasaannya lega setelah membalas cibiran Salsa yang meremehkannya. Salsa mengira ia tidak akan pernah menikah seumur hidup. Tapi, karena suatu keberuntungan, ia kedatangan Raka dan langsung menikah dalam waktu dekat. Walaupun umur Raka dan dirinya berjarak, Raka tetap mencoba berani hubungan yang lebih serius dalam ikatan pernikahan. "Kamu!" Salsa menunjuk Maya dengan kesal. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Maya membalas cibirannya. Maya tak peduli. Yang terpenting saat ini adalah ia tid
"Aku berangkat dulu ya bu, daripada telat sampai toko," Maya melihat jam tangannya, sudah pukul 6 pagi. Ia harus segera sampai di tempat kerjanya. "Kamu carikan suamimu pekerjaan dong. Kalian kan bisa kerja bareng," Manda tidak tega Raka mencari pekerjaan di desa dengan luntang lantung tanpa mengenal siapapun. Maya menggeleng. "Maaf, bu. Belum ada lowongan. Raka bisa cari pekerjaan di tempat lain saja," tolak Maya mentah-mentah. Ia langsung bergegas pergi. Ia mengambil sepeda dan mengayuhnya. Hanya sepeda menjadi kendaraan satu-satunya untuk berangkat dan pulang kerja. "Maya! Kamu kenapa tidak peduli dengan suamimu?" Manda berdiri dan melangkah ke halaman rumah. Ia sampai lupa tidak menggunakan sandal. Tapi Maya sudah mengayuh sepedanya cukup jauh. Manda tidak bisa mengejar Maya. "Tidak apa-apa, bu. Aku bisa cari pekerjaan sendiri," hati Raka sedikit kecewa saat Maya mengabaikannya dan tidak peduli dengan hidupnya. Ia mengerti kenapa Maya bersikap seperti itu. Mahar yang tidak se
Saat Raka baru saja masuk ke dalam kamar, Maya mengambil tikar dan melemparkannya di lantai. "Kamu tidur disitu saja ya? Jangan coba-coba tidur di sebelahku," ketus Maya. Ia tidak peduli Raka kedinginan, padahal udara di kamarnya terasa hangat. "Kenapa di lantai lagi?" Raka merasa bosan, tidak bisakah ia tidur di samping Maya? Ia tidak akan memeluk wanita itu, ia akan tidur dengan posisi yang membelakangi Maya. "Aku cuma tidak mau kamu bertindak lebih seperti menyentuhku. Kamu harus tau, aku belum siap punya anak," Maya naik diatas kasur, ia merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. "Kasih aku bantal dan selimut," pinta Raka cuek. Tidak mungkin ia tidur tanpa bantal dan selimut. Tidur di lantai membuat kepalanya tidak terasa empuk. "Kamu lihat? Bantalku cuma satu. Dan selimut juga punyaku. Maaf, kamu bisa tidur dengan tikar itu saja sudah cukup," seakan tak mempedulikan Raka, Maya menghadap ke tembok dan memejamkan matanya. Lebih baik ia tidur daripada berbicara terus dengan Raka. S