"Aku berangkat dulu ya bu, daripada telat sampai toko," Maya melihat jam tangannya, sudah pukul 6 pagi. Ia harus segera sampai di tempat kerjanya. "Kamu carikan suamimu pekerjaan dong. Kalian kan bisa kerja bareng," Manda tidak tega Raka mencari pekerjaan di desa dengan luntang lantung tanpa mengenal siapapun. Maya menggeleng. "Maaf, bu. Belum ada lowongan. Raka bisa cari pekerjaan di tempat lain saja," tolak Maya mentah-mentah. Ia langsung bergegas pergi. Ia mengambil sepeda dan mengayuhnya. Hanya sepeda menjadi kendaraan satu-satunya untuk berangkat dan pulang kerja. "Maya! Kamu kenapa tidak peduli dengan suamimu?" Manda berdiri dan melangkah ke halaman rumah. Ia sampai lupa tidak menggunakan sandal. Tapi Maya sudah mengayuh sepedanya cukup jauh. Manda tidak bisa mengejar Maya. "Tidak apa-apa, bu. Aku bisa cari pekerjaan sendiri," hati Raka sedikit kecewa saat Maya mengabaikannya dan tidak peduli dengan hidupnya. Ia mengerti kenapa Maya bersikap seperti itu. Mahar yang tidak se
Maya menggeleng. "Kenapa? Kamu iri ya?" Maya menanggapinya dengan santai. Salsa terbelalak. "Aku tidak iri! Aku juga bisa nikah sepertimu," ia tidak terima. Ia sudah mempunyai pacar, namun ia belum tau apakah hubungannya serius atau sebatas pacaran saja. Maya tersenyum menyeringai. "Buktikan kalau kamu bisa menikah sepertiku. Apakah pacarmu itu pernah memperkenalkanmu ke orang tuanya?" Jedak sejenak, Maya kemudian melajutkan mengucapkan. "Tanyakan itu ke pacarmu, hubungan juga perlu ada tujuannya," perasaannya lega setelah membalas cibiran Salsa yang meremehkannya. Salsa mengira ia tidak akan pernah menikah seumur hidup. Tapi, karena suatu keberuntungan, ia kedatangan Raka dan langsung menikah dalam waktu dekat. Walaupun umur Raka dan dirinya berjarak, Raka tetap mencoba berani hubungan yang lebih serius dalam ikatan pernikahan. "Kamu!" Salsa menunjuk Maya dengan kesal. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Maya membalas cibirannya. Maya tak peduli. Yang terpenting saat ini adalah ia tid
Raka yang merasakan Maya seperti ingin marah, ia mundur beberapa langkah. Ia sedikit takut. Maya mengambil piring itu, ia menyendok nasi dan menyuapkannya pada Raka. "Kamu saja yang makan. Aku belum lapar."Raka yang tidak siap menerima suapan dari Maya pun terbatuk-batuk. "Berhenti, aku tersedak. Tolong jangan memaksaku," pinta Raka memelas, ia menepuk dadanya, ia menelan paksa nasi suapan dari Maya. "Eh ... maaf," Maya dengan sigap meletakkan piring itu di meja nakas. Ia memijat tengkuk Raka. "Maaf banget ya?" Ia merasa bersalah. Melihat raut wajah Maya yang khawatir, hati Raka sedikit senang. Disaat ia sakit, Maya khawatir, tapi jika tidak sakit Maya bersikap ketus. Dengan ini, Raka memanfaatkan keadaan. "Pijat di pundak juga, ya? Aku masih capek. Tadi angkat-angkat semen dan genteng.""Hmm," Maya hanya bergumam. Ia memijat pundak Raka walaupun merasa tidak ikhlas. Ia tau pasti Raka modus dan ingin mencuri kesempatan romantis. "Aku tadi di tanya teman-teman kerjaku. Mereka tan
Raka mengobati luka Maya dengan hati-hati. Ia membersihkannya dengan kapas. "Pelan-pelan, Raka! Sakit!" Maya meringis menahan sakit. Ia menatap Raka kesal. Sedangkan Manda yang tidak tau apa-apa mendengar itu pun sedikit curiga."Waduh, apanya yang pelan?" Tanyanya merasa penasaran. Ia meninggalkan dapur sejenak. Ia melangkah mengendap-endap menuju ke kamar Maya. Manda memasang telinganya baik-baik. Ia mendengarkan setiap suara desahan Maya yang terdengar sampai di luar kamar. "Ahh, Raka! Stop!" Manda membungkam mulutnya tak percaya. Mungkinkah mereka sedang melakukannya sekarang? "Wah, sebentar lagi. Aku bakal dapat seorang cucu," Manda menahan senyumannya. Perasaannya riang gembira. Inilah yang paling ia tunggu-tunggu selama ini. Karena sebelumnya ia tidak mendengar apapun dari kamar. Hanya keheningan malam sampai ia begadang dan tidur jam 1 pagi. "Sudah, masih perih?" Raka sudah menetestakan betadine di lutut Maya. Tidak ada lagi darah, ia tidak menutupi luka Maya dengan han
"Beristri? Aku tidak peduli. Siapa tau dia ingin menikah lagi dan mencari istri kedua, ya kan, Mas?" Syila mencolek dagu Raka. "Menjauhlah dariku," geram Raka, kesabarannya sudah habis. Ingin sekali ia mendorong perempuan itu, tapi ia tidak bisa berbuat kasar karena dia perempuan. Syila bukannya menjauh tapi semakin mengeratkan pelukannya. "Syila, hati-hati nanti di marahi Mbak Maya."Syila tak peduli. "Kamu kerja apa, Mas?" "Aku harus berangkat kerja sekarang. Jangan menahanku seperti ini, Syila," Raka memanggil nama Syila penuh penekanan"Wah, kamu memanggil namaku?" Syila membasahi bibirnya, ia tersenyum menggoda. Ia sama sekali tidak malu di perhatikan oleh orang-orang. Raka tersenyum miring. "Kamu mau aku panggil jalang? Ya, sebutan jalang lebih cocok untukmu," ia mengangguk, nama itu terlalu bagus untuk wajah nakal yang memendam sebuah hasrat itu. "Ssstt," Syila menempelkan jari telunjuknya di bibir Raka seakan memerintahkan laki-laki itu tidak bersuara terlalu keras. "Ak
Raka meneguk salivanya, yang benar saja menjadi pacar? Raka berusaha tetap tenang. "Kalau jadi pacar, kenapa?" Ia penasaran, mungkin ia sering di ajak jalan dengan Syila dan ia bisa membawa makanan bungkus untuk Maya dan Manda. Ah, tapi itu terlihat jahat. "Apapun yang Mas inginkan, aku kabulkan. Oh, dan ini penawaran satu kali. Tidak ada kesempatan kedua. Pikirkan baik-baik ya, Mas. Dan resikonya juga," Syila tersenyum penuh kemenangan, lihat saja Raka pasti lebih memilih menjadi pacarnya daripada kedoknya berselingkuh di ketahui oleh istrinya. "T-tapi, kamu berjanji tidak akan membocorkan ini?" Suara Raka gemetar ketakutan. Ia yang biasanya dingin kepada wanita, sekarang ia tak berdaya dan pasrah. Semua ini karena takdirnya yang berubah drastis usai di usir Hartono. Kekayaan, fasilitas mobil, dan uang di ATM tak bisa Raka memilikinya. Ia pergi dengan tangan hampa, dan sisa uang yang hanya bisa di tarik tidak banyak sebelum ATM-nya di batasi oleh Hartono. "Hmm," Raka bergumam ti
Disinikah, Raka. Sekolah TK yang ramai pedangang. Mata Raka hanya mencari sosok Manda. Raka melangkah perlahan, ia menatap satu persatu pedagang yang berjejer. Manda menjual pisang coklat. Ada pedangang cilok, cireng, sosis goreng, terambulan, dan crepes. Tapi ia tidak menemukan Manda. "Permisi, apa disini ada pedaganga baru?" Raka bertanya ke pedagang crepes. Pedangang yang letaknya berada di paling ujung sekolah TK. "Pedangang baru?" Pria berperawakan gagah dengan kumis tebal itu mengernyit. Ia berpikir sejenak dengan apa yang di cari Raka. "Sepertinya, tidak ada, Mas. Pedagang disini masih sama. Tidak ada kedatangan pedangang baru," ia menjawabnya. Sembari melayani pembeli anak-anak TK yang sedang beristirahat. "Oh, ya. Terima kasih," Raka tersenyum. Ternyata Manda tidak ada. Lalu, kemana Manda sekarang? "Sama-sama, Mas. Itu dua ribuan, nak. Ya, sebentar ya. Tunggu," ia melayani anak-anak TK dengan telaten dan sabar. Ia membuat crepes diatas teflon. Raka bingung, apakah Ma
"Halo, bagaimana dengan tugas yang aku berikan. Apa kamu sudah melaksanakannya?" Tanya Hartono dengan seseorang melalui telepon. Hartono berdiri menatap kaca yang menampilkan pemandangan kota, gedung pencakar langit dengan sedikit kabut yang menghalangi. Suara perempuan dari seberang telepon menjawabnya. "Sudah, aku menemukan keberadaan Raka. Tenang saja, aku sudah mengenalnya. Percayalah, Raka tidak akan bisa kabur lagi.""Kapan kamu memberikanku imbalan 50 juta?" Tanyanya dengan suara menggoda dan sedikit genit. Ya, Hartono memang menjanjikan imbalan 50 juta bagi siapapun yang berhasil menemukan Raka dan membawanya kenbali pulang ke rumah. "Aku minta kamu transfer sekarang. Aku harus shopping banyak, Mas," tuntutnya tak sabaran. Siapa yang tidak tergiur uang sebanyak itu. "Kamu, belum membawa Raka pulang. Aku tidak bisa mentransfer uangnya sekarang. Bekerjalah dengan becus," Hartono mengakhiri teleponnya, ia memijat pelipisnya yang terasa pusing. Sedangkan disisi lain, seorang
"Halo, bagaimana dengan tugas yang aku berikan. Apa kamu sudah melaksanakannya?" Tanya Hartono dengan seseorang melalui telepon. Hartono berdiri menatap kaca yang menampilkan pemandangan kota, gedung pencakar langit dengan sedikit kabut yang menghalangi. Suara perempuan dari seberang telepon menjawabnya. "Sudah, aku menemukan keberadaan Raka. Tenang saja, aku sudah mengenalnya. Percayalah, Raka tidak akan bisa kabur lagi.""Kapan kamu memberikanku imbalan 50 juta?" Tanyanya dengan suara menggoda dan sedikit genit. Ya, Hartono memang menjanjikan imbalan 50 juta bagi siapapun yang berhasil menemukan Raka dan membawanya kenbali pulang ke rumah. "Aku minta kamu transfer sekarang. Aku harus shopping banyak, Mas," tuntutnya tak sabaran. Siapa yang tidak tergiur uang sebanyak itu. "Kamu, belum membawa Raka pulang. Aku tidak bisa mentransfer uangnya sekarang. Bekerjalah dengan becus," Hartono mengakhiri teleponnya, ia memijat pelipisnya yang terasa pusing. Sedangkan disisi lain, seorang
Disinikah, Raka. Sekolah TK yang ramai pedangang. Mata Raka hanya mencari sosok Manda. Raka melangkah perlahan, ia menatap satu persatu pedagang yang berjejer. Manda menjual pisang coklat. Ada pedangang cilok, cireng, sosis goreng, terambulan, dan crepes. Tapi ia tidak menemukan Manda. "Permisi, apa disini ada pedaganga baru?" Raka bertanya ke pedagang crepes. Pedangang yang letaknya berada di paling ujung sekolah TK. "Pedangang baru?" Pria berperawakan gagah dengan kumis tebal itu mengernyit. Ia berpikir sejenak dengan apa yang di cari Raka. "Sepertinya, tidak ada, Mas. Pedagang disini masih sama. Tidak ada kedatangan pedangang baru," ia menjawabnya. Sembari melayani pembeli anak-anak TK yang sedang beristirahat. "Oh, ya. Terima kasih," Raka tersenyum. Ternyata Manda tidak ada. Lalu, kemana Manda sekarang? "Sama-sama, Mas. Itu dua ribuan, nak. Ya, sebentar ya. Tunggu," ia melayani anak-anak TK dengan telaten dan sabar. Ia membuat crepes diatas teflon. Raka bingung, apakah Ma
Raka meneguk salivanya, yang benar saja menjadi pacar? Raka berusaha tetap tenang. "Kalau jadi pacar, kenapa?" Ia penasaran, mungkin ia sering di ajak jalan dengan Syila dan ia bisa membawa makanan bungkus untuk Maya dan Manda. Ah, tapi itu terlihat jahat. "Apapun yang Mas inginkan, aku kabulkan. Oh, dan ini penawaran satu kali. Tidak ada kesempatan kedua. Pikirkan baik-baik ya, Mas. Dan resikonya juga," Syila tersenyum penuh kemenangan, lihat saja Raka pasti lebih memilih menjadi pacarnya daripada kedoknya berselingkuh di ketahui oleh istrinya. "T-tapi, kamu berjanji tidak akan membocorkan ini?" Suara Raka gemetar ketakutan. Ia yang biasanya dingin kepada wanita, sekarang ia tak berdaya dan pasrah. Semua ini karena takdirnya yang berubah drastis usai di usir Hartono. Kekayaan, fasilitas mobil, dan uang di ATM tak bisa Raka memilikinya. Ia pergi dengan tangan hampa, dan sisa uang yang hanya bisa di tarik tidak banyak sebelum ATM-nya di batasi oleh Hartono. "Hmm," Raka bergumam ti
"Beristri? Aku tidak peduli. Siapa tau dia ingin menikah lagi dan mencari istri kedua, ya kan, Mas?" Syila mencolek dagu Raka. "Menjauhlah dariku," geram Raka, kesabarannya sudah habis. Ingin sekali ia mendorong perempuan itu, tapi ia tidak bisa berbuat kasar karena dia perempuan. Syila bukannya menjauh tapi semakin mengeratkan pelukannya. "Syila, hati-hati nanti di marahi Mbak Maya."Syila tak peduli. "Kamu kerja apa, Mas?" "Aku harus berangkat kerja sekarang. Jangan menahanku seperti ini, Syila," Raka memanggil nama Syila penuh penekanan"Wah, kamu memanggil namaku?" Syila membasahi bibirnya, ia tersenyum menggoda. Ia sama sekali tidak malu di perhatikan oleh orang-orang. Raka tersenyum miring. "Kamu mau aku panggil jalang? Ya, sebutan jalang lebih cocok untukmu," ia mengangguk, nama itu terlalu bagus untuk wajah nakal yang memendam sebuah hasrat itu. "Ssstt," Syila menempelkan jari telunjuknya di bibir Raka seakan memerintahkan laki-laki itu tidak bersuara terlalu keras. "Ak
Raka mengobati luka Maya dengan hati-hati. Ia membersihkannya dengan kapas. "Pelan-pelan, Raka! Sakit!" Maya meringis menahan sakit. Ia menatap Raka kesal. Sedangkan Manda yang tidak tau apa-apa mendengar itu pun sedikit curiga."Waduh, apanya yang pelan?" Tanyanya merasa penasaran. Ia meninggalkan dapur sejenak. Ia melangkah mengendap-endap menuju ke kamar Maya. Manda memasang telinganya baik-baik. Ia mendengarkan setiap suara desahan Maya yang terdengar sampai di luar kamar. "Ahh, Raka! Stop!" Manda membungkam mulutnya tak percaya. Mungkinkah mereka sedang melakukannya sekarang? "Wah, sebentar lagi. Aku bakal dapat seorang cucu," Manda menahan senyumannya. Perasaannya riang gembira. Inilah yang paling ia tunggu-tunggu selama ini. Karena sebelumnya ia tidak mendengar apapun dari kamar. Hanya keheningan malam sampai ia begadang dan tidur jam 1 pagi. "Sudah, masih perih?" Raka sudah menetestakan betadine di lutut Maya. Tidak ada lagi darah, ia tidak menutupi luka Maya dengan han
Raka yang merasakan Maya seperti ingin marah, ia mundur beberapa langkah. Ia sedikit takut. Maya mengambil piring itu, ia menyendok nasi dan menyuapkannya pada Raka. "Kamu saja yang makan. Aku belum lapar."Raka yang tidak siap menerima suapan dari Maya pun terbatuk-batuk. "Berhenti, aku tersedak. Tolong jangan memaksaku," pinta Raka memelas, ia menepuk dadanya, ia menelan paksa nasi suapan dari Maya. "Eh ... maaf," Maya dengan sigap meletakkan piring itu di meja nakas. Ia memijat tengkuk Raka. "Maaf banget ya?" Ia merasa bersalah. Melihat raut wajah Maya yang khawatir, hati Raka sedikit senang. Disaat ia sakit, Maya khawatir, tapi jika tidak sakit Maya bersikap ketus. Dengan ini, Raka memanfaatkan keadaan. "Pijat di pundak juga, ya? Aku masih capek. Tadi angkat-angkat semen dan genteng.""Hmm," Maya hanya bergumam. Ia memijat pundak Raka walaupun merasa tidak ikhlas. Ia tau pasti Raka modus dan ingin mencuri kesempatan romantis. "Aku tadi di tanya teman-teman kerjaku. Mereka tan
Maya menggeleng. "Kenapa? Kamu iri ya?" Maya menanggapinya dengan santai. Salsa terbelalak. "Aku tidak iri! Aku juga bisa nikah sepertimu," ia tidak terima. Ia sudah mempunyai pacar, namun ia belum tau apakah hubungannya serius atau sebatas pacaran saja. Maya tersenyum menyeringai. "Buktikan kalau kamu bisa menikah sepertiku. Apakah pacarmu itu pernah memperkenalkanmu ke orang tuanya?" Jedak sejenak, Maya kemudian melajutkan mengucapkan. "Tanyakan itu ke pacarmu, hubungan juga perlu ada tujuannya," perasaannya lega setelah membalas cibiran Salsa yang meremehkannya. Salsa mengira ia tidak akan pernah menikah seumur hidup. Tapi, karena suatu keberuntungan, ia kedatangan Raka dan langsung menikah dalam waktu dekat. Walaupun umur Raka dan dirinya berjarak, Raka tetap mencoba berani hubungan yang lebih serius dalam ikatan pernikahan. "Kamu!" Salsa menunjuk Maya dengan kesal. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Maya membalas cibirannya. Maya tak peduli. Yang terpenting saat ini adalah ia tid
"Aku berangkat dulu ya bu, daripada telat sampai toko," Maya melihat jam tangannya, sudah pukul 6 pagi. Ia harus segera sampai di tempat kerjanya. "Kamu carikan suamimu pekerjaan dong. Kalian kan bisa kerja bareng," Manda tidak tega Raka mencari pekerjaan di desa dengan luntang lantung tanpa mengenal siapapun. Maya menggeleng. "Maaf, bu. Belum ada lowongan. Raka bisa cari pekerjaan di tempat lain saja," tolak Maya mentah-mentah. Ia langsung bergegas pergi. Ia mengambil sepeda dan mengayuhnya. Hanya sepeda menjadi kendaraan satu-satunya untuk berangkat dan pulang kerja. "Maya! Kamu kenapa tidak peduli dengan suamimu?" Manda berdiri dan melangkah ke halaman rumah. Ia sampai lupa tidak menggunakan sandal. Tapi Maya sudah mengayuh sepedanya cukup jauh. Manda tidak bisa mengejar Maya. "Tidak apa-apa, bu. Aku bisa cari pekerjaan sendiri," hati Raka sedikit kecewa saat Maya mengabaikannya dan tidak peduli dengan hidupnya. Ia mengerti kenapa Maya bersikap seperti itu. Mahar yang tidak se
Saat Raka baru saja masuk ke dalam kamar, Maya mengambil tikar dan melemparkannya di lantai. "Kamu tidur disitu saja ya? Jangan coba-coba tidur di sebelahku," ketus Maya. Ia tidak peduli Raka kedinginan, padahal udara di kamarnya terasa hangat. "Kenapa di lantai lagi?" Raka merasa bosan, tidak bisakah ia tidur di samping Maya? Ia tidak akan memeluk wanita itu, ia akan tidur dengan posisi yang membelakangi Maya. "Aku cuma tidak mau kamu bertindak lebih seperti menyentuhku. Kamu harus tau, aku belum siap punya anak," Maya naik diatas kasur, ia merebahkan tubuhnya yang terasa lelah. "Kasih aku bantal dan selimut," pinta Raka cuek. Tidak mungkin ia tidur tanpa bantal dan selimut. Tidur di lantai membuat kepalanya tidak terasa empuk. "Kamu lihat? Bantalku cuma satu. Dan selimut juga punyaku. Maaf, kamu bisa tidur dengan tikar itu saja sudah cukup," seakan tak mempedulikan Raka, Maya menghadap ke tembok dan memejamkan matanya. Lebih baik ia tidur daripada berbicara terus dengan Raka. S