"Kenapa serius banget gitu sih Mas mukanya? Seminarnya yang dibahas perasaan nggak berat-berat banget," gumam Sasa heran karena Badai terdiam sejak seminar dimulai dan tak mengajaknya bicara sekalipun."Hem?" Badai menoleh, "iya, ya," ujarnya misterius."Udah? Gitu doang tanggapannya?" desis Sasa gemas. "Ada yang lagi kamu pikirin? Selalu deh kamu kalau lagi fokus ke hal laen ekspresi wajahnya begitu," gumam Sasa sedikit kesal juga karena Badai tak mengindahkannya."Nggak ada apa-apa Nduk," dusta Badai. "Pembicaranya dari universitas sebelah kan ya?" tanyanya mengubah topik, sengaja mengalihkan perhatian Sasa agar tidak fokus pada ekspresi dan sikapnya."Iya," Sasa mengangguk. "Dari tadi kamu nggak nyimak sih, makanya nggak tau," sindirnya."Nduk, kamu tau siapa aku," bisik Badai lirih, "umurku udah sebegini tuanya, udah bosen sama yang beginian.""Terus dari tadi mikir apa kamu Mas?""Ehm, ada tersirat di bayanganku soal acara nikahan kita sih," ucap Badai."Nggak mungkin. Bukan soal
"Nggak duduk bareng Ayang?" tegur Nana yang kaget karena Sasa tiba-tiba duduk di sebelahnya."Ayang lagi sibuk sendiri. Badannya ikut seminar tapi nggak tau pikirannya. Na," Sasa memberi jeda pada ucapannya, antara perlu atau tidak bercerita pada Nana. "Ehm, menurut kamu, aku wajar nggak sih nanya sama dia selama sama mantan dia ngapain aja?" tanyanya.Nana melirik Sasa sekejap, "Ngapain yang gimana maksudmu?" tanyanya balik."Ya you know what-lah. Secara, mantan pacarnya itu cantik banget Na, dewasa dan kayak tangguh gitu. Untung nggak keder aku ngehadepinnya," cerita Sasa menggebu."Kalau Badai udah sama kamu dan mantep sama hubungan kalian, menurutku, kamu nggak perlu deh menggali kubur kamu sendiri. Maksudku adalah, tau kenyataan bahwa dia udah ngapain aja sama mantannya yang menurut kamu perfect itu sama aja mancing rasa sakit hati. Kamu bakalan menuntut diri kamu buat bisa menerima kalau itu nggak sesuai bayanganmu, dan itu berat lho Beb," ungkap Nana sangat bijak."Bener juga s
"Mas Badai," Sasa mendesis lirih, tatapannya meredup setelah tahu bahwa orang yang menodongnya dengan senjata api adalah lelaki yang sangat dicintainya.Hening. Badai masih menempelkan ujung senjata apinya di kening Sasa, bibirnya terkatup rapat. Mata teduh Badai itu tetap ada, menatap lekat pada Sasa, memberi kebesaran cinta."Kamu tau kan sekarang, kenapa kupilih Sasa ketimbang kamu? Apa bedanya kamu sama Sasa?" gumam Badai tegas, penuh penekanan. Sorot matanya tak lepas dari manik indah Sasa, tapi sepertinya ia sedang tidak berbicara dengan calon istrinya ini. "Dia tau aku bisa menyakitinya kapan aja," desisnya lantas menurunkan arah todongan senjatanya di dada Sasa. "Tapi dia nggak pernah hilang percaya sekalipun ke aku," lantas, ia toleh ke samping kirinya.Sasa ikut menoleh, di sanalah Arleta duduk di kursi kayu, dijaga oleh Lion dan juga Anung. Sorot mata penuh amarah yang meluap juga kekecewaan yang mendalam muncul dari ekspresi wajah berantakan itu."Buat apa sih ini Dai?" de
"Kamu nggak akan berani!" tantang Arleta melotot."Nung, coba kasih tau sama kakak cantik ini SOP kita," desis Badai penuh kebekuan.Anung mengangguk, "Jika terjadi sesuatu dalam misi dan itu mengancam kerahasiaan seluruh anggota tim termasuk kelancaran operasi, tim berhak melenyapkan segala bentuk tindakan perlawanan, termasuk ijin penghilangan nyawa!" ungkapnya."Kamu nggak akan tega, Dai," ucap Arleta meremehkan."Kalaupun Badai nggak tega," Lion angkat bicara, "gue yang bakalan eksekusi," ujarnya tanpa tawanya yang biasa."Cuma dua orang yang tau identitas kami sebagai prajurit yang kuliah di kampus ini, kamu dan Sasa," kata Badai belum menurunkan senjatanya. "Kalau sampe kami mengalami kegagalan misi karena bocornya informasi, pelakunya nggak laen adalah Arleta," tuduhnya menohok."Nggak bisa gitu! Apa salahku sih Dai? Aku penasaran sama hubungan kalian, aku pikir kalian cuma pura-pura saling cinta, makanya aku cari tau ke sini dan aku ketemu fakta soal kamu yang jadi mahasiswa j
"Please, masuk dulu ke mobil ya," kata Badai akhirnya, setelah terdiam cukup lama.Merasa bersalah karena tindakan spontannya, Sasa akhirnya menurut. Ia masuk ke dalam mobil, menunggu Badai yang juga masuk ke kursi kemudinya dengan sabar. Saat Badai melajukan mobil dengan mode mengebut malaikat maut, Sasa tak berkomentar. Ya, meski jantungnya berdebar sangat kencang karena sepanjang mereka berhubungan, Badai tidak pernah menyetir seliar ini."Kita ke kost?" gumam Sasa saat tiba di tempat tujuan mereka."Aku nggak mau kamu salah paham terus Nduk, kita nikah tinggal 2 minggu lagi.""Kamu tau kita nikah 2 minggu lagi tapi apa tadi Mas? Nggak ngerti aku tu," protes Sasa memunculkan sikap ABG labilnya.Siapa yang tidak cemburu dan marah ketika melihat calon suaminya bertemu sang mantan dan Sasa justru ditodong senjata tanpa persiapan seperti tadi? Bukan hanya Sasa, perempuan manapun pasti akan syok jika mengalaminya sendiri.Badai tak buru-buru menanggapi Sasa. Ia memilih turun dari mobil
"Aku ditodong handgun di depan mantan pacar kamu!""Iya, aku tau. Kamu pasti kaget dan kecewa," ucap Badai. "Maafin aku ya, Nduk,""Ngambek," balas Sasa ketus.Mendengar ucapan Sasa, Badai justru tersenyum. Cara Sasa ngambek cukup imut, dan gadis cantik berumur 18 tahun ini tidak pernah gagal menyamankan hati Badai."Ngetawain?" Sasa melotot."Kamu itu lucu, Sa, gemes jadinya kalau liat kamu ngambek begini. Makasih udah ngambek," kata Badai geli."Orang ngambek malah diketawain!" sungut Sasa. Ia berdiri dari kursi belajar di pojok ruangan, "aku pulang sendiri!" tukasnya."Nope!" Badai langsung bergerak dan menahan pergelangan tangan Sasa. "Aku ikut ke manapun kamu pergi!" tegasnya.Karena Sasa terus meronta, Badai menyentak genggamannya di pergelangan tangan Sasa. Tak seimbang, Sasa langsung terhuyung, jatuh ke pelukan Badai tanpa ampun. Jika sudah begitu, Sasa tahu ia tidak akan bisa lepas dari cengkeraman sang Alpha. Badai memeluk erat pinggangnya dan melancarkan aksi brutal lagi de
Sebagai calon istri personel pasukan elite khusus, Sasa bukannya tanpa diseleksi oleh kesatuan dari mana Badai berasal. Semua berkas mengenai latar belakang termasuk hasil tes kesehatannya, sudah diserahkan jauh-jauh hari, sebelum hari pernikahan itu datang. Semua syarat pernikahan baik secara kedinasan, agama dan negara sudah diurus dan dipenuhi, termasuk mendatangi Damar secara resmi sebagai Panglima Tentara dan ayah dari calon mempelai perempuan."Maaf untuk tertundanya resepsi dan prosesi pedang pora-nya ya Nduk," gumam Badai saat ia mengiringi langkah Sasa keluar dari ruangan kerja Damar."Aku nggak sedih atau kecewa kok Mas, tenang aja," jawab Sasa masih dengan mata berbinar bahagia menatap lekat pada calon suaminya."Kamu ngeliatin apa sih?" tanya Badai bingung, ia meneliti sendiri tubuhnya."Enggak," Sasa menggeleng, sedikit tersipu. "Aku berasa ngeliat kamu pas pertama kali aku tau identitas aslimu, Mas. Kaget sih waktu itu, kenapa liat orang mirip banget sama Badai, tapi pak
Lelaki yang dipanggil Dito oleh Sasa ini nampak mengangguk pelan pada Badai yang memberi penghormatan padanya. Situasi aneh dan canggung itu membuat Sasa segera tersadar bahwa pangkat Dito ada satu level di atas Badai."Mas Dito, dulu sempet setengah tahun jadi ajudannya Ayah, Mas," kata Sasa mewakili Dito."Ndan," Badai mengangguk hormat, "Badai," katanya memperkenalkan diri."Indonesian Special Force," Dito tersenyum ramah. "Jadi, aku jelas ditolak ya Sa?" tanyanya menoleh Sasa."Apa sih Mas!" Sasa tertawa.Jauh sebelum Badai mengenal Sasa dan ditugasi untuk melindunginya, Sasa sudah membuat Dito jatuh hati. Meski tak sempat mengungkap perasaan, Dito sangat dekat dengan Sasa, bagai pengganti Ernest yang tak hidup serumah dengannya."Langgeng ya berdua, semoga aku dapet undangan terbatasnya," ucap Dito santai."Mau diundang?" tawar Sasa genit."Mau dong," kekeh Dito. "Lancar semuanya, sedih sebenernya aku, tapi
"Gimana?" Sasa mengulum bibirnya dengan tatapan yang tak lepas dari sang suami, ia bahkan menahan napas."Enak," ucap Badai sambil manggut-manggut. "Rada asin," tambahnya membuat ekspresi Sasa berubah."Maaf, Mas tau aku nggak bisa masak," cengir Sasa merasa bersalah. Ia tarik mangkok sop ayam yang tengah dinikmati suaminya. "Jajan di luar aja yok Mas, ini nggak layak makan," katanya."Siapa bilang? Enak kok," kata Badai tulus. "Apapun itu kalau dari tangan kamu, pasti kumakan," ujarnya begitu manis, ia ambil lagi mangkok sopnya dari sang istri, ia lahap isinya rakus."Jangan gitu," hidung Sasa kembang kempis, pertanda ia tengah berusaha untuk tidak bersedih. "Harusnya aku masak yang enak biar Mas seneng, kan tiga hari lagi Mas berangkat," katanya.Surat perintah agar Badai dan timnya segera berangkat ke Papua terbit kemarin sore. Setelah dua minggu melakukan peran sebenar-benarnya sebagai suami-istri di rumah mereka sendiri, kabar yang paling tidak ingin didengar Sasa itu akhirnya da
"Ganteng kan kalau udah pake baju, gemes, pengin di atas," bisik Sasa penuh godaan."Yok, ke sebelah," ajak Badai langsung sigap."Kok jadi serius," Sasa menutup mulutnya spontan. "Mas nggak capek? Abis maen bola juga ih," desisnya."Sekalian capeknya. Lagian kalau kamu yang di atas, aku nggak capek, Nduk.""Kok vulgar gini jadinya kita ngobrolnya ya Mas?"Lalu, tawa mereka berderai ceria. Badai melakukan kebiasaan wajibnya, mengacak rambut Sasa, membuat beberapa mahasiswi lain dari universitas tuan rumah yang ikut dikarantina memekik iri, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sasa sengaja pamer kemesraan di depan mereka, juga di depan Dira yang sudah pasti sedang tak aman posisinya."Ayok sarapan!" ajak Badai menunjuk gedung induk di paling depan, semua aktivitas dari makan termasuk hiburan diadakan di ruangan itu."Emang yang laen udah?""Tuh, Ramdan udah ngusap sekitar bibirnya. Udah selesai dia," jawab Badai."Mas udah laper? Aku kok belom. Pengin sarapan yang lain," pancing Sasa imut."
"Aku juga baru tau kalau tim penyelamat kita itu semua hobi pamer," desis Sasa geleng-geleng kepala. Bagaimana Nyonya Badai ini tidak merasa heran dan kesal saat mendapati sang suami bersama anggota timnya bertelanjang dada. Benar, Badai hanya mengenakan celana pendek olahraga dengan running shoes bermotif hitam putih saat bermain sepakbola. Sebagai istri sah, Sasa tentu measa tidak rela Badai mengumbar daya tarik seperti itu."Dari semua sesi karantina buat penyembuhan trauma, ini sih sesi healing yang paling manjur menurutku," cengir Nana puas sekali."Kebanyakan dari mereka emang bertato ya Dek," kata Wulan ikut menatap takjub. "Tadi gue liat ada juga yang telinganya bertindik," tambah Karin tak kalah terpesonanya. "Sasa beruntung dapet yang paling ganteng, damage-nya nggak ada obat pula," katanya kagum."Kalau dia begitu keselku muncul lagi," gumam Sasa lagi-lagi keceplosan. "Kesel kenapa? Bukannya kalian bulan madu?" bisik Nana yang akhirnya benar-benar diberi pengertian ke ma
"Aku minta maaf, nggak akan keulang yang begini lagi, janji!" ikrar Badai serius sekali. "Janji, janji, kebanyakan janji nanti nggak bisa nepatin, sekalinya mau nepatin malah nyakitin," sindir Sasa telak. "Salah lagi akunya." "Lha Mas ngerasa salah nggak?" suara Sasa meninggi lagi. "Iya ngerasa, aku tau aku salah makanya aku minta maaf." "Kalau ngerasa gitu, cancel semua bantuan yang udah Mas atur buat Arleta. Berani?" dagu Sasa terangkat, menantang. "Nduk, kamu boleh marah tapi jangan sampe hilang empatimu buat sesama perempuan," pinta Badai kalut. "Aku ngetes Mas tau nggak!" sengal Sasa tak tahan. "Aku nyoba liat reaksi Mas kayak gimana, ternyata Mas masih belom bisa misahin antara peduli sama Arleta dan ngejaga perasaanku!" sergahnya siap menangis lagi. "Mas harusnya kenal siapa istri Mas! Nggak mungkin aku serius nyuruh Mas ngebatalin itu semua!" Hening. Badai meraup wajahnya frustasi. Ia berdiri dari ranjang tanpa bicara lagi, serasa yang ia ucapkan pada sang istri
Kediaman panjang pasangan baru ini masih berlangsung hingga lewat tengah malam. Badai takut untuk memulai pembicaraan lagi, pun dengan Sasa yang enggan bertanya atau tangisnya akan pecah lagi-lagi. "Nduk," Badai memberanikan diri memanggil Sasa. "Kamu udah tidur?" tanyanya. "Belom, masih sedih dan pengin nangis," jawab Sasa terdengar sangat imut. Badai tersenyum simpul, semarah apapun Sasa, celetukannya benar-benar membuat Badai selalu merasa dimabuk cinta. Namun Badai harus serius jika itu mengenai Arleta dan perasaan istrinya. "Aku bodoh ya Nduk?" gumam Badai. "Sebenernya aku males kita berdebat kayak gini Mas. Ngabisin energi, saling nyakitin," ujar Sasa. Tampak bahunya sedikit bergetar, tanda ia masih sedikit emosi. "Aku nggak pengin mendebat kamu Nduk," sangkal Badai polos sekali. "Iya Mas bilang gitu, tapi nggak sadar kalau sikap Mas udah nyakitin aku. Sadar nggak kalau kita lagi dalam kondisi begini itu pertahanan kita sama-sama aktif? Kita sama-sama merasa b
Sementara, Sasa yang akhirnya merubah posisi berbaringnya menjadi setengah duduk dengan bersandar di leher ranjang, menatap suaminya penasaran. Seandainya Badai tahu bahwa Sasa ingin Badai menyalakan pengeras suaranya jadi Sasa bisa ikut mendengar isi percakapan itu. Begitu mematikan sambungan, Badai beranjak dari ranjang. Ia meletakkan ponselnya di atas nakas lagi, tapi ia berjalan menuju gantungan baju, memakai kemeja dan jaketnya. "Aku keluar bentar ya Nduk, ada urusan dikit, nggak lama kok," pamit Badai seraya menyambar ponselnya dan berjalan keluar kamar tanpa memberi penjelasan apapun pada sang istri. Hanya anggukan lemah yang Sasa berikan. Sasa sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa menanggapi tingkah laku absurd Badai kali ini. Tidakkah Sasa baru saja diabaikan karena sebuah telepon dari sang mantan? Padahal, sebelum ada panggilan dari Arleta, keduanya tengah mengobrol mesra."Mungkin emang penting Sa, jangan emosi, dengerin penjelasannya dulu ya," kata Sasa berusaha m
"Aku diminta sama tim buat ikut nanyain Dira and the gang," lapor Badai pada sang istri tepat saat Sasa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Ijin untuk menginap di hotel di sebelah gedung karantina sudah didapat, Damar memperbolehkan selama aktivitas di siang hari, Sasa dan Badai tetap mengikuti jadwal. Oleh karena itu, Badai baru bisa mengajak sang istri beristirahat di hotel yang sudah dipesannya di atas pukul 8 malam. "Terus Mas jawab mau?" gumam Sasa langsung meminta bantal pada lengan Badai dan menyusup nyaman di celah ketiak sang suami. Mereka berbaring berdampingan kini. "Aku harus mau. Karena kita kan pernah satu kelas sama Dira dan tim menganggap kalau seenggaknya aku cukup paham karakternya. Di samping itu, kalau aku yang coba nanyain, kecil kemungkinan Dira bakal berkilah," sebut Badai. "Aku sih ngedukung kalau Mas yang nanyain Dira, biar dia tau siapa Mas dan kayak apa pengaruh Mas. Kadang kesel juga kalau ngeliat cara dia mandang Mas, ngeremehin gitu. Mungkin dia mas
"Idih," Sasa berjenggit, "makanya aku minta banget buat nyelidikan dia, bisa aja dia dimanfaatin sama Diaz buat gimana-gimana kan?" "Iya, masuk akal kalau itu sih," Badai manggut-manggut setuju."Mas, kalau boleh tau, jenazah Diaz sama teroris yang laen dibawa ke mana?" tanya Sasa mengubah topik. Meski yang ia tanyakan nampak serius, pandangannya tak lepas dari permainan bola voli receh para mahasiswa yang tengah berlangsung. "Untuk saat ini masih ditahan pihak intelejen buat kepentingan laporan. Nanti bakalan dikirim ke keluarga masing-masing, yang jelas meskipun nama asli mereka dirilis, kita udah minta ke pihak warga sekitar buat tetep menerima jenazahnya dan memperlakukan keluarga mereka sama kayak yang laennya," sebut Badai rinci. "Keluarganya nggak salah sih, menurutku mereka gampang terpengaruh sama ideologi yang menuntut makar begitu karena mereka jauh dari keluarga. Kebanyakan kan mereka anak-anak rantau semuanya," kata Sasa terdengar miris. "Ironis ya Nduk," Badai tersen
Sasa menggaruk bagian belakang kepalanya untuk menghindar dari Dira. Namun, seakan tak terima dengan pengakuan Sasa, Dira menarik lengan Sasa kasar."Kalian baru pacaran, nggak usah ngaku-ngaku sok jadi istrinya, belom tentu nikah juga!" kata Dira geram. "Dia emang istri gue," sambar Badai yang entah sejak kapan mendatangi tempat istrinya diserang oleh Dira dan geng. Lokasi yang seharusnya dijadikan tempat untuk senam pagi justru diubah Dira menjadi spot menggosip ria. Mendengar ucapan Badai, tentu saja Dira and the geng tidak langsung percaya. Apalagi ekspresi kesal Dira makin menjadi saat Badai memeluk pundak Sasa protektif. "Mas, jangan ladenin mereka," pinta Sasa pada suaminya."Harus diladenin yang begini. Sampe kamu todong senjata aja dia nggak kapok. Hatinya udah penuh iri sama dengki," ujar Badai. "Kami udah nikah, sah secara agama dan negara, kalau lo perlu bukti, nanti gue buktiin. Berhenti menekan istri gue dan berusaha mem-bully-nya. Lo nggak akan pernah tau akibat apa