Harapan yang Sasa gantung setinggi langit itu perlahan runtuh seiring waktu yang berjalan. Langkahnya sendirian, ia ditinggalkan oleh kenyataan yang ia pegang kuat sebagai tumpuan. Sejak menjalani prosedur dilatasi dan kuretasi hingga ia sembuh dan bisa beraktivitas kembali seperti saat ini, kabar mengenai sang suami masih belum pasti. Badai menyimpang dari lima bulan perkiraan kepergian, enam bulan sudah Sasa berjuang dalam kerinduan, rasa sakit dan ketakutan. Kini hati dan pundaknya mulai membatu, ia bak manusia yang tak memiliki cara untuk berinteraksi, praktis, Sasa benar-benar menutup diri."Akhirnya gue bisa ngundang Sasa, Sakura Kadita Rumi, ke acara istimewa gue setelah sekian lama," ucap Lia Lala, seorang konten kreator pengelola podcast dengan followers jutaan itu sambil tersenyum lega."Iya," Sasa ikut menarik lengkung bibirnya, "butuh waktu yang cukup lama buat bisa muncul di depan publik kayak gini," tukasnya."Dari berita terakhir yang muncul mengenai lo, gue tau banget
"Kenapa saat berita itu meledak lo memilih untuk bungkam dan nggak ngasih pernyataan apa-apa? Pun dengan keluarga lo dan keluarga suami lo?" tanya Lia lagi, setelah Sasa meneguk air mineral yang sengaja ia sediakan."Saat itu suami gue lagi dalam tugas yang sangat penting dan kesatuan hilang kontak sama timnya, percuma gue ngomong ke media kalau gue nggak bisa buktiin siapa bapak dari anak gue," desis Sasa benar adanya."Gila," Lia tertawa dengan tatapan takjub ke arah Sasa. "Lo serius kan ini?" tanyanya berusaha memastikan lagi."Serius, gue bawa surat nikah gue kalau lo perlu bukti. Ada juga foto pas ijab kabul, tapi identitas suami gue nggak boleh bocor dulu," kata Sasa membuat syarat."Sekarang gini deh, keguguran yang lo alami dan diubahnya berita jadi lo aborsi janin lo itu, suami lo tau nggak?" desis Lia tampak syok."Enggak," jawab Sasa cepat. "Suami gue masih di medan tugas, sampe sekarang, keberadaannya, kondisinya masih hidup atau enggak, gue juga nggak tau pasti. Kami ngga
Sasa mengitarkan pandangannya nyalang, mencari-cari sosok Badai. Ia berusaha bangun dari posisi berbaringnya, tapi sebuah tangan menahan pundaknya. Harapan Sasa begitu menggantung besar, ia yakin bahwa kejadian sebelum ia pingsan bukanlah mimpi, Badai nyata ada di depannya. "Sasa tenang dulu, ya," suara lembut Ran menyadarkan Sasa. "Bunda," Sasa menoleh enggan, ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Badai adalah bunga tidurnya. "Kamu kecapean, banyak pikiran, makanya kamu jatuh pingsan di studionya Lia," terang Ran lirih sambil mengusap-usap punggung putrinya. Sasa meraup wajahnya frustasi, sudah berulang kali ia dihantui mimpi yang sama, kedatangan Badai yang tak ia sangka-sangka. Namun, tiap kali ia membuka mata, semua bak fatamorgana di padang pasir yang merana, hilang ditelan kefanaan yang ia cipta dengan sendirinya. "Iya, harusnya aku nggak berharap terlalu tinggi pada mimpi yang kubangun buat ngehibur diri sendiri ini," gumam Sasa mengembus napas kasar, "aku nggak pa-pa B
Untuk sementara, baik Sasa maupun Badai tak ada yang bicara. Keduanya lebih fokus melepas rindu, pun Sasa yang tidak ingin mengganggu pertemuan penuh haru ini dengan banyak pertanyaan yang ia simpan rapat di kepala. Melihat Badai nyata di depannya dan bernyawa saja sudah mukjizat yang tak ingin ia lewatkan. "Tangan kiri Mas kenapa?" tanya Sasa setelah ia sudah jauh lebih tenang dan Badai duduk di kursi tunggu sebelah ranjangnya. Ialihat Badai menggendong tangan kirinya dengan perban, mencurigakan."Kontra sniper," jawab Badai tenang sekali. Ia usap pipi Sasa yang masih meninggalkan bekas air mata. Sasa mengangguk, kepalanya menunduk. Air mata Sasa lagi-lagi mengalir, lama-kelamaan semakin bertambah deras dan terdengar isaknya. "Bayi kita," suara Sasa tersendat, ia tak sanggup melanjutkan ucapannya. "It's okay," Badai paham situasi, ia usap kepala istrinya agar mendongak. "Bukan salah kamu, berhasil sampe sejauh ini aja aku udah bersyukur banget. Kamu setegar dan sekuat harapanku,"
"Aku masih harus nunggu hasil pemeriksaan, kamu pulang sama Bunda dulu aja nggak pa-pa Nduk," pinta Badai saat Sasa mendatanginya di sebuah kursi tunggu. "Setelah nggak ketemu sama suamiku hampir setengah tahun dan aku butuh banyak penjelasan dari semua itu, Mas minta aku pulang sama Bunda? Mas nggak cuma jahat, kejam dan sadis!" cerca Sasa ketus. Badai terlihat menahan tawanya, inilah bagian terbaik yang selalu ia rindukan dari bersama Sasa. Celetukan-celetukan polos istri Badai ini membawa mood tersendiri baginya. Itulah yang selalu membuat Badai yakin bahwa Sasa akan baik-baik saja bahkan jika harus tanpanya. "Kayaknya bakalan lama deh hasil pemeriksaanku juga," desis Badai tak henti mengusap kepala istrinya. "Wajah yang nggak pernah ilang sedikitpun dari pikiranku selama kami memutus kontak," gumamnya penuh tatapan mendamba pada Sasa."Aku tetep bakalan nunggu. Nungguin Mas pulang selama ini aja aku sanggup, apalagi cuma nunggu hasil pemeriksaan. Luka tembak kan?" tebak Sasa me
"Terus Bunda pulangnya gimana?" tanya Badai perhatian. "Dijemput Ayah langsung, biar nanti sopir Ayah yang bawa mobil Bunda," jelas Ran. "Kalian dianter Mas Tyo," tambahnya. "Kalau Bunda dijemput Ayah berarti aman," gumam Sasa. "Biar aja gitu, kencan yang tua nyaingin kita yang muda. Padahal kita yang mau kangen-kangenan," desisnya iri. "Iri? makanya jangan berdebat terus!!" ledek Ran gemas. "Kalian jalan duluan, Bunda nggak pa-pa di sini nunggunya," usirnya pada Sasa dan Badai. "Nggak usah nunggu," Sasa mengedikkan dagunya ke arah lorong, "pangeran berkuda poni Bunda udah dateng," kekehnya iseng. Badai tertawa spontan mendengar celetukan Sasa. Namun, ia berdiri sigap setelahnya dan memberi penghormatannya pada sang panglima. Damar membalas penghormatan itu dengan tatapan lega, cukup bahagia karena Badai menepati janjinya untuk pulang dengan tetap bernyawa. "Lettu Akai Badai Bagaspati, mulai hari ini dan beberapa waktu ke depan, kamu, saya bebas tugaskan!" ujar Damar serius sete
"Ehem,"Badai berdehem seraya memejamkan matanya untuk menahan sakit. Setelah Badai pulang dan mendapat banyak hari cuti, Sasa memutuskan untuk kembali ke rumah pribadi mereka dan tidak lagi menginap di rumah sang ayah. Lagipula, dengan tinggal di rumah sendiri, Badai dan Sasa akan lebih bebas melepas rindu."Ada ya orang jago nembak kepala sama dada tapi diobatin lukanya meringis-meringis kesakitan gini," desis Sasa manyun."Gimanapun aku tetep manusia Nduk. Aku punya sisi manjaku sendiri dan itu cuma kutunjukin ke istriku. Lagian, boleh kan manja sama istri yang udah nggak kutemui berbulan-bulan lamanya?" gumam Badai sambil meniup-niup luka robek lebar di lengannya itu."Untung nggak kena tulang ini tu, kalau sampe kena tulang kan bisa berpengaruh ke kemampuan menembak Mas kan?""Iya," Badai membenarkan. "Udah kepalang basah. Aku kudu milih ngorbanin timku atau pasang badan, kupilih pasang badan biar timku bisa keluar dari barak dulu baru aku yang paling terakhir," ceritanya."Mas l
Badai menggeleng lemah, "Mereka yang ngarahin senjatanya ke tim langsung kulumpuhin, kubidik tangan dan kakinya. Langsung diamanin sama Raider 2, diobatin, biar tetep selamat. Umur mereka masih muda, ideologi yang tercetak di kepalanya masih bisa diperbaiki. Tapi kalau yang sekiranya bawa bom atau basoka, terpaksa dilumpuhkan selamanya," jawabnya dengan suara bergetar, tersirat penyesalan di sana."Aku paham," kedua tangan Sasa menangkup rahang Badai. "Bukan salah Mas Badai, jangan jadi beban pikiran ya Mas," hiburnya lembut.Senyum Badai terkembang, ia peluk seketika tubuh mungil sang istri dengan sebelah tangannya yang tidak terluka. Ia tenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sasa, mencari kenyamanan dan kehangatan di sana."Aku pengin banget melepas rindu, tapi tangan Mas Badai kayaknya lagi nggak bisa diajak enak-enak," bisik Sasa nakal."Hem?" Badai menegakkan kepalanya, melirik wajah cantik istrinya sebentar, "siapa bilang nggak bisa enak-enak? Yang sakit kan tangannya, bukan nagan
Interaksi mesra keduanya, juga candaan Badai yang kini seringkali menghangatkan suasana membuat Sasa tak hanya menikmati bulan madu mereka, tapi juga menyembuhkan semua rasa sakit yang bertubi diterimanya. Badai membuat Sasa tidak pernah menyesali satupun keputusan yang diambil setelah mereka saling mengenal dan berbagi rasa, termasuk kekecewaan saat tahu bahwa Badai pernah dinikmati perempuan lain. Kini, Sasa sudah berlapang dada menerimanya. Ia juga tak mau ambil pusing dengan apapun yang Arleta perbuat untuk meretakkan hubungannya dengan Badai. Semakin lama, ia akan kebal dengan sendirinya."Cari makan di pinggiran danau aja ya Yang?" tawar Badai setelah ia dan Sasa siap untuk menikmati sore hari Luzern yang menawan."Emang ada yang buang Mas?" tanya Sasa polos sekali."Yang buang?" alis Badai bertaut."Lha katanya mau nyari," gumam Sasa."Apa sih Nduk," Badai terbahak. "Maksudku beli, bukan nyari dalam arti yang sebenernya," terangnya."Iya, aku juga cuma bercanda, bukan karena ak
Adalah Luzern, kota kecil dengan pemandangan indah nan romantis di malam hari ini yang akhirnya ditetapkan Sasa dan Badai untuk menghabiskan sisa waktu 8 hari mereka setelah dua hari tinggal di Frankfurt, Jerman. Badai tahu, Luzern adalah kota sempurna bagi ia dan Sasa untuk menumbuhkan cinta, merajut kembali asa pernikahan mereka yang sempat koyak karena perpisahan dan rasa sakit yang sempat melanda. Suasana kota yang tenang, aroma angin yang manis, juga pemandangan alamnya yang menakjubkan langsung membuat Sasa jatuh cinta. "Kota ini adalah pilihan yang tepat banget buat bulan madu," bisik Sasa sambil sesekali menggigiti telinga suaminya sensual. Badai tersenyum simpul, tangannya sudah menangkup kedua dada Sasa yang tanpa balutan. Musim dingin baru saja berlalu, cuaca menghangat, matahari bersinar cerah. Baru siang tadi mereka tiba di hotel dan berniat untuk berjalan-jalan sore harinya. Alih-alih beristirahat, sang pengendali naga tak tahan untuk melakukan aksinya."Aku goyang Mas
"Bentar," Badai menepuk pundak istrinya sebentar dan berjalan mendekati seorang petugas avsec di dekat pintu keberangkatan bandara.Melihat keanehan suaminya dan bagaimana Badai dan dirinya dikawal oleh petugas itu menuju check in counter tentu saja membuat Sasa bingung. Namun, ia tidak banyak bertanya, ia ikuti saja langkah Badai yang melepas genggaman tangannya untuk mengurus dokumen keberangkatan bulan madunya."Kenapa sih Mas? Ada masalah sama dokumen kita?" tanya Sasa sambil melempar senyum dan melambaikan tangan pada beberapa orang wartawan."Enggak, aman aja," jawab Badai."Terus tadi ngapain?" gumam Sasa penasaran."Badai kudu dipisahin sama pacarnya kan kalau lagi naek pesawat?""Hem?" dahi Sasa berkerut, bingung dengan maksud sang suami. "Aku? Kita nggak bisa duduk deketan di pesawat?" tanyanya sedikit panik."Nggak gitu," Badai menahan tawa. Dibawanya Sasa duduk setelah tiba di executive lounge. "Ini kan penerbangan sipil, handgun-ku musti didaftarin dulu dan dititipin, ala
Arleta tercekat, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa selain lanjut berjalan dan turun dari pelaminan. Hatinya tak menyangka, Badai akan sekejam itu padanya dan keluarga."Siapa Ibuk?" tanya Sasa heran."Mamanya," desis Badai. "Aku biasa manggil Ibuk ke beliau," tambahnya.Sasa mengulum bibir merah meronanya, hatinya tergerak, "Mungkin kita nggak boleh terlalu kejam Mas. Sekedar jenguk pun aku nggak akan keberatan," ujarnya."Aku udah nitip salam, itu udah cukup Nduk," kata Badai mantap. "Aku harus jaga perasaan banyak orang, sedangkan dia justru berusaha menyakiti dirinya sendiri dan mamanya dengan memelihara harapan. Aku sekarang adalah suami orang. Banyak pelajaran yang kuambil setelah kita sama-sama dipisahkan. Jadi, biarin kujaga kamu dan keluargaku sebaik mungkin!" ikrarnya.Sasa tak lagi membantah. Jika ini memang keputusan yang sudah menjadi keyakinan sang suami, ia tinggal mengikuti. Sebenarnya Sasa juga bahagia karena Badai menjadikannya prioritas utama dengan tak lagi memedulik
Akhirnya, apa yang Sasa impi-impikan sebagai pernikahan khayalan masa kecil putri cantik Damar, terlaksana. Berbalut kebaya modern nan elegan, Sasa menuntaskan langkahnya di samping Badai dalam prosesi pedang pora nan sakral. Sebagai tanda jasa karena pengorbanan luar biasa Badai dalam menyelesaikan perlawanan Organisasi Kriminal Bersenjata bersama tim, ia dianugerahi kenaikan pangkat. Kini, Sasa adalah istri seorang Kapten Akai Badai Bagaspati. "Kamu sengaja ngebiarin banyak wartawan yang ngeliput acara kita?" gumam Badai berbisik pada sang istri saat keduanya menyelesaikan prosesi pedang pora dan duduk di pelaminan. Sasa mengangguk, "Iya, biar aku nggak diserang sama rumor jahat lagi. Jadi, nanti kalau aku hamil, aku bisa menikmati kehamilanku dengan bahagia dan tanpa beban. Jujur, aku ngerasa bersalah banget karena selama kehamilanku dulu, aku nggak jaga Gala dengan baik Mas," ungkapnya. "Bukan salah kamu Nduk, semua udah jadi kehendak Allah, gitu kan kata kamu?" "Iya Mas, tapi
Melajukan mobil kesayangan Badai itu meninggalkan halaman rumah, Sasa menemukan jalanan sudah mulai lengang oleh orang-orang yang berangkat menuju tempat kerja. Meski ramai lancar, Badai tetap saja khawatir dan merasa was-was saat sopirnya adalah Sasa, si labil manja nan imut itu."Apa aku perlu nemuin Arleta ya Mas?" tanya Sasa memecah keheningan, setidaknya ia membuat Badai lupa pada ketegangannya."Buat apa?" gumam Badai bingung."Kita nikah udah lama, udah banyak yang terlalui berdua kan ya? Kok dia kayak masih nggak rela ngelepasin Mas Badai gitu.""Terus kamu mau ngomong apa kalau udah ketemu sama dia?" tantang Badai.Sasa mengedikkan bahunya, "Ngobrol sebagai selayaknya perempuan yang udah pernah menikmati Mas Badai," katanya santai sekali."Nduk!" Badai mendesis."Emang bener gitu kan? Setelah dulu nggak berhasil nyerang kepercayaanku ke Mas Badai, sekarang dia nyoba nyerang aku secara mental lewat media sosial," desis Sasa terdengar kesal tapi tak tahu harus bagaimana melampi
Sasa cembetut, matanya tak lepas dari layar ponsel di tangannya. Saat Badai keluar dari kamar mandi seusai mandi pagi, ekspresi yang sama masih ia temui."Something's wrong, Love?" tegur Badai yang langsung menyadari bahwa ada yang aneh di layar ponsel istrinya."Mantan Mas Badai nyebelin deh," sungut Sasa jujur."Kenapa lagi dia?" tanya Badai langsung nyambung."Dia komentar di postingan foto yang aku pasang di Instagram. @arletanyumnyum kan nama akunnya? Childish banget gitu," gerutu Sasa jengah."Kamu emang posting foto apa?""Posting foto Mas Badai. Cuma nggak ngeliatin muka aja sih. Pas kemaren dari rumah sakit itu, aku kan foto punggungnya Mas, lha aku posting pake caption so called him BOJO pake huruf gede semua tulisan bojonya. Lha kok dia tiba-tiba masuk komentar ngatain aku!" lapor Sasa bersungut-sungut."Ngatain apa sih?" tanya Badai sabar."Aku dibilang pelakor! Kan aku kesel, ya emang sih aku pelakor," Sasa tertawa penuh kemenangan, "tapi dia kan war-nya cuma sepihak, aku
Badai menggeleng lemah, "Mereka yang ngarahin senjatanya ke tim langsung kulumpuhin, kubidik tangan dan kakinya. Langsung diamanin sama Raider 2, diobatin, biar tetep selamat. Umur mereka masih muda, ideologi yang tercetak di kepalanya masih bisa diperbaiki. Tapi kalau yang sekiranya bawa bom atau basoka, terpaksa dilumpuhkan selamanya," jawabnya dengan suara bergetar, tersirat penyesalan di sana."Aku paham," kedua tangan Sasa menangkup rahang Badai. "Bukan salah Mas Badai, jangan jadi beban pikiran ya Mas," hiburnya lembut.Senyum Badai terkembang, ia peluk seketika tubuh mungil sang istri dengan sebelah tangannya yang tidak terluka. Ia tenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sasa, mencari kenyamanan dan kehangatan di sana."Aku pengin banget melepas rindu, tapi tangan Mas Badai kayaknya lagi nggak bisa diajak enak-enak," bisik Sasa nakal."Hem?" Badai menegakkan kepalanya, melirik wajah cantik istrinya sebentar, "siapa bilang nggak bisa enak-enak? Yang sakit kan tangannya, bukan nagan
"Ehem,"Badai berdehem seraya memejamkan matanya untuk menahan sakit. Setelah Badai pulang dan mendapat banyak hari cuti, Sasa memutuskan untuk kembali ke rumah pribadi mereka dan tidak lagi menginap di rumah sang ayah. Lagipula, dengan tinggal di rumah sendiri, Badai dan Sasa akan lebih bebas melepas rindu."Ada ya orang jago nembak kepala sama dada tapi diobatin lukanya meringis-meringis kesakitan gini," desis Sasa manyun."Gimanapun aku tetep manusia Nduk. Aku punya sisi manjaku sendiri dan itu cuma kutunjukin ke istriku. Lagian, boleh kan manja sama istri yang udah nggak kutemui berbulan-bulan lamanya?" gumam Badai sambil meniup-niup luka robek lebar di lengannya itu."Untung nggak kena tulang ini tu, kalau sampe kena tulang kan bisa berpengaruh ke kemampuan menembak Mas kan?""Iya," Badai membenarkan. "Udah kepalang basah. Aku kudu milih ngorbanin timku atau pasang badan, kupilih pasang badan biar timku bisa keluar dari barak dulu baru aku yang paling terakhir," ceritanya."Mas l