Arsha duduk di balkon kamarnya, menatap ke arah rumah sang Oma.
Meraih ponselnya, Arsha menekan nomor Ibu angkat sang Mommy.
Bisa Arsha lihat Omanya sedang menonton televisi di lantai dua, wanita tua itu meraih ponsel dari atas meja.
“Hallo ... .” Suara Oma terdengar dingin.
“Oma udah minum vitamin sebelum tidur?” tanya Arsha.
“Kamu telepon cuma mau nanya itu?” Alih-alih menjawab, sang Oma malah sewot mempertanyaan maksud Arsha melakukan panggilan telepon.
“Iya,” jawab Arsha dengan riang.
“Udah, Oma udah minum vitamin ... kenapa kamu belum tidur?” Ibu Aneu menurunkan nada suaranya.
“Oma lupa tutup gorden ... Caca bisa liat Oma dari sini ... Oma jangan pake baju seksi gitu donk kalau lagi di rumah, ya minimal bulu keteknya di ptong dulu sebelum pake daster lengan pendek, biar enggak melambai-lambai gitu, Oma ... .”
“Cacaaaaaaa!!!!!!” Sang Oma berteriak membuat Arsha harus menjauhkan ponselnya dari telinga kemudian sambungan telepon pun terputus.
Tampak Sang Oma menutup gorden dengan hentakan. Tampaknya sang Oma sangat kesal.
Arsha melambai sambil tertekeh karena sang Oma pasti mengintipnya setelah menutup gorden.
“Jutek banget abisnya sama gue!” Arsha menggerutu sambil memajukan bibirnya.
Arsha menyandarkan tubuh pada beanbag yang ia duduki, menikmati langit yang bertabur bintang.
Menjadi seorang perempuan yang sudah tidak perawan lagi mungkin bagi sebagian orang terasa biasa saja, namun tidak bagi Arsha yang dilanda gelisah semenjak pulang dari Singapura.
Kondisi ini asing baginya, senakal-nakalnya Arsha tidak sampai minum kemudian mabuk dan berakhir di ranjang seorang pria.
Gaya berpacarannya pun dengan Liam tidak sebebas teman-teman lainnya.
Arsha sadar dirinya sangat nakal dan di usianya yang menginjak dua puluh lima tahun ia masih belum menjadi apa-apa.
Setiap hari kerjanya datang ke toko kue Rachel kemudian mengganggunya.
Kedua orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan apalagi dua Kakak kembarnya, mereka selalu menerima apapun keputusannya bahkan menikah dengan Liam yang berbeda kewarganegaraan dengannya meski pada awalnya sang Daddy menentang habis-habisan.
Ia pikir bisa menikah secepatnya dengan Liam lalu disibukan dengan mengurus anak-anaknya dari pria itu.
Tapi ternyata harapannya musnah begitu saja setelah Liam memutuskan hubungan karena harus menikah dengan wanita pilihan Papanya.
Di saat teman-temannya sudah sukses, ia masih bingung harus melakukan apa.
Arsha merasa tidak memiliki kemampuan apapun, padahal nilai di sekolah maupun nilai mata kuliahnya begitu cemerlang.
Ia dianggap malas mengerjakan sesuatu, kedua orang tuanya sangat memanjakannya. Memenuhi segala kebutuhannya dan tidak pernah berpikir dua kali untuk mengabulkan semua yang diinginkannya.
Sebetulnya Arsha tidak malas. Ia hanya tidak ingin mencoreng nama baik keluarganya.
Arsha sadar tidak bisa mengendalikan sikap tengil dan ceroboh yang dimilikinya.
Menghela napas panjang, tiba-tiba saja ia teringat dengan pria yang telah berhasil merenggut kesuciannya.
“Menang banyak tuh cowok, gue ‘kan masih perawan ... .” Arsha mendecakan lidahnya kesal.
“Untung ganteng,”gumamnya lagi.
Arsha menggelengkan kepala cepat, menghilangkan pikiran tentang pria itu.
Sementara di belahan benua lainnya, Kama sedang melakukan yang sama. Tersentak ketika Kalila mendorong pintu ruangannya secara kasar.
“Lo kenapa sih, Bang? Tumben lo enggak konsen!” tegur Kalila kesal.
Suara ketukan heelsnya terdengar nyaring memasuki ruangan Kama.
Kalila melempar berkas ke atas meja Kama cukup kencang hingga memantulkan suara dari atas meja.
“Seumur hidup, baru kali ini lo enggak teliti!” tegur Kalila menunjukan ekspresi judes
Sang adik melipat tangan di dada, menatap Kama tajam, sungguh mengerikan.
Mereka berdua memang memiliki sifat perfeksionis yang sama.
Seperti Kama, Kalila juga menghabiskan hidupnya dengan belajar untuk menjadi pebisnis tangguh hingga tidak pernah mengenal yang namanya berpacaran.
Baginya tidak ada pria yang bisa menandingi kepintaran dan kehebatannya dalam bisnis kecuali sang Kakak kembar, Ayahnya juga sang Kakek yang merupakan panutannya.
Kalila begitu kecewa ketika Kama melakukan kesalahan dalam laporannya meski hanya kurang satu angka saja.
“Sorry, La ... gue perbaiki!” ucapnya lemah tidak seperti biasa.
Kalila mengerutkan kening, biasanya Kama tidak akan menerima revisi karena selalu berusaha mengerjakan sesuatu dengan sempurna.
“Lo kenapa sih, Bang?” Kalila mengulang pertanyaannya kali ini dengan nada lebih rendah.
Ia pun duduk di kursi depan meja Kama, menegakan tubuhnya dengan kedua tangan di atas meja bersiap mendengar apa yang mengganggu pikiran Kakak kembarnya.
Kama meraup wajahnya dengan kedua tangan disertai helaan nafas kasar.
“Kalau gue cerita, lo janji enggak akan ngomong sama Ayah dan Bunda atau siapapun?”
Kalila menganggukan kepala. “Kapan gue pernah ngecewain, lo?” ucap Kalila memberi Kama keyakinan.
Kama meraup udara seraya menyandarkan tubuh pada kursi kebesarannya mencari kenyamanan.
“Gue merawanin cewek,” ungkap Kama.
Kalila hanya mengangkat kedua alisnya. “Lalu?” tanyanya kemudian.
“Kok lalu? Lo enggak nanya kenapa bisa?”
“Ya udah ceritain, kenapa bisa?”
Pantas saja adiknya tidak memiliki kekasih, gadis itu sangat menyebalkan, bukan pendengar setia.
“Si Quan masukin obat ke minuman gue 2aktu pesta lajang Liam di Singapura, ya gitu lo tau ‘kan obat itu berbahaya kalau enggak tersalurkan ... ada cewek mabuk, ya terus ... .” Suara Kama semakin kecil di akhir kalimatnya yang menggantung, tidak sanggup melanjutkannya.
“Intinya lo ngerasa bersalah?” tebak Kalila mendapat jawaban anggukan dari Kama.
“Ya udah, kawinin aja dia!” celetuk Kalila santai.
“Enggak bisa gitu lah, gue enggak tau dia siapa ... namanya aja gue enggak tau!”
“Cari tau donk, Bang ... buat apa duit banyak kalau lo enggak bisa bayar orang untuk cari cewek itu ... tapi emangnya tuh cewek enggak minta tanggung jawab apa? Atau lo tinggalin sebelum dia sadar?”
“Justru itu, La ... cewek itu nyebelin banget, sumpah! Masa dia nyuruh gue ngumpulin bajunya yang berceceran trus di simpen di depan kamar mandi? Gila apa nyuruh-nyuruh gue kaya gitu! Trus dia pergi gitu aja ngebanting pintu ... enggak sopan, kan?” umpat Kama kesal.
Sebetulnya Kama bukan kesal oleh hal itu saja akan tetapi karena justru Arsha tidak mengatakan apapun mengenai kejadian malam harinya, seperti tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Entahlah, Kama berharap perempuan itu marah, meminta uang atau pertanggung jawaban mungkin meski bagian yang terakhir itu akan sulit ia lakukan.
Menghilangnya perempuan itu justru membuat Kama merasa bersalah.
“Elo ‘kan yang buka baju dia, ya elo juga donk yang pakein harusnya!” celetuk Kalila santai.
“Masuk akal, tapi apa memang harus seperti itu?” Kama bertanya dalam benaknya.
“Trus dia galak banget lagi, males gue sama cewek galak ... .”
Kalila terkekeh. “Lo mah sama setiap cewek juga males,” sindir Kalila.
“Ya udah lah enggak usah dipikirin kalau memang dia enggak minta tanggung jawab!”
Kalila beranjak, ia hanya bisa memberi solusi demikian karena memang perempuan yang dimaksud Kama menghilang entah kemana tanpa meminta pertanggung jawaban.
“Gue takut, La ... gue takut Lo sama Kejora kena Karma dari gue,” gumam Kama membuat Kalila tertegun.
Mungkin ia bisa berusaha menghindar dari hal seperti itu, tapi Kejora-sang adik bungsu yang sedang berkuliah di Jerman dan jauh dari kedua orang tuanya membuat Kalila khawatir dan ternyata begitu juga dengan Kama.
“Kejora kalau pacaran gimana sih?” Kama bertanya membuat Kalila duduk kembali di kursinya.
“Tanya Kai, dia lebih sering cerita sama Kai ... tapi setau gue Enggak ada laki-laki serius yang dia cintai, cuma ... Hari ini Ayah sama Bunda pergi ke Jerman, beberapa bulan lalu Kejora bilang ada satu pria yang ngebuat dia galau karena cintanya bertepuk sebelah tangan sampai sekarang dia kepikiran terus,” tutur Kalila.
Kejora-si bungsu memang paling dekat dengan Kai-Kakak empatnya, semenjak kecil Kai dan Kejora selalu bersama mungkin karena umur mereka yang tidak jauh berbeda.
“Weekend ini kita ke Jerman,” kata Kama, tangannya meraih berkas yang dipermasalahkan Kalila tadi.
“Oke!” balas Kalila kemudian benar-benar pergi dari ruangan sang Kakak.
Sudah lama Kama tidak bertemu adik bungsunya, terlebih saat ini sang adik yang sulit jatuh cinta katanya sedang mencintai seorang pria.
Kama penasaran dengan pria yang mampu menaklukan hati adiknya.
Pasalnya anak Presiden saja Kejora tolak, anak Sultan dari Negara tetangga saja gadis itu putuskan sepihak.
Kama menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.
Senyum yang jarang dilihat orang yang baru mengenalnya dan senyum itu mampu membuat para gadis menjerit histeris.