"Zahira … dia terus memanggil Hero, dan kondisinya memburuk. Suster Ira khawatir kalau ini tidak segera ditangani, bisa makin parah." "Ya sudah, Mas. Kita ke rumah sakit sekarang." "Tapi, acara ulang tahunmu ...," ujar Dimas ragu. "Nanti kita pikirkan lagi, Mas. Yang penting sekarang kita lihat kondisi Zahira dulu." Dimas tersenyum tipis, merasa lega ketika Amanda memahami situasinya. "Baiklah, terima kasih, Ma. Maaf bila acara kita ditunda lagi." "Gak apa-apa, Mas. Ayo kita pergi sekarang." Dimas mengangguk. Mereka berdua lalu masuk ke dalam mobil, dan Dimas memberi arahan pada Pak Supri. "Pak Supri, kita ke rumah sakit sekarang." "Baik, Pak," jawab Pak Supri sambil menyalakan mesin, membawa mereka menuju rumah sakit. Beberapa saat kemudian, kendaraan yang ditumpangi Dimas dan Amanda berhenti di depan rumah sakit. Bangunan megah dengan dinding putih bersih itu berdiri kokoh di bawah langit yang mulai mendung. Tanpa menunggu lama, Dimas segera keluar dari mobil, d
Semua siswa menoleh ke arah teriakan Leona yang memanggil sahabatnya. Mereka menyaksikan dengan ngeri ketika tubuh Veline terhempas dari jembatan kayu dan jatuh ke dalam sungai yang deras. "Veline!" teriak beberapa siswa serentak ketika melihat gadis itu terbawa arus yang ganas. Suasana berubah mencekam, wajah para siswa sudah mulai panik. Sepasang mata Hero terpaku tatkala melihat tubuh Veline yang terseret oleh arus. Kesadarannya kembali dalam hitungan detik saat ia teringat bahwa Veline tak bisa berenang. Tanpa berpikir panjang, Hero melepaskan tasnya dan melompat ke sungai. "Hero!" teriak Raka, ia panik ketika melihat Hero melompat ke sungai begitu saja. Pak Agus juga panik, wajahnya tegang melihat aksi nekat Hero. "Ya ampun, Hero! Hati-hati! Anak-anak, cepat cari sesuatu untuk membantu Hero!" teriaknya. Para siswa segera berhamburan, mencari apa saja yang bisa digunakan untuk menyelamatkan kedua temannya. Mereka memeriksa sekitar jembatan. "Pak! Ada bambu panjang di
"Tidak perlu, Leona. Kamu ikut saja dengan anak-anak yang lain. Biar Hero dan Veline saja yang kembali ke tenda," ujar Pak Agus. Leona terdiam sesaat, wajahnya terlihat kecewa. Namun, ia hanya bisa menerima keputusan tersebut, lalu mengangguk pelan. "Oh, baik, Pak," jawabnya. Dengan berat hati, ia melangkah mundur dan bergabung kembali dengan teman-temannya. Sementara itu, Hero mengangkat tubuh Veline ala bridal style. "Hati-hati, Ro," ucap Adrian, saat melihat Hero sudah membawa Veline pergi. Hero hanya mengangguk, lalu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya. Semua mata tertuju pada Hero dan Veline yang perlahan menjauh, beberapa siswa masih terkejut melihat perubahan sikap Hero yang begitu peduli pada Veline. Setelah mereka menghilang dari pandangan, Pak Agus kembali mengambil alih situasi. "Baik, anak-anak. Sekarang kita lanjutkan tugas kita. Catat dengan baik apa yang kalian temui di sepanjang perjalanan, dan tetap hati-hati." "Baik, Pak!" jawab para sisw
"Veline!" Leona berteriak lantang sambil berlari menuju tenda tempat Veline berada. Di luar tenda, Veline tengah duduk di kursi lipat, kedua tangannya menggenggam secangkir teh hangat. Wanita itu pun sudah berganti pakaian, sore ini ia mengenakan jaket tebal berwarna hijau army dengan resleting yang sedikit terbuka, sampai memperlihatkan inner rajutnya yang berwarna hitam di bagian dalam. Sesampainya di depan Veline, Leona langsung memeluk sahabatnya erat-erat. "Ya ampun, Vel! Sorry banget, gara-gara gue lo sampai jatuh dari jembatan!" "Astaga, Le! Lo bikin gue sesek!" keluh Veline sambil berusaha melepaskan pelukan Leona, dan terus menjaga cangkir tehnya agar tidak tumpah. "Hehe, sorry, Vel. Gue bener-bener takut lo kenapa-napa." Leona berkata dengan wajah bersalah. Veline meletakkan cangkir tehnya di meja kecil yang ada di depannya. "Buktinya gue nggak apa-apa, kan?" "Iya sih ... tapi gue tetep aja ngerasa bersalah sama lo." Veline meraih tangan Leona, lalu m
"Oke, anak-anak! Untuk makan sore ini, kita akan buat suasana lebih seru dengan game dan beberapa perlombaan," seru Pak Agus begitu semangat. Murid-murid yang tengah berkumpul di area perkemahan langsung bersorak kecil, meski beberapa tampak kurang antusias. "Yaelah, Pak. Mau makan aja harus main game dulu," keluh Noval, sambil menggaruk kepala. Pak Agus hanya tersenyum. "Eh, ini bukan game sembarang game." "Emang game-nya apaan, Pak?" tanya Raka yang juga penasaran, sambil melipat tangan di dada. Pak Agus mendekat ke tengah lingkaran. "Biar lebih menantang, kita adakan lomba masak!" "Hah? Lomba masak? Yang bener aja, Pak. Peralatan kita kan seadanya," sahut Alyssa. "Justru karena peralatan kita seadanya, itu jadi tantangan tersendiri buat kalian! Kita akan lihat siapa yang paling kreatif." Murid-murid mulai saling melihat satu sama lain, beberapa mulai berbisik, sementara yang lain tampak ragu. "Pak, kelompoknya bisa pilih sendiri nggak?" tanya Leona. Pak Agus meng
Yudha yang sedari tadi terdiam, akhirnya berkata, "Udah, tenang aja. Kita bisa coba perbaiki. Mungkin kita bisa tambahin air biar nggak terlalu asin." Noval menghela napas panjang. "Ya udah, tapi cepat! Waktu kita udah tinggal sedikit." Sementara Freya masih tampak kesal, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka pun bekerja sama menambahkan air dan beberapa sayuran tambahan untuk mengimbangi rasa asin. Meskipun situasi sempat tegang, mereka tetap berusaha menyelesaikan masakan mereka tepat waktu. Noval mencoba mencicipi kuah sup yang baru saja mereka tambahkan air. Begitu sendok menyentuh lidahnya, wajahnya langsung meringis. "Huh, percuma kita tambahin air satu gayung pun tetap aja asin," keluhnya sambil meletakkan sendok ke meja. Kelompok lain yang mendengar keluhan Noval sontak tertawa terbahak-bahak. "Alhamdulillah, ya Allah. Saingannya berkurang satu," ujar Raka sambil terkekeh, membuat teman-temannya makin riuh. "Ck, berisik lo!" balas Noval kesal, sambil melempar serbet ke a
Beberapa waktu sudah, Veline habiskan di dalam tenda, setelah menjalankan ibadah salat Isya secara berjamaah bersama siswa lainnya. Akhirnya, ia memutuskan keluar untuk menghirup udara segar. Saat melangkah keluar, pandangannya langsung tertuju ke langit yang sudah gelap gulita. Namun, gelapnya malam ini justru memperlihatkan keindahan yang luar biasa—bulan sabit yang dihiasi ribuan bintang sudah terlihat begitu cantik di atas sana. Suasana ini begitu terasa menenangkan, membuat Veline tertegun sejenak menikmati keindahan alam yang jarang ia perhatikan di tengah kesibukannya sehari-hari. Namun di tengah keindahan yang sedang ia rasakan, tiba-tiba suara Leona membuyarkan lamunannya. "Eh, kebo udah keluar!" Sepasang mata Veline menatapnya kesal. "Sembarangan lo manggil gue kebo!" "Ya, dari tadi lo ngumpet di tenda mulu. Anak-anak yang lain udah pada kumpul di dekat api unggun." "Ah, males gue. Mending tidur." "Veline, Leona, sini! Kita disuruh kumpul sama Pak Agus!"
"Ro, di belakang lo ada orang nggak?" tanya Raka dari depan. Sepasang matanya menelisik ke arah belakang Hero. "Gak ada lah, gue yang paling belakang." "Terus tadi kayak ada bunyi sesuatu." Wajah Raka sudah mulai ketakutan. "Gak tahu, mungkin angin kali," ujar Hero sambil mengangkat bahunya. "Iya, mungkin angin. Udahlah ayo, kita lanjut lagi." Adrian mencoba mengalihkan perhatian mereka dari rasa takut yang mulai menjalar. Mereka akhirnya kembali melangkah menyusuri hutan. Sesekali mereka pun berhenti untuk mengambil bendera kuning yang tergantung di ranting, tetapi suasana semakin terasa aneh ketika tiba-tiba angin berhembus kencang, membawa desau yang bergema di antara pepohonan. Cabang-cabang pohon bergoyang, daun-daun mulai berjatuhan, menutupi jalan setapak yang mereka lalui. Suara alam yang sebelumnya tenang kini berubah menjadi mencengkam. "Anginnya kok tiba-tiba jadi kencang banget, ya?" Alyssa berkata sambil terus memeluk tubuhnya sendiri. "Guys ... kal
Malam ini hujan turun dengan deras, menyelimuti kota dengan dingin. Di sebuah ruang bersalin di rumah sakit, Veline terbaring di ranjang, wajahnya basah oleh keringat. Rasa sakit melandanya seperti gelombang yang tak kunjung usai, tetapi genggaman tangan Hero yang erat memberinya kekuatan. "Sayang, aku di sini. Tarik napas dalam-dalam, oke? Kamu pasti bisa," ujar Hero dengan suara yang tenang meskipun matanya memancarkan kegelisahan. Veline menggigit bibirnya, berusaha menahan jeritan. "Hero … sakit banget …," suaranya bergetar. Hero mengusap rambut istrinya yang basah oleh keringat. "Kamu kuat, Sayang. Kamu selalu kuat. Nggak lama lagi kita bakal ketemu sama anak kita." Dokter dan perawat sibuk mempersiapkan semuanya. "Baik, Bu Veline, saat kontraksi berikutnya, tolong dorong sekuat tenaga, ya," kata dokter. Veline mengangguk lemah, matanya menatap Hero dengan penuh harap. Hero hanya membalas dengan senyuman yang berusaha menenangkan, meski di dalam dirinya ia merasa
Pagi ini, Zahira melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidung, dan langkah sepatunya yang berderap di lantai mengkilap terdengar jelas di antara kesunyian. Matanya menatap nomor ruangan di depannya. Di balik pintu itu, Amanda, wanita yang selama ini ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya, kini terbaring lemah. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Setelah menghela napas panjang, Zahira mengetuk pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Amanda terbaring dengan wajah pucat. Namun, ada senyum tipis di bibirnya saat melihat Zahira masuk. Dimas yang duduk di kursi di samping ranjang segera bangkit, memberikan ruang untuk mereka. "Zahira …," suara Amanda terdengar lemah. Zahira mendekat, menatap Amanda yang terbaring dengan infus terpasang di tangan kirinya. "Aku datang untuk menjengukmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Amanda tersenyum lemah. "Terima kasih … aku tahu ini pasti tidak mudah untukmu."
Veline dan Yudha berjalan perlahan menuju parkiran rumah sakit. Udara malam terasa menusuk. Namun, langkah mereka tetap tenang di tengah suasana sunyi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menambah kesan hening di sekitar. Namun, langkah Veline tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah Yudha dan berkata, "Yud, gue mau beli minum dulu sebentar." Yudha menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. "Ya udah, kita ke minimarket aja. Itu ada di dekat sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah minimarket kecil tak jauh dari parkiran. Mereka kemudian melangkah menuju minimarket tersebut. Saat sampai, Veline masuk ke dalam tanpa ragu, sementara Yudha memilih menunggu di luar. Ia bersandar pada salah satu tiang dekat pintu masuk, pandangannya mengawasi sekitar dengan santai, meski raut wajahnya masih terlihat tegang setelah kejadian di rumah sakit tadi. Namun, suasana hening itu tiba-tiba berubah ketika Yudha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah sakit. S
Amanda tergeletak di atas aspal, tubuhnya berlumuran darah yang terus mengalir, membasahi pakaian dan jalanan di sekitarnya. Matanya perlahan membuka, lemah, seolah mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Di sisi lain, Dimas berdiri terpaku sebelum akhirnya teriakannya menggema. "Amanda!" Dimas berteriak dengan suara yang serak dan penuh kegelisahan. Kakinya melangkah cepat, lututnya hampir jatuh saat ia berlutut di samping tubuh Amanda. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mengangkat kepala Amanda, memeluknya dengan erat meskipun darah terus mengalir di tangannya. "Amanda, kenapa kamu melakukan ini?" Amanda hanya tersenyum samar, bibirnya bergetar mencoba mengeluarkan kata-kata. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Di dekat mereka, Veline berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari genangan darah di sekitar tubuh Amanda. Wajahnya pucat, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa syok. "Ma ... Mama ...." Hero yang tadinya diam
Dimas berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang biasanya tampak tegas kini terlihat kusut. Napasnya terdengar berat, dan matanya seakan kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. "Mas, kenapa kamu diam saja? Ayo, cepat kejar Zahira! Kamu mau dia pergi begitu saja?" Amanda mengguncang bahu Dimas, mencoba menyadarkannya. Namun, Dimas hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu semuanya sudah terlambat. Amanda menghela napas frustrasi. "Aku yang harus mengejarnya?" gerutunya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari rumah, berusaha mengejar Zahira yang sudah meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat. Di dalam rumah, suasana menjadi semakin canggung. Veline dan Hero yang baru saja turun dari tangga, heran melihat Amanda berlari keluar dengan terburu-buru, seolah sedang mengejar seseorang. "Mama, kenapa itu?" tanya Veline dengan suara penasaran, ma
Hero tiba di rumah dengan langkah berat, tangan kanannya memegang mangga muda yang sudah ia perjuangkan dari tengah malam hingga pagi. Ia memasukkan motor ke halaman depan rumah dengan pelan, berusaha tidak membuat suara berisik. Sesampainya di kamar, Hero membuka pintu dengan hati-hati, melihat Veline yang tampak sudah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Ia memandangnya sejenak, senyumnya merekah meski ada rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya. Namun, sesaat setelah melihat wajah Veline yang begitu tenang, semua rasa lelah itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan hati-hati, Hero duduk di tepi ranjang, menggoyangkan bahu Veline dengan lembut. "Sayang, bangun ... nih, mangga mudanya." Veline yang masih terlelap hanya menggerakkan bibirnya sedikit. Namun, tidak membuka mata. "Apa sih, ganggu aja ...," jawabnya dengan suara serak, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk bangun. "Sayang, bangun ... ini mangga mudanya." Hero mengulangi, kali ini sedikit
Hero mengenakan jaket hitam tebalnya dengan tergesa-gesa. Malam ini udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan hembusan angin yang menyapu wajahnya saat keluar dari rumah membuatnya merasa semakin terjaga. Ia menurunkan helm dari motor dan meletakkannya di atas jok, berencana untuk menelepon beberapa temannya sebelum melanjutkan perjalanan. Pikirannya terfokus pada satu hal saja—mendapatkan mangga muda yang diminta oleh Veline. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena suhu udara yang dingin, Hero meraih ponselnya dan membuka kontak. Nama Raka muncul di layar, dan tanpa ragu ia menekan tombol telepon. "Raka, lo lagi di mana?" Tak lama kemudian, suara Raka terdengar dari ujung telepon. "Gue lagi di basecamp, sama Noval sama Adrian. Kenapa, Ro?" "Ke sekolah sekarang!" "Ngapain ke sekolah? Ini udah malam." "Pokoknya ke sekolah aja dulu, nanti gue jelasin. Ajak Noval sama Adrian juga." "Ya udah deh." Hero menutup telepon itu dengan cepat, menghela napas, dan mengam
Di ruang tamu yang diterangi lampu hangat, Veline duduk di sofa dengan Hero. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Veline menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memulai pembicaraan. Ia menatap secangkir teh hangat di tangannya, mengaduknya perlahan meski tidak ada gula yang perlu larut di sana. "Sayang," ujar Veline, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara ketenangan malam. Hero yang sedang memainkan ponselnya menoleh, menatap Veline dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu kelihatan serius banget," katanya sambil meletakkan ponselnya di meja. Perhatiannya kini sepenuhnya terarah pada istrinya. Veline menghela napas panjang, menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar ke sofa. Matanya menatap ke arah jendela, meski yang terlihat hanya bayangan gelap malam. "Aku tadi habis ke rumah Leona," ucapnya. Hero terkejut, tapi ia tidak langsung menyela. Ia hanya mengan
Sejak kejadian itu, Leona mengurung dirinya di dalam kamar. Pintu kamarnya yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, seakan mencerminkan dinding yang ia bangun untuk memisahkan dirinya dari dunia luar. Tirai jendela pun tertutup, membiarkan kegelapan menguasai ruangannya. Suara tangis terkadang terdengar lirih dari balik pintu, tetapi tak ada yang cukup berani untuk mengetuk dan mencoba bicara dengannya. Veline yang mengetahui keadaan sahabatnya merasa dilematis. Meski hatinya masih dipenuhi amarah karena ulah Leona yang terus mencoba memisahkannya dari Hero, rasa iba perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mengingat bagaimana video yang memperlihatkan tindakan tidak terpuji Leona tersebar luas di media sosial. Video itu menjadi bahan cibiran dan ejekan. Orang-orang terus mencela Leona tanpa ampun, menghakimi tanpa memberi ruang untuk pembelaan. Akun media sosial Leona dipenuhi komentar pedas, seolah seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya. "Kenapa dia harus sebodoh