Semua siswa menoleh ke arah teriakan Leona yang memanggil sahabatnya. Mereka menyaksikan dengan ngeri ketika tubuh Veline terhempas dari jembatan kayu dan jatuh ke dalam sungai yang deras. "Veline!" teriak beberapa siswa serentak ketika melihat gadis itu terbawa arus yang ganas. Suasana berubah mencekam, wajah para siswa sudah mulai panik. Sepasang mata Hero terpaku tatkala melihat tubuh Veline yang terseret oleh arus. Kesadarannya kembali dalam hitungan detik saat ia teringat bahwa Veline tak bisa berenang. Tanpa berpikir panjang, Hero melepaskan tasnya dan melompat ke sungai. "Hero!" teriak Raka, ia panik ketika melihat Hero melompat ke sungai begitu saja. Pak Agus juga panik, wajahnya tegang melihat aksi nekat Hero. "Ya ampun, Hero! Hati-hati! Anak-anak, cepat cari sesuatu untuk membantu Hero!" teriaknya. Para siswa segera berhamburan, mencari apa saja yang bisa digunakan untuk menyelamatkan kedua temannya. Mereka memeriksa sekitar jembatan. "Pak! Ada bambu panjang di
"Tidak perlu, Leona. Kamu ikut saja dengan anak-anak yang lain. Biar Hero dan Veline saja yang kembali ke tenda," ujar Pak Agus. Leona terdiam sesaat, wajahnya terlihat kecewa. Namun, ia hanya bisa menerima keputusan tersebut, lalu mengangguk pelan. "Oh, baik, Pak," jawabnya. Dengan berat hati, ia melangkah mundur dan bergabung kembali dengan teman-temannya. Sementara itu, Hero mengangkat tubuh Veline ala bridal style. "Hati-hati, Ro," ucap Adrian, saat melihat Hero sudah membawa Veline pergi. Hero hanya mengangguk, lalu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya. Semua mata tertuju pada Hero dan Veline yang perlahan menjauh, beberapa siswa masih terkejut melihat perubahan sikap Hero yang begitu peduli pada Veline. Setelah mereka menghilang dari pandangan, Pak Agus kembali mengambil alih situasi. "Baik, anak-anak. Sekarang kita lanjutkan tugas kita. Catat dengan baik apa yang kalian temui di sepanjang perjalanan, dan tetap hati-hati." "Baik, Pak!" jawab para sisw
"Veline!" Leona berteriak lantang sambil berlari menuju tenda tempat Veline berada. Di luar tenda, Veline tengah duduk di kursi lipat, kedua tangannya menggenggam secangkir teh hangat. Wanita itu pun sudah berganti pakaian, sore ini ia mengenakan jaket tebal berwarna hijau army dengan resleting yang sedikit terbuka, sampai memperlihatkan inner rajutnya yang berwarna hitam di bagian dalam. Sesampainya di depan Veline, Leona langsung memeluk sahabatnya erat-erat. "Ya ampun, Vel! Sorry banget, gara-gara gue lo sampai jatuh dari jembatan!" "Astaga, Le! Lo bikin gue sesek!" keluh Veline sambil berusaha melepaskan pelukan Leona, dan terus menjaga cangkir tehnya agar tidak tumpah. "Hehe, sorry, Vel. Gue bener-bener takut lo kenapa-napa." Leona berkata dengan wajah bersalah. Veline meletakkan cangkir tehnya di meja kecil yang ada di depannya. "Buktinya gue nggak apa-apa, kan?" "Iya sih ... tapi gue tetep aja ngerasa bersalah sama lo." Veline meraih tangan Leona, lalu m
"Oke, anak-anak! Untuk makan sore ini, kita akan buat suasana lebih seru dengan game dan beberapa perlombaan," seru Pak Agus begitu semangat. Murid-murid yang tengah berkumpul di area perkemahan langsung bersorak kecil, meski beberapa tampak kurang antusias. "Yaelah, Pak. Mau makan aja harus main game dulu," keluh Noval, sambil menggaruk kepala. Pak Agus hanya tersenyum. "Eh, ini bukan game sembarang game." "Emang game-nya apaan, Pak?" tanya Raka yang juga penasaran, sambil melipat tangan di dada. Pak Agus mendekat ke tengah lingkaran. "Biar lebih menantang, kita adakan lomba masak!" "Hah? Lomba masak? Yang bener aja, Pak. Peralatan kita kan seadanya," sahut Alyssa. "Justru karena peralatan kita seadanya, itu jadi tantangan tersendiri buat kalian! Kita akan lihat siapa yang paling kreatif." Murid-murid mulai saling melihat satu sama lain, beberapa mulai berbisik, sementara yang lain tampak ragu. "Pak, kelompoknya bisa pilih sendiri nggak?" tanya Leona. Pak Agus meng
Yudha yang sedari tadi terdiam, akhirnya berkata, "Udah, tenang aja. Kita bisa coba perbaiki. Mungkin kita bisa tambahin air biar nggak terlalu asin." Noval menghela napas panjang. "Ya udah, tapi cepat! Waktu kita udah tinggal sedikit." Sementara Freya masih tampak kesal, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka pun bekerja sama menambahkan air dan beberapa sayuran tambahan untuk mengimbangi rasa asin. Meskipun situasi sempat tegang, mereka tetap berusaha menyelesaikan masakan mereka tepat waktu. Noval mencoba mencicipi kuah sup yang baru saja mereka tambahkan air. Begitu sendok menyentuh lidahnya, wajahnya langsung meringis. "Huh, percuma kita tambahin air satu gayung pun tetap aja asin," keluhnya sambil meletakkan sendok ke meja. Kelompok lain yang mendengar keluhan Noval sontak tertawa terbahak-bahak. "Alhamdulillah, ya Allah. Saingannya berkurang satu," ujar Raka sambil terkekeh, membuat teman-temannya makin riuh. "Ck, berisik lo!" balas Noval kesal, sambil melempar serbet ke a
Beberapa waktu sudah, Veline habiskan di dalam tenda, setelah menjalankan ibadah salat Isya secara berjamaah bersama siswa lainnya. Akhirnya, ia memutuskan keluar untuk menghirup udara segar. Saat melangkah keluar, pandangannya langsung tertuju ke langit yang sudah gelap gulita. Namun, gelapnya malam ini justru memperlihatkan keindahan yang luar biasa—bulan sabit yang dihiasi ribuan bintang sudah terlihat begitu cantik di atas sana. Suasana ini begitu terasa menenangkan, membuat Veline tertegun sejenak menikmati keindahan alam yang jarang ia perhatikan di tengah kesibukannya sehari-hari. Namun di tengah keindahan yang sedang ia rasakan, tiba-tiba suara Leona membuyarkan lamunannya. "Eh, kebo udah keluar!" Sepasang mata Veline menatapnya kesal. "Sembarangan lo manggil gue kebo!" "Ya, dari tadi lo ngumpet di tenda mulu. Anak-anak yang lain udah pada kumpul di dekat api unggun." "Ah, males gue. Mending tidur." "Veline, Leona, sini! Kita disuruh kumpul sama Pak Agus!"
Maysha Jemma Eveline adalah sosok gadis yang pembangkang, keras kepala, dan tidak mudah diatur. Ia selalu ingin terlihat mencolok di setiap penampilannya. Bahkan, teman-temannya sering menjulukinya 'ratu onar.' Tidak hanya dikenal sebagai gadis barbar, Veline—begitu ia biasa disapa—juga kerap melanggar aturan yang ada.Namun saat ini, bukan perilaku negatifnya yang ia sedang tunjukkan, melainkan perasaan sedih yang menggerogoti hatinya.Hati anak mana yang tak sakit saat kehilangan ayahnya? Ayah yang telah menjaga dan merawatnya selama ini.Begitu juga dengan Veline. Di balik sikap keras kepalanya selama ini yang sering membuat orang lain kesal, sebenarnya hatinya begitu rapuh. Dua tahun yang lalu saat ia berusia 16 tahun, ia harus menerima kenyataan pahit atas kehilangan ibunya. Namun kali ini, ia juga harus kehilangan sosok ayah yang luar biasa dalam hidupnya."Maafin, Veline, Yah. Selama ini Veline selalu berbuat nakal. Selalu tak mendengar nasihat Ayah, jadi anak pembangkang, dan
Veline memperhatikan pemandangan dari kaca jendela mobil, angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya melalui jendela kaca yang terbuka. Gadis itu memegang sebatang dedaunan berwarna merah, yang ia bawa dari pemakaman sang ayah. Wanita yang mengenakan jam tangan berwarna coklat dengan bingkai persegi itu memandang ke arah langit. Langit di atas terlihat mendung, awan kelabu menggantung seakan turut mengerti perasaannya yang masih berduka. Setelah mempertimbangkan dengan cukup matang, Veline akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama Dimas, sahabat dari almarhum ayahnya. Ini memang keputusan yang sulit, terutama setelah melihat pertengkaran yang kerap muncul di antara om dan tantenya saat mereka membahas siapa yang akan merawatnya. Gadis itu tak ingin menjadi beban yang memicu keributan dalam keluarga. Jadi, ia pun terpaksa menerima tawaran Dimas."Kita sudah sampai." Dimas berkata setelah beberapa saat hening. Sepanjang perjalanan, Dimas sesekali mencoba mengajak Veline berbicara, berusaha me
Beberapa waktu sudah, Veline habiskan di dalam tenda, setelah menjalankan ibadah salat Isya secara berjamaah bersama siswa lainnya. Akhirnya, ia memutuskan keluar untuk menghirup udara segar. Saat melangkah keluar, pandangannya langsung tertuju ke langit yang sudah gelap gulita. Namun, gelapnya malam ini justru memperlihatkan keindahan yang luar biasa—bulan sabit yang dihiasi ribuan bintang sudah terlihat begitu cantik di atas sana. Suasana ini begitu terasa menenangkan, membuat Veline tertegun sejenak menikmati keindahan alam yang jarang ia perhatikan di tengah kesibukannya sehari-hari. Namun di tengah keindahan yang sedang ia rasakan, tiba-tiba suara Leona membuyarkan lamunannya. "Eh, kebo udah keluar!" Sepasang mata Veline menatapnya kesal. "Sembarangan lo manggil gue kebo!" "Ya, dari tadi lo ngumpet di tenda mulu. Anak-anak yang lain udah pada kumpul di dekat api unggun." "Ah, males gue. Mending tidur." "Veline, Leona, sini! Kita disuruh kumpul sama Pak Agus!"
Yudha yang sedari tadi terdiam, akhirnya berkata, "Udah, tenang aja. Kita bisa coba perbaiki. Mungkin kita bisa tambahin air biar nggak terlalu asin." Noval menghela napas panjang. "Ya udah, tapi cepat! Waktu kita udah tinggal sedikit." Sementara Freya masih tampak kesal, tetapi akhirnya mengangguk. Mereka pun bekerja sama menambahkan air dan beberapa sayuran tambahan untuk mengimbangi rasa asin. Meskipun situasi sempat tegang, mereka tetap berusaha menyelesaikan masakan mereka tepat waktu. Noval mencoba mencicipi kuah sup yang baru saja mereka tambahkan air. Begitu sendok menyentuh lidahnya, wajahnya langsung meringis. "Huh, percuma kita tambahin air satu gayung pun tetap aja asin," keluhnya sambil meletakkan sendok ke meja. Kelompok lain yang mendengar keluhan Noval sontak tertawa terbahak-bahak. "Alhamdulillah, ya Allah. Saingannya berkurang satu," ujar Raka sambil terkekeh, membuat teman-temannya makin riuh. "Ck, berisik lo!" balas Noval kesal, sambil melempar serbet ke a
"Oke, anak-anak! Untuk makan sore ini, kita akan buat suasana lebih seru dengan game dan beberapa perlombaan," seru Pak Agus begitu semangat. Murid-murid yang tengah berkumpul di area perkemahan langsung bersorak kecil, meski beberapa tampak kurang antusias. "Yaelah, Pak. Mau makan aja harus main game dulu," keluh Noval, sambil menggaruk kepala. Pak Agus hanya tersenyum. "Eh, ini bukan game sembarang game." "Emang game-nya apaan, Pak?" tanya Raka yang juga penasaran, sambil melipat tangan di dada. Pak Agus mendekat ke tengah lingkaran. "Biar lebih menantang, kita adakan lomba masak!" "Hah? Lomba masak? Yang bener aja, Pak. Peralatan kita kan seadanya," sahut Alyssa. "Justru karena peralatan kita seadanya, itu jadi tantangan tersendiri buat kalian! Kita akan lihat siapa yang paling kreatif." Murid-murid mulai saling melihat satu sama lain, beberapa mulai berbisik, sementara yang lain tampak ragu. "Pak, kelompoknya bisa pilih sendiri nggak?" tanya Leona. Pak Agus meng
"Veline!" Leona berteriak lantang sambil berlari menuju tenda tempat Veline berada. Di luar tenda, Veline tengah duduk di kursi lipat, kedua tangannya menggenggam secangkir teh hangat. Wanita itu pun sudah berganti pakaian, sore ini ia mengenakan jaket tebal berwarna hijau army dengan resleting yang sedikit terbuka, sampai memperlihatkan inner rajutnya yang berwarna hitam di bagian dalam. Sesampainya di depan Veline, Leona langsung memeluk sahabatnya erat-erat. "Ya ampun, Vel! Sorry banget, gara-gara gue lo sampai jatuh dari jembatan!" "Astaga, Le! Lo bikin gue sesek!" keluh Veline sambil berusaha melepaskan pelukan Leona, dan terus menjaga cangkir tehnya agar tidak tumpah. "Hehe, sorry, Vel. Gue bener-bener takut lo kenapa-napa." Leona berkata dengan wajah bersalah. Veline meletakkan cangkir tehnya di meja kecil yang ada di depannya. "Buktinya gue nggak apa-apa, kan?" "Iya sih ... tapi gue tetep aja ngerasa bersalah sama lo." Veline meraih tangan Leona, lalu m
"Tidak perlu, Leona. Kamu ikut saja dengan anak-anak yang lain. Biar Hero dan Veline saja yang kembali ke tenda," ujar Pak Agus. Leona terdiam sesaat, wajahnya terlihat kecewa. Namun, ia hanya bisa menerima keputusan tersebut, lalu mengangguk pelan. "Oh, baik, Pak," jawabnya. Dengan berat hati, ia melangkah mundur dan bergabung kembali dengan teman-temannya. Sementara itu, Hero mengangkat tubuh Veline ala bridal style. "Hati-hati, Ro," ucap Adrian, saat melihat Hero sudah membawa Veline pergi. Hero hanya mengangguk, lalu melangkah pergi meninggalkan teman-temannya. Semua mata tertuju pada Hero dan Veline yang perlahan menjauh, beberapa siswa masih terkejut melihat perubahan sikap Hero yang begitu peduli pada Veline. Setelah mereka menghilang dari pandangan, Pak Agus kembali mengambil alih situasi. "Baik, anak-anak. Sekarang kita lanjutkan tugas kita. Catat dengan baik apa yang kalian temui di sepanjang perjalanan, dan tetap hati-hati." "Baik, Pak!" jawab para sisw
Semua siswa menoleh ke arah teriakan Leona yang memanggil sahabatnya. Mereka menyaksikan dengan ngeri ketika tubuh Veline terhempas dari jembatan kayu dan jatuh ke dalam sungai yang deras. "Veline!" teriak beberapa siswa serentak ketika melihat gadis itu terbawa arus yang ganas. Suasana berubah mencekam, wajah para siswa sudah mulai panik. Sepasang mata Hero terpaku tatkala melihat tubuh Veline yang terseret oleh arus. Kesadarannya kembali dalam hitungan detik saat ia teringat bahwa Veline tak bisa berenang. Tanpa berpikir panjang, Hero melepaskan tasnya dan melompat ke sungai. "Hero!" teriak Raka, ia panik ketika melihat Hero melompat ke sungai begitu saja. Pak Agus juga panik, wajahnya tegang melihat aksi nekat Hero. "Ya ampun, Hero! Hati-hati! Anak-anak, cepat cari sesuatu untuk membantu Hero!" teriaknya. Para siswa segera berhamburan, mencari apa saja yang bisa digunakan untuk menyelamatkan kedua temannya. Mereka memeriksa sekitar jembatan. "Pak! Ada bambu panjang di
"Zahira … dia terus memanggil Hero, dan kondisinya memburuk. Suster Ira khawatir kalau ini tidak segera ditangani, bisa makin parah." "Ya sudah, Mas. Kita ke rumah sakit sekarang." "Tapi, acara ulang tahunmu ...," ujar Dimas ragu. "Nanti kita pikirkan lagi, Mas. Yang penting sekarang kita lihat kondisi Zahira dulu." Dimas tersenyum tipis, merasa lega ketika Amanda memahami situasinya. "Baiklah, terima kasih, Ma. Maaf bila acara kita ditunda lagi." "Gak apa-apa, Mas. Ayo kita pergi sekarang." Dimas mengangguk. Mereka berdua lalu masuk ke dalam mobil, dan Dimas memberi arahan pada Pak Supri. "Pak Supri, kita ke rumah sakit sekarang." "Baik, Pak," jawab Pak Supri sambil menyalakan mesin, membawa mereka menuju rumah sakit. Beberapa saat kemudian, kendaraan yang ditumpangi Dimas dan Amanda berhenti di depan rumah sakit. Bangunan megah dengan dinding putih bersih itu berdiri kokoh di bawah langit yang mulai mendung. Tanpa menunggu lama, Dimas segera keluar dari mobil, d
Udara yang semakin siang bukannya makin panas, tapi malah semakin sejuk. Saat bus perlahan memasuki area Puncak. Hamparan perkebunan teh pun sudah terlihat oleh mereka. Veline memandang keluar jendela, matanya terpaku pada hamparan hijau. Udara dingin yang menyelusup melalui celah-celah kaca jendela membuatnya menarik jaket lebih erat. Pemandangan yang begitu indah itu membuat Veline sejenak melupakan rasa kesal dan gelisah yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Setelah sekitar tiga jam perjalanan, bus perlahan melambat dan akhirnya berhenti di sebuah area perkemahan yang luas, yang dikelilingi pohon-pohon pinus. Para siswa mulai bersemangat. Mereka berbondong-bondong turun dari mobil, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang begitu menakjubkan: pegunungan hijau, udara segar, dan suara gemericik sungai kecil dari kejauhan. "Wah, keren banget tempatnya!" teriak Alyssa sambil merentangkan tangannya ke udara. "Sumpah, ini beneran kayak di film-film!" Leona memandang ta
"Jidat gue kejedog kursi," keluh Veline sambil mengusap dahinya yang terasa sakit. "Sama. Kepala gue langsung kliyengan lagi." Mereka berdua terus berkeluh kesah karena kepalanya terasa pusing. Namun, dari barisan belakang terdengar suara lantang Noval. "Pak!" Pak Agus yang sedang memperhatikan jalan segera menoleh. "Ya, ada apa, Noval?" "Pak, daripada diem-diem bae, gimana kalau karokean?" usul Noval. Pak Agus mulai menimbang. "Karokean? Emang kamu mau nyanyi lagu apa?" "Dangdutan aja, Pak, biar seru!" Kali ini Raka yang menjawab. "Daripada dangdutan, mending kita sholawatan aja. Biar perjalanan kita berkah dan hati kita tenang," kata Pak Agus, sambil memperhatikan para siswa. "Gimana, anak-anak?" Beberapa siswa mulai bersorak setuju. Pak Agus pun mulai melantunkan sholawat. "Shallallahu 'ala Muhammad ... shallallahu 'alaihi wasallam ...." "Ayo, anak-anak, ikuti bapak." "Iya, Pak!" Para siswa pun langsung mengikuti sholawat dengan kompak. Namun, di tenga