"Ro, di belakang lo ada orang nggak?" tanya Raka dari depan. Sepasang matanya menelisik ke arah belakang Hero. "Gak ada lah, gue yang paling belakang." "Terus tadi kayak ada bunyi sesuatu." Wajah Raka sudah mulai ketakutan. "Gak tahu, mungkin angin kali," ujar Hero sambil mengangkat bahunya. "Iya, mungkin angin. Udahlah ayo, kita lanjut lagi." Adrian mencoba mengalihkan perhatian mereka dari rasa takut yang mulai menjalar. Mereka akhirnya kembali melangkah menyusuri hutan. Sesekali mereka pun berhenti untuk mengambil bendera kuning yang tergantung di ranting, tetapi suasana semakin terasa aneh ketika tiba-tiba angin berhembus kencang, membawa desau yang bergema di antara pepohonan. Cabang-cabang pohon bergoyang, daun-daun mulai berjatuhan, menutupi jalan setapak yang mereka lalui. Suara alam yang sebelumnya tenang kini berubah menjadi mencengkam. "Anginnya kok tiba-tiba jadi kencang banget, ya?" Alyssa berkata sambil terus memeluk tubuhnya sendiri. "Guys ... kal
"Tapi kita gak bisa ninggalin mereka." Alyssa berkata tegas, sambil melihat ke arah Noval yang ada di sampingnya. "Gue gak peduli serem atau nggaknya, mereka teman kita." Raka mengangguk setuju. "Gue setuju sama Alyssa. Kita gak bisa ninggalin Veline dan Hero sendirian. Kita harus cari mereka." Adrian akhirnya mengangguk, meskipun wajahnya masih ragu. "Baiklah ... tapi kita tetap harus hati-hati. Jangan sampai kita juga nyasar atau berpisah lagi." Mereka mengangguk, lalu mulai berjalan perlahan ke arah yang mereka lewati sebelumnya, kali ini dengan langkah yang lebih hati-hati, mencoba mendengarkan setiap suara dan memperhatikan sekeliling mereka. Suasana hutan terasa semakin mencekam, tetapi tekad mereka untuk menemukan Veline dan Hero lebih besar daripada rasa takut yang membayangi. "Veline! Hero! Kalian di mana?" teriak Alyssa, suaranya menggema di antara pepohonan yang tinggi. "Hero! Ro! Lo denger kita gak?" seru Noval. "Hero! Veline!" panggil mereka berulang-ulang.
"Waktu itu kami lari karena panik, Pak. Karena lihat pocong. Kami kira mereka ada di belakang, tapi ternyata mereka gak ada." Adrian mencoba menjelaskan. Pak Agus menarik napas panjang, lalu mengangguk. "Baik, kita harus segera bertindak. Bapak akan mengumpulkan panitia dan mencari mereka. Kalian tunggu di sini dan tetap tenang." "Tolong, Pak ... temukan mereka. Saya gak tenang kalau mereka masih di hutan sendirian." Alyssa berharap Pak Agus dan panitia lainnya bisa membantu mereka. "Tenang, kami akan lakukan yang terbaik. Kalian istirahat dulu, jangan sampai kelelahan," ujar Pak Agus, ia pun mulai memanggil tim panitia lainnya. Salah satu panitia, Pak Dodi, sudah ada di dekat mereka, ia pun panik saat mengetahui kedua siswanya hilang, terlebih hujan pun sedari tadi mengguyur dengan kerasnya, begitu juga dengan suara petir yang terus menggema di atas langit sana. "Pak Agus, sepertinya kondisi ini terlalu berisiko. Jalanan di hutan licin dan terjal. Kalau kita memaksa masuk malam
Veline begitu gugup ketika Hero tiba-tiba mengikis jarak di antara mereka. Terlebih tangan Hero yang sudah meraba-raba tubuhnya. "Ih, lo mau ngapain sih?" Veline cepat-cepat mendorong tubuh Hero. Gadis itu pun terlihat begitu kesal. "Santai aja, gue cuma mau cari sesuatu buat dimakan," jawab Hero, sambil meraba-raba lagi saku jaketnya yang sedang Veline gunakan untuk menutupi tubuh. "Emang di jaket lo ada makanan?" Veline bertanya, ia merasa curiga, mungkin lelaki itu berdusta, pikinya. Namun, rasa lapar mengalahkan keraguannya kini. "Sepertinya ada." Setelah beberapa saat mencari, Hero akhirnya menemukan sesuatu. Ia membuka resleting jaket dan merogoh sesuatu di dalamnya. "Tinggal permen doang," katanya, sembari mengangkat permen itu dengan sedikit kecewa. Veline mengerucutkan bibirnya. "Hah, cuma permen?" "Ya, nih," jawab Hero sambil menyerahkan permen itu kepada Veline. "Buat gue?" "Iya." "Makasih." Veline membuka bungkus permen itu, dan langsung memasukkannya k
Hero menghela napas panjang, lalu perlahan menatap Veline dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya. Ada keraguan yang jelas terlihat di matanya, tapi juga keteguhan yang tak bisa dipungkiri. "Tutup mata lo," pinta Hero, suaranya terdengar rendah. "Kenapa gue harus tutup mata?" tanya Veline, ia begitu ragu, dan tak mengerti maksud dari Hero. "Nanti juga tahu." "Tapi lo nggak bakal macem-macem, kan?" Hero menggelengkan kepala, lalu berkata, "Nggak." Veline menghela napas, lalu perlahan mulai menutup matanya. Sebenarnya, ia merasa penasaran dengan apa yang ingin dilakukan Hero sampai ia disuruh menutup mata. Namun, beberapa saat kemudian, Veline merasakan sesuatu yang hangat dan kenyal menyentuh bibirnya. Ia pun langsung membuka mata dengan cepat, terbelalak kaget saat melihat Hero tengah menciumnya. Jantung Veline tiba-tiba berdetak begitu cepat, tatkala lelaki itu begitu dekat dengannya, bahkan sudah tidak ada lagi jarak di antara mereka. Hero hanya menempelka
Sinar matahari pagi mulai menerobos masuk melalui celah-celah ventilasi gubuk. Cahaya keemasan perlahan menerangi ruangan yang semalam gelap gulita, menandakan bahwa pagi telah tiba. Namun, dua manusia yang ada di dalamnya masih terlelap di atas ranjang kecil yang reyot. Merasa tangan kirinya sudah kebas karena semalaman suntuk Veline menggunakan tangannya sebagai bantalan. Hero pun menggeliat perlahan. Ia menghela napas ringan, tetapi sudut bibirnya melengkung membentuk sebuh ukiran manis. Matanya tertuju pada wajah Veline yang begitu tenang dalam tidurnya. Wajah oval gadis itu terlihat cantik, meski tanpa makeup. Alisnya yang tebal dan melengkung rapi menghiasi matanya yang tertutup. Hidungnya mancung mungil, sementara bibirnya yang tipis merekah terlihat memerah. Kulit putihnya memancarkan rona yang seakan selaras dengan sinar pagi yang menerangi ruangan. Hero mengelus helaian rambut hitam legam Veline yang sedikit berantakan sampai menutupi sebagian wajahnya. "Nyenyak banget
"Biarin juga kita tersesat di dunia lain, yang penting tersesatnya berdua sama lo," ujar Hero dengan santai. Mendengar itu Veline terkikik. "Haha .…" "Kenapa ketawa?" "Gue baru pertama kali digombalin sama lo." "Kenapa? Gak suka? Atau jangan-jangan ... lo lebih suka digombalin sama cowok lain?" Veline cepat-cepat menggeleng. "Suka," ujarnya sambil tersenyum lebar. Ia lalu membalikkan tubuhnya lagi menghadap Hero. "Gue suka kalau lo yang ngegombalin, tapi …." Veline sengaja menghentikan kalimatnya. "Tapi apa?" Hero bertanya, alisnya terangkat penasaran. "Tapi kayaknya gue cewek yang beruntung …." "Karena?" "Karena gue digombalin sama cowok dingin, galak, tukang marah, egois, keras kepala, nyebelin … dan—" "Oh, jadi di mata lo, gue gak ada baiknya sama sekali?" potong Hero, wajahnya terlihat agak kesal. Melihat ekspresi Hero yang seperti itu, Veline pun langsung tertawa, lalu menangkup wajah Hero agar melihat ke arahnya lagi. "Tapi lo lupa banyak hal." "Apa?"
"Alhamdulillah. Ya Allah Gusti, bapak teh sudah nyari kalian ke mana-mana, tapi bapak seneng, akhirnya kalian ketemu juga." Pak Agus begitu bahagia saat Veline dan Hero sudah ditemukan. "Bapak udah gak sedih lagi, kan?" tanya Noval. "Ah, tidak. Pak Agus udah gak sedih lagi," jawab Pak Agus sambil tersenyum. Namun, pandangan Pak Agus kembali tertuju pada Veline yang masih digendong oleh Hero. "Veline, kamu teh kunaon?" "Ka-kaki saya sakit, Pak." "Mau kamu naik ke tandu saja?" tawar Pak Agus. "Gak mau .…" "Biar Veline saya gendong aja, Pak," timpal Hero. "Oh, iya. Ya udah atuh, hati-hati aja, ya, Hero." Mereka semua pun mulai berjalan lagi menuju perkemahan. Di tengah perjalanan, suasana kembali ramai dengan obrolan para siswa. Namun, Leona yang sedari tadi terdiam hanya memperhatikan Hero yang terus menggendong Veline. Alih-alih bahagia karena kedua sahabatnya sudah ditemukan, wajah Leona malah tidak terlihat bahagia. Adrian yang melihat Leona terdiam pun segera b
Malam ini hujan turun dengan deras, menyelimuti kota dengan dingin. Di sebuah ruang bersalin di rumah sakit, Veline terbaring di ranjang, wajahnya basah oleh keringat. Rasa sakit melandanya seperti gelombang yang tak kunjung usai, tetapi genggaman tangan Hero yang erat memberinya kekuatan. "Sayang, aku di sini. Tarik napas dalam-dalam, oke? Kamu pasti bisa," ujar Hero dengan suara yang tenang meskipun matanya memancarkan kegelisahan. Veline menggigit bibirnya, berusaha menahan jeritan. "Hero … sakit banget …," suaranya bergetar. Hero mengusap rambut istrinya yang basah oleh keringat. "Kamu kuat, Sayang. Kamu selalu kuat. Nggak lama lagi kita bakal ketemu sama anak kita." Dokter dan perawat sibuk mempersiapkan semuanya. "Baik, Bu Veline, saat kontraksi berikutnya, tolong dorong sekuat tenaga, ya," kata dokter. Veline mengangguk lemah, matanya menatap Hero dengan penuh harap. Hero hanya membalas dengan senyuman yang berusaha menenangkan, meski di dalam dirinya ia merasa
Pagi ini, Zahira melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidung, dan langkah sepatunya yang berderap di lantai mengkilap terdengar jelas di antara kesunyian. Matanya menatap nomor ruangan di depannya. Di balik pintu itu, Amanda, wanita yang selama ini ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya, kini terbaring lemah. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Setelah menghela napas panjang, Zahira mengetuk pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Amanda terbaring dengan wajah pucat. Namun, ada senyum tipis di bibirnya saat melihat Zahira masuk. Dimas yang duduk di kursi di samping ranjang segera bangkit, memberikan ruang untuk mereka. "Zahira …," suara Amanda terdengar lemah. Zahira mendekat, menatap Amanda yang terbaring dengan infus terpasang di tangan kirinya. "Aku datang untuk menjengukmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Amanda tersenyum lemah. "Terima kasih … aku tahu ini pasti tidak mudah untukmu."
Veline dan Yudha berjalan perlahan menuju parkiran rumah sakit. Udara malam terasa menusuk. Namun, langkah mereka tetap tenang di tengah suasana sunyi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menambah kesan hening di sekitar. Namun, langkah Veline tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah Yudha dan berkata, "Yud, gue mau beli minum dulu sebentar." Yudha menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. "Ya udah, kita ke minimarket aja. Itu ada di dekat sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah minimarket kecil tak jauh dari parkiran. Mereka kemudian melangkah menuju minimarket tersebut. Saat sampai, Veline masuk ke dalam tanpa ragu, sementara Yudha memilih menunggu di luar. Ia bersandar pada salah satu tiang dekat pintu masuk, pandangannya mengawasi sekitar dengan santai, meski raut wajahnya masih terlihat tegang setelah kejadian di rumah sakit tadi. Namun, suasana hening itu tiba-tiba berubah ketika Yudha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah sakit. S
Amanda tergeletak di atas aspal, tubuhnya berlumuran darah yang terus mengalir, membasahi pakaian dan jalanan di sekitarnya. Matanya perlahan membuka, lemah, seolah mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Di sisi lain, Dimas berdiri terpaku sebelum akhirnya teriakannya menggema. "Amanda!" Dimas berteriak dengan suara yang serak dan penuh kegelisahan. Kakinya melangkah cepat, lututnya hampir jatuh saat ia berlutut di samping tubuh Amanda. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mengangkat kepala Amanda, memeluknya dengan erat meskipun darah terus mengalir di tangannya. "Amanda, kenapa kamu melakukan ini?" Amanda hanya tersenyum samar, bibirnya bergetar mencoba mengeluarkan kata-kata. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Di dekat mereka, Veline berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari genangan darah di sekitar tubuh Amanda. Wajahnya pucat, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa syok. "Ma ... Mama ...." Hero yang tadinya diam
Dimas berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang biasanya tampak tegas kini terlihat kusut. Napasnya terdengar berat, dan matanya seakan kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. "Mas, kenapa kamu diam saja? Ayo, cepat kejar Zahira! Kamu mau dia pergi begitu saja?" Amanda mengguncang bahu Dimas, mencoba menyadarkannya. Namun, Dimas hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu semuanya sudah terlambat. Amanda menghela napas frustrasi. "Aku yang harus mengejarnya?" gerutunya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari rumah, berusaha mengejar Zahira yang sudah meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat. Di dalam rumah, suasana menjadi semakin canggung. Veline dan Hero yang baru saja turun dari tangga, heran melihat Amanda berlari keluar dengan terburu-buru, seolah sedang mengejar seseorang. "Mama, kenapa itu?" tanya Veline dengan suara penasaran, ma
Hero tiba di rumah dengan langkah berat, tangan kanannya memegang mangga muda yang sudah ia perjuangkan dari tengah malam hingga pagi. Ia memasukkan motor ke halaman depan rumah dengan pelan, berusaha tidak membuat suara berisik. Sesampainya di kamar, Hero membuka pintu dengan hati-hati, melihat Veline yang tampak sudah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Ia memandangnya sejenak, senyumnya merekah meski ada rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya. Namun, sesaat setelah melihat wajah Veline yang begitu tenang, semua rasa lelah itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan hati-hati, Hero duduk di tepi ranjang, menggoyangkan bahu Veline dengan lembut. "Sayang, bangun ... nih, mangga mudanya." Veline yang masih terlelap hanya menggerakkan bibirnya sedikit. Namun, tidak membuka mata. "Apa sih, ganggu aja ...," jawabnya dengan suara serak, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk bangun. "Sayang, bangun ... ini mangga mudanya." Hero mengulangi, kali ini sedikit
Hero mengenakan jaket hitam tebalnya dengan tergesa-gesa. Malam ini udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan hembusan angin yang menyapu wajahnya saat keluar dari rumah membuatnya merasa semakin terjaga. Ia menurunkan helm dari motor dan meletakkannya di atas jok, berencana untuk menelepon beberapa temannya sebelum melanjutkan perjalanan. Pikirannya terfokus pada satu hal saja—mendapatkan mangga muda yang diminta oleh Veline. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena suhu udara yang dingin, Hero meraih ponselnya dan membuka kontak. Nama Raka muncul di layar, dan tanpa ragu ia menekan tombol telepon. "Raka, lo lagi di mana?" Tak lama kemudian, suara Raka terdengar dari ujung telepon. "Gue lagi di basecamp, sama Noval sama Adrian. Kenapa, Ro?" "Ke sekolah sekarang!" "Ngapain ke sekolah? Ini udah malam." "Pokoknya ke sekolah aja dulu, nanti gue jelasin. Ajak Noval sama Adrian juga." "Ya udah deh." Hero menutup telepon itu dengan cepat, menghela napas, dan mengam
Di ruang tamu yang diterangi lampu hangat, Veline duduk di sofa dengan Hero. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Veline menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memulai pembicaraan. Ia menatap secangkir teh hangat di tangannya, mengaduknya perlahan meski tidak ada gula yang perlu larut di sana. "Sayang," ujar Veline, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara ketenangan malam. Hero yang sedang memainkan ponselnya menoleh, menatap Veline dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu kelihatan serius banget," katanya sambil meletakkan ponselnya di meja. Perhatiannya kini sepenuhnya terarah pada istrinya. Veline menghela napas panjang, menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar ke sofa. Matanya menatap ke arah jendela, meski yang terlihat hanya bayangan gelap malam. "Aku tadi habis ke rumah Leona," ucapnya. Hero terkejut, tapi ia tidak langsung menyela. Ia hanya mengan
Sejak kejadian itu, Leona mengurung dirinya di dalam kamar. Pintu kamarnya yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, seakan mencerminkan dinding yang ia bangun untuk memisahkan dirinya dari dunia luar. Tirai jendela pun tertutup, membiarkan kegelapan menguasai ruangannya. Suara tangis terkadang terdengar lirih dari balik pintu, tetapi tak ada yang cukup berani untuk mengetuk dan mencoba bicara dengannya. Veline yang mengetahui keadaan sahabatnya merasa dilematis. Meski hatinya masih dipenuhi amarah karena ulah Leona yang terus mencoba memisahkannya dari Hero, rasa iba perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mengingat bagaimana video yang memperlihatkan tindakan tidak terpuji Leona tersebar luas di media sosial. Video itu menjadi bahan cibiran dan ejekan. Orang-orang terus mencela Leona tanpa ampun, menghakimi tanpa memberi ruang untuk pembelaan. Akun media sosial Leona dipenuhi komentar pedas, seolah seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya. "Kenapa dia harus sebodoh