Tubuh Hero seperti membeku, tak mampu digerakkan ketika Veline dengan santainya terus membuka kancing kemejanya. Matanya menatap gadis itu dengan bingung. Entah dari mana datangnya keberanian Veline, tapi wanita itu tampak sangat santai, bahkan terlalu santai untuk seseorang yang katanya menikah karena terpaksa. Padahal, Veline pernah berkata bahwa ia tak punya pilihan lain selain menikah dengannya. Namun, sekarang, alih-alih menunjukkan rasa terpaksa, Veline justru terlihat seperti pihak yang paling agresif. Tangan mungilnya dengan lincah membuka satu per satu kancing kemeja Hero, hingga tiga kancing terlepas begitu saja. Namun, tiba-tiba terdengar suara lantang dari luar. "Veline!" panggil Rania dari luar kamar. Veline tersentak. Tangannya yang semula sibuk di dada Hero langsung berhenti. Ia menoleh ke arah pintu dengan sedikit panik. "Iya, Tante!" jawabnya cepat, sebelum bergegas keluar dari kamar Hero tanpa menoleh lagi. Rania berdiri di depan pintu dengan senyum hangat. "S
Hero langsung membilas wajahnya dengan air begitu ia menyadari wajahnya dipenuhi tinta hitam. Veline benar-benar sudah membuat darahnya mendidih. Bagaimana bisa wanita itu dengan santainya menggambar hal tak jelas di wajahnya? Namun, bukannya tinta itu luntur, malah semakin melebar dan membuat wajah Hero terlihat lebih gelap. Hero bertambah kesal. Buru-buru ia meraih botol sabun pencuci muka dari rak. Ia menuangkan sabun itu lebih banyak dari biasanya, dan mulai menggosok wajahnya dengan cepat. Setelah merasa wajahnya bersih, ia mengambil handuk wajah yang tergantung di sebelah wastafel. Handuk itu ia gunakan dengan cepat untuk mengeringkan wajahnya, lalu membuangnya ke sisi wastafel. Selesai dengan semua itu, Hero bergegas keluar dari kamar mandi dengan langkah berat. Tanpa membuang waktu, lelaki itu berjalan menuju kamar Veline. Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk dengan keras. Tok! Tok! Tok! "Veline, keluar lo!" "Apaan sih? Ribut banget pagi-pagi," sahut Veline dar
Hero mencengkeram setir mobilnya semakin erat saat melihat sebuah motor berhenti tepat di depan Veline. Rahangnya mengeras, giginya bergemeletuk menahan emosi. Ia mencoba tetap tenang, tapi matanya tak bisa lepas dari pantulan kaca spion, memantau setiap gerakan gadis itu. Dari kejauhan, Yudha menghentikan motornya di depan Veline. "Vel, lo ngapain sendirian di sini?" tanyanya. "Oh, Yudha, gue kira siapa," jawab Veline, sambil mengangkat wajahnya ke arah lelaki itu. "Lo belum jawab pertanyaan gue. Kenapa lo ada di sini sendirian?" Veline terkekeh kecil, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Em … tadi gue naik ojek, tapi bannya bocor. Jadi gue terpaksa turun di sini," alibinya. Yudha mengangguk paham. "Oh, ya udah. Yuk, berangkat bareng aja. Nanti lo telat lagi." Veline menggeleng. "Gak perlu deh, Yud. Ntar gue malah ngerepotin lo." Yudha tersenyum. "Gak ada yang ngerepotin, Vel. Daripada lo telat, mending bareng aja." Setelah ragu sejenak, Veline akhirnya mengangguk. "Mm …
"Yud .…" Veline menatap Yudha bingung, terlebih ketika lelaki itu menyentuh tangannya dengan tatapan yang begitu dalam. Ia merasa suasana jadi tidak nyaman. Dengan perlahan, Veline melepaskan tangan Yudha dari lengannya. "Yudha, gue baik-baik aja, kok. Jangan khawatir, ya." "Tapi gue beneran khawatir, Vel. Gue gak mau ada apa-apa sama lo." Beberapa sahabat Hero—Raka, Noval, dan Adrian—yang baru saja tiba di parkiran segera mendekati mereka. Mereka langsung merasa panik begitu melihat Yudha berdiri dekat dengan Hero. Semua orang di sekolah tahu kalau Hero dan Yudha tidak pernah akur, selalu saja ada perselisihan setiap kali mereka bertemu. Raka berjalan lebih dulu dan menghampiri Hero. "Kenapa, Ro? Ada masalah lagi sama Yudha?" Hero hanya menggeram pelan tanpa menjawab, tapi sorot matanya jelas menunjukkan amarah yang tertahan. "Kalian lebih baik nasehatin sahabat kalian ini supaya gak asal ngebahayain nyawa orang lagi," ancam Yudha. Adrian yang masih bingung dengan situasi
Veline bingung saat Hero tiba-tiba membelokkan mobil ke kiri, Alih-alih ke kanan. "Hero, kok belok kiri? Bukannya ke kanan, ya?" tanyanya. "Nanti juga lo tahu." Veline semakin bingung, tapi memilih diam. Sekitar 15 menit kemudian, Hero memarkir mobilnya di depan sebuah rumah sakit. Veline membaca tulisan di plang besar itu dengan saksama. "Rumah Sakit Jiwa." Matanya langsung terbelalak. "Hero! Lo mau masukin gue ke rumah sakit jiwa?" "Iya, biar lo sadar dan gak bikin ulah terus," jawab Hero santai sambil melepas seatbelt-nya. "Hero, lo tega banget sih! Masa istri lo sendiri mau lo masukin ke rumah sakit jiwa?" Veline mengomel, merasa kesal dan tak habis pikir. Hero tak menggubris. Dia membuka pintu mobil dan turun. "Turun," perintahnya tegas. Dengan mendengkus kesal, Veline melepas seatbelt-nya dan keluar dari mobil sambil menggerutu. "Dasar gak punya hati," gumamnya pelan, tapi cukup untuk didengar Hero. Hero berjalan menuju pintu masuk rumah sakit, sementara Veline
Veline memperhatikan Hero yang sudah memasuki hotel, entah apa yang lelaki itu lakukan di dalam sana, yang jelas Veline merasa kesal, Hero bilang bahwa ia ingin pergi main atau mungkin … main yang dimaksud Hero …. "Tidak, gak mungkin dia sampai sewa perempuan lain, kan?" Veline menggelengkan kepala, ia berusaha sekuat tenaga agar tidak berpikiran negatif, tapi melihat Hero yang pergi begitu saja membuat Veline bertanya-tanya. Wanita yang memiliki rambut panjang sebahu itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya, sambil mencengkram erat setir mobil. "Apa gue turun dan cek sendiri? Tapi kalau dia tahu, dia bakal marah gak, ya?" Akhirnya, karena rasa gelisah yang tak tertahankan membuat Veline memutuskan untuk turun dari mobil. Setelah memastikan pintu mobil terkunci, dia berjalan menuju pintu masuk hotel. Begitu masuk, Veline langsung mengedarkan pandangannya ke segala arah. Lobi hotel yang luas dengan lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit tampak elegan, tapi itu tidak
Veline menaiki anak tangga untuk menuju ke kelasnya yang berada di lantai tiga. Namun, ketika ia sudah berada di lantai tiga, ia tak sengaja berpapasan dengan Hero, semenjak kejadian di kolam renang kemarin, Veline selalu menghindari lelaki itu karena ia masih kesal. Sementara itu, Hero memperhatikan Veline dengan saksama. Sudah berkali-kali ia mencoba mendekati dan meminta maaf, tetapi Veline tetap bersikap dingin dan keras kepala, bahkan mendiamkannya hingga sekarang. Tanpa sedikitpun menoleh ke arah Hero, Veline langsung masuk ke kelas. "Kenapa dia?" tanya Adrian heran ketika melihat Veline menjadi pendiam. Hero hanya menghela napas berat. Begitu bel masuk berbunyi, mereka pun segera masuk ke kelas. Semua siswa mulai duduk di kursi masing-masing ketika melihat guru mereka memasuki kelas. "Pagi, anak-anak," sapa Bu Tejo. "Pagi, Bu!" jawab para siswa serempak. "Sebelum kita melanjutkan pelajaran, Ibu ingin memperkenalkan murid baru dulu kepada kalian." Bu Tejo lalu m
Veline terkesiap ketika tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangannya dengan kuat, sampai pergelangannya terasa nyeri. "Ish, apa-apaan sih? Kenapa lo tarik-tarik tangan gue? Sakit tahu!" umpat Veline sambil menepis tangan lelaki itu dengan kasar. Begitu berhasil melepaskan tangannya, Veline menatap tajam lelaki yang berdiri di depannya. "Lo apa-apaan sih? Mau lo apa, hah?" Lelaki yang memiliki rambut hitam pendek yang sedikit berantakan seperti tidak pernah disisir rapi, menghela napas panjang. "Gue cuma ingin minta maaf sama lo, Vel. Gue mohon, gue bener-bener nyesel. Gue nyesel karena udah mengkhianati lo." "Penyesalan itu memang selalu datang belakangan, kalau di awal namanya pendaftaran, Arnold. Lo pikir maaf lo itu cukup buat gue?" "Vel, gue serius. Gue tahu gue salah. Gue gak bisa lupain lo. Gue mohon, beri gue kesempatan lagi." Arnold terus memohon, berharap Veline mau menerima maafnya. Namun, Veline hanya tertawa. "Kesempatan? Lo masih punya muka buat ngomongin k
Di ruang keluarga yang hangat, Veline dan Hero duduk berdua di sofa, menikmati waktu bersama. Suara televisi yang menayangkan kartun mengisi keheningan, sesekali terdengar suara tawa dari karakter animasi di layar. Namun, perhatian Hero sepenuhnya tertuju pada Veline yang bersandar di bahunya, tangannya perlahan membelai lembut perut Veline yang masih datar. Veline tersenyum kecil, meski matanya tetap menatap layar. Sentuhan Hero di perutnya terasa menenangkan, seolah memberikan kehangatan yang tidak bisa ia jelaskan. "Sayang," ujar Veline pelan. "Hm?" Hero menjawab dengan gumaman, tanpa mengalihkan pandangannya dari perut Veline. Jari-jarinya masih bergerak perlahan, seperti sedang berkomunikasi dengan makhluk kecil yang mungkin ada di sana. "Kira-kira, kalau nanti anak kita lahir, namanya siapa ya?" tanya Veline sambil tersenyum, ada sedikit rona di pipinya. "Hmm, nama, ya? Kalau laki-laki, bagaimana kalau ... Vero?" usul Hero, matanya bersinar sedikit bangga. "Vero?"
Hero tiba di rumah sembari mambawa surat beasiswa yang ia terima dari Pak Agus. Ketika sampai di depan pintu kamar, ia mengetuk pintu dengan pelan. Lalu, dengan hati-hati ia membuka pintu, dan menyembunyikan surat tersebut di belakang tubuhnya. Veline yang sedang duduk di ranjang, ia melamun sambil menatap test pack yang baru saja ia pakai, terkejut mendengar pintu terbuka. Refleks, ia segera menyembunyikan test pack itu di belakang tubuhnya begitu melihat Hero masuk ke dalam kamar. "Sayang, aku ingin bicara," ujar Hero, suaranya terdengar sedikit ragu. "Aku juga ingin bicara," jawab Veline. "Ya sudah, kamu duluan saja," kata Hero sambil mendekatkan diri ke meja. "Tidak, kamu dulu saja." Hero menghela napas panjang, merasa sedikit cemas. Ia akhirnya mengeluarkan surat beasiswa yang ia sembunyikan dan menaruhnya di meja depan Veline. "Ini surat penerimaan beasiswa ke luar negeri," ucapnya pelan. Veline membeku seketika mendengar kalimat itu, dan pandangannya beralih d
Hero mengetuk pintu ruangan Pak Agus dengan ragu. Suara berat pria paruh baya itu terdengar dari dalam. "Masuk." Hero membuka pintu dan melangkah masuk. Di meja, Pak Agus sedang sibuk dengan berkas-berkas, tetapi ia langsung menatap Hero dan tersenyum lebar. "Hero, akhirnya kamu datang," ujar Pak Agus sembari menyodorkan tangan untuk berjabat. "Maaf, Pak, tadi saya sedikit terlambat," jawab Hero sambil mengambil kursi di depan meja. Pak Agus menggeleng. "Nggak masalah. Bapak sengaja memanggil kamu ke sini karena ada kabar penting." Ia mengambil sebuah amplop dari meja dan menyodorkannya kepada Hero. "Ini, baca baik-baik." Hero mengambil amplop itu dengan sedikit bingung. "Apa ini, Pak?" tanyanya sambil membuka amplop tersebut. Matanya membesar saat membaca isi suratnya. "Beasiswa ke luar negeri?" gumam Hero. Pak Agus mengangguk dengan bangga. "Kamu diterima untuk program beasiswa di salah satu universitas terbaik di Inggris. Ini kesempatan besar, Hero. Jarang-jar
Veline berlari memasuki kamar mandi, sembari melepas bathrobe putih yang membungkus tubuhnya. Aroma manis bunga sakura dari bath bomb yang telah ia memasukkan sebelumnya sudah memenuhi ruangan yang sedikit berkabut karena uap air panas. Tubuhnya yang jenjang dan mulus tampak berkilauan di bawah cahaya lampu yang temaram. Dengan perlahan, ia masuk ke dalam bathtub, membiarkan air hangat yang berbusa menyelimuti kulitnya. Sesaat kemudian, ia menyandarkan kepala ke pinggiran bathtub, menutup mata sejenak sambil menikmati suasana yang menenangkan. Ujung jari-jarinya yang lentik, dengan kuku bercat merah tua, menyentuh kulit kakinya yang terendam. Busa putih yang mengapung di atas air menutupi sebagian tubuhnya. Ia menggerakkan tangannya perlahan, menikmati sensasi air hangat yang membelai kulitnya. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Pintu kamar mandi perlahan terbuka, memperlihatkan sosok Hero yang mengenakan bathrobe putih serupa dengan miliknya. Lelaki itu
"Leona!" Veline berteriak lantang begitu melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Tepat di atas ranjang, ia melihat Leona tengah memeluk Hero. Gaun Leona sedikit terbuka, sampai memperlihatkan bahu mulusnya, dan rambutnya yang sedikit acak-acakan. Sementara Hero terlihat lemah, beberapa kancing kemejanya juga telah terbuka. Pemandangan itu seperti petir yang menyambar hati Veline. Dadanya terasa sesak, matanya memanas, tapi bukan air mata yang keluar, melainkan api kemarahan yang berkobar. Bukan hanya Veline yang terkejut. Orang-orang yang sedari tadi mengikuti Veline pun tercengang. Mereka berdiri di ambang pintu, memandang tak percaya pada apa yang tengah terjadi di depan mata mereka. Tanpa banyak bicara, Veline melangkah masuk ke kamar. Kemarahannya terlihat jelas dari setiap sudut wajahnya. Dengan cepat, ia meraih tangan Leona dan menyeretnya turun dari ranjang. "Dasar jalang?!" teriak Veline. Tangannya melayang di udara, dan mendarat di pipi mulus Leona.
Kepala Hero terasa berat. Keringat mengucur di dahinya, tubuhnya seperti terbakar. Ia mencoba memfokuskan pandangannya pada wanita di hadapannya, tetapi semuanya terasa buram. "Sayang ... kamu mau bawa aku ke mana?" tanyanya dengan suara lemah. Leona tersenyum tipis, menahan dirinya untuk tidak memperlihatkan rasa puas yang begitu besar. Ia menopang tubuh Hero yang sempoyongan. "Kamu harus istirahat. Aku akan membawamu ke suatu tempat supaya kamu bisa merasa lebih baik." Langkah mereka berhenti di depan sebuah ruangan hotel. Leona mengeluarkan kunci dan membukanya dengan cepat. Saat pintu terbuka, ia memapah tubuh Hero ke dalam. Dengan susah payah, menuntun pria itu ke ranjang besar yang ada di tengah ruangan, lalu membaringkannya perlahan. Hero mengerang pelan, tubuhnya terasa seperti terbakar. "Kenapa di sini panas sekali …?" gumamnya sambil mengibaskan tangannya yang lemah, mencoba mengusir hawa panas yang seakan mencekik napasnya. Tubuh lelaki itu semakin tak berdaya,
Hero tengah duduk bersandar di kursi, satu lengan terlipat di sandaran, sementara tangan lainnya menggenggam gelas air mineral di atas meja. Sementara kedua sahabatnya, Raka dan Noval tengah membahas soal rencana masa depan mereka selepas kelulusan. Saat itu juga, pandangan Raka teralihkan, ia melihat Hero yang tampak terdiam. "Ro, lo kok diem aja? Lagi ngelamunin siapa, tuh?" godanya. "Jangan-jangan ... dia lagi mikirin Veline yang habis berdansa sama Arnold," sela Noval, ia tertawa sambil menunjuk ke arah Veline yang terlihat sibuk berbincang dengan teman-temannya. "Lo berdua ini rese banget." Hero mengangkat gelasnya dari meja. "Udah, toast aja." Raka dan Noval mengangkat gelas juga, dan mereka pun bersulang. "Untuk kelulusan kita," seru Noval. Bunyi dentingan gelas terdengar, diiringi tawa mereka. Hero menyesap air yang ada di gelas hingga tandas. Namun, begitu cairan itu masuk ke dalam tenggorokannya, ia merasakan sesuatu yang aneh. Rasanya tidak seperti air. Ada
Veline menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak emosi yang hampir meledak di dalam dirinya. Wajah Arnold yang ada tepat di depannya sudah cukup memicu kemarahannya saat ini. Namun, pemandangan Leona dan Hero yang berdansa di bawah sana seperti menambahkan bahan bakar ke api yang sedang berkobar di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggigit bibir bawahnya untuk menahan diri agar tidak melakukan sesuatu yang akan mempermalukan dirinya di depan umum. "Kita turun aja yuk," ujar Veline, suaranya terdengar lebih tenang dari biasanya. "Dansa bareng sama yang lain." Merasa heran dengan sikap Veline yang tiba-tiba manis, Arnold hanya mengangkat sebelah alisnya. "Boleh juga." Tanpa banyak bicara, Veline mulai melangkah turun dari panggung, diikuti oleh Arnold yang setia di belakangnya. Veline memasuki kerumunan, matanya tanpa sadar kembali tertuju pada Hero dan Leona yang berdansa tak jauh dari tempatnya berdiri. Leona tampak begitu santai, tangannya melingkar di leher Hero,
Tepat ketika Veline melangkahkan kaki ke atas panggung, langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya membelalak saat melihat seseorang yang berjalan dari sisi lain panggung. Sosok itu tampak begitu percaya diri, mengenakan pakaian rapi yang membuatnya sulit untuk tidak diperhatikan. Veline tanpa sadar memperhatikan lelaki itu dari ujung sepatu pantofelnya yang hitam mengkilap. Celana panjang kain hitam yang dikenakan tampak disetrika dengan sempurna. Pandangannya naik ke atas, melihat kemeja putih berlengan panjang yang terpasang rapi. Rambut hitam lelaki itu sedikit berantakan, tetapi justru menambah kesan kasual yang memikat. Dan di sanalah Arnold—mantan kekasihnya, berdiri dengan senyuman yang membuat darah Veline mendidih. 'Kenapa harus dia, sih?' gerutu Veline dalam hati. Ia menahan napas, mencoba menenangkan diri, tetapi rasa kesal sudah menyeruak. Bagaimana mungkin undian ini mempertemukannya dengan seseorang yang paling ingin ia hindari? Arnold menatapnya dengan santai. Se