Hero langsung membilas wajahnya dengan air begitu ia menyadari wajahnya dipenuhi tinta hitam. Veline benar-benar sudah membuat darahnya mendidih. Bagaimana bisa wanita itu dengan santainya menggambar hal tak jelas di wajahnya? Namun, bukannya tinta itu luntur, malah semakin melebar dan membuat wajah Hero terlihat lebih gelap. Hero bertambah kesal. Buru-buru ia meraih botol sabun pencuci muka dari rak. Ia menuangkan sabun itu lebih banyak dari biasanya, dan mulai menggosok wajahnya dengan cepat. Setelah merasa wajahnya bersih, ia mengambil handuk wajah yang tergantung di sebelah wastafel. Handuk itu ia gunakan dengan cepat untuk mengeringkan wajahnya, lalu membuangnya ke sisi wastafel. Selesai dengan semua itu, Hero bergegas keluar dari kamar mandi dengan langkah berat. Tanpa membuang waktu, lelaki itu berjalan menuju kamar Veline. Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk dengan keras. Tok! Tok! Tok! "Veline, keluar lo!" "Apaan sih? Ribut banget pagi-pagi," sahut Veline dar
Hero mencengkeram setir mobilnya semakin erat saat melihat sebuah motor berhenti tepat di depan Veline. Rahangnya mengeras, giginya bergemeletuk menahan emosi. Ia mencoba tetap tenang, tapi matanya tak bisa lepas dari pantulan kaca spion, memantau setiap gerakan gadis itu. Dari kejauhan, Yudha menghentikan motornya di depan Veline. "Vel, lo ngapain sendirian di sini?" tanyanya. "Oh, Yudha, gue kira siapa," jawab Veline, sambil mengangkat wajahnya ke arah lelaki itu. "Lo belum jawab pertanyaan gue. Kenapa lo ada di sini sendirian?" Veline terkekeh kecil, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Em … tadi gue naik ojek, tapi bannya bocor. Jadi gue terpaksa turun di sini," alibinya. Yudha mengangguk paham. "Oh, ya udah. Yuk, berangkat bareng aja. Nanti lo telat lagi." Veline menggeleng. "Gak perlu deh, Yud. Ntar gue malah ngerepotin lo." Yudha tersenyum. "Gak ada yang ngerepotin, Vel. Daripada lo telat, mending bareng aja." Setelah ragu sejenak, Veline akhirnya mengangguk. "Mm …
"Yud .…" Veline menatap Yudha bingung, terlebih ketika lelaki itu menyentuh tangannya dengan tatapan yang begitu dalam. Ia merasa suasana jadi tidak nyaman. Dengan perlahan, Veline melepaskan tangan Yudha dari lengannya. "Yudha, gue baik-baik aja, kok. Jangan khawatir, ya." "Tapi gue beneran khawatir, Vel. Gue gak mau ada apa-apa sama lo." Beberapa sahabat Hero—Raka, Noval, dan Adrian—yang baru saja tiba di parkiran segera mendekati mereka. Mereka langsung merasa panik begitu melihat Yudha berdiri dekat dengan Hero. Semua orang di sekolah tahu kalau Hero dan Yudha tidak pernah akur, selalu saja ada perselisihan setiap kali mereka bertemu. Raka berjalan lebih dulu dan menghampiri Hero. "Kenapa, Ro? Ada masalah lagi sama Yudha?" Hero hanya menggeram pelan tanpa menjawab, tapi sorot matanya jelas menunjukkan amarah yang tertahan. "Kalian lebih baik nasehatin sahabat kalian ini supaya gak asal ngebahayain nyawa orang lagi," ancam Yudha. Adrian yang masih bingung dengan situasi
Veline bingung saat Hero tiba-tiba membelokkan mobil ke kiri, Alih-alih ke kanan. "Hero, kok belok kiri? Bukannya ke kanan, ya?" tanyanya. "Nanti juga lo tahu." Veline semakin bingung, tapi memilih diam. Sekitar 15 menit kemudian, Hero memarkir mobilnya di depan sebuah rumah sakit. Veline membaca tulisan di plang besar itu dengan saksama. "Rumah Sakit Jiwa." Matanya langsung terbelalak. "Hero! Lo mau masukin gue ke rumah sakit jiwa?" "Iya, biar lo sadar dan gak bikin ulah terus," jawab Hero santai sambil melepas seatbelt-nya. "Hero, lo tega banget sih! Masa istri lo sendiri mau lo masukin ke rumah sakit jiwa?" Veline mengomel, merasa kesal dan tak habis pikir. Hero tak menggubris. Dia membuka pintu mobil dan turun. "Turun," perintahnya tegas. Dengan mendengkus kesal, Veline melepas seatbelt-nya dan keluar dari mobil sambil menggerutu. "Dasar gak punya hati," gumamnya pelan, tapi cukup untuk didengar Hero. Hero berjalan menuju pintu masuk rumah sakit, sementara Veline
Veline memperhatikan Hero yang sudah memasuki hotel, entah apa yang lelaki itu lakukan di dalam sana, yang jelas Veline merasa kesal, Hero bilang bahwa ia ingin pergi main atau mungkin … main yang dimaksud Hero …. "Tidak, gak mungkin dia sampai sewa perempuan lain, kan?" Veline menggelengkan kepala, ia berusaha sekuat tenaga agar tidak berpikiran negatif, tapi melihat Hero yang pergi begitu saja membuat Veline bertanya-tanya. Wanita yang memiliki rambut panjang sebahu itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya, sambil mencengkram erat setir mobil. "Apa gue turun dan cek sendiri? Tapi kalau dia tahu, dia bakal marah gak, ya?" Akhirnya, karena rasa gelisah yang tak tertahankan membuat Veline memutuskan untuk turun dari mobil. Setelah memastikan pintu mobil terkunci, dia berjalan menuju pintu masuk hotel. Begitu masuk, Veline langsung mengedarkan pandangannya ke segala arah. Lobi hotel yang luas dengan lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit tampak elegan, tapi itu tidak
Veline menaiki anak tangga untuk menuju ke kelasnya yang berada di lantai tiga. Namun, ketika ia sudah berada di lantai tiga, ia tak sengaja berpapasan dengan Hero, semenjak kejadian di kolam renang kemarin, Veline selalu menghindari lelaki itu karena ia masih kesal. Sementara itu, Hero memperhatikan Veline dengan saksama. Sudah berkali-kali ia mencoba mendekati dan meminta maaf, tetapi Veline tetap bersikap dingin dan keras kepala, bahkan mendiamkannya hingga sekarang. Tanpa sedikitpun menoleh ke arah Hero, Veline langsung masuk ke kelas. "Kenapa dia?" tanya Adrian heran ketika melihat Veline menjadi pendiam. Hero hanya menghela napas berat. Begitu bel masuk berbunyi, mereka pun segera masuk ke kelas. Semua siswa mulai duduk di kursi masing-masing ketika melihat guru mereka memasuki kelas. "Pagi, anak-anak," sapa Bu Tejo. "Pagi, Bu!" jawab para siswa serempak. "Sebelum kita melanjutkan pelajaran, Ibu ingin memperkenalkan murid baru dulu kepada kalian." Bu Tejo lalu m
Veline terkesiap ketika tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangannya dengan kuat, sampai pergelangannya terasa nyeri. "Ish, apa-apaan sih? Kenapa lo tarik-tarik tangan gue? Sakit tahu!" umpat Veline sambil menepis tangan lelaki itu dengan kasar. Begitu berhasil melepaskan tangannya, Veline menatap tajam lelaki yang berdiri di depannya. "Lo apa-apaan sih? Mau lo apa, hah?" Lelaki yang memiliki rambut hitam pendek yang sedikit berantakan seperti tidak pernah disisir rapi, menghela napas panjang. "Gue cuma ingin minta maaf sama lo, Vel. Gue mohon, gue bener-bener nyesel. Gue nyesel karena udah mengkhianati lo." "Penyesalan itu memang selalu datang belakangan, kalau di awal namanya pendaftaran, Arnold. Lo pikir maaf lo itu cukup buat gue?" "Vel, gue serius. Gue tahu gue salah. Gue gak bisa lupain lo. Gue mohon, beri gue kesempatan lagi." Arnold terus memohon, berharap Veline mau menerima maafnya. Namun, Veline hanya tertawa. "Kesempatan? Lo masih punya muka buat ngomongin k
"Kenapa lo jadi nyalahin gue?" Veline menatap Leona dengan ekspresi tak percaya. "Gue gak minta mereka duel, Le! Mereka aja yang sok jagoan." Leona mendesah, lalu melirik ke arah lapangan. "Ya, ya, gue gak nyalahin lo kok," ujarnya gugup. "Em, Vel, lo pilih siapa? Yudha atau Arnold?" Veline hanya terdiam, matanya fokus memperhatikan duel sengit di lapangan. Melihat Veline yang diam, Leona semakin penasaran. "Gue tahu, lo kan lagi marah sama Arnold. Jadi sekarang, lo pasti pilih Yudha, kan?" Veline menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Ya iyalah gue pilih Yudha. Ngapain juga gue pilih Arnold?" Pernyataan Veline membuat Leona bersorak kegirangan. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung berteriak lantang. "Yudha, semangat mainnya! Tenang aja, Veline pilih elo kok. Dia yakin lo pasti menang!" Suara heboh Leona langsung menarik perhatian para siswa di lapangan. Mereka mulai berbisik-bisik, dan sadar bahwa pertandingan itu untuk merebutkan hati Veline. Yudha yang mendengar
Hero berdiri di depan pintu, bersandar santai di dinding sambil menyaksikan wajah Veline yang cemberut. Bibirnya sedikit mengerucut, sampai kedua pipinya menggelembung. Pemandangan itu bukannya membuat Hero sebal, tapi justru membuatnya malah menyunggingkan senyum. Tanpa banyak bicara, Hero mendekati Veline, dan dengan santai menjawil kedua pipi gadis itu yang tembem. "Gimana gue bisa ngajak lo kalau lo tidurnya kaya kebo, Vel," ujarnya sambil terkekeh kecil. Veline langsung menepis tangan Hero dengan cepat. "Ya kenapa lo gak bangunin gue, sih?" protesnya. "Gue udah bangunin lo, tapi lo gak bangun-bangun. Mau diapain lagi coba?" "Lo gak bohong, kan?" "Buat apa gue bohong?" Veline menghela napas panjang, sambil mencoba meredam kekesalannya. "Ya udah. Kali ini gue maafin." Ia lalu berbalik dan berjalan menuju tangga. Namun, baru beberapa langkah, ia berhenti lalu berkata, "Jangan lupa tutup pintunya, terus kunci!" Hero hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum ke
Veline menggeliat perlahan, lalu membuka matanya yang terasa berat. Sesekali, ia mengucek matanya yang masih mengantuk. Pandangannya mengarah ke jendela kamar, dan ia terkejut melihat langit sudah gelap pekat. "Ya ampun, kok gue bisa ketiduran sih?" gerutunya kesal. Dengan cepat, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas. Mata Veline membelalak saat melihat jam di layar. Jarum pendek sudah menunjuk angka 12. "Astaga, udah jam 12 malam! Gila, gue tidur udah kayak kebo," ujarnya kesal. Ia mengingat-ingat. Terakhir kali ia memejamkan mata, masih sekitar jam dua siang. Kini, ia sudah tidur selama hampir sepuluh jam. Veline menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu melempar boneka beruang ke sudut tempat tidur. Rambut hitamnya yang sebahu terlihat acak-acakan, sebagian poni menutupi dahinya. Ia mengenakan piyama hijau bermotif geometris. Dengan enggan, Veline menyelipkan kakinya ke dalam sandal rumah yang tergeletak di samping tempat tidur. Langkahnya terhuyung kelua
Seorang lelaki tampan tengah berjalan menyusuri lorong menuju ruang terbuka yang biasa digunakan untuk perayaan ulang tahun. Ia membawa seikat bunga indah di tangannya, terdiri dari kombinasi mawar putih, kuning, dan beberapa bunga kecil lainnya yang tersusun rapi dalam kertas pembungkus hijau. Lelaki itu mengenakan kemeja biru muda yang rapi, kontras dengan celana hitam yang dikenakannya. Rambutnya tersisir rapi, yang membuatnya terlihat semakin menawan. Malam ini, Hero berencana merayakan ulang tahun Leona. Di ruang terbuka, Leona sudah menunggu dengan sabar di sebuah meja yang didekorasi cantik. Di atas meja, terdapat kue ulang tahun berlapis krim putih dengan lilin kecil di tengahnya, beberapa gelas minuman, dan vas bunga sebagai hiasan tambahan. Leona tampil memukau malam ini. Ia mengenakan gaun merah anggun dengan potongan sederhana, yang mempertegas siluet tubuhnya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai, sementara bibirnya dipoles lipstik merah senada dengan gaunnya.
Langkah kaki Veline mendadak berat, seolah tanah yang ada di bawah menahan setiap pergerakannya. Pandangannya sedari tadi tertuju pada sosok Hero yang tengah menyandarkan kepala di bahu Leona. Meski tangan Hero tetap berada di sisi tubuhnya, tapi jelas, pemandangan itu cukup untuk membuat perut Veline terasa melilit. Ia mencoba mengalihkan pandangan, tetapi matanya enggan berpaling. Dada Veline terasa sesak, seperti ada beban tak kasat mata yang menghimpit. Udara di sekitarnya mendadak terasa tipis, dan ia harus menarik napas pelan-pelan untuk meredam gejolak yang tiba-tiba datang. Leona tersenyum, hatinya menghangat saat Hero tampak nyaman menyandarkan kepala di bahunya. Ia tahu lelaki itu sedang lelah—bukan hanya karena rutinitas OSIS yang tak ada habisnya, tetapi juga beban masalah keluarga yang selama ini dipikulnya sendiri. Leona merasa lega bisa menjadi tempat Hero bersandar, seperti Hero yang selalu ada di sisinya ketika ia terjatuh, saat dunia seakan tak berpihak padanya.
Di lantai tiga, seorang pemuda berdiri di depan kelas, pandangannya mengarah ke area parkiran. Sepasang matanya sedari tadi tak pernah lepas dari Veline dan Yudha yang masih berada di sana. Arnold begitu kesal saat melihat Yudha dan Veline terlihat begitu akrab. Terlebih, ia semakin kesal saat kalah tanding basket dengan Yudha, otomatis, ia harus menjauhi Veline, dan membiarkan Yudha mendekatinya. Namun, sungguh, Arnold masih belum rela bila mantannya itu dekat dengan lelaki lain. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan menepuk bahunya dari belakang, sampai membuat Arnold tersentak dari lamunannya. "Kenapa lo lihatin mereka terus?" Seorang gadis menyandarkan tubuhnya di dinding, sambil menatap Arnold dengan lekat. Arnold mengalihkan pandangannya sebentar, lalu kembali menatap ke bawah. Diamnya seolah mengungkapkan lebih banyak daripada kata-kata. "Lo cemburu?" Lagi, Freya bertanya saat lelaki itu hanya terdiam. Arnold tetap bungkam, tapi tangannya semakin mengepal erat. Sementara Fre
"Daripada bagi link, mending kita praktek aja," ujar Hero santai, sambil menyandarkan tubuhnya di kursi. Mulut Veline langsung menganga lebar mendengar kalimat itu. Tubuhnya menegang seketika, bulu kuduknya berdiri seperti kena sengatan listrik. "Praktek?" Hero mengangkat alis, memandang Veline bingung. "Kenapa? Kok lo gugup gitu?" tanya Hero sambil memiringkan kepala. "Kita kan udah nikah. Emang gak boleh praktek?" "Hah?!" Veline semakin terkejut. Pikirannya langsung melayang entah ke mana. "Ih, tapi ... gue belum siap." Hero melipat tangan di dada. "Siap apaan?" "Itu ... praktek." Wajah Veline sudah mulai merah. Hero menyipitkan mata. "Besok kan kita praktek." "Apa? Besok?! Tapi gue masih datang bulan!" Hero mengerutkan kening. "Emang kenapa kalau datang bulan?" "Ya nggak boleh lah, Hero! Kalau datang bulan tuh gak boleh praktek!" Hero hanya menggelengkan kepala pelan, lalu bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah santai, ia berjalan mendekati Veline. Sesam
Kamar Hero tampak redup, hanya diterangi oleh cahaya biru dari lampu LED di sudut ruangan. Di atas meja, sebuah monitor menyala terang, memancarkan kilatan cahaya dari permainan yang sedang berlangsung. Malam ini, Hero mengenakan hoodie putih yang terlihat kontras dengan suasana kamar yang gelap. Di kepalanya terpasang headphone berwarna putih yang menutupi telinganya dengan sempurna. Tangannya begitu cekatan menggerakkan mouse dan menekan keyboard, sementara matanya fokus menatap layar monitor. Sesekali, bibirnya bergerak, mungkin memberikan perintah kepada rekan timnya melalui mikrofon. Di tengah intensitas permainan, Hero meraih cangkir putih di sampingnya. Ia menyesap isinya perlahan, membiarkan cairan hangat itu melewati tenggorokannya sebelum meletakkan cangkir itu kembali di meja. Wajahnya tetap fokus, meskipun matanya sedikit menyipit. Di belakangnya, beberapa poster tergantung di dinding. Sebuah rak kecil di pojok kamar menampung koleksi figure dan game favoritnya. Mes
Veline terkejut saat Leona tiba-tiba menepuk tangannya ketika mereka baru saja keluar dari cafe. "Ada apa sih, Le?" tanya Veline yang terlihat bingung. "Vel, lihat ke sana!" jawab Leona sambil menunjuk ke arah salah satu sudut area cafe. Veline mengikuti arah yang ditunjuk Leona, ia seketika menghela napas panjang. Matanya menangkap sosok adik sepupunya, Theo, yang sedang duduk santai bersama teman-temannya. Yang membuat suasana semakin menyebalkan, Theo mulai berdiri dan berjalan menghampiri mereka. "Eh, ada kakak-kakakku yang cantik," sapa Theo sambil tersenyum lebar. Leona membalas dengan senyum ramah, sementara Veline memutar matanya jengah. Bertemu Theo di saat seperti ini? Veline sudah siap-siap untuk naik darah. "Lo ngapain di sini, bocil?" tanya Veline ketus. Theo langsung cemberut. "Jangan panggil gue bocil dong, Kak. Gue udah SMA." "Yaelah, baru juga SMA kelas satu. Tetep aja masih bocil," balas Veline sambil melipat tangan di dada. Theo menyeringai licik.
"Emang lo sama dia mau ketemuan di mana?" tanya Hero saat melihat Veline yang cemberut "Di halte." "Rumah dia kan jauh dari halte. Kita pasti nyampe duluan. Gue cuma nganter sampe halte, kok." Veline menghela napas panjang, ia akhirnya mengangguk. "Ya udah deh." Akhirnya, dengan sedikit enggan, Veline menerima tawaran Hero. Ia mengambil helm dari motor lelaki itu, lalu mengenakannya. Hero sudah lebih dulu naik ke motor, menyalakan mesin, lalu menoleh ke Veline. "Yuk, naik." Veline menaiki motor dengan hati-hati, duduk agak jauh dari Hero. Tapi begitu motor mulai melaju, ia terpaksa memegang pinggiran jaket Hero agar tidak kehilangan keseimbangan. Sepanjang jalan, Veline menggerutu dalam hati, merasa ini situasi paling canggung yang pernah ia alami. Namun, di sisi lain, ia juga tak bisa memungkiri bahwa ada sedikit rasa aman ketika berada di dekat Hero, meskipun ia takkan pernah mengakuinya. Beberapa saat kemudian, mereka tiba di halte. Veline segera turun dari motor Hero