"Yud .…" Veline menatap Yudha bingung, terlebih ketika lelaki itu menyentuh tangannya dengan tatapan yang begitu dalam. Ia merasa suasana jadi tidak nyaman. Dengan perlahan, Veline melepaskan tangan Yudha dari lengannya. "Yudha, gue baik-baik aja, kok. Jangan khawatir, ya." "Tapi gue beneran khawatir, Vel. Gue gak mau ada apa-apa sama lo." Beberapa sahabat Hero—Raka, Noval, dan Adrian—yang baru saja tiba di parkiran segera mendekati mereka. Mereka langsung merasa panik begitu melihat Yudha berdiri dekat dengan Hero. Semua orang di sekolah tahu kalau Hero dan Yudha tidak pernah akur, selalu saja ada perselisihan setiap kali mereka bertemu. Raka berjalan lebih dulu dan menghampiri Hero. "Kenapa, Ro? Ada masalah lagi sama Yudha?" Hero hanya menggeram pelan tanpa menjawab, tapi sorot matanya jelas menunjukkan amarah yang tertahan. "Kalian lebih baik nasehatin sahabat kalian ini supaya gak asal ngebahayain nyawa orang lagi," ancam Yudha. Adrian yang masih bingung dengan situasi
Veline bingung saat Hero tiba-tiba membelokkan mobil ke kiri, Alih-alih ke kanan. "Hero, kok belok kiri? Bukannya ke kanan, ya?" tanyanya. "Nanti juga lo tahu." Veline semakin bingung, tapi memilih diam. Sekitar 15 menit kemudian, Hero memarkir mobilnya di depan sebuah rumah sakit. Veline membaca tulisan di plang besar itu dengan saksama. "Rumah Sakit Jiwa." Matanya langsung terbelalak. "Hero! Lo mau masukin gue ke rumah sakit jiwa?" "Iya, biar lo sadar dan gak bikin ulah terus," jawab Hero santai sambil melepas seatbelt-nya. "Hero, lo tega banget sih! Masa istri lo sendiri mau lo masukin ke rumah sakit jiwa?" Veline mengomel, merasa kesal dan tak habis pikir. Hero tak menggubris. Dia membuka pintu mobil dan turun. "Turun," perintahnya tegas. Dengan mendengkus kesal, Veline melepas seatbelt-nya dan keluar dari mobil sambil menggerutu. "Dasar gak punya hati," gumamnya pelan, tapi cukup untuk didengar Hero. Hero berjalan menuju pintu masuk rumah sakit, sementara Veline
Veline memperhatikan Hero yang sudah memasuki hotel, entah apa yang lelaki itu lakukan di dalam sana, yang jelas Veline merasa kesal, Hero bilang bahwa ia ingin pergi main atau mungkin … main yang dimaksud Hero …. "Tidak, gak mungkin dia sampai sewa perempuan lain, kan?" Veline menggelengkan kepala, ia berusaha sekuat tenaga agar tidak berpikiran negatif, tapi melihat Hero yang pergi begitu saja membuat Veline bertanya-tanya. Wanita yang memiliki rambut panjang sebahu itu hanya bisa menggigit bibir bawahnya, sambil mencengkram erat setir mobil. "Apa gue turun dan cek sendiri? Tapi kalau dia tahu, dia bakal marah gak, ya?" Akhirnya, karena rasa gelisah yang tak tertahankan membuat Veline memutuskan untuk turun dari mobil. Setelah memastikan pintu mobil terkunci, dia berjalan menuju pintu masuk hotel. Begitu masuk, Veline langsung mengedarkan pandangannya ke segala arah. Lobi hotel yang luas dengan lampu-lampu kristal menggantung di langit-langit tampak elegan, tapi itu tidak
Veline menaiki anak tangga untuk menuju ke kelasnya yang berada di lantai tiga. Namun, ketika ia sudah berada di lantai tiga, ia tak sengaja berpapasan dengan Hero, semenjak kejadian di kolam renang kemarin, Veline selalu menghindari lelaki itu karena ia masih kesal. Sementara itu, Hero memperhatikan Veline dengan saksama. Sudah berkali-kali ia mencoba mendekati dan meminta maaf, tetapi Veline tetap bersikap dingin dan keras kepala, bahkan mendiamkannya hingga sekarang. Tanpa sedikitpun menoleh ke arah Hero, Veline langsung masuk ke kelas. "Kenapa dia?" tanya Adrian heran ketika melihat Veline menjadi pendiam. Hero hanya menghela napas berat. Begitu bel masuk berbunyi, mereka pun segera masuk ke kelas. Semua siswa mulai duduk di kursi masing-masing ketika melihat guru mereka memasuki kelas. "Pagi, anak-anak," sapa Bu Tejo. "Pagi, Bu!" jawab para siswa serempak. "Sebelum kita melanjutkan pelajaran, Ibu ingin memperkenalkan murid baru dulu kepada kalian." Bu Tejo lalu m
Veline terkesiap ketika tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangannya dengan kuat, sampai pergelangannya terasa nyeri. "Ish, apa-apaan sih? Kenapa lo tarik-tarik tangan gue? Sakit tahu!" umpat Veline sambil menepis tangan lelaki itu dengan kasar. Begitu berhasil melepaskan tangannya, Veline menatap tajam lelaki yang berdiri di depannya. "Lo apa-apaan sih? Mau lo apa, hah?" Lelaki yang memiliki rambut hitam pendek yang sedikit berantakan seperti tidak pernah disisir rapi, menghela napas panjang. "Gue cuma ingin minta maaf sama lo, Vel. Gue mohon, gue bener-bener nyesel. Gue nyesel karena udah mengkhianati lo." "Penyesalan itu memang selalu datang belakangan, kalau di awal namanya pendaftaran, Arnold. Lo pikir maaf lo itu cukup buat gue?" "Vel, gue serius. Gue tahu gue salah. Gue gak bisa lupain lo. Gue mohon, beri gue kesempatan lagi." Arnold terus memohon, berharap Veline mau menerima maafnya. Namun, Veline hanya tertawa. "Kesempatan? Lo masih punya muka buat ngomongin k
"Kenapa lo jadi nyalahin gue?" Veline menatap Leona dengan ekspresi tak percaya. "Gue gak minta mereka duel, Le! Mereka aja yang sok jagoan." Leona mendesah, lalu melirik ke arah lapangan. "Ya, ya, gue gak nyalahin lo kok," ujarnya gugup. "Em, Vel, lo pilih siapa? Yudha atau Arnold?" Veline hanya terdiam, matanya fokus memperhatikan duel sengit di lapangan. Melihat Veline yang diam, Leona semakin penasaran. "Gue tahu, lo kan lagi marah sama Arnold. Jadi sekarang, lo pasti pilih Yudha, kan?" Veline menghela napas panjang, lalu mengangguk. "Ya iyalah gue pilih Yudha. Ngapain juga gue pilih Arnold?" Pernyataan Veline membuat Leona bersorak kegirangan. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung berteriak lantang. "Yudha, semangat mainnya! Tenang aja, Veline pilih elo kok. Dia yakin lo pasti menang!" Suara heboh Leona langsung menarik perhatian para siswa di lapangan. Mereka mulai berbisik-bisik, dan sadar bahwa pertandingan itu untuk merebutkan hati Veline. Yudha yang mendengar
Veline menatap lekat lelaki yang ada di hadapannya, matanya tak berkedip sedikitpun saat manik Hero terus saja menatapnya dengan tajam. Tanpa aba-aba, Hero tiba-tiba menyentuh pergelangan tangan Veline dan menarik gadis itu pergi bersamanya, sampai membuat Veline terkejut. Bukan hanya Veline yang kaget, beberapa pasang mata di lapangan juga terbelalak melihat perlakuan Hero yang tak biasa. Veline sempat menoleh ke arah Arnold dan Yudha, sebelum pergi dari lapangan, sepertinya kedua lelaki itu juga tampak bingung saat Hero tiba-tiba membawa Veline pergi. "Wuah, gue nggak salah lihat, kan? Itu Hero ...." "Bukannya mereka sering berantem, ya? Kok Hero jadi sweet gitu sih sama Veline?" "Tapi kalau dilihat-lihat, mereka cocok juga." Bisik-bisik para siswi sudah terdengar. Para siswa yang memperhatikan Veline dan Hero merasa heran. Selama ini, Hero dikenal sebagai sosok dingin yang jarang sekali menunjukkan perhatian, apalagi kepada seorang wanita. Namun kini, ia terlihat
Kening Veline berkerut saat mendengar perkataan Hero barusan. Apakah lelaki itu serius atau hanya bercanda? Sikapnya yang belakangan ini begitu perhatian benar-benar membuat Veline bingung. Biasanya, Hero selalu bersikap dingin dan ketus, tapi sekarang ... dia terlihat berbeda. Veline sendiri tak mengerti mengapa tiba-tiba Hero berubah seperti ini. Perhatian yang ia berikan terasa aneh. Namun di sisi lain, ada sesuatu yang membuatnya nyaman. "Kenapa lo diem?" Veline tergugah dari lamunannya. Lelaki itu menatapnya dengan serius, seolah tahu ada banyak hal yang berkecamuk di kepala Veline. Tangan Hero terulur, merapikan helaian rambut Veline yang jatuh menutupi wajahnya. "Gue serius. Dengan begitu, lo nggak perlu ngalamin ini lagi, kan?" Veline tersentak dari pikirannya. Dengan kesal, ia memukul lengan Hero. "Elo kesambet apaan, sih?" Hero tertawa kecil, melihat wajah Veline yang merona karena malu. Tatapan jahil di matanya semakin membuat Veline gemas. "Santai aja, gue c
Malam ini hujan turun dengan deras, menyelimuti kota dengan dingin. Di sebuah ruang bersalin di rumah sakit, Veline terbaring di ranjang, wajahnya basah oleh keringat. Rasa sakit melandanya seperti gelombang yang tak kunjung usai, tetapi genggaman tangan Hero yang erat memberinya kekuatan. "Sayang, aku di sini. Tarik napas dalam-dalam, oke? Kamu pasti bisa," ujar Hero dengan suara yang tenang meskipun matanya memancarkan kegelisahan. Veline menggigit bibirnya, berusaha menahan jeritan. "Hero … sakit banget …," suaranya bergetar. Hero mengusap rambut istrinya yang basah oleh keringat. "Kamu kuat, Sayang. Kamu selalu kuat. Nggak lama lagi kita bakal ketemu sama anak kita." Dokter dan perawat sibuk mempersiapkan semuanya. "Baik, Bu Veline, saat kontraksi berikutnya, tolong dorong sekuat tenaga, ya," kata dokter. Veline mengangguk lemah, matanya menatap Hero dengan penuh harap. Hero hanya membalas dengan senyuman yang berusaha menenangkan, meski di dalam dirinya ia merasa
Pagi ini, Zahira melangkah pelan menyusuri lorong rumah sakit. Aroma antiseptik menusuk hidung, dan langkah sepatunya yang berderap di lantai mengkilap terdengar jelas di antara kesunyian. Matanya menatap nomor ruangan di depannya. Di balik pintu itu, Amanda, wanita yang selama ini ia anggap sebagai duri dalam rumah tangganya, kini terbaring lemah. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya. Setelah menghela napas panjang, Zahira mengetuk pintu dan masuk. Di dalam ruangan, Amanda terbaring dengan wajah pucat. Namun, ada senyum tipis di bibirnya saat melihat Zahira masuk. Dimas yang duduk di kursi di samping ranjang segera bangkit, memberikan ruang untuk mereka. "Zahira …," suara Amanda terdengar lemah. Zahira mendekat, menatap Amanda yang terbaring dengan infus terpasang di tangan kirinya. "Aku datang untuk menjengukmu," katanya dengan nada datar, tapi matanya menunjukkan keraguan yang dalam. Amanda tersenyum lemah. "Terima kasih … aku tahu ini pasti tidak mudah untukmu."
Veline dan Yudha berjalan perlahan menuju parkiran rumah sakit. Udara malam terasa menusuk. Namun, langkah mereka tetap tenang di tengah suasana sunyi. Lampu-lampu jalan memancarkan cahaya temaram, menambah kesan hening di sekitar. Namun, langkah Veline tiba-tiba terhenti. Ia menoleh ke arah Yudha dan berkata, "Yud, gue mau beli minum dulu sebentar." Yudha menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa banyak bicara. "Ya udah, kita ke minimarket aja. Itu ada di dekat sini," jawabnya sambil menunjuk ke arah sebuah minimarket kecil tak jauh dari parkiran. Mereka kemudian melangkah menuju minimarket tersebut. Saat sampai, Veline masuk ke dalam tanpa ragu, sementara Yudha memilih menunggu di luar. Ia bersandar pada salah satu tiang dekat pintu masuk, pandangannya mengawasi sekitar dengan santai, meski raut wajahnya masih terlihat tegang setelah kejadian di rumah sakit tadi. Namun, suasana hening itu tiba-tiba berubah ketika Yudha melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah sakit. S
Amanda tergeletak di atas aspal, tubuhnya berlumuran darah yang terus mengalir, membasahi pakaian dan jalanan di sekitarnya. Matanya perlahan membuka, lemah, seolah mencoba menahan rasa sakit yang luar biasa. Di sisi lain, Dimas berdiri terpaku sebelum akhirnya teriakannya menggema. "Amanda!" Dimas berteriak dengan suara yang serak dan penuh kegelisahan. Kakinya melangkah cepat, lututnya hampir jatuh saat ia berlutut di samping tubuh Amanda. Dengan kedua tangannya yang bergetar, ia mengangkat kepala Amanda, memeluknya dengan erat meskipun darah terus mengalir di tangannya. "Amanda, kenapa kamu melakukan ini?" Amanda hanya tersenyum samar, bibirnya bergetar mencoba mengeluarkan kata-kata. Namun, tidak ada suara yang terdengar. Di dekat mereka, Veline berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Matanya tidak bisa lepas dari genangan darah di sekitar tubuh Amanda. Wajahnya pucat, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa syok. "Ma ... Mama ...." Hero yang tadinya diam
Dimas berdiri mematung di tempatnya, tubuhnya terkulai lemas. Wajahnya yang biasanya tampak tegas kini terlihat kusut. Napasnya terdengar berat, dan matanya seakan kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, bagaimana ia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dibuatnya. "Mas, kenapa kamu diam saja? Ayo, cepat kejar Zahira! Kamu mau dia pergi begitu saja?" Amanda mengguncang bahu Dimas, mencoba menyadarkannya. Namun, Dimas hanya berdiri diam, tidak bergerak sedikit pun. Ia tahu semuanya sudah terlambat. Amanda menghela napas frustrasi. "Aku yang harus mengejarnya?" gerutunya, lalu tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar dari rumah, berusaha mengejar Zahira yang sudah meninggalkan rumah itu dengan langkah cepat. Di dalam rumah, suasana menjadi semakin canggung. Veline dan Hero yang baru saja turun dari tangga, heran melihat Amanda berlari keluar dengan terburu-buru, seolah sedang mengejar seseorang. "Mama, kenapa itu?" tanya Veline dengan suara penasaran, ma
Hero tiba di rumah dengan langkah berat, tangan kanannya memegang mangga muda yang sudah ia perjuangkan dari tengah malam hingga pagi. Ia memasukkan motor ke halaman depan rumah dengan pelan, berusaha tidak membuat suara berisik. Sesampainya di kamar, Hero membuka pintu dengan hati-hati, melihat Veline yang tampak sudah terlelap dengan nyenyak di tempat tidur. Ia memandangnya sejenak, senyumnya merekah meski ada rasa lelah yang menggelayuti tubuhnya. Namun, sesaat setelah melihat wajah Veline yang begitu tenang, semua rasa lelah itu terasa sedikit lebih ringan. Dengan hati-hati, Hero duduk di tepi ranjang, menggoyangkan bahu Veline dengan lembut. "Sayang, bangun ... nih, mangga mudanya." Veline yang masih terlelap hanya menggerakkan bibirnya sedikit. Namun, tidak membuka mata. "Apa sih, ganggu aja ...," jawabnya dengan suara serak, tapi suaranya jelas menunjukkan bahwa ia tidak tertarik untuk bangun. "Sayang, bangun ... ini mangga mudanya." Hero mengulangi, kali ini sedikit
Hero mengenakan jaket hitam tebalnya dengan tergesa-gesa. Malam ini udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan hembusan angin yang menyapu wajahnya saat keluar dari rumah membuatnya merasa semakin terjaga. Ia menurunkan helm dari motor dan meletakkannya di atas jok, berencana untuk menelepon beberapa temannya sebelum melanjutkan perjalanan. Pikirannya terfokus pada satu hal saja—mendapatkan mangga muda yang diminta oleh Veline. Dengan tangan yang sedikit gemetar karena suhu udara yang dingin, Hero meraih ponselnya dan membuka kontak. Nama Raka muncul di layar, dan tanpa ragu ia menekan tombol telepon. "Raka, lo lagi di mana?" Tak lama kemudian, suara Raka terdengar dari ujung telepon. "Gue lagi di basecamp, sama Noval sama Adrian. Kenapa, Ro?" "Ke sekolah sekarang!" "Ngapain ke sekolah? Ini udah malam." "Pokoknya ke sekolah aja dulu, nanti gue jelasin. Ajak Noval sama Adrian juga." "Ya udah deh." Hero menutup telepon itu dengan cepat, menghela napas, dan mengam
Di ruang tamu yang diterangi lampu hangat, Veline duduk di sofa dengan Hero. Mereka baru saja selesai makan malam, dan suasana rumah terasa tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Veline menggigit bibir bawahnya, ragu untuk memulai pembicaraan. Ia menatap secangkir teh hangat di tangannya, mengaduknya perlahan meski tidak ada gula yang perlu larut di sana. "Sayang," ujar Veline, memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara ketenangan malam. Hero yang sedang memainkan ponselnya menoleh, menatap Veline dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu kelihatan serius banget," katanya sambil meletakkan ponselnya di meja. Perhatiannya kini sepenuhnya terarah pada istrinya. Veline menghela napas panjang, menaruh cangkirnya di meja, lalu bersandar ke sofa. Matanya menatap ke arah jendela, meski yang terlihat hanya bayangan gelap malam. "Aku tadi habis ke rumah Leona," ucapnya. Hero terkejut, tapi ia tidak langsung menyela. Ia hanya mengan
Sejak kejadian itu, Leona mengurung dirinya di dalam kamar. Pintu kamarnya yang biasanya terbuka lebar kini tertutup rapat, seakan mencerminkan dinding yang ia bangun untuk memisahkan dirinya dari dunia luar. Tirai jendela pun tertutup, membiarkan kegelapan menguasai ruangannya. Suara tangis terkadang terdengar lirih dari balik pintu, tetapi tak ada yang cukup berani untuk mengetuk dan mencoba bicara dengannya. Veline yang mengetahui keadaan sahabatnya merasa dilematis. Meski hatinya masih dipenuhi amarah karena ulah Leona yang terus mencoba memisahkannya dari Hero, rasa iba perlahan merayap ke dalam hatinya. Ia mengingat bagaimana video yang memperlihatkan tindakan tidak terpuji Leona tersebar luas di media sosial. Video itu menjadi bahan cibiran dan ejekan. Orang-orang terus mencela Leona tanpa ampun, menghakimi tanpa memberi ruang untuk pembelaan. Akun media sosial Leona dipenuhi komentar pedas, seolah seluruh dunia bersekongkol untuk menjatuhkannya. "Kenapa dia harus sebodoh