“Di mana kamu sekarang?”
Pertanyaan itu datang dari sambungan telepon. Afi mengembuskan napas, lalu memindah letak HP-nya--dari telinga kiri ke kanan. Dia menekuk lutut. Saat ini dia berteduh di rumah Pak RT. Hujan deras sedang melanda.
Duduk di lantai, Afi dikelilingi benda elektronik milik tetangga yang rumahnya juga terbakar. Tidak seperti Afi, dua rumah lainnya yang menjadi korban kebakaran memiliki asisten rumah tangga yang dapat menyelamatkan barang berharga milik majikannya.
“Di rumah Pak RT,” jawabnya malas dan pelan. Afi tidak suka menarik perhatian. Apalagi dengan suaranya. Dia memilih menutupi mulut saat mengulang jawaban karena Mamanya tidak mendengar jawaban sebelumnya.
“Mama suruh Abang kamu jemput, ya.”
Afi menggeleng meskipun sadar bahwa gesture-nya takkan terbaca oleh sang penelepon. “Enggak usah, Ma. Aku bisa nginap di sini untuk sementara waktu. Lagipula—”
Afi menelan lanjutan ucapannya, lalu memeriksa layar HP. Ternyata sambungan telah terputus. Entah diputus secara sengaja atau terkendala jaringan--yang jelas Afi yakin bahwa sebentar lagi abangnya akan datang. Mamanya takkan peduli dengan larangannya barusan.
Afi memeriksa chat group kantor. Banyak rekan kerja yang mengucapkan bela sungkawa atas musibah yang menimpanya. Bahkan ada pula yang meng-update informasi tentang kebakaran di kompleknya. Entah dari mana informasi itu didapatkan.
Afi sempat berniat mengetikkan balasan. Setidaknya dia harus berkabar agar rekannya tidak khawatir. Namun, atensinya teralihkan oleh nyaringnya suara wanita yang bersahut-sahutan.
Rupanya ada pertengkaran di depan pintu menuju lorong dapur. Dua orang wanita sedang dilerai oleh wanita-wanita lain. Afi beranjak untuk mencari informasi.
“Kenapa, Bu?” tanya Afi kepada salah satu wanita paruh baya yang menonton dari kejauhan.
“Bu Inne. Baru datang, eeeh, langsung nyerang Bu Hamish. Katanya gara-gara Bu Hamish rumahnya ikut kebakaran,” papar ibu itu.
Afi hanya ber-oh pendek sambil manggut-manggut. Dia tidak terlihat terkejut. Maklum dan mafhum dengan tabiat tetangganya yang sedikit tempramental.
Afi sudah mendengar selentingan kabar mengenai asal-usul kobaran api. Meskipun tidak yakin bahwa kabar itu 100% valid karena beberapa mulut kerap melakukan aksi drama, setidaknya dia sudah mengantongi inti informasi.
Sekitar jam 11 siang, suara ledakan mengagetkan warga. Seorang saksi yang juga merupakan warga komplek melihat kobaran api dari rumah Bu Hamish. Rumah itu berada di sisi kiri rumah Afi.
Sayangnya, ada kesimpangan kabar yang masuk ke telinga Afi. Dua di antaranya adalah ART Bu Hamish. Mereka kompak mengatakan bahwa api justru dimulai dari dapur rumah Bu Inne.
Bagi Afi, tidak penting dari mana asal api bermula. Intinya, musibah sudah terjadi. Saling menyalahkan tidak akan merubah kejadian. Sebagian rumah mereka sudah menjadi arang.
“Kok, kamu kelihatan tenang? Kayak enggak ada sedih-sedihnya gitu,” komentar ibu tadi saat mengiringi Afi yang kembali duduk ke tempat semula. Dia duduk tepat di sisi kanan Afi.
Afi tersenyum. Tentu saja asumsi ibu itu tidak benar. Jika ingin hitung-hitungan soal rasa sedih, Afilah yang seharusnya mengalami kesedihan besar. Pasalnya, dia tidak bisa menyelamatkan satu pun benda berharga. Bahkan buku rekening dan dokumen penting pun habis dilahap api.
Afi bukan tipe wanita yang suka menyalahkan keadaan. Wanita kalem dan easy going ini memilih menyikapi keadaan secara rasional.
Menurutnya, menerima keadaan dengan lapang dada adalah satu-satunya sikap rasional dan menguntungkan dirinya sendiri. Ya, menguntungkan karena tidak harus mengeluarkan air mata dan pusing menghadapi rasa frustrasi.
“Mau gimana lagi, Bu? Mau marah ... saya bingung harus ke siapa. Enggak mungkin, ‘kan, saya marah-marah, nyalahin Pak RT atau satpam gara-gara gagal menjaga kekondusifan komplek?” Afi tertawa kecil sebelum melanjutkan. “Mau sedih ... enggak bisa. Percuma. Mau saya nangis seember juga keadaan enggak berubah, ‘kan?”
Ibu itu mengangguk setuju. Tak lupa menepuk pelan punggung Afi, seolah memberikan ketabahan.
“Kayaknya saya enggak perlu nyuruh kamu sabar, ya,” canda ibu itu. Disambut oleh tawa kecil Afi. Setelah tawa mereka reda, ibu itu lanjut bertanya, “Terus, kamu mau tinggal di mana? Ada rumah cadangan?”
Lagi-lagi Afi tertawa kecil. “Saya enggak sekaya itu, Bu. Enggak ada istilah rumah cadangan. Mungkin sementara waktu saya bisa tinggal di rumah Mama atau Abang. Yaaa, meskipun jaraknya jauh banget dari rumah sakit.”
Ibu itu mengangguk-angguk lagi. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi batal gara-gara bunyi HP Afi.
“Maaf, Bu. Saya jawab telepon dulu.” Afi meminta izin sebagai bentuk sopan santun. Barulah setelah mendapat anggukan dia menjawab panggilan dari rekan kerjanya.
“Halo, Pak Wisnu!” sapanya setelahh menempelkan HP di telinga kanan. Dia menyelipkan helaian rambut yang menjuntai di belakang telinga kiri.
“Halo, Fi! Saya dengar rumah kamu kebakaran, ya? Gimana keadaannya sekarang?” tanya si penelepon.
Alih-alih langsung menjawab pertanyaan, Afi lebih dulu mengucapkan permintaan maaf. “Tadi saya mau ke ruangan Bapak. Pas mau naik lift, eh, dapat kabar beginian.”
“Ah, enggak apa-apa. Tadi si Jerry udah ngecek komputer saya. Udah di-repair juga dan sekarang udah normal. Everything is getting better.”
Sebelum menerima telepon Pak RT soal rumahnya kebakaran, Afi berniat mendatangi bagian kepegawaian. Beberapa menit sebelum itu dia mendapatkan telepon personal dari Wisnu Hadi—Kabag Kepegawaian. Wisnu melaporkan bahwa komputer di ruangannya tiba-tiba hang*. Namun, setelah dimatikan secara paksa—dengan cara mematikan power CPU—dan dihidupkan kembali, komputer malah mengalami bootloop**.
*Komputer tiba-tiba macet. Stagnan dan tidak bisa dioperasikan.
**Bootloop adalah kondisi di mana komputer tidak bisa masuk ke halaman utama—mati sendiri—meskipun sudah melalui proses booting.
Afi berjanji akan segera mengatasi permasalahan Wisnu. Atas alasan itulah dia hendak menaiki lift menuju lantai 2—kantor manajemen rumah sakit. Sayangnya, Afi batal memasuki lift dan berakhir absen setengah hari gara-gara musibah yang menimpa rumahnya.
Setelah menceritakan kabar penyebab kebakaran yang masih simpang siur, Afi mengatakan bahwa kemungkinan besok akan kembali absen. “Besok saya mau cek puing-puing dulu. Siapa tau ada benda berharga yang enggak ikut kebakar.”
Wisnu mengizinkan. Dia memaklumi keadaan Afi. Bahkan dia mengatakan bahwa Afi boleh absen beberapa hari sampai kondisinya sudah memungkinkan. Urusan pekerjaan, katanya Afi tidak perlu khawatir. Anak buah Afi dapat diandalkan.
Afi sangat berterima kasih atas pengertian seniornya itu. Dia berjanji akan segera kembali bekerja kalau keadaan sudah sedikit normal.
Afi berniat mengakhiri pembicaraan. Saat saling mengucapkan salam perpisahan, ekor matanya menangkap sosok pria berjaket hitam yang bersalaman dengan Pak RT di ambang pintu. Pria itu adalah Suryani Diantoro, abangnya.
“Cepat banget sampainya. Naik jet pribadi?” canda Afi saat abangnya berjabat tangan dengan ibu di sampingnya.
“Hari ini Abang cuti. Memang udah ada rencana mau nengokin kamu. Pas mau jalan, eh, dapat kabar buruk dari Mama. Yaaaa, langsung, deh, Abang ngebut ke sini,” papar Dian sambil bersila di sisi kiri Afi.
Ibu yang duduk di sisi kanan Afi pamit pergi. Alasannya ingin menguping gosip pertengkaran Bu Inne dan Bu Hamish yang sudah reda. Afi tahu bahwa ibu itu sebenarnya hanya tidak nyaman berada di antara dia dan abangnya.
“Ini semua barang-barang kamu?” tanya Dian. Matanya menyapu benda-benda elektronik di sekeliling mereka.
“Bukan. Punya tetangga. Punyaku enggak ada yang bisa diselamatkan.” Afi menyandarkan punggung dan kepala ke tembok sambil mengantongi HP. “Sekarang aku miskin banget, Bang. Hartaku ludes. Persis kayak orang yang kena azab.”
Dian mendecakkan lidah. “Harta bisa dicari lagi, Dek. Yang penting kamu selamat—enggak kenapa-kenapa.” Dia mengacak rambut Afi. “Oh, ya. Soal rumah, tadi Abang udah izin ke Egi. Kamu bisa tinggal di rumahnya untuk sementara waktu.”
Afi tampak terkejut. Kelopak matanya melebar. Punggung dan kepalanya menjauh dari tembok. Bibirnya sedikit menganga.
“Rumah Om Egi?” beonya dengan nada tak percaya.
---BERSAMBUNG---
Hai, Guys! Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Beri dukungan padaku dengan memberikan komen dan vote sebanyak mungkin. See you.
Afi tampak ragu melepaskan sabuk pengaman. Matanya mendongak menatap tingginya gerbang yang menjadi tameng pelindung rumah mewah di belakangnya. Dian berdiri di depan gerbang sambil merentangkan kedua tangan dan tersenyum lebar seolah mengucapkan selamat datang.“Sikapnya udah kayak pemilik rumah aja,” gumam Afi sambil mendorong pintu.Saat Afi turun dan menutup pintu mobil, Dian menghampiri. “Gede banget, ‘kan, rumahnya? Kalau mau, kamu bisa boyong beberapa tetangga,” ujarnya sambil memilah anak kunci yang terkumpul dalam satu ring besi.“Ini seriusan, Bang?” tanya Afi yang tampaknya belum percaya. “Emangnya Om Egi beneran udah kasih izin?”“Hush! Jangan pakai ‘Om’. Kamu kalau berhadapan langsung sama dia dan panggil ‘Om’, dia bakal marah.” Dian mengingatkan tentang betapa tidak sukanya Egi mendapat panggilan ‘Om’.Egi adalah adik sepupu mamanya. Secara status kekeluargaan, Egi memang paman mereka. Namun, atas nama usia, Egi lebih muda 2 tah
Di depan gerbang, Afi melambaikan tangan. Mobil Dani berlalu meninggalkan halaman depan. Kini tinggallah Afi seorang diri.Ah, tidak-tidak! Afi tidak sendiri. Lima belas menit yang lalu dua orang wanita paruh baya datang untuk membersihkan rumah. Saat ini mereka masih mengerjakan part masing-masing.Afi berbalik dan menatap bangunan megah di depan matanya. Bibirnya tersenyum. “Di balik musibah, selalu ada berkah. Kalau rumahku enggak kebakaran, aku pasti enggak akan pernah ngerasain tidur di rumah mewah.”Rumah Afi yang sebelumnya memang tidak bisa dibilang kecil. Cukup besar untuk ukuran wanita lajang yang tinggal sendiri. Namun, desain interiornya biasa saja. Tidak ada yang mewah dan patut untuk dibanggakan. Ukurannya pun kalah telak dibandingkan dengan rumah ini. Mungkin luas bangunan ini tiga kali lipat dari rumahnya yang terbakar.Afi meregangkan otot-otot lengan. Mengulet sambil mematah leher ke kanan dan kiri.Sesaa
“Egi!”Sebuah panggilan memusatkan atensi Egi dan Afi ke lantai satu. Tepatnya ke ambang pintu yang salah satu sisinya terbuka.Sesosok wanita bertubuh semampai berdiri di sana. Rambutnya panjang sepunggung dan bergelombong. Gradasi warna asli dengan lavender cerah membuat sosok itu terlihat mencolok.Berpijak di lantai yang berbeda dan jarak yang jauh tidak membuat Egi kesulitan mengenali sosok itu. Suara, postur tubuh, dan wajah itu sangat dikenalnya. Namun, tidak ada ekspresi antuasias, terkejut, atau pun bahagia. Justru seringai tipis yang tercetak di wajahnya.Berbeda dengan Egi, bola mata Afi justru melebar. Reaksi keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. Bahkan beberapa saat kemudian dia tampak gelagapan, bingung harus berbuat apa dan bagaimana. Beberapa kali kakinya seperti hendak melangkah pergi, tapi tidak jadi. Dia juga melirik-lirik Egi seolah penasaran dengan reaksi yang akan ditunjukkan.“Bisa turun sebentar?”
Detik demi detik berlalu, tapi Egi tak kunjung memperlihatkan reaksi. Tidak ada senyum tipis seperti sebelumnya. Lensanya masih menyorot ke satu titik, yakni mata Afi.Sorot tajam dan dalam itu membuat sisa-sisa nyali Afi lenyap. Detik itu juga Afi ingin sekali memuai seperti es, lenyap dari dekapan lelaki itu.“Okay!”Satu kata yang keluar dari mulut Egi berhasil menormalkan seluruh sistem operasi tubuh dan saraf Afi. Napas yang semula mengendap di dada akhirnya dapat berembus lega. Tubuh yang semula sekaku besi baja akhirnya melunak bagaikan dilebur dengan bara. Afi nyaris merosot saking leganya. Untung saja dekapan itu begitu kokoh hingga mampu menopang tubuhnya yang meleyot.Rupanya Egi sengaja. Melihat dan merasakan ketegangan Afi merupakan hiburan tersendiri untuknya. Dia nyaris tidak bisa meredam tawa ketika menahan tubuh Afi yang nyaris tumbang dalam dekapannya.Untuk menyamarkan senyum yang terus dikulum, Egi berpindah menatap
Afi mengutuk dirinya sendiri. Sekarang dia sadar, kenapa wanita disarankan agar menikah di usia muda. Mungkin inilah sebabnya. Sekian lama tidak merasakan belaian pria, dia malah seperti wanita murahan. Diam saat disentuh. Patuh saat digiring menuju ranjang.Sebenarnya Afi sendiri heran, kenapa dia begitu mudah mematuhi ucapan Egi. Bahkan tidak ada protes dan perlawanan sama sekali. Dia seperti korban sugesti. Mungkin lebih mirip hamba sahaya yang dibeli saudagar penuh kharisma.“Emmm ... kayaknya kita sudah melewati batas,” kata Afi saat Egi merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Mereka tidak hanya berada di kamar yang sama, tapi ranjang dan selimut yang satu.Afi merasa sesak dalam dekapan pria itu. Namun, rasa hangat dan nyaman justru membuatnya tak ingin berkutik. Dia malah tertarik melihat jakun Egi yang bergerak saat menelan ludah.“Kita mungkin berada di garis keturunan yang sama, tapi saya yakin kamu belum mengenal saya denga
Afi mengatup bibir sangat rapat. Dia sadar bahwa pertanyaan barusan melampaui batas. Terlebih lagi dia mengucapkannya dengan nada yang cukup tinggi. Kentara sekali bahwa dia lepas kendali.Afi menyesali pertanyaannya—pertanyaan yang menggambarkan kekesalan, ketidakterimaan, dan ketidaknyamanan. Dia seperti wanita pecemburu yang naik pitam mendengar sang kekasih ‘menyemai bibit’ di mana-mana.Sekarang pertanyaannya adalah apakah Afi berhak memiliki emosi seperti ini? Egi memang menyebut dirinya sebagai ‘mine’. Namun, bukankah ‘mine’ saja tidak cukup untuk memperbolehkannya bertanya kasar seperti tadi?“Maaf.” Afi berucap lirih. Segenap rasa sesal menyesakkan dadanya.Dalam hal ini, tampaknya Egi tidak satu frekuensi dengan Afi. Alih-alih maraah, tersinggung, atau pun kesal, Egi justru terlihat baik-baik saja. Dia bahkan tertawa kecil, terhibur melihat Afi berkubang dalam rasa sesal.“It&rsq
Dua pasang mata itu saling pandang. Sorot si pria terlalu sulit dimaknai, sedangkan si wanita tampak berkaca-kaca. Ada luka yang tersirat dari genangan air di dalam sana. Namun, ada harapan yang juga terpancar di sana.Sunyi. Tidak ada suara yang mengganggu mereka selain embusan napas pribadi. Bahkan tidak ada yang bergerak selain organ dalam tubuh yang tetap beroperasi. Dari luar, penampakan keduanya mirip dengan maneken pria dan wanita yang saling bersitatap.“Saya jelaskan semuanya satu per satu.” Suara Egi menelan kesunyian. “Tapi, enggak berdiri kayak gini.” Tangan kanannya mengayundan membelai rambut Afi. “Kamu yang pilih; balik lagi kayak tadi—rebahan di ranjang—atau isi perut? Saya lapar.”Afi tidak yakin Egi benar-benar lapar. Ekspresi saat mengatakan itu tidak seperti orang yang perutnya keroncongan. Terlalu flat.“Maaf.” Afi menangkap tangan yang mengelus pipinya. “Saya eng
Egi menurunkan Afi dari meja wastafel. Tanpa melepaskan pinggang wanitanya, Egi bertanya, “Mau mandi sekarang?”Afi menggeleng pelan. Sebenarnya dia sedikit takut mendengar pertanyaan semacam itu. Entah kenapa pikirannya menjurus ke hal-hal negatif. Dia takut Egi akan mengajaknya mandi bersama hingga melakukan perbuatan yang ujungnya sudah terduga.Setelah mengetahui sekelumit sisi keberengsekan pamannya, insting kewaspadaan Afi sedikit meningkat. Dia tidak hanya waspada pada Egi, tapi juga dirinya sendiri.Afi seorang wanita dewasa dan normal. Hormon yang berhubungan dengan seksualitasnya sudah menumpuk dan terkadang meraung-raung minta dilepaskan. Dia takut kalau hormon ini sewaktu-waktu akan meledak dan tak dapat dikendalikan gara-gara pancingan Egi.Sebenarnya, tidak hanya Egi yang memiliki sisi hitam yang berhubungan dengan seksualitas. Afi pun sama. Namun, Afi tidak seberani Egi. Dia takut mengungkapkan aib itu. Juga malu dan gengsi. Menurutnya, jika ai
Dalam perjalanan pulang, keheningan melanda keduanya. Afi ingin sekali berterima kasih karena Egi begitu peka dengan keadaan alerginya. Kalau saja pria itu tidak langsung membawanya ke klinik, mungkin obat pun tidak akan mempan. Dia pasti tidak akan bisa beraktifitas dengan tenang karena pengaruh rasa gatal.Sayangnya, niat mengucapkan terima kasih itu urung dilafalkan. Selain karena ekspresi Egi tidak enak dilihat--terlalu flat dan kaku, pria itu juga bungkam sejak di klinik. Afi curiga bahwa pria itu menyimpan kekesalan kepadanya.Sesampainya di rumah, keduanya diserbu Ani dan Yati yang ternyata belum pulang, padahal sekarang sudah jam 7 malam. Mereka disambangi tepat setelah melangkahi pintu masuk.“Kok, baru pulang, sih, Mas-Mbak? Kalian enggak apa-apa, ‘kan?” tanya Ani sambil memindai Egi dan Afi dari atas ke bawah.Afi tersenyum tipis dan menganggukkan kepala. "Kita enggak kenapa-kenapa, ko
“Jangan lama-lama. Kalau udah selesai, cepat pulang. Nanti kalau sakit kamu sendiri yang susah.” Begitulah pesan Egi sebelum meninggalkan warung tenda. Dia telah menandaskan sepiring nasi, ayam penyet dan lalapan, serta teh hangat. Ah, jangan lupakan setengah mangkuk ronde milik Afi. Dia meminta Afi pulang bersamanya. “Soal pembalut, kalau enggak urgent belinya besok aja. Titip ke Bu Ani. Mini marketnya masih jauh, ‘kan? Kamu bisa kebasahan kalau nekat ke sana jalan kaki.” Afi menggeleng, menolak ajakan dan bujuan Egi. “Saya mau ke apotek bentar. Cari obat alergi,” ungkapnya jujur. “Kamu alergi apa?” Pria itu kelihatan cemas dan panik. Memindai Afi dari kepala sampai ujung kaki. Afi menggeleng. “Sekarang belum. Enggak tau nanti.” Jawaban yang diberikan sambil mengunyah itu membuat Egi mengerutkan kening. “Maksudnya?” Tanpa menatap Egi, Afi pun menjawab. “Saya alergi dingin.” Mendengar informasi itu, kerutan di kenin
“Yaaaah ....” Kedua bahu Afi merosot lesu ketika membuka pintu. “Hujan ternyata.” Wajahnya berubah cemberut.Afi tidak tahu, material apa yang digunakan untuk membangun rumah megah ini sampai bunyi hujan deras pun tidak terdengar di lantai dua.“Duh, mana lagi lapar banget ini,” keluhnya sambil melangkah ke ujung teras. Memeriksa lebih dekat, seberapa besar intensitas air yang berguguran di bumi.Puas dengan tidur tambahan sampai jam 5 sore, perut Afi pun terasa amat sangat kosong. Dia heran, seberapa keras kerja metabolisme tubuhnya saat tidur sampai bangun-bangun sudah lapar lagi.Sebenarnya wajar, sih, kalau dia lapar. Dia, ‘kan, melewatkan makan siang.Sayangnya, ketika bangun tadi, baik teh ataupun kudapan ringan di meja sudah tidak ada. Mungkin dibereskan oleh Ani.Afi ingin makan nasi, tapi khawatir lauk pauknya belum tersedia. Ini, ‘kan, belum jam makan malam. Dia menebak kalau Ani dan
“Jadinya nonton apa, nih, Mbak?” tanya Ani yang menyuguhkan sepiring pastel panas, potongan buah melon, dan teh panas ke meja.“Korea, Bu,” jawab Afi yang kini mengatur channel TV melalui remote di HP-nya.“Waduuuh. Enggak India aja, Mbak? Biar bisa nyanyi sama joget-joget.”Afi tertawa. “Emangnya Ibu punya rekomendasi film India apa?”“Chori-chori aja, Mbak. Rame, tuh. Cerita suami setia, tapi disuruh ‘asoy-geboy’ sama perempuan nakal.”Afi semakin tergelak. Sedikit tidak menyangka kalau wanita paruh baya yang lebih suka pakai daster itu mengetahui berbagai macam istilah yang menjurus ke arah seks bebas.“Oh, iya, Mbak. Mas Egi udah pulang, tuh.”Tawa Afi langsung berhenti. “Enggak nyariin saya, ‘kan?”“Nyariin, lah. Saya bilang aja lagi di sini.”Afi menghela napas, lalu meningkatkan volume TV. Mendengar na
Sepertinya Egi benar-benar kesal. Saat bangun tidur, dia tidak menyapa ataupun melirik Afi. Meloyor begitu saja ke kamar mandi.Seolah belum cukup, Egi pun enggan sarapan bersama, padahal Afi sudah menunggunya di kitchen island. Egi hanya menyeruput kopi sambil berdiri, menjumput sandwich, lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.“Lagi berantem, ya, Mbak?” tanya Ani yang menyaksikan dinginnya hubungan Afi dan Egi.Afi hanya merespons dengan senyum seadanya. Menurutnya, pertanyaan itu tidak perlu dijawab. Ani bisa mengambil kesimpulan sendiri.“Bu Ani hari ini ke pasar enggak?” tanyanya, mengalihkan topik.Rencananya, jika Ani ke pasar, Afi ingin ikut. Refreshing. Dia malas nonton ke bioskop sendirian.“Kayaknya enggak, deh. Bahan di dapur masih lengkap,” jawab Ani sembari mengambil cangkir kopi bekas Egi. “Ini saya minum aja, ya, Mbak. Sayang kalau dibuang. Mubazir,” ucapnya sambil memperlihatkan i
Setelah racauan Afi berakhir, suasana kamar sempat disinggahi keheningan. Egi yang masih berbaring menatap wanita itu sambil mengerjap. Cukip lama pria itu terpaku hingga beberapa saat kemudian, tawanya meledak sampai terpingkal-pingkal.Melihat Egi tertawa begitu lepas, Afi pun mengernyit. Bingung. Otaknya berpikir keras. Menebak satu per satu kata yang sebelumnya dia ucapkan. Di mana letak kelucuannya?Sebelum Afi sempat bertanya, pria itu bangun dan duduk menghadap dirinya. Setelah tawanya reda, Egi pun bertanya, “Jadi, kamu mau menikah sama saya?”Kerutan di kening Afi semakin bertambah. Kali ini bukan karena bingung, melainkan tersinggung.Jadi, pria itu hanya bercanda dalam menyematkan gelar ‘calon istri saya’ saat bicara dengan Tiara di telepon tadi? Jadi, pria itu hanya ingin membuat Tiara cermburu? Pria itu ingin mempermainkannya?Rasanya Afi ingin meledak saat itu juga. Dia ingin meminta klarifikasi dengan cara yan
Jam digital di nakas sudah menunjukkan pukul 01:15. Seharusnya, pemilik ruangan sudah melayang ke negeri mimpi. Kenyataannya, sepasang penghuninya malah sibuk bersitatap. Berbaring miring di ranjang, saling berhadapan.“Kenapa harus pegangan tangan, sih?” tanya si wanita. Matanya tak mengerjap sedetik pun, terus menelisik lensa pekat di depannya.“Kamu mau yang lebih?” goda si pria sambil mengerling jail.“Enggak!” tegas si wanita sambil melotot ringan. Membuat si pria tertawa pelan.Saat ini, jemari keduanya saling bertaut di atas guling yang menjadi pembatas wilayah masing-masing. Guling itu tadinya diletakkan karena si pria terus saja menyerang wanitanya dengan ciuman menggebu. Kata si wanita, si pria tidak boleh melewati batas jika ingin dirinya menetap di kamar itu.“Besok mau ke mana?”“Tadinya, sih, mau nonton bioskop. Mumpung kamu enggak ada.”Si pria mengerutkan keni
“Egi, please ....”Afi berupaya keras menarik kepala dan mendorong dada Egi. Gila! Dia nyaris kehilangan napas. Egi benar-benar menghukumnya!Sekitar jam setengah sepuluh malam, Egi tiba di rumah. Sempat menengok Afi ke kamar tamu, pria itu keluar lagi untuk menepati janji pada Tiara.Entah apa yang mereka bicarakan, tapi durasinya tidaklah lama. Mungkin tidak sampai sejam, Egi sudah kembali ke kamar tamu, menjemput Afi.Ya, menjemput! Pria itu menggendong Afi ke kamar atas, lalu mencium bibirnya secara brutal. Katanya, itu adalah hukuman karena membuatnya khawatir selama di Riau.“Kamu tau, gara-gara kamu, saya enggak keruan selama di bandara. HP saya sampai kececer,” ucap Egi dengan napas terengah sebelumkembali membubuhkan kecupan menggebu.Sebenarya bukan hanya Afi yang mengalami defisit oksigen dalam paru-paru, Egi pun sama. Namun, gejolak rindu yang begitu kuat membuatnya enggan melepaskan bibir itu barang
Afi merapatkan punggung ke sandaran. Napasnya dihela dengan pelan dan cukup dalam. Rasanya, ada satu beban besar yang menyesakkan dadanya. Entah apa.“Pertama, saya mau tanya dulu sama kamu. Boleh?”Tiara mengangguk. Kemudian mengambil piring puding. Bicara panjang lebar ternyata tidak hanya membuat kerongkongannya kering, tapi isi perutnya juga ikut terkuras.“Apa selama pacaran, kalian pernah berhubungan badan?”Pertanyaan Afi membuat puding yang ditelan Tiara keluar dari saluran pencernaan. Bahkan sepertinya tersesat ke saluran pernapasan. Wanita itu tersedak cukup parah sampai harus memukul-mukul dadanya.Anehnya, Afi tidak panik sedikit pun melihat reaksi tubuh Tiara. Dia diam saja melihat wanita itu terbatuk-batuk. Bahkan dia sudah bisa menarik satu kesimpulan dari reaksi itu.“Okay, enggak usah dijawab,” kata Afi setelah Tiara minum. “Saya udah dapat jawabannya.”Tiara menelan lud